Kasus Pert 6 GGK
Kasus Pert 6 GGK
Oleh :
FKK 1
KELOMPOK 2-A
1.
2.
3.
4.
5.
Indah Irawati
Kuni Zuka Abidah
Merisa Setyara
Nabila Karsan
Ni Luh Ayu Guna P.
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
18144357A
18144358A
18144359A
18144360A
18144361A
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan
cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui
ginjal, reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi
kelebihannya sebagai kemih. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus. Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml
darah per menit, suatu volume yang sama dengan 20 sampai 25 persen curah jantung
(5.000 ml per menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks,
sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Fungsi ginjal yang utama adalah membentuk
urin untuk mengeluarkan berbagai zat-zat beracun dari tubuh kita. Zat-zat beracun itu
merupakan sampah sisa hasi;metabolisme tubuh yang tidak terpakai dan dikeluarkan
dalam bentuk urin.
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable
diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai
masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan
kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini
sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Pada penyakit ginjal kronik
terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan
biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti
penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di
tulang dan otot serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis
dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit
ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti
ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada
etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh
karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang
efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor
risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
II. Ginjal
BAB II
DASAR TEORI
I. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen
lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal). (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif
dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG)
kurang dari 50 mL/menit. (Suhardjono, dkk, 2001). Insufisiensi ginjal
kronik atau kegagalan dimulai ketika ginjal tidak bisa memelihara
kimia normal cairan tubuh dibawah kondisi normal. Kemunduran
secara progresif lebih dari periode bulan atau tahun menimbulkan
keanekaragaman
klinis
dan
gangguan
biokimia
yang
akhirnya
mencapai puncak dari sindrom klinis disebut uremia. (Whaley & Wong,
2002).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan
fungsi
renal
yang
progresif
dan
irreversibel
dimana
fungsi
ginjal
yang
menahun
bersifat
progresif
dan
2 hal 1448). Kriteria penyakit ginjal kronik menurut KDOQI (2002), adalah :
Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari tiga bulan, berupa kelainan struktural atau
diabetes.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat atas dasar Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi penyakit gagal ginjal kronis,
sebagai berikut :
a. Derajat 1 bila telah terjadi kerusakan ginjal namun nilai LFG masih normal ( 90
ml/mnt/1,73 m2).
b. Derajat 2 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan (60-89
ml/mnt/1,73 m2).
c. Derajat 3 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang (30-59
ml/mnt/1,73 m2).
d. Derajat 4 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun berat (15-29
ml/mnt/1,73 m2).
e. Derajat 5 bila telah terjadi gagal ginjal dengan LFG turun <15 ml/mnt/1,73 m 2 atau
sudah membutuhkan terapi hemodialisis.
Pada kasus gagal ginjal akut kondisi ginjal dapat dipulihkan kembali, hal ini
berbeda dengan kasus pada gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal kronik penderita hanya
dapat berusaha menghambat laju tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak
menjadi gagal ginjal terminal, suatu kondisi dimana ginjal sudah hampir tidak dapat
berfungsi lagi. Kondisi ini berlangsung secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan
sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya
IV.
gejala.
Faktor Resiko
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga
Bayi dengan berat badan lahir rendah
Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau
serangan
akut lainnya pada ginjal
Hipoplasia atau displasia ginjal
Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang
dan parut di ginjal
Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
Riwayat menderita purpura Henoch-Schnlein
Diabetes Melitus
Lupus Eritermatosus Sistemik
Riwayat menderita hipertensi
Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid
V. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi. Struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan pada akhirya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
renin-angiotansin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor. Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria,
interindividual
hipertensi,
untuk
hiperglikemia,
terjadinya
dan
sklerosis
dislipidemia.
dan
fibrosis
Terdapat
variabilitas
glomerulus
maupun
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana LFG basal masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah mual nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan tetapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal (Suwitra, 2006).
