Anda di halaman 1dari 17

Penyakit pulmonari obstruktif kronis (PPOK), dikenal juga sebagai, antara lain, penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit saluran udara obstruktif kronis (PSUOK),
adalah sejenis penyakit paru obstruktif yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang
kronis. Biasanya, kondisi ini akan bertambah buruk seiring dengan waktu. Gejala utamanya
antara lain adalah sesak napas, batuk, dan produksi sputum/lendir.[1] Kebanyakan
penderita bronkitis kronis juga menderita PPOK.[2]
Merokok tembakau adalah sebab paling utama dari PPOK, dan juga beberapa faktor lainnya
seperti polusi udara dan genetik yang turut berperan kecil.[3] Di negara-negara berkembang,
salah satu sumber polusi udara biasanya adalah api untuk memasak dan pemanas yang
berventilasi buruk. Jika terpapar penyebab iritasi ini dalam jangka waktu lama, akan
mengakibatkan reaksi inflamasi di paru-paru yang menyebabkan penyempitan saluran udara
dan rusaknya jaringan paru yang disebut sebagai emfisema.[4] Diagnonis ini adalah berdasarkan
terbatasnya aliran udara saat diukur dengan tes fungsi paru.[5] Berbeda dengan asma,
berkurangnya aliran udara tidak membaik secara signifikan ketika dilakukan pengobatan.
PPOK dapat dicegah dengan mengurangi peluang terpapar penyebab-penyebab yang telah
diketahui. Hal ini termasuk upaya untuk mengurangi rokok dan memperbaiki kualitas udara di
dalam dan luar ruangan. Penanganan PPOK terdiri dari: berhenti
merokok, vaksinasi, rehabilitasi, serta sering menghirup bronkodilator dan steroid. Sebagian
orang ada yang merasakan perbaikan karena terapi oksigen jangka panjang atau pencangkokan
paru.[4] Bagi mereka yang mengalami periode bertambah parah akut, mungkin perlu
meningkatkan penggunaan obat-obatan dan perawatan di rumah sakit.
Di dunia, PPOK mempengaruhi 329 juta orang atau hampir 5% dari populasi. Pada 2012, PPOK
menjadi penyebab kematian nomor tiga, membunuh lebih dari 3 juta orang.[6] Angka kematian ini
diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya jumlah perokok dan populasi manula di
banyak negara.[7] Hasilnya adalah kerugian ekonomi sekitar 2,1 triliun dolar pada 2010.[8]

Daftar isi
[sembunyikan]

1Tanda dan gejala


o

1.1Batuk

1.2Sesak Napas

1.3Gejala lainnya

1.4Eksaserbasi

2Penyebab
o

2.1Rokok

2.2Polusi udara

2.3Terpapar karena pekerjaan

2.4Genetis

2.5Lain-lain

2.6Eksaserbasi

3Patofisiologi

4Diagnosis
o

4.1Spirometri

4.2Keparahan

4.3Tes-tes lain

4.4Diagnosa diferensial

5Pencegahan
o

5.1Berhenti Merokok

5.2Kesehatan kerja

5.3Polusi udara

6Manajemen
o

6.1Latihan

6.2Bronkodilator

6.3Kortikosteroid

6.4Pengobatan lain

6.5Oksigen

6.6Bedah

6.7Eksaserbasi

7Prognosis

8Epidemiologi

9Sejarah

10Masyarakat dan kebudayaan


10.1Ekonomi

11Riset

12Hewan Lain

13Referensi

14Referensi lainnya

15Pranala luar

Tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]


Mengi
MENU
0:00

Suara mengi sebagaimana terdengar


lewat stetoskop.

Kesulitan mendengarkan berkas ini?


Lihat bantuan.

Gejala paling umum dari PPOK adalah produksi sputum, sesak napas dan batuk yang produktif.
[9]
Gejala-gejala ini muncul dalam jangka waktu yang lama[2] and dan biasanya bertambah parah
seiring waktu.[4] Tidak jelas apakah terdapat jenis-jenis PPOK yang berbeda. [3] Meski sebelumnya
dibagi menjadi emfisema dan bronkitis kronis, emfisema hanya merupakan gambaran dari
perubahan kondisi paru dan bukan penyakit itu sendiri, dan bronkitis kronis hanya merupakan
gambaran gejala yang mungkin timbul atau tidak timbul pada penderita PPOK. [1]

Batuk[sunting | sunting sumber]


Batuk kronis biasanya merupakan gejala pertama yang muncul. Saat batuk berlangsung selama
lebih dari tiga bulan setahun dalam lebih dari dua tahun, dikombinasikan dengan produksi
sputum dan tidak ada penjelasan lain, maka itu bisa didefinisikan sebagai bronkitis kronis.
Kondisi ini dapat terjadi sebelum PPOK berkembang penuh. Jumlah sputum yang dihasilkan
dapat berubah dalam beberapa jam atau hari. Dalam beberapa kasus, batuk mungkin tidak
muncul atau hanya terjadi sesekali dan bisa saja tidak produktif. Beberapa penderita PPOK
mengira gejala-gejala ini sebagai "batuk perokok". Sputum dapat ditelan atau dibuang, biasanya
tergantung faktor sosial dan budaya. Batuk-batuk hebat dapat menyebabkan retak tulang
iga atau kehilangan kesadaran secara singkat. Mereka yang menderita PPOK sering mengalami
"batuk pilek biasa" yang berlangsung lama.[9]

Sesak Napas[sunting | sunting sumber]


Sesak napas sering kali merupakan gejala yang dirasakan paling mengganggu. [10] Hal ini sering
kali digambarkan sebagai: "Saya membutuhkan usaha untuk bernapas," atau "Saya tidak dapat
menghirup cukup udara".[11] Istilah berbeda mungkin digunakan di budaya yang berbeda.
[9]
Umumnya, sesak napas bertambah buruk dalam tekanan, yang berlangsung lama, dan
bertambah parah seiring waktu.[9] Pada tahap lanjutan, hal ini berlangsung saat beristirahat dan
mungkin berlangsung terus menerus.[12][13] Hal ini merupakan sumber dari kegelisahan dan
kualitas hidup yang rendah yang dialami penderita PPOK.[9] Banyak penderita PPOK lanjutan
mengalami bernapas melalui bibir yang tertutup rapat dan tindakan ini dapat meredakan sesak
napas bagi sebagian orang.[14][15]

Gejala lainnya[sunting | sunting sumber]


