Anda di halaman 1dari 5

PEMBARUAN DALAM TATALAKSANA PTERYGIUM

ABSTRAK
Pterygium merupakan penyakit mata dengan karakter pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
pada kornea. Keadaan ini lebih sering terjadi pada pria, usia tua, dan individu yang terpapar
radiasi ultraviolet. Tatalaksana bedah merupakan tatalaksana primer pada pterygium, pada
umumnya terdapat dua metode dalam eksisi pterygium. Metode pertama adalah dengan
menggunakan pisau bedah memisahkan ujung/ puncak dari pterygium dari permukaan
kornea. Metode ketua adalah berdasarkan avulsi. Pendekatan lain dalam mengeksisi ptrygium
adalah dengan menggunakan argon laser dan excimer laser. Dikarenakan tingginya angka
kekambuhan, maka terapi tambahan seperti radioterapi, kemoterapi, dan prosedur grafting,
selalu ditambahkan setelah proses eksisi dalam pembedahan. Prosedur ini telah menjadi
standar dalam tatalaksana jangka panjang pada pterygium. Radioterapi digunakan
berdasarkan beta irradiation. Sementara proses kemoterapi menggunakan mitomycin C, 5fluorouracil, bevazicumab, dan loteprednol etabonate. Prosedur grafting seperti amniotic
membrane grafts, dan conjunctival autografts. Banyak ahli bedah yang percaya bahwa
penggunaan mitomycin C dan conjunctival autografts memberikan hasil terbaik dalam hal
kekambuhan, kosmetik, dan kepuasaan pasien.
Kata kunci: pterygium, eksisi, terapi tambahan, kekambuhan

PENDAHULUAN
Istilah pterygium berasal dari bahasa latin dari kata pterygion yang berarti sayap
kecil, menggambarkan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva pada kornea yang berbentuk
menyerupai sayap yang pada umumnya muncul pada area nasal. Keadaan ini tidak hanya
berdampak pada hal kosmetik, namun juga menandakan adanya kondisi kronik yang dapat
mempengaruhi penglihatan karena menghalangi aksis penglihatan, yang menyebabkan
astigmatisma. Prevalensi pterygium sangat bervariasi, namun lebih banyak terjadi pada
daerah khatulistiwa karena tingginya paparan ultraviolet yang merupakan etiologi utama
penyebab kekambuhan. Sebuah studi epidemiologi menyebutkan bahwa prevalensi pterygium
tinggi pada daerah pedesaan dikarenakan banyaknya aktivitas / pekerjaan yang dilakukan
diluar rumah.
Walaupun banyaknya literatur yang telah membahas pterygium secara luas, namun
kondisi ini tetap menjadi pertanyaan bagi banyak ahli. Penulis yang pertama menggambarkan
mengenai pterygium dan tatalaksana bedah-nya adalah Hippocrates, Celsus, Pallus, Sushruta,
dan Aetius. Bahkan pada saat itupun, mereka menyadari tatalaksana untuk pterygium adalah
sulit, dan kemungkinan kekambuhan yang dapat dipastikan akan terjadi. Hingga abad ke-20,
terdapat beberapa kemajuan dalam tatalaksana dan pencegahan kekambuhan pterygium.

EKSISI PTERYGIUM
Tatalaksana bedah hingga kini menjadi tatalaksana primer terhadap pterygium. Eksisi
sederhana disertai terapi tambahan seperti agen anti-VEGF, dan amniotic membrane grafting
atau conjunctival autografts memberikan hasil yang terbaik untuk waktu jangka panjang.
Tujuan utama dalam eksisi adalah untuk melepaskan semua bagian dari pterygium
(head, neck, body). Terdapat dua prosedur yang sering digunakan dalam eksisi pterygium.
Metode pertama adalah menggunakan anestesi lokal, kemudian puncak dari pterygium diraih
menggunakan forceps dan dipisahkan dari permukaan kornea menggunakan pisau bedah.
Bagian lain dipisahkan menggunakan gunting dimulai dari posterior hingga sekitar lima
hingga tujuh milimeter dari limbus, kemudian dipotong. Metode kedua adalah dengan avulsi.
Pemisahan pterygium dimulai dari bagian posterior dengan menggunakan intrumen tumpul
seperti spatula, yang diselipkan di bawah badan pterygium. Selanjutnya badan pterygium
diangkat menggunakan forceps, hingga bagian puncak kemudian dipotong dan terpisan dari
permukaan kornea.
Tatalaksana lain dalam eksisi pterygium adalah dengan menggunakan argon laser dan
excimer laser. Metode ini digunakan setelah pengangkatan pterygium agar didaptkan
permukaan kornea yang lebih baik. Pada kondisi tertentu laser ini dapat digunakan untuk
mengeksisi pterygium keseluruhan, namun prosedur ini menyebabkan lebih banyak
komplikasi yang dapat terjadi. Masalah yang dapat terjadi dalam proses eksisi pterygium
adalah ketidakmampuan untuk mengidentifikasi area yang ingin dipisahkan menggunakan
instrumen tumpul, sehingga sebagian pterygium masih tertinggal. Oleh karena itu,
penggunaan etanol dapat membantu, terutama dalam memisahkan epitel kornea dari
pterygium dengan cara memusnahkan ikatan antara epitel kornea dan pterygium sehingga
spatula lebih mudah untuk diselipkan. Hal ini terutama dilakukan pada kasus kekambuhan
dimana didapatkan pterygium dengan lapisan kornea yang telah menipis, atau pterygium
yang memiliki dua puncak.