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab
penyakit ginjal kronik diantaranya adalah :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan
hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis
besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan
VII.
Manifestasi Klinik
Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apa apa atau
tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik yang
tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru
terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang sering muncul pada pasien
CKD anak adalah: gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein, gangguan
elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi.
VIII. Diagnosis
Keberadaan CKD harus ditegakkan, berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan
tingkat fungsi ginjal (GFR), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada pasien dengan CKD,
stadium penyakitnya harus ditentukan berdasarkan tingkat fungsi ginjal menurut
klasifikasi CKD dari K/DOQI. CKD stadium awal dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium rutin. Penghitungan GFR merupakan pemeriksaan terbaik dalam
menentukan fungsi ginjal. Dalam praktek klinis, GFR umumnya dihitung dengan
menggunakan klirens kreatinin atau konsenstrasi kreatinin serum. Namun pengukuran
klirens kreatinin seringkali sulit dilakukan dan seringkali tidak akurat karena
membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum dipengaruhi oleh faktor lain selain
GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan dengan ukuran tubuh, khususnya
massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun sampai setengah dari nilai normal,
sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai normal sehingga sangat sulit untuk
menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau untuk mendeteksi CKD pada stadium
awal.
Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai mengalami
gangguan pada ginjalnya. Peningkatan ekskresi protein (proteinuria) persisten
umumnya merupakan penanda untuk kerusakan ginjal. Peningkatan ekskresi albumin
(albuminuria) merupakan penanda sensitif CKD yang disebabkan diabetes, penyakit
glomerular, dan hipertensi. Pada banyak kasus, penapisan dengan menggunakan metode
dipstick dapat diterima untuk mendeteksi proteinuria. Pasien dengan hasil tes protein
dipstick positif (+1 atau lebih) harus dikonfirmasi melalui pengukuran kuantitatif (rasio
protein terhadap kreatinin atau rasio albumin terhadap kreatinin) dalam 3 bulan. Pasien
dengan 2 atau lebih hasil tes kuantitatif positif dengan jeda waktu 1 sampai 2 minggu
harus didiagnosis
pasien
anak
dengan
nefropati
diabetikum
perlu
dilakukan
pemeriksaan
mikroalbuminuria.
Pemeriksaan sedimen urin mikroskopis, terutama bersamaan dengan pemeriksaan
proteinuria, berguna dalam mendeteksi CKD dan mengenali jenis penyakit ginjal.
Dipstick urin dapat mendeteksi sel darah merah/hemoglobin (hematuria), neutrophil
dan eosinofil (piuria) dan bakteri (nitrit), namun tidak dapat mendeteksi sel epitel
tubular, lemak, cast di urin. dilakukan untuk mendeteksi keberadaan sel darah merah,
sel darah putih, cast, kristal, fungi dan bakteri. Pemeriksaan sedimen urin mikrospkopis
dilakukan untuk mendeteksi halhal yang tidak dapat dideteksi dipstick.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya anemia
sebagai salah satu manifestasi klinis kronis CKD. Pemeriksaan kimiawi serum menilai
kadar ureum dan kreatinin sebagai yang terutama dalam diagnosisdan monitoring,
sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin
fosfatase, hormon paratiroid, kolesterol, fraksi lipid yang berguna dalam terapi dan
pencegahan komplikasi.
Pemeriksaan pencitraan ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan CKD dan
pada individu-individu yang beresiko mengalami CKD. Hasil abnormal pada
pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan penyakit ginjal vaskuar, urologis atau
intrinsik. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna pada
beberapa kondisi, dan tidak dihubungkan dengan risiko terpapar radiasi atu kontras.
Prosedur invasif lainnya, seperti voiding cystourography dan biopsy ginjal.
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
A. Guideline terapi
6. Meningkatkan kadar kalsium hingga 9-11 mg/dl., kadar kalsium dalam cairan
dialisat harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
7. Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi sekitar 15
mg seperti protein hewani (daging merah dan hati).
8. Menghindari stress fisik dan mental karena dapat meningkatkan tekanan darah
XII.
Analisis
Bisoprolol 5 mg
Inj. Ondansetron
Amlodipin
Asam folat
Inj. Ranitidin
Inj. Lasix 20 mg/2 ml
Binapro
Infus Albumin 20% 100 ml
10,2
29,8
11.800
271.000
166
43,9
5,05
126,5
3,11
93,2
2,9
100
2 x 8 mg/2 ml
1 x 5 mg
1x 1
2 x 50 mg/2 ml
100
3x2
kasus
SUBJEKTIF:
Nama pasien : Tn. SN
Umur
: 57 tahun
Gejala
: mengeluh mual dan muntah
Riwayat penyakit : Diabetes mellitus (terkontrol), CKD pada bulan Maret 2012, Jantung,
Hipertensi
Riwayat pengobatan :
Bisoprolol 5 mg
100
Inj. Ondansetron
Amlodipin
Asam folat
Inj. Ranitidin
Inj. Lasix 20 mg/2 ml
Binapro
Infus Albumin 20% 100 ml
2 x 8 mg/2 ml
1 x 5 mg
1x 1
2 x 50 mg/2 ml
100
3x2
OBJEKTIF :
ASSESMENT :
Problem
Subyektif
medik
CKD
Hipertensi
Jantung
Diabetes
terkontrol
Planning:
Obyektif
mengeluh
TD :150/100 mmHg
mual
dan Hemoglobin: 10,2
muntah
g/dl
Hematokrit: 29,8 %
Leukosit: 11.800/
mm3
Trombosit: 271.000/
mL
GDA : 166 mg/dl
BUN: 43,9 mg/dl
Kreatinin: 5,05
mg/dl
Natrium: 126,5
mmol/L
Kalium: 3,11
mmol/L
Klorida: 93,2
mmol/L
Albumin: 2,9 g/dL
Assessment
DRP
TERAPI FARMAKOLOGI
1. Pasien mengalami CKD sejak tahun 2012 disertai hipertensi dan juga diabetes terkontrol,
pada kasus diberikan terapi dengan golongan -bloker bisoprolol diamana untuk terapi
CKD kurang tepat. Menurut guideline terapi JNC 7 dan Dipiro edisi 9 untuk pasien CKD
yang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes diberikan terapi obat dengan
golongan ACEI atau ARB. Pemilihan terapi pada Tn SN yaitu dengan menggunakan obat
Golongan ACEI yaitu Lisinopril 10 mg 1x sehari dimana menghambat pengubahan
Angiotensin I menjadi Angiotensin II dan untuk mengurangi resiko kardiovaskular
terutama pada pasien yang juga memiliki riwayat jantung. Goal tekanan darah 130/80
mmHg.
2. Inj. Lasix 20 mg/2 ml: 100 : penambahan terapi golongan diuretic loop pada Tn SN
perlu diberikan apabila setelah selama 4-6 minggu urin albumin masih rendah dan target
TD belum tercapai. Furosemide diindikasikan pada pasien oliguria karena gagal ginjal
yang ditandai dengan nilai BUN yang rendah. Apabila tujuan TD tetap tidak tercapai
maka ditambahkan CCB golongan dihidropiridine yaitu Amlodipine 5 mg 1x sehari.
3. Pada pemeriksaan laboratorium hemoglobin dan hematocrit pasien rendah (dibawah nilai
normal), yang menandakan pasien mengalami Anemia. Pemberian asam folat pada
pasien kurang tepat, maka direkomendasikan untuk pemberian Epoetin alfa yaitu untuk
pengobatan anemia pada gagal ginjal kronis. Empoitin alfa menstimulasi eritropoiesis
pada pasien anemia yang menjalani dialysis.
Dosis : epoetin alfa dosis awal 20 IU/kg BB 3x seminggu
4. Pasien mengalami gejala mual muntah, pemberian Inj. Ondansetron : 2 x 8 mg/2 ml
sudah tepat.
5. Binapro 3x sehari 2 kapsul: penambahan suplemen makanan bisa diberikan kepada
pasien untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
6. Infus Albumin 20% 100 ml : pemberian infus albumin sudah tepat untuk meningkatkan
kadar albumin pada pasien yang dibawah nilai normal dan untuk menjaga keseimbangan
elektrolit.
7. Infus RL : Dari hasil laboratorium, kadar natrium, kalium, dan klorida rendah, sehingga
perlu penambahan larutan elektrolit dari luar. Ringer laktat merupakan larutan infus untuk
memelihara keseimbangan atau mengganti elektrolit dan cairan tubuh.
Farmakologi:
Lisinopril adalah penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dan menghambat
angiotensin II, suatu vasokonstriktor yang kuat. Lisinopril mengatur mekanisme fisiologik
yang spesifik, yakni sistem renin angiotensin-aldosteron, yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah. Awal kerjanya mulai dalam waktu 2 jam, setelah pemberian per oral, efek
puncak tercapai 7 jam setelah dosis per oral dan efek berlanjut selama 24 jam setelah dosis
tunggal harian.
Indikasi:
NOPERTEN adalah penghambat Angiotensin Converting Enzyme yang diindikasikan
untuk:
a. Pengobatan hipetensi tingakta sedang hingga berat. Dapat digunakan sendiri atau
bersama dengan obat antihipertensi lain.
b. Pengobatan payah jantung kongestif sebagai terapi tambahan disamping diuretika dan
bila perlu dengan digitalis.
Kontraindikasi:
NOPERTEN tidak boleh diberikan pada orang yang sensitif terhadap lisinopril. Pada
penderita yang secara historis pernah menderita angioedema sebagai akibat pengobatan
sebelumnya dengan obat penghambat Angiotensin Converting Enzyme.
Dosis:
Hipertensi
Dosis awal, oral 10 mg sekali sehari.
Dosis pemeliharaan, oral 10-20 mg sekali sehari.
Dosis ini dapat ditingkatkan sesuai dengan respon klinisnya maksimum 40 mg sehari. Bila
penderita diobati dengan diuretika, terapi dapat dimulai setelah diuretika dihentikan selama 23 hari. Pada penderita yang pemberian diuretiknya tidak dapat dihentikan, dianjurkan untuk
memberikan dosis awal Lisinopril 5 mg. Penderita hipertensi renovaskular dapat
memperlihatkan respon yang berlebihan terhadap Lisinopril. Sebab itu dianjurkan dengan
dosis awal 2,5-5 mg kemudian dapat disesuaikan dengan respon tekanan darahnya.
Efek samping:
1. Hipotensi
2. Edema angioneurotik pernah dilaporkan walaupun jarang. Pada kasus-kasus seperti itu,
NOPERTEN harus dihentikan segera dan penderita diperhatikan dengan cermat sampai
pembengkakan hilang.
3. Edema angioneurotik yang disertai edema laring dapat mematikan.
4. Reaksi hipersensitivitas lain yang mencakup urtikaria telah dilaporkan.
5. Secara keseluruhan, melalui uji klinik, terbukti NOPERTEN dapat diterima dengan
baik oleh penderita.
6. Takikardia.
2. Inj. Lasix (Furosemid)
Indikasi:
Dosis:
Pemberian Obat:
Kontra Indikasi:
Perhatian:
Efek Samping:
Interaksi Obat:
Kemasan:
Price: Rp. 18,935
Ampul 20 mg/2mL x 5
3. Eprex 2000
Deskripsi
Recombinant human erythropoietin / Epoetin alpha
Indikasi
Pengobatan anemia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis.