Penderita PPOK mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk menghembuskan napas daripada
untuk menarik napas.[16] Sesak di dada mungkin dapat terjadi[9] namun bukan hal yang umum
dan dapat disebabkan masalah lain.[10] Mereka yang saluran udaranya terhalang mungkin
mengalami napas mengi atau suara udara masuk yang berkurang saat dada diperiksa dengan

menggunakan stetoskop.[16] Dada barel adalah tanda khusus dari PPOK, tapi bukan hal yang
umum.[16] Posisi tripoddapat terjadi saat penyakit bertambah parah.[2]
PPOK lanjutan akan menjadi tekanan tinggi pada arteri paru, yang menekan ventrikel kanan
jantung.[4][17][18] Situasi ini disebut sebagai kor pulmonale, dan akan menjadi
gejala pembengkakan kaki[9] dan pembengkakan vena leher.[4] PPOK merupakan penyebab lebih
umum dari kor pulmonale dibandingkan dengan penyakit paru lainnya.[17] Kor pulmonale semakin
jarang terjadi sejak penggunaan suplemen oksigen.[2]
PPOK sering terjadi bersamaan dengan beberapa kondisi lain, sebagian karena faktor risiko
yang sama.[3] Kondisi ini termasukpenyakit jantung iskhemik, tekanan darah tinggi, diabetes
mellitus, penyusutan otot, osteoporosis, kanker paru, gangguan keresahan dan depresi.[3] Bagi
mereka yang menderita penyakit ini secara kronis, perasaan selalu letih adalah hal yang umum.
[9]
Kuku jari bengkak bukan semata-mata gejala PPOK dan harus segera diselidiki akan
kemungkinan kanker paru.[19]

Eksaserbasi[sunting | sunting sumber]


eksaserbasi akut dari PPOK didefinisikan sebagai sesak napas bertambah parah, produksi
sputum semakin banyak, dan perubahan warna sputum dari bening menjadi hijau atau kuning,
atau batuk semakin parah yang dialami penderita PPOK.[16] Hal ini dapat disertai dengan tandatanda bertambah besarnya usaha untuk bernapas seperti napas cepat, detak jantung
cepat, berkeringat, penggunaan otot leher secara aktif, kulit membiru, serta kebingungan atau
prilaku agresif pada eksaserbasi parah.[16][20] Gemerisik juga mungkin terdengar dari paru-paru
saat pemeriksaan dengan stetoskop.[21]

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Penyebab utama PPOK adalah asap tembakau, dengan terpapar karena pekerjaan dan polusi
dari api dalam ruang sebagai penyebab signifikan di beberapa negara. [1]Biasanya, paparan
terjadi selama beberapa dekade sebelum gejalanya berkembang. [1] Komposisi genetik dalam diri
seseorang juga mempengaruhi risiko.[1]

Rokok[sunting | sunting sumber]

Persentase wanita perokok tembakau pada akhir 1900-an dan awal 2000-an

Persentase pria perokok tembakau pada akhir 1900-an dan awal 2000-an. Perhatikan bahwa skala yang
digunakan untuk wanita berbeda dari pria. [22]

Faktor risiko terbesar dari PPOK secara global adalah merokok tembakau.[1] Dari semua
perokok, 20% diantaranya akan menderita PPOK,[23] dan setengah dari para perokok seumur
hidup akan menderita PPOK.[24] Di Amerika Serikat dan Inggris, 80-95% dari mereka yang
menderita PPOK adalah perokok atau pernah menjadi perokok. [23][25][26] Kemungkinan terkena
PPOK akan meningkat seiring dengan paparan rokok total.[27] Kemudian, wanita lebih rentan
terhadap efek buruk dari rokok dibandingkan pria.[26] Bagi para non-perokok, merokok

pasif adalah penyebab dari 20% kasus PPOK.[25] Jenis-jenis rokok lainnya, seperti ganja, cerutu,
dan merokok dengan pipa, juga memiliki risiko.[1] Wanita yang merokok selama kehamilan akan
meningkatkan risiko terkena PPOK bagi anak mereka.[1]

Polusi udara[sunting | sunting sumber]


Api untuk memasak yang berventilasi buruk, kebanyakan berbahan bakar batu bara atau bahan
bakar biomasseperti kayu dan kotoran hewan, menghasilkan polusi udara dalam ruang dan
merupakan salah satu penyebab utama dari PPOK di negara-negara berkembang.[28] Api ini
merupakan metode memasak dan memanaskan untuk lebih dari 3 juta orang dan wanita
menderita dampak kesehatan yang lebih besar karena paparan yang lebih besar.[1][28] Bahan ini
digunakan sebagai sumber energi utama di 80% rumah-rumah di India, Cina, dan Afrika subSahara.[29]
Mereka yang hidup di kota besar memiliki tingkat PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang hidup di pedesaan.[30]Meskipun polusi udara di perkotaan merupakan faktor yang
berperan dalam eksaserbasi, perannya secara menyeluruh sebagai penyebab PPOK masih
belum jelas.ref name=GOLD2013Chp1/> Wilayah dengan kualitas udara luar ruang yang
rendah, termasuk dari gas buang, secara umum memiliki tingkat PPOK yang lebih tinggi.
[29]
Namun efek menyeluruh dalam kaitannya dengan merokok dianggap kecil.[1]

Terpapar karena pekerjaan[sunting | sunting sumber]


Paparan intensif dan dalam waktu lama terhadap debu, bahan kimia, dan asap di tempat kerja
dapat meningkatkan risiko PPOK baik untuk perokok maupun non-perokok. [31]Terpapar karena
pekerjaan dianggap sebagai penyebab dari 10-20% kasus PPOK.[32] Di Amerika Serikat, hal ini
dianggap terkait dengan lebih dari 30% kasus di antara mereka yang tidak pernah merokok, dan
mungkin mewakili risiko lebih besar di negara-negara yang tidak memiliki peraturan yang cukup.
[1]

Beberapa industri dan sumber telah terimplikasi, termasuk[29] tingkat debu yang tinggi di tambang
batu bara, tambang emas, dan industri tekstil katun, pekerjaan yang
melibatkankadmium dan isosianat, serta asap dari pengelasan.[31] Untuk profesi tertentu,
risikonya diramalkan setara dengan merokok setengah hingga dua bungkus rokok sehari.
[33]
Terpapar debu silika dapat pula menyebabkan PPOK, dengan risiko yang tak ada
hubungannya dengansilikosis.[34] Efek negatif dari terpapar debu dan terpapar asap rokok
sepertinya berdampak aditif atau lebih dari aditif.[33]

Genetis[sunting | sunting sumber]


Genetis juga berperan dalam perkembangan PPOK.[1] PPOK lebih sering terjadi di antara sanak
keluarga yang menderita PPOK dan perokok dibandingkan di antara penderita PPOK yang
perokok yang tidak memiliki hubungan keluarga .[1] Saat ini, satu-satunya faktor risiko yang dapat
diwarisi adalah kekurangan alfa 1-antitripsin (AAT).[35] Risikonya cukup tinggi khususnya jika
seseorang mengalami kekuranganalfa 1-antitripsin dan juga merokok.[35] Hal ini menjadi
penyebab 1-5% kasus[35][36] dan kondisi ini terdapat pada sekitar 3-4 dari 10.000 orang.[2] Faktorfektor genetis lain masih dalam penyelidikan,[35] yang kemungkinan akan banyak ditemukan.[29]

Lain-lain[sunting | sunting sumber]


Beberapa faktor lainnya tidak cukup erat terkait dengan PPOK. Risikonya lebih besar di
kalangan mereka yang miskin, meskipun tidak jelas apakah hal ini disebabkan
karena kemiskinan itu sendiri atau faktor-faktor lain yang terkait dengan kemiskinan, seperti
polusi udara dan malagizi.[1] Terdapat bukti tentatif bahwa mereka yang menderita asma dan
hiperaktivitas saluran udara memiliki risiko PPOK yang lebih tinggi. [1] Faktor-faktor kelahiran
seperti berat lahir rendah juga memainkan peran sebagaimana sejumlah penyakit menular
termasuk HIV/AIDS dan tuberkulosis.[1] Infeksi pernapasan seperti pneumonia sepertinya tidak
meningkatkan risiko PPOK, paling tidak pada orang dewasa.[2]

Eksaserbasi[sunting | sunting sumber]

Eksaserbasi akut (gejala yang tiba-tiba memburuk)[37] biasanya dipicu oleh infeksi atau polutan
lingkungan, atau terkadang karena faktor-faktor lain seperti penggunaan obat-obatan yang
kurang tepat.[38] Infeksi merupakan sebab dari 50-75% kasus,[38][39] dengan bakteri dalam 25%,
virus dalam 25%, dan keduanya dalam 25% kasus.[40] Polutan lingkungan terdiri dari baik kualitas
udara dalam ruang atau luar ruang.[38] Terpapar asap rokok sendiri atau asap perokok lain juga
meningkatkan risiko.[29] Suhu dingin juga berperan, dengan eksaserbasi yang lebih sering terjadi
pada musim dingin.[41] Mereka yang menderita penyakit parah yang telah ada sebelumnya
mengalami eksaserbasi lebih sering: yang berpenyakit ringan 1,8 per tahun, menengah 2 hingga
3 per tahun, dan parah 3,4 per tahun.[42] Mereka yang sering mengalami eksaserbasi akan
mengalami kerusakan fungsi paru dengan lebih cepat. [43] Emboli pulmonari (penggumpalan
darah di paru-paru) akan memperburuk gejala bagi mereka yang telah menderita PPOK. [3]

Patofisiologi[sunting | sunting sumber]

Di sebelah kiri adalah diagram paru-paru dan saluran udara dengan inset yang menunjukkan tampanglintang yang mendetail dari bronkiole dan alveoliyang normal. Di sebelah kanan adalah paru-paru yang
rusak karena PPOK dengan inset yang menunjukkan tampang-lintang dari bronkiole dan alveoli yang rusak

PPOK adalah sejenis penyakit paru obstruktif yang terjadi saat terdapat aliran udara yang buruk
yang tak dapat diperbaiki secara menyeluruh dan kronis serta terjadi ketidakmampuan untuk
menghembuskan napas secara penuh (memerangkap udara). [3] Aliran air yang buruk merupakan
akibat dari rusaknya jaringan paru (dikenal sebagai emfisema) dan penyakit saluran udara kecil
yang dikenal sebagai bronkiolitis obstruktif. Kontribusi relatif dari dua faktor ini bervariasi dari
orang ke orang.[1] Kerusakan saluran udara kecil yang parah dapat mengakibatkan terbentuknya
kantung-kantung udara yang besar yang disebut sebagai bulayang menggantikan jaringan
paru. Jenis penyakit ini disebut sebagai emfisema bula.[44]

Mikrografis menggambarkan emfisema (kiri - ruang kosong yang luas) dan jaringan paru dengan sisa-sisa
alveoli (kanan).

PPOK berkembang sebagai reaksi inflamasi kronis akibat menghirup bahan-bahan penyebab
iritasi .[1] Infeksi bakteri kronis juga dapat memperparah inflamasi ini. [43] Sel-sel yang meradang
termasukgranulosit neutrofil dan makrofas, dua jenis sel darah putih. Mereka yang merokok
mengalami keterlibatan Tc1 limfosit dan mereka yang menderita PPOK mengalami
keterlibatan eosinofil yang mirip dengan yang ada pada asma. Sebagian dari reaksi sel ini
disebabkan oleh mediator peradangan seperti faktor kemotaksis. Proses lainnya yang berperan
dalam kerusakan paru adalah tekanan oksidatif yang dihasilkan karena adanya konsentrasi
tinggi dari radikal bebas dalam asap tembakau dan dibebaskan oleh sel yang terinflamasi, dan

hancurnya jaringan penghubung paru-paru oleh protease yang kurang


mengandung penghambat protease. Hancurnya jaringan penghubung di paru-paru akan
mengakibatkan emfisema, yang kemudian menyebabkan buruknya aliran udara, dan pada
`akhirnya, buruknya penyerapan dan pelepasan gas-gas pernapasan. [1] Penyusutan otot secara
umum yang sering terjadi pada PPOK sebagian mungkin dikarenakan mediator inflamasi yang
dilepaskan paru-paru ke dalam darah.[1]
Penyempitan saluran udara terjadi karena inflamasi dan parut di dalamnya. Hal ini menyebabkan
kesulitan saat menghembuskan napas dengan sepenuhnya. Pengurangan aliran udara terbesar
terjadi saat menghembuskan napas, karena tekanan di dada menekan saluran udara pada saat
itu.[45] Hal ini berakibat udara dari tarikan napas sebelumnya tetap berada di dalam paru-paru
sementara tarikan napas berikutnya telah dimulai. Hasilnya adalah peningkatan volume total
udara di dalam paru-paru yang dapat terjadi kapan saja, sebuah proses yang disebut
sebagai hiperinflasi atau terperangkapnya udara.[45][46] Hiperinflasi karena olah raga terkait
dengan sesak napas di PPOK, karena menghirup napas saat paru-paru terisi setengah penuh
terasa kurang nyaman.[47]
Beberapa orang juga mengalami sedikit gejala hiperresponsif saluran udara terhadap penyebab
iritasi yang sama dengan yang ditemukan pada asma.[2]
Tingkat oksigen rendah dan, akhirnya, tingginya tingkat karbon dioksisa di darah dapat terjadi
karena pertukaran udara yang buruk akibat berkurangnya ventilasi karena obstruksi saluran
udara, hiperinflasi, dan berkurangnya keinginan untuk bernapas.[1] Selama eksaserbasi, inflamasi
saluran udara akan meningkat, sehingga hiperinflasi meningkat, aliran udara pernapasan
berkurang, dan transfer gas semakin buruk. Hal ini juga akan mengakibatkan tidak cukupnya
ventilasi, dan akhirnya, tingkat oksigen dalam darah yang rendah.[4] Tingkat oksigen rendah, jika
dialami dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan penyempitan arteri di paru-paru,
sementara emfisema mengakibatkan rusaknya kapilari di paru-paru. Kedua perubahan ini
berakibat meningkatnya tekanan darah di arteri pulmonari, yang dapat menyebabkan kor
pulmonale.[1]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]

Seseorang meniup spirometer. Perangkat genggam yang lebih kecil tersedia untuk penggunaan di ruang
kerja.

Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada siapa pun yang berusia lebih dari 35 hingga 40
tahun yang mengalami sesak napas, batuk kronis, produksi sputum, atau batuk pilek musim
dingin yang sering, serta memiliki sejarah terpapar faktor-faktor risiko dari penyekit tersebut. [9]
[10]
Spirometri kemudian dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis. [9][48]

Spirometri[sunting | sunting sumber]


Spirometri mengukur jumlah obstruksi aliran udara yang terjadi dan umumnya digunakan setelah
penggunaan bronkodilator, pengobatan yang membuka saluran udara.[48] Dua komponen utama
diukur untuk membuat diagnosis: volume pernapasan paksa dalam dua detik (FEV 1), yaitu
volume terbesar udara yang dihembuskan ke luar dalam detik pertama hembusan napas,
dan kapasital vital paksa (KVP/FVC), yaitu volume udara terbesar yang dapat dihembuskan
dalam satu hembusan napas besar.[49] Normalnya, 75-80% FVC ke luar dalam satu detik

pertama[49] dan FEV1/rasio KVP yang kurang dari 70% pada seseorang yang memiliki gejalagejala PPOK menandakan bahwa orang tersebut menderita PPOK. [48] Berdasarkan pengukuran
ini, spirometri akan menyebabkan diagnosis-berlebih akan PPOK di kalangan manula. [48] Kriteria
dariNational Institute of Clinical Excellence menambah satu diagnosa lagi berupa FEV1 yang
kurang dari 80% dari yang diperkirakan.[10]
Bukti dengan menggunakan spirometri untuk mereka yang tidak memiliki gejala sebagai
upaya diagnosa kondisi secara dini tidak memiliki efek yang jelas dan karena itu tidak
direkomendasikan pada saat ini.[9][48] Aliran ekspiratori puncak (kecepatan maksimum ekspirasi),
yang biasa digunakan untuk asma, tidak cukup untuk mendiagnosis PPOK. [10]

Keparahan[sunting | sunting sumber]


Skala sesak nafas MRC [10]

Peringkat

Aktivitas yang terpengaruh

Hanya aktivitas berat

Jalan cepat

Dengan jalan biasa

Setelah beberapa menit jalan

Dengan ganti pakaian

GOLD grade[9]

Keparahan

FEV1 % diprediksikan

Ringan (EMAS 1)

80

Sedang (EMAS 2)

5079

Parah (EMAS 3)

3049

Amat parah (EMAS 4)

<30 or gagal nafas kronis

Ada sejumlah metode untuk menentukan seberapa COPD mempengaruhi individu tertentu.
[9]
Kuesioner (mMRC) yang sudah dimodifikasi Badan Riset Medis Inggris atau uji penilaian
COPD (CAT) adalah kuesioner sederhana yang bisa digunakan untuk menentukan keparahan
gejala-gejala penyakit.[9] Angka-angka pada CAT berkisar antara 040 di mana semakin tinggi
angkanya, semarin parah penyakitnya.[50] Spirometri bisa membantu menentukan keparahan
pembatasan aliran udara.[9] Ini biasanya berdasarkan pada FEV1 yang ditunjukkan sebagai
persentase dari yang diperkirakan "normal" untuk usia, jenis kelamin, tinggi dan berat orang itu.
[9]
Baik panduan Amerika maupun Eropa yang direkomendasikan mendasarkan sebagian
pengobatan pada rekomendasi-rekomendasi yang terdapat pada FEV1.[48] Panduan EMAS
menyarankan pembagian orang menjadi empat kategori berdasarkan pengkajian gejala-gejala
penyakit dan pembatasan aliran udara.[9] Penurunan berat badan dan kelemahan otot, serta
adanya penyakit-penyakit lain, juga harus ikut dipertimbangkan. [9]

Tes-tes lain[sunting | sunting sumber]


Rontgen dada dan hitung darah lengkap bisa berguna untuk mengesampingkan kondisi-kondisi
lain pada saat penyakit di diagnosa.[51] Tanda-tanda karakteristik pada rontgen adalah paru-paru
membesar, diafragma mengempis, rongga udara retrosternal meningkat, dan bullae yang bisa
membantu mengesampingkan penyakit paru-paru lain, seperti pneumonia, edema paruparu atau pneumotoraks.[52] Hasil pindai tomografi komputer dari dada bisa menunjukkan
distribusi emfisema di seluruh paru-paru dan bisa juga berguna untuk mengesampingkan
penyakit paru-paru lain.[2] Namun, kecuali operasi bedah sudah direncanakan, ini jarang
mempengaruhi manajemen.[2] Sebuahanalisa darah arteri digunakan untuk menentukan
kebutuhan oksigen; ini direkomendasikan bagi mereka yang FEV-nya 1 kurang dari 35% yang
diprediksikan, mereka yang saturasi oksigen periferalnya kurang dari 92% dan mereka yang
memiliki gejala gagal jantung kongestif.[9] Di wilayah dunia di mana kekurangan antitripsin alfa-1
biasa ditemukan, penderita COPD (terutama mereka yang di bawah usia 45 dan menderita
emfisema yang menyerang bagian bawah paru-paru) harus dipertimbangkan untuk tes. [9]

Chest X-ray demonstrating severe COPD. Note the small heart size in comparison to the lungs.

A lateral chest x-ray of a person with emphysema. Note the barrel chest and flat diaphragm.

Lung bulla as seen on CXR in a person with severe COPD

A severe case of bullous emphysema

Axial CT image of the lung of a person with end-stage bullous emphysema.

Diagnosa diferensial[sunting | sunting sumber]


COPD mungkin perlu dibedakan dari penyebab-penyebab lain dari sesak nafas seperti gagal
jantung kongestif, embolisme paru-paru, pneumonia atau pneumotoraks. Banyak orang yang
menderita COPD secara keliru dikira menderita asma.[16] Perbedaan antara asma dan COPD
dibuat berdasarkan gejala-gejalanya, riwayat merokok, dan apakah pembatasan aliran udara
bisa dipulihkan dengan bronkodilator di spirometri.[53] Tuberkulosis bisa juga muncul dengan
batuk kronis dan harus diperhatikan di lokasi-lokasi di mana penyakit ini umum ditemukan.
[9]
Kondisi-kondisi yang tidak begitu umum juga bisa muncul termasuk displasia
bronkopulmonari dan bronkiolitis obliteratif.[51] Bronkitis kronis bisa muncul dengan aliran udara
normal dan dalam situasi ini tidak diklasifikasikan sebagai COPD. [2]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]


Kebanyakan kasus COPD berpotensi untuk bisa dicegah melalui penurunan paparan terhadap
asap dan peningkatan kualitas udara.[29] Vaksinasi flu tahunan pada mereka yang menderita
COPD menurunkan keparahan, lamanya rawat inap dan kematian. [54][55] Vaksin
pneumokokal bisa juga bermanfaat.[54]

Berhenti Merokok[sunting | sunting sumber]


Mencegah orang agar tidak mulai merokok adalah aspek utama dari pencegahan COPD.
[56]
kebijakan-kebijakan dari pemerintah, badan-badan kesehatan umum dan organisasiorganisasi anti rokok bisa menurunkan tingkat merokok dengan mencegah orang agar tidak
mulai merokok dan menganjurkan orang untuk berhenti merokok. [57]Larangan merokokdi tempattempat umum dan tempat kerja adalah sarana penting untuk menurunkan paparan asap

sekunder. Walaupun banyak tempat sudah menerapkan larangan merokok, dianjurkan agar lebih
banyak lagi.[29]
Di kalangan mereka yang merokok, berhenti merokok adalah satu-satunya cara yang terbukti
untuk memperlambat memburuknya COPD.[58] Bahkan pada tahap lanjut dari penyakit ini,
berhenti merokok bisa menurunkan tingkat memburuknya fungsi paru-paru dan memperlambat
serangan awal kecacatan dan kematian.[59] Penghentian merokok mulai dengan keputusan untuk
berhenti merokok, kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk berhenti. Sering beberapa upaya
diperlukan sebelum pantang jangka panjang tercapai. [57] Upaya melebihi 5 tahun membawa
kesuksesan dalam hampir 40% orang.[60]
Beberapa perokok bisa berhasil berhenti merokok jangka panjang melalui tekad yang keras.
Namun merokok sangat adiktif,[61] dan banyak perokok memerlukan bantuan lebih lanjut.
Kesempatan untuk berhenti meningkat dengan dukungan sosial, keterlibatan dalam program
penghentian merokok dan penggunaan obat-obatan seperti terapi penggantian
nikotin, bupropion atau vareniklin.[57][60]

Kesehatan kerja[sunting | sunting sumber]


Sejumlah tindakan sudah diambil untuk menurunkan kemungkinan pekerja di industri-industri
yang berisiko - seperti pertambangan batubara, konstruksi dan batu bata - terserang COPD.
[29]
Contoh-contoh dari tindakan pencegahan ini termasuk: pembuatan kebijakan umum,
[29]
pendidikan pekerja dan manajemen risiko, mempromosikan penghentian
merokok, pemeriksaan pekerja apakah ada tanda-tanda awal COPD, dan
penggunaan respirator, dan pengontrolan debu.[62][63] Pengontrolan debu yang efektif bisa dicapai
dengan memperbaiki ventilasi, menggunakan semprotan air dan dengan menggunakan teknikteknik pertambangan yang meminimalkan timbulnya debu. [64] Bila seorang pekerja terserang
COPD, kerusakan paru-paru selanjutnya bisa diturunkan dengan menghindari paparan debu
yang berkelanjutan, misalnya dengan mengubah peran kerjanya.[65]

Polusi udara[sunting | sunting sumber]


Kualitas udara di dalam atau di luar ruang bisa ditingkatkan, yang bisa mencegah COPD atau
memperlambat penyakit yang sudah ada.[29] Ini bisa dicapai dengan upaya kebijakan umum,
perubahan budaya, dan keterlibatan pribadi.[66]
Sejumlah negara maju sudah berhasil meningkatkan kualitas udara luar melalui peraturanperaturan. Ini menghasilkan peningkatan dalam fungsi paru-paru penduduknya. [29]Penderita
COPD bisa mengalami lebih sedikit gejala-gejala penyakit bila mereka tinggal di dalam ruangan
saat kualitas udara luar buruk.[4]
Satu upaya penting adalah menurunkan paparan terhadap asap dari bahan bakar untuk
memasak dan pemanas melalui ventilasi rumah yang lebih baik serta kompor dan cerobong
asap yang lebih baik.[66] Kompor yang tepat bisa meningkatkan kualitas udara dalam ruang
hingga 85%. Penggunaan sumber energi alternatif seperti memasak dengan panel surya dan
pemanas listrik efektif, demikian juga penggunaan bahas bakar seperti minyak tanah dan
batubara dibandingkan penggunaan biomassa.[29]

Manajemen[sunting | sunting sumber]


Belum ada obat untuk menyembuhkan COPD yang diketahui, tetapi gejala-gejala bisa diobati
dan perkembangannya diperlambat.[56] Tujuan utama dari manajemen adalah untuk menurunkan
faktor-faktor risiko, mengelola COPD yang stabil, mencegah dan mengobati eksarsebasi akut,
dan menangani penyakit-penyakit terkait.[4] Satu-satunya cara yang terbukti menurunkan
mortalitas adalah penghentian merokok dan pemberian suplemen oksigen. [67] Berhenti merokok
menurunkan risiko kematian hingga 18%.[3]Rekomendasi lain termasuk: vaksinasi flu setahun
sekali, vaksinasi pneumokokal sekali setiap 5 tahun, dan penurunan paparan terhadap polusi
udara lingkungan.[3] Bagi mereka yang menderita penyakit tahap lanjut, perawatan paliatif bisa
menurunkan gejala-gejala, dengan morfin memperbaiki rasa sesak nafas. [68] Ventilasi
noninvasif bisa digunakan untuk mendukung pernafasan.[68]

Latihan[sunting | sunting sumber]


Rehabilitasi paru-paru adalah sebuah program latihan, pengelolaan penyakit dan konseling,
yang dikoordinasikan agar bermanfaat bagi individu.[69] Bagi mereka yang baru saja mengalami
eksaserbasi, rehabilitasi paru-paru tampaknya meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan
berlatih secara keseluruhan, dan menurunkan mortalitas.[70]Program ini juga sudah terbukti
meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan penyakitnya, serta emosinya.
[71]
Latihan bernafas itu sendiri tampaknya terbatas peranannya.[15]
Kekurangan atau kelebihan berat badan kurang bisa mempengaruhi gejala-gejala penyakit,
tingkat kecacatan dan prognosis COPD. Penderita COPD yang kekurangan berat badan bisa
meningkatkan kekuatan otot pernafasannya dengan menaikkan asupan kalorinya. [4] Bila
digabungkan dengan latihan rutin atau sebuah program rehabilitasi paru-paru, ini bisa
memperbaiki gejala-gejala COPD. Nutrisi suplemen bisa berguna bagi mereka yang kekurangan
gizi.[72]

Bronkodilator[sunting | sunting sumber]


Bronkodilator hirup adalah pengobatan utama yang digunakan [3] dan manfaat keseluruhannya
kecil.[73] Ada dua jenis utama, 2 agonis dan antikolinergik; keduanya tersedia dalam bentuk
bekerja jangka panjang dan jangka pendek. Bronkodilator menurunkan sesak nafas, suara
mengi dan keterbatasan latihan, sehingga menghasilkan peningkatan kualitas hidup.[74] Tidak
jelas apakah pengobatan itu mengubah perkembangan penyakit yang mendasarinya. [3]
Bagi mereka yang menderita penyakit ringan, obat-obatan kerja pendek direkomendasikan
berdasarkan sesuai keperluan.[3] Bagi mereka yang menderita penyakit yang lebih parah, obatobatan kerja panjang direkomendasikan.[3] Bila bronkodilator kerja panjang tidak memadai,
kortikosteroid hirup biasanya ditambahkan.[3] Dalam kaitannya dengan obat-obatan kerja
panjang, tidak jelas apakah tiotropium (antikolinergik kerja panjang) atau beta agonis kerja
panjang(LABA) lebih baik, dan mungkin sebaiknya masing-masing dicoba dan yang bekerja
paling baik diteruskan.[75] Kedua jenis pengobatan tampaknya menurunkan risiko eksaserbasi
akut hingga 15-25%.[3] Walaupun penggunaan kedua jenis obat bersamaan bisa menawarkan
faedah, faedah ini, bila ada, maknanya diragukan.[76]
Ada beberapa 2 agonis kerja pendek yang tersedia termasuk salbutamol (Ventolin)
dan terbutalin.[77] Obat-obat itu meringankan gejala-gejala penyakit selama empat hingga enam
jam.[77] 2 Agonis kerja panjang seperti salmeterol dan formoterol sering digunakan sebagai
terapi pemeliharaan. Beberapa orang merasa bukti faedah terbatas [78]sementara yang lain
memandang faedahnya sudah terbukti.[79][80] Penggunaan jangka panjang tampaknya aman
dalam COPD[81] dengan efek-efek samping termasuk gemetar dan palpitasi jantung.[3] Bila
digunakan dengan steroid hirup, pengobatan ini meningkatkan risiko pneumonia. [3] Walaupun
steroid dan LABA bisa bekerja lebih baik bersama,[78] tidak jelas apakah faedah kecil ini
manfaatnya melebihi peningkatan risiko-risikonya. [82]
Ada dua antikoligernik utama yang digunakan dalam COPD, ipratropium dan tiotropium.
Ipratropium adalah obat kerja pendek sedangkan tiotropium kerja panjang. Tiotropium dikaitkan
dengan penurunan eksaserbasi dan peningkatan kualitas hidup,[76] dan tiotropium memberikan
manfaat itu lebih baik daripada ipratropium.[83] Ini tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas atau
tingkat rawat inap keseluruhan.[84] Antikolinergik bisa menyebabkan mulut kering dan gejalagejala penyakit saluran kencing.[3] Antikoligernik juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
penyakit jantung dan stroke.[85][86] Aklidinium, obat kerja panjang lain yang muncul di pasar dalam
tahun 2012, digunakan sebagai alternatif untuk tiotropium. [87][88]

Kortikosteroid[sunting | sunting sumber]


Kortikosteroid biasanya digunakan dalam bentuk obat hirup tetapi juga bisa digunakan sebagai
tablet untuk mengobati dan mencegah eksaserbasi akut. Walaupun kortikosteroid hirup (ICS)
tidak menunjukkan manfaat bagi penderita COPD ringan, obat itu menurunkan aksersebasi akut
bagi mereka yang menderita COPD sedang atau parah. [89] Bila digunakan dalam kombinasi
dengan LABA, pengobatan itu menurunkan mortalitas lebih dari ICS atau LABA yang digunakan
sendiri.[90] Bila digunakan sendiri, pengobatan itu tidak berpengaruh pada mortalitas satu tahun

keseluruhan dan dikaitkan dengan peningkatan level pneumonia.[67] Tidak jelas apakah
pengobatan itu mempengaruhi perkembangan penyakit. [3] Pengobatan kerja panjang dengan
tablet steroid dikaitkan dengan efek samping yang penting. [77]

Pengobatan lain[sunting | sunting sumber]


Antibiotik kerja panjang, terutama yang berasal dari kelas makrolid seperti eritromisin,
menurunkan frekuensi eksaserbasi dari mereka yang mengalami serangan COPD dua kali atau
lebih dalam setahun.[91][92] Praktik ini mungkin hemat biaya di beberapa wilayah dunia.
[93]
Kekuatirannya termasuk adanya resistensi antibiotik dan gangguan pendengaran
dengan azitromisin.[92] Metilxantin seperti teofilin biasanya menyebabkan lebih banyak kerugian
daripada keuntungan dan oleh karena itu biasanya tidak direkomendasikan, [94] tapi bisa
digunakan sebagai pengobatan baris kedua bagi yang tidak bisa dikendalikan dengan
pengobatan lain.[4] Mukolitik bisa berguna bagi beberapa penderita yang memiliki lendir kental
tapi pada umumnya tidak diperlukan.[54] Obat batuk tidak dianjurkan.[77]

Oksigen[sunting | sunting sumber]


Oksigen suplemen direkomendasikan bagi mereka yang level oksigennya rendah saat
beristirahat(tekanan parsial oksigen kurang dari 5055 mmHg atau saturasi oksigen kurang dari
88%).[77][95] Dalam kelompok orang ini, terapi itu menurunkan risiko gagal jantung dan kematian
bila digunakan 15 jam per hari[77][95] dan bisa meningkatkan kemampuan orang untuk
berolahraga.[96] Bagi mereka yang level oksigennya normal atau sedikit rendah, suplementasi
oksigen bisa memperbaiki sesak nafas.[97] Ada risiko kebakaran dan sedikit manfaat bila mereka
yang menjalani terapi oksigen terus merokok.[98] Dalam situasi ini beberapa merekomendasikan
agar terapi ini tidak digunakan.[99]Selama eksaserbasi akut, banyak yang memerlukan terapi
oksigen; penggunaan oksigen konsentrasi tinggi tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen
seseorang bisa menyebabkan peningkatan level karbon dioksida dan hasil-hasilnya diperburuk.
[100][101]
Bagi mereka yang risikonya tinggi terhadap level karbon dioksida yang tinggi, saturasi
oksigen sebesar 8892% direkomendasikan, sementara bagi mereka yang tidak berisiko, level
yang direkomendasikan adalah 94-98%.[101]

