Anda di halaman 1dari 6

GUGATAN DI ATAS TROTOAR

Achmad Fathoni

Trotoar ini akan selalu menjadi saksi bisu kebiadapan manusia setengah kota-desa, yang
berlagak seperti orang-orang metropolitan. Agaknya malam itu begitu cepat berlalu, Yuk Ti
sebenarnya tak mau tahu tentang apa yang dilakukan para pelanggannya. Namun berbeda
dengan pelanggan berkelompok yang tak biasa dilihatnya, mereka datang dengan tingkah
laku yang tak karuan. Bau alkohol semerbak menusuk lubang hidung.
Seandainya saya bisa menolong mungkin malam itu tak akan terjadi. Pandanganku seketika
buram, hanya dapat menerka-nerka apa yang selanjutnya terjadi setelah sebilah pisau
pemecah telur asin ditusukkan kepada Yuk Ti yang tak sadar bahwa akan ada bau kematian di
kota pinggiran ini.
Saya menjadi bisu, pelanggan lainnya panik ketakutan, kaku dibuat melongo atas kematian
Yuk Ti dan saya pun menjadi korban hantaman kaki seorang lelaki yang sedang kerasukan
alkohol. Saya terkapar, terpental jauh dari jasad Yuk Ti yang sudah bersimbah darah di
lehernya.
Lelaki itu, saya melihatnya jelas sebelum kejadian memilukan itu terjadi. Berambut gondrong
dengan tubuh keceng1 sedang tertunduk lemas di hadapan jasad Yuk Ti yang sudah berpisah
dari jiwanya, mungkin melayang jauh dan pergi. Teman-temannya sudah berhamburan pergi
tanpa menghiraukan lelaki yang tengah tertunduk lemas itu. Tubuhnya meringkih, saya
mendengar lirih lelaki itu menangis.
Trotoar ini akan menjadi saksi, biadabnya pemuda di kota ini, seorang perempuan tua penjual
sego boran2 telah tewas di tusuknya dengan pisau pemecah telur asin. Saya membisu
dibuatnya, tubuh saya kaku dan setelah kejadian itu saya hanya sebatang kara sendiri tanpa
Yuk Ti menemani, padahal seharusnya malam ini kita mendapatkan untung yang begitu
banyak dan saya sebetulnya sudah siap menemani sampai subuh datang.
***
Malam itu sudah berlalu, saya meratapi kesendirian. Subuh pun juga sudah berlalu. Orangorang telah pergi dari tempat kejadian. Polisi telah membawa lelaki pembunuh itu. Saya
sedang sendiri menunggu Yuk Ti menjemputku di sini. Di pinggir jalan aspal, di atas trotoar
1
2

Kurus (sebutan di Kota Malang bagi orang-orang kurus)


Makanan Khas Kota Lamongan

yang sekian lama menemani saya dan Yuk Ti berjualan sego boran dan di belakang saya ada
sebuah warung kopi, dijaga oleh seorang perempuan yang biasa membantu Yuk Ti
menyediakan minum untuk para pelanggan sego boran.
Pagi ini perempuan itu menceritakan kematian Yuk Ti kepada pelanggannya yang tengah
menikmati kopi pagi.
Yuk Ti mati semalam, ujar perempuan penjaga warung kopi yang biasanya membantu Yuk
Ti meladeni minuman bagi pembeli sego boran yang makan lesehan.
Orang-orang yang mendengarnya tersontak kaget. Mereka adalah pelanggan kopi yang biasa
juga makan sego boran milik Yuk Ti.
Ojo goroh nduk3.
Perempuan penjaga warung kopi itu seketika tertunduk lalu diam.
Seng temen kon4, tegas pelanggan kopi lainnya kepada penjaga warung itu.
Suasana pagi ini tampak kacau, orang-orang tak percaya akan kematian Yuk Ti itu.
Perempuan penjaga warung itu menyela.
Ditusuk, seorang pemuda gondrong.
Lho... lho... mungkin itu anaknya? tanya seorang pelanggan sembari menghisap rokok
racikannya sendiri itu.
Orang-orang diam, mengerutkan dahi mereka, tampak wajah penasaran dan menerka-nerka
siapa pemuda itu ketika salah seorang pelanggan berkata bahwa lelaki muda berambut
gondrong itu anaknya.
Tak ada orang yang menyela pendapat pelanggan itu, semuanya murung. Kopi yang
disruputnya tak lagi berasa nikmat, manis dan pahitnya tak saling bertemu lagi.
Saya menggerutu dalam diri, merasa ada yang salah mengenai perkataan pelanggan tadi, dia
berkata bahwa lelaki itu adalah anak Yuk Ti, sedangkan saya tak pernah melihat lelaki itu
sama sekali selama ini, atau mungkin lupa. Saya percaya bahwa itu bukan anak Yuk Ti, sebab
pernah sekali Yuk Ti berkata bahwa ia tengah merindukan anaknya yang telah jauh pergi. Tak
3
4

Jangan bohong (Bahasa Jawa); nduk = panggilan untuk perempuan yang lebih muda
Yang bener kamu (Bahasa Jawa, kasar)

mungkin anak yang tengah dirindukan Yuk Ti datang dengan membawa kematian bagi yang
merinduinya. Sungguh tak mungkin, orang itu salah.
Waktu berlalu, orang-orang lekas pergi dari warung tersebut dan meninggalkan prasangkan
terhadap anak Yuk Ti yang dianggap pembunuh.
***
Saya masih sendiri di sini, pukul 11.50 matahari terasa begitu panas menyengat, sebelumnya
saya tak pernah keluar di siang hari seperti ini. Yuk Ti pun tak pernah mengajakku pergi saat
siang bolong. Apalagi saat belanja keperluan untuk sego boran, malah tak pernah sekalipun
Yuk Ti mengajakku.
Setelah sego boran habis, biasanya tepat di pukul 04.00 saat subuh tiba Yuk Ti lekas pulang
dan pergi beristirahat. Saat tidurnya sudah di rasa cukup ia lