Anemia yang disebabkan oleh defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi dengan prevalensi
terbanyak di negara berkembang. Beberapa penelitian menunjukkan, defisiensi besi dapat
menyebabkan gangguan fungsi kognitif khususnya pada anak- anak. Oleh karena itu, intervensi pemberian zat besi yang efektif dapat meningkatkan status kesehatan anak dan balita.1 Prevalensi anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan lahan akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak anak akan lebih mudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh. Di negara berkembang seperti Indonesia penyakit cacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip harinya. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan, baik
sel tubuh
maupun
sel otak. 1
Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah,
letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi. Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu KKP (Kurang Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Gizi (kodyat, A,1993). Anemia defisiensi besi adalah berkurangnya produksi sel darah merah akibat perkurangnya kadar besi sebagai bahan pembentuk sel darah merah. Penyebabnya antara lain dikarenakan berkurangnya asupan zat besi, penurunan penyerapan zat besi, dan peningkatan penggunaan besi dalam tubuh. Untuk itu, pengidentifikasian secara dini dan juga pengelolaan yang tepat dapat mengurangi angka kecacatan anak yang disebabkan oleh defisiensi besi.2