Bedah[sunting | sunting sumber]


Bagi mereka yang penyakitnya amat parah bedah kadang-kadang membantu dan bisa
termasuk pencangkokan paru-paru atau bedah penurunan volume paru-paru.[3] Bedah
penurunan volume paru-paru melibatkan penghilangan bagian-bagian paru-paru yang paling
rusak karena emfisema sehingga membiarkan sisanya, yang masih relatif baik, untuk
berekspansi dan bekerja lebih baik.[77] Pencangkokan paru-paru kadang-kadang dilakukan untuk
COPD yang amat parah, terutama pada individu yang lebih muda. [77]

Eksaserbasi[sunting | sunting sumber]


Eksaserbasi akut biasanya diobati dengan meningkatkan penggunaan bronkodilator kerja
pendek.[3] Ini pada umumnya memasukkan kombinasi beta agonis hirup kerja pendek dan
antikolinergik.[37] Pengobatan ini bisa diberikan baik melalui inhaler dengan dosis
terukur dengan spacer atau melalui nebulizer, keduanya tampaknya sama-sama efektif.
[37]
Nebulisasi mungkin lebih mudah bagi mereka yang kondisinya lebih tidak sehat. [37]
Kortikosteroid oral meningkatkan kesempatan penyembuhan dan menurunkan durasi
keseluruhan gejala-gejala penyakit.[3][37] bagi mereka yang menderita eksaserbasi parah,
antibiotic meningkatkan hasil-hasil.[102] Berbagai jenis antibiotik bisa digunakan
termasuk: amoksisilin, doksisiklin atau azitromisin; tidak jelas apakah salah satu lebih baik dari
yang lain.[54] Tidak ada bukti jelas bagi mereka yang penyakitnya tidak begitu parah. [102]
Ventilasi tekanan positif non-invasif bagi mereka yang level CO2-nya meningkat secara akut
(gagal pernafasan tipe 2) menurunkan probabilitas kematian dari atau perlunya perawatan
intensif untuk ventilasi mekanis.[3] Sebagai tambahan, teofilin mungkin berperan bagi mereka
yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lain.[3] Kurang dari 20% eksaserbasi
memerlukan rawat inap di rumah sakit.[37] Bagi mereka yang tidak mengalami asidosis dari gagal

pernafasan, perawatan di rumah ("rumah sakit di rumah") mungkin bisa membantu menghindari
rawat inap.[37][103]

Prognosis[sunting | sunting sumber]

Tahun hidup kecacatan yang disesuaikan untuk penyakit paru-paru obstruktif kronis per 100.000 penduduk
dalam tahun 2004.[104]
no data
110
110220
220330
330440
440550
550660

660770
770880
880990
9901100
11001350
1350

COPD biasanya memburuk dengan berjalannya waktu dan bisa berakhir dengan kematian.
Diperkirakan 3% dari semua kecacatan dikaitkan dengan COPD.[105] Proporsi kecacatan dari
COPD secara global telah menurun dari tahun 1990 hingga 2010 karena peningkatan kualitas
udara dalam ruang terutama di Asia.[105] Namun, jumlah keseluruhan tahun hidup dengan
kecacatan dari COPD meningkat.[106]
Tingkat memburuknya COPD berbeda-beda bergantung pada adanya faktor yang
memperkirakan hasil buruk termasuk: gangguan parah di saluran napas, lemahnya kemampuan
untuk berolah raga, napas pendek, berat badan berkurang atau bertambah secara drastis, gagal
jantung kongestif, kebiasaan merokok, dan gejala sakit mendadak yang sering terjadi.[4] Hasil
jangka panjang pada COPD dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks BODE yang
memberikan nilai mulai dari nol hingga sepuluh bergantung pada FEV 1, indeks massa tubuh,
jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki selama enam menit, dan skala dispnea MRC
yang dimodifikasi.[107] Berkurangnya berat badan secara signifikan merupakan tanda yang buruk.
[2]
Hasil spirometri juga merupakan penanda baik untuk perkiraan kemajuan selanjutnya dari
penyakit ini meskipun tidak sebagus indeks BODE.[2][10]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]


Secara global, sejak 2010, COPD memengaruhi sekitar 329 juta orang (4,8% dari populasi
dunia) dan lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. [106] Perbandingan ini adalah
yang dilakukan di antara 64 juta yang terpengaruh COPD pada 2004.[108] Kenaikan jumlah di
negara-negara berkembang yang terjadi antara 1970 dan 2000-an diyakini terkait dengan
semakin tingginya perilaku merokok di wilayah ini, populasi yang meningkat dan populasi yang
menua yang disebabkan karena berkurangnya kematian karena akibat lain seperti penyakitpenyakit menular.[3] Angka prevalensi COPD ini meningkat di beberapa negara maju, dan di
beberapa negara maju lainnya stabil dan menurun.[3] Jumlah global diperkirakan akan terus
meningkat karena faktor risiko masih sama dan populasi semakin menua. [56]
Antara 1990 dan 2010 angka kematian yang disebabkan oleh COPD sedikit menurun dari
3,1 juta menjadi 2,9 juta.[109] Secara umum COPD menjadi penyebab ke empat kematian
tertinggi.[3] Di beberapa negara, mortalitas menurun pada laki-laki, namun meningkat pada
perempuan.[110] Kemungkinan terbesarnya adalah karena angka merokok pada perempuan dan
laki-laki semakin mirip.[2] COPD lebih banyak terjadi pada orang tua;[1] ini berdampak pada 34200 dari 1000 orang yang berusia lebih dari 65 tahun, bergantung pada populasi yang dilihat.[1][52]

Di Inggris, kira-kira 0,84 juta orang (dari 50 juta) terdiagnosis mengalami COPD; yang berarti
sekitar satu dari 59 orang terdiagnosis COPD semasa hidupnya. Di wilayah dengan kondisi
sosioekonomi yang paling rendah di Inggris, satu dari 32 orang terdiagnosis COPD,
dibandingkan dengan satu di antara 98 di wilayah yang paling kaya. [111] Di Amerika Serikat,
sekitar 6,3% dari populasi dewasa, dari sekitar 15 juta orang, telah terdiagnosis terkena COPD.
[112]
25 juta orang mungkin terkena COPD jika kasus yang tidak terdiagnosis diperhitungkan.
[113]
Pada 2011, terdapat sekitar 730.000 rawat inap pasien COPD di Amerika Serikat. [114]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Giambattista Morgagni merupakan salah seorang yang membuat deskripsi yang tercatat tentang
emphysema pada 1769

Kata "emphysema" berasal dari Greek emphysan berarti "menggelembung" dengan


sendirinya terdiri dari en, berarti "di dalam", dan physan, berarti "napas, ledakan".
[115]
Istilah bronkitis kronik mulai digunakan pada 1808[116] sedangkan istilah COPD dipercayai
pertama kali digunakan pada 1965.[117] Sebelumnya penyakit ini dikenal dengan beberapa nama
termasuk: penyakit chronic obstructive bronchopulmonary, penyakit pernapasan obstruktif kronis,
gangguan saluran napas kronis, keterbatasan saluran napas kronis, penyakit paru obstruktif
kronis, penyakit pernapasan kronis nonspesifik, dan sindrom pernapasan obstruktif difus. Istilah
bronkitis kronis dan emfisema kemudian secara formal didefinisikan pada 1959 dalam
simposium tamu CIBA dan pada 1962 dalam pertemuan KomisiAmerican Thoracic
Society tentang Standar Diagnostik.[117]
Deskripsi awal tentang kemungkinan emphysema termasuk: pada 1679 oleh T. Bonet tentang
kondisi dari "paru-paru bervolume" dan pada 1769 oleh Giovanni Morgagni tentang paru-paru
yang "pembengkakan khususnya karena udara". [117][118] Pada 1721 sketsa pertama tentang
emphysema dibuat oleh Ruysh.[118] Selanjutnya, ini diikuti foto yang dibuat oleh Matthew
Baillie pada 1789 dan deskripsi tentang ciri destruktif dari kondisi. Pada 1814 Charles
Badham menggunakan "catarrh" untuk menggambarkan batuk dan lendir berlebihan yang terjadi
saat bronkitis kronis. Ren Laennec, dokter yang menemukan stetoskop, menggunakan istilah
"emphysema" dalam bukunya A Treatise on the Diseases of the Chest and of Mediate
Auscultation (1837) untuk menggambarkan paru-paru yang tidak mengempis ketika dia
membuka dada selama autopsi. Dia mencatat bahwa paru-paru tidak mengempis sebagaimana
biasanya karena paru-paru tersebut penuh dengan udara dan saluran napas dipenuhi lendir.
Pada 1842, John Hutchinson menemukan spirometer, yang memungkinkan
pengukuran kapasitas vital paru-paru. Namun, spirometernya hanya bisa mengukur volume,
bukan laju udara. Tiffeneau dan Pinelli pada 1947 menggambarkan prinsip-prinsip pengukuran
laju udara.[117]

Pada 1953, Dr. George L. Waldbott, seorang ahli penyakit Amerika, pertama kali
menggambarkan penyakit baru yang dia namakan "sindrom pernapasan perokok" pada 1953
Journal of the American Medical Association. Ini merupakan asosiasi pertama antara penyakit
tembakau dan penyakit pernapasan kronis.[119]
Dahulu pengobatan yang digunakan menggunakan di antaranya bawang putih, kayu manis
dan ipecac.[116] Pengobatan modern dikembangkan pertengahan kedua abad ke-20. Bukti yang
mendukung penggunaan steroid untuk pengobatan COPD dipublikasikan pada akhir 1950an.
Bronchodilator mulai digunakan pada 1960an setelah uji coba yang menjanjikan
atas isoprenalin. Bronchodilator lebih lanjut, seperti salbutamol, dikembangkan pada 1970an,
dan penggunaan LABA dimulai pada pertengahan 1990an.[120]

Masyarakat dan kebudayaan[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: COPD Awareness Month
COPD disebut juga "smoker's lung" (paru-paru perokok).[121] Mereka yang mengalami emfisema
disebut sebagai "pink puffers" atau "tipe A" karena kulit mereka sering berwarna merah muda,
laju pernapasan cepat dan bibir berlipat,[122][123] dan orang yang terkena bronkitis kronis disebut
sebagai "blue bloaters" atau "tipe B" karena kulit dan bibir mengalami yang berwarna
kebiruan akibat tingkat oksigen rendah dan pergelangan mereka membengkak.[123][124] Istilah ini
dipandang tidak berguna lagi karena sebagian besar orang dengan COPD mengalami kombinasi
keduanya.[2][123]
Banyak sistem kesehatan mengalami kesulitan untuk memastikan identifikasi, diagnosis dan
perawatan yang benar untuk orang dengan COPD; Departemen Kesehatan telah
mengidentifikasikan masalah besar ini untuk the National Health Service dan memperkenalkan
strategi khusus untuk mengatasi masalah ini.[125]

Ekonomi[sunting | sunting sumber]


Secara global, sejak 2010, COPD diperkirakan mengakibatkan biaya ekonomi sebesar
$2.1 trilyun, setengahnya terjadi di negara-negara berkembang. [8] Dari total jumlah ini, sekira
$1,9 trilyun merupakan biaya langsung seperti perawatan medis, sedangkan $0,2 trilyun
merupakan biaya tidak langsung seperti bolos kerja.[126] Jumlah ini diperkirakan meningkat lebih
dari dua kali lipat selama 20 tahun yang akan datang. [8] Di Eropa, COPD mewakili 3% dari
pengeluaran kesehatan.[1] Di Amerika Serikat, biaya penyakit diperkirakan $50 milyar, sebagian
besar disebabkan oleh eksaserbasi.[1] COPD merupakan satu dari masalah kesehatan paling
mahal yang ada di rumah sakit di AS pada 2011, dengan total biaya sekitar $5,7 juta. [114]

Riset[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: COPD: Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Infliximab, antibodi yang menekan imunitas, telah diuji pada COPD namun tidak ada bukti dari
manfaat dengan kemungkinan bahayanya.[127] Roflumilast tampak menjanjikan untuk mengurangi
angka eksarsebasi namun tampaknya tidak memengaruhi kualitas hidup. [3] Sejumlah agen baru
yang bekerja lama saat ini masih dikembangkan.[3]Perawatan dengan stem sel sedang diteliti.
[128]
Meskipun secara umum aman dan dengan data hewan yang menjanjikan, data untuk
manusia sangat kecil sejak 2014.[129]

Hewan Lain[sunting | sunting sumber]


Penyakit paru obstruktif kronis bisa terjadi pada sejumlah hewan dan dapat diakibatkan karena
paparan terhadap asap rokok.[130][131] Namun, penyakit ini pada sebagian besar kasus masih
termasuk ringan.[132] Pada kuda ini dikenal juga sebagai obstruksi saluran napas kambuhan dan
biasanya karena reaksi alergi terhadap jerami yang mengandung jamur.[133] COPD biasanya
ditemukan pada anjing tua.[134]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Anda mungkin juga menyukai