TERAPI TAMBAHAN
Angka kekambuhan yang tinggi menyebabkan perkembangan pada prosedur yang
dilakukan pada pterygium yang telah dieksisi. Seperti radioterapi, kemoterapi, dan prosedur
grafting. Namun prosedur ini tetap perlu dipertimbangkan mengingat keamanan pada pasien,
kenyamanan pasien, biaya operasi dan lama operasi, dan apakah hasil akhirnya akan
memuaskan. Prosedur ini telah menjadi standar dalam tatalaksana pterygium jangka panjang.

BETA IRRADIATION
Penggunaan beta irradiation pada sklera, umunya dosis tunggal, menunjukkan hasil
yang efektif pasca operasi, terutama bila diaplikasikan dalam 24 jam pertama setelah eksisi.
Sebagai tambahan, penggunaan beta irradiation dapat juga dikombinasikan dengan terapi

tambahan lainnya. Umumnya, radioterapi tidak sering digunaka oleh para dokter karena
komplikasi yang diakibatkan seperti inflamasi pada konjungtiva, katarak, dan uveitis.

KEMOTERAPI
Selama beberapa tahun, telah banyak digunakan berbagai substansi untuk mencegah
kekambuhan pterygium setelah proses eksisi. Triethylene thiophosphoramide (thiothepa)
dikenal sebagai agen kemoterapi pertama yang digunakan. Kemudian, obat-obatan lain
ditemukan untuk menurunkan angka kekambuhan seperti doxorubicin dan steroid, hingga
yang terbaru adalah alkohol dan anti-VEGF. Dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan
bahwa level VEGF pada jaringan pterygium meningkat jika dibandingkan dengan
konjungtiva normal.
Pada umumnya pterygium yang mengalami kekambuhan memiliki bentuk yang lebih
agresif, sehingga hal ini mendorong berbagai peneliti untuk menemukan terapi tambahan
pada pasien pterygium untuk mencegah pertumbuhan pterygium di kemudian hari. Kini, obat
anti-VEGF yang paling banyak digunakan adalah mitomycin C dan 5-fluorouracil.

MITOMYCIN C
MMC adalah antibiotik-antineoplastik derivat dari Streptomyces caespitosus yang
berupa alkylating agent. MMC menginhibisi proliferasi dari fibroblas dan menekan
pertumbuhan vaskular. Penggunaan MMC pertama kali sebagai tatalaksana pterygium adalah
pada tahun 1963. Terdapat dua cara dalam menggunakan MMC, yaitu adalah dengan
menggunakan tetes mata, dan menggunakan spons yang telah direndam dalam MMC 0.02%
kemudian diaplikasikan langsung pada sklera selama 3-5 menit pasca eksisi. Namun,
penggunaan MMC sebagai terapi tambahan tidaklah tanpa risiko. Penggunaan MMC
dikaitkan dengan kerusakan stem sel yang iriversibel dan mengarah ke keratopati kronik dan
keratokonjungtivitis toksik. Selain itu juga dapat menyebabkan aseptik sklera nekrosis,
sklerokeratitis, dan glaukoma sekunder. Hal penting yang harus diingat dalam menggunakan
MMC adalah memonitor efek samping yang dapat timbul dalam beberapa bulan kedepan.

5-FLUOROURACIL
5-FU, sebuah analog pirimidine, menginhibisi sintesis DNA, juga menghambat
proliferasi sel fibroblas yang umumnya teraktivasi selama proses inflamasi. Sama seperti
MMC, 5-FU dapan digunakan dalam dosis tunggal, atau dapat dikombinasikan dengan
prosedur grafting setelah eksisi pterygium. Penggunaan 5-FU dikaitkan dengan lebih
rendahnya kejadian komplikasi, namun para ahli belum memutuskan keamanan penggunaan
5-FU dalam jangka panjang.