Kemasan
Pre-filled syringe 2000 iu/0,5ml x 6 biji.
Dosis
3 kali seminggu 50 u/kg berat badan.
Pada pasien kanker : 3 kali seminggu 150 u/kg berat badan secara sub kutan (SK/SC).
Maksimal 3 kali seminggu 300 u/kg berat badan.
4. Inj. Ondansetron
Farmakologi:
Ondansetron suatu antagonis reseptor serotonin tipe 5-HT3, yang bekerja secara selektif dan
kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah akibat pengobatan
sitostatika dan radioterapi.
Indikasi:
Penanggulangan mual dan muntah akibat kemoterapi dan radioterapi serta operasi.
Kontraindikasi:
Penderita yang hipersensitif terhadap ondansetron.
Dosis dan cara pemberian:
Pengobatan mual dan muntah pasca bedah: IM 4 mg sebagai dosis tunggal atau IV 4 mg
secara perlahan-lahan.
Pencegahan dan pengobatan mual dan muntah karena kemoterapi
Dewasa:
- Kemoterapi yang sangat emetogenik, misalnya cisplatin. Mula-mula diberikan injeksi 8 mg
ondansetron IV secara lambat atau diinfuskan selama 15 menit segera sebelum diberikan
kemoterapi, diikuti dengan infus 1 mg ondansetron/jam terus menerus selama kurang dari 24
jam atau 2 injeksi 8 mg IV secara lambat atau diinfuskan selama 15 menit dengan selang
waktu 4 jam. Atau bisa juga diikuti dengan pemberian 8 mg per oral 2 kali sehari selama
kurang dari 5 hari.
Efek samping: Sakit kepala, konstipasi, rasa panas pada epigastrium, sedasi dan diare.
5. Binapro
Komposisi:
L-proline 81 mg, L-hydroxyproline 78 mg, L-glutamic acid 65 mg, Lalanine 58 mg, L-aspartic acid 40 mg, L-serine 24 mg, L-lysine 23 mg,
L-leucine 22 mg, L-phenylalanine 16 mg, L hydroxylysine 6 mg, Lvaline 14 mg, L-threonine 14 mg, L-isoleucine 10 mg, L-cysteine 10
mg, L-glycine 140 mg, L-arginie 51 mg, L-histidine 10 mg, Lmethionine 5 mg, L-tyrosine 3 mg, taurine 12 mg, soya bean oil 423 mg
Indikasi:
Dosis:
Pemberian Obat:
Kemasan:
Price: Rp. 9,240
XIII. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Guyton and Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC. Jakarta
KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2009. 509-530
Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung
Suwitra, K., Aru, W. S., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., Siti, S. 2006.
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi 4: Penyakit Gagal Ginjal Kronis Dalam,
Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.
Tamboyang, Jan. 2002. Farmakologi untuk keperawatan. Jakarta : Widya
Medika
1. Penata Laksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisisatau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pada tabel 3
Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat
tatalaksana
1
LFG(ml/mnt/1,73m)
> 90
Rencana
Terapi penyakit dasar,
60-89
15-29
pengganti ginjal
5
<15
Menghambat pemburukan
Evaluasi
dan
terapi
Terapi Nonfarmakologis:
Pengaturan asupan protein :
2,3
2,3
Asupan protein
g/kg/hari
>60
25-60
5-25
tidak dianjurkan
0,6-0,8/kg/hari
0,6-0,8/kg/hari atau tambahan
keton.
asupan
lemak:
30-40%
dari
kalori
total
dan
11.
Terapi Farmakologis
1. Kontrol tekanan darah
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
Penghambat kalsium
Diuretik
1. Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target
HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM
tipe 2 adalah 6%
2. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
3. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
4. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
5. Koreksi hiperkalemia
6. Kontrol
dislipidemia
golongan statin
7. Terapi ginjal pengganti.
2.
3. jhkjkjd
4.
mg/dl
dianjurkan