Anda di halaman 1dari 6

Kebijakan Pemerataan Pendidikan Melalui Program Bidik Misi

Semua meyakini, bahwa pendidikan merupakan infrastruktur


penting _jika tidak ingin dikatakan terpenting_ dalam membangun
dan memajukan peradaban suatu bangsa. Artinya, maju dan
tidaknya suatu bangsa sangat bergantung terhadap sejauh mana
keberhasilan proses pendidikan yang berjalan di dalamnya. Jika
ditarik dalam konteks keindonesiaan, maka pendidikan merupakan
syarat penting untuk menunjang pembangunan nasional yang
menuntut kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia. Sebab
tanpa pembangunan sumber daya manusia, sangat tidak mungkin
untuk menjadi bangsa yang maju dan beradab. Sehingga pada titik
inilan

pendidikan menjadi

sangat

penting

karena

pendidikan

mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk


pembangunan.
Beasiswa bidik misi adalah program bantuan biaya pendidikan
dan biaya hidup selama kuliah yang diberikan Pemerintah melalui
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2010 kepada mahasiswa
yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu
secara ekonomi. Program ini merupakan program seratus hari kerja
Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2010 yang pada intinya
bertujuan untuk meningkatkan daya jangkau masyarakat terhadap
pembiayaan pendidikan, yang tentu diikuti oleh peningkatan
kualitas pendidikan.
Program bidik misi mempunyai dampak yang sangat besar
terhadap peningkatan pendidikan di Indonesia dalam konteks
pemerataan. Dampak yang paling dirasakan adalah terputusnya
kesenjangan

ekonomi

dengan

keinginan

untuk

melanjutkan

pendidikan pada perguruan tinggi. Tidak perlu rasanya dijabarkan

secara

subjektif

bagaimana

pandangan

dan

manfaat

yang

dirasakan oleh para penerima bidik misi secara langsung yang


bahkan mampu membuat SBY terharu dan menangis, tapi paling
tidak jika dikalkulasi jumlah penerima bantuan bidik misi ini mulai
dari tahun 2010 hingga tahun 2014, setidaknya sudah ada sekitar
150.000 anak Indonesia yang terbantu, sehingga dapat mencicipi
pendidikan tinggi, dan lebih dari itu, bisa memperjelas masa
depan mereka melalui pendidikan.

Dampak lain yang bisa dirasakan dengan adanya kebijakan ini


adalah kesempatan bagi setiap Universitas dan perguruan tinggi yang
menjadi pelaksana untuk ikut berperan serta dan lebih aktif dalam upaya
mengembangkan dan memajukan pendidikan Indonesia. Jika selama ini
masyarakat berpikir bahwa biaya pendidikan mahal dan tidak dapat
dijangkau, karena memang kenyataannya masih seperti itu, maka saat
inilah saatnya bagi perguruan-perguruan tinggi itu untuk ikut serta,
dengan cara ikut mensosialisasikan program bidik misi. Kalau sekiranya
perlu, langsung turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan sosialisasi,
sekaligus pada saat yang bersamaan bisa mempromosikan perguruan
tinggi masing-masing.

Secara sadar, kita tahu bahwa sebagus dan sebaik apapun


kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan implementasi bidik misi
ini, pasti tidak akan bersih dari kritik. Ruang kritik selalu ada selama
proses itu berlangsung, sehingga pada saat yang bersamaan bisa
menjadi saran konstruktif dan bahan evaluasi untuk perbaikan
kebijakan yang sedang berjalan.
Sehingga, dalam konteks implementasi kebijakan bidik misi ini,
ada beberapa evaluasi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
dan semua pihak pelaksana, di antaranya;
Pertama; kualitas pelayanan yang mengacu pada konsep 3 T,
yaitu: Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, dan Tepat Waktu. Persoalan
tepat sasaran ternyata masih belum maksimal seperti yang
diharapkan dengan melihat masih banyaknya mahasiswa yang
berpotensi tetapi mereka belum mendapatkan haknya sebagai
warga negara Indonesia yakni mendapatkan pendidikan yang layak.
Juga masih banyak ditemukan mahasiswa yang notabene dari
keluarga berkecukupan secara ekonomi tetapi masih mendapatkan
bidik misi. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23

hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya,


74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Kenyataan ini
membuktikan bahwa bidik misi belum tepat sasaran.
Sementara itu, terkait dengan tepat jumlah bahwasanya bidik
misi

ini harusnya

sesuai

dengan

indeks

kemahalan wilayah

Universitas yang ditempati oleh mahasiswa penerima bidik misi


tersebut. Indeks kemahalan wilayah, dapat dilihat dari beberapa
faktor seperti Standar Kehidupan Hidup Layak (KHL). Artinya,
seseorang yang mendapatkan bidik misi di daerah X, misalnya,
besaran biaya hidup yang diterima juga harus disesuaikan dengan
daerah X yang ditempatinya. Jika setiap penerima diberikan dengan
standar jumlah yang sama, akan terasa tidak adil bagi penerima
yang hidup di wilayah dengan biaya hidup yang mahal.
Kemudian, yang terkait dengan tepat waktu, masalah ini
adalah masalah yang paling mendasar dalam penyelenggaraan
bidik misi. Harusnya uang yang mereka terima ini tepat waktu, tapi
pada kenyataannya tidak seperti itu. Realitas ini menyebabkan
mahasiswa mengalami kesulitan finansial. Sementara mahasiswa
pada umumnya sudah membeli banyak buku, jurnal, dan diktat
untuk berbagai keperluan kuliah, para penerima bidik misi harus
menghemat segala keperluan agar sekedar bisa hidup dan belajar
seadanya, yang bahkan tak ragu juga untuk berhutang.
Kedua; Sosialisasi. Hal ini menjadi penting dalam proses
implementasi kebijakan ini karena tanpa sosialisasi yang cukup,
tentu kebijakan ini hanya akan menjadi kebijakan basi, dan pada
saat bersamaan dipergunakan oleh pihak tertentu untuk mengais
keuntungan. Kita harus mengapresiasi atas usaha beberapa kampus
yang

rela

turun

langsung

ke

sekolah-sekolah

untuk

mensosialisasikan kebijakan dan program bidik misi ini. Surahman

Hidayat,

anggota

Komisi

DPR

RI,

bahkan

mengapresiasi

pemerintah atas sosialisasi yang dilakukan sehingga mampu


meningkatkan jumlah peserta Bidikmisi di tahun 2014 sebanyak
80.911 di bandingkan tahun 2013 hanya sebanyak 55.975.
Namun, proses sosialisasi dan kordinasi masih dirasakan
kurang di beberapa daerah di Indonesia terutama di wilayahwilayah yang secara demografis-geografis sulit untuk dijangkau,
bukan karena daerahnya saja, tapi dikarenakan informasi yang
mengalir menjadi terlambat karena beberapa faktor, termasuk
sulitnya

mekanisme

pendaftaran

melaui

online.

Sehingga

pemerintah perlu kiranya lebih menggalakkan sosialisasi yang


sudah berjalan dengan cukup baik dengan bekerja sama secara
langsung dengan universitas maupun dinas kemendikbud setempat.
Ketiga; Pengawasan (controling). Di antara beberapa evaluasi
dan kritik terhadap kebijakan ini, pengawasan barangkali adalah
yang paling penting untuk segera tingkatkan. Sebuah kebijakan,
sebagus

apapun,

tidak

akan

bertahan

lama

tanpa

adanya

pengawasan dan kontrol yang ketat. Dalam konteks ini, ada


beberapa wilayah pengawasan yang penting untuk ditingkatkan,
yaitu pengawasan terhadap terlaksananya kebijakan apakah sudah
sesuai dengan pedoman, mekanisme, serta prosedur yang ada.
Secara hirarkis, organisasi pengelola mempunyai tanggung jawab
untuk mengawasi program yang telah dan sedang berlangsung.
Evaluasi terhadap layanan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, itu
terjadi karena lemahnya pengawasan. Palayanan dengan prinsip 3 T
menjadi jauh dari harapan dikarenakan kurangnya pengawasan
sebagai salah satu faktor keberhasilan kebijakan ini.
Kebijakan implementasi bidik misi ini, adalah kebijakan pada
lahan basah karena berkaitan dengan mengalirnya anggaran

yang jumlahnya tidak sedikit. Sementara itu, korupsi masih menjadi


momok menakutkan yang sering menghantui setiap kebijakan di
negeri

ini.

maksimal,

Sehingga
bagi

jika

sebagian

tidak
orang

dilakukan
tertentu,

pengawasan
hal

ini

yang

menjadi

kesempatan untuk melakukan prilaku koruptif, yang pada akhirnya


hanya akan menghabiskan uang negara secara percuma karena
tidak pernah mencapai tujuan yang ingin dicapai. Pengawasan ini
harus dilakukan secara sangat ketat, baik melalui audit, laporan,
dan lainnya sebagainya sehingga pendidikan bisa benar-benar jauh
dari praktik KKN.

Anda mungkin juga menyukai