BEVACIZUMAB
Bevacizumad adalah rekombinan dari humanised murine monoclonal immunoglobulin
G1 yang menginhibisi isoform VEGF-A, stimulator utama dari angiogenesis. Dilaporkan
angka kekambuhan yang rendah pada pasien yang mendapatkan terapi bevacizumab. Secara
intraoperatif, bevacizumab digunakan sebagai injeksi subkonjungtiva, yang melumpuhkan
neovaskularisasi pada kornea dan konjungtiva. Metode ini dapat digunakan sendiri, atau
dikombinasikan dengan terapi argon laser. Bevacizumad yang digunakan secara topikal juga
dapat menghambat neovaskularisasi kornea.

LOTEPREDNOL ETABONATE
Pemahaman akan peran proses inflamasi dalam patogensis dan dalam masa
pembedahan pterygium mendorong penggunaan kortikestoroid selama beberapa tahun
terakhir. Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, loteprednol etabonate memiliki struktur
yang unik yang dapat penetrasi hingga membran sel. Sebagai tambahan, preparat ini memiliki
potensial kual terhadap reseptor glukokortikoid dimana obat yang terikat secara cepat
dikonversikan menjadi metabolit inaktif, mencegah efek samping yang tidak diinginkan
seperti peningkatan tekanan intraokular dan kataraktogenesis. Hingga kini, belum ada
penelitian lebih lanjut mengenai peran langsung dari loteprednol etabonate terhadap
pterygium.

PROSEDUR GRAFTING
Amniotic membrane graft dan conjunctival autograft telah menjadi standar dalam
tatalaksana pterygium bagi sebagian besar ahli bedah. Setelah proses eksisi, graft ini dapat diimplankan, atau dapat pula disertai dengan terapi tambahan lainnya. Metode yang lebih
digunakan saat ini adalah merekatkan graft dengan menggunakan fibrin glue. Keuntungan
yang didapatkan adalah berkurangnya inflamasi dan kekambuhan.

AMNIOTIC MEMBRANE GRAFT


Amniotic membrane terdiri dari tiga lapisan berbeda: lapisan epitel, basal membran,
dan stroma avaskular. Kegunaannya adalah perannya sebagai anti-inflamasi, anti-scarring,
dan anti-angiogenik, sehingga amniotic membrane ini sangat sesuai digunakan dalam terapi
pterygium. Amniotic membrane berperan sebagai alternatif konjungtiva dalam kasus dimana
terdapat kerusakan atau kehilangan konjungtiva dalam ukuran luas, sehingga dapat menutupi
sklera. Amniotic membrane juga tidak mengandung leukosit manusia sehingga tidak terdapat
risiko penolakan oleh tubuh. Keuntungan lain dalam transplantasi amniotic membrane ini
adalah durasi pembedahan yang singkat, rasa sakit yang ringan, penyembuhan yang lebih
cepat, dan pada umumnya memberikan hasil kosmetik yang lebih baik.

CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT
Selama tiga puluh tahun terakhir ini, conjunctival autograft tielah menjadi tatalaksana
yang paling efektif dalam mengatasi pterygium. Kekambuhan yang terjadi setelah proses ini
dilaporkan sebesar 0-39%. Angka kekambuhan dapat diturunkan dengan penggunaan fibrin
glue atau alkohol dalam masa eksisi, dan penutupan area sklera yang terbuka dengan
conjunvtival autograft. Penggunaan alat kauter yang minimal, memastikan graft bebas dari
tendon, dan menghilangkan sisa fibrin, merupakan faktor penting yang menentukan
kesuksesan prosedur ini.

KESIMPULAN
Perbandingan dalam berbagai penelitian sulit dilaksanakan akibat teknik eksisi,
durasi, dan jenis terapi tambahan yang digunakan. Namun, berbagai jenis terapi tambahan,
dan kombinasinya telah dapat diterima untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam hal
kekambuhan, kosmetik, dan kepuasan pasien. Sebagian besar ahli bedah percaya bahwa
penggunaan MMC dan conjunctival autograft memberikan hasil terbaik dan memuaskan.
Sementara itu, penggunaan anti-VEGF, steroid dan etanol, memiliki kemungkinan dapat
memperbaiki hasil eksisi pterygium dimasa mendatang jika penelitian lebih lanjut telah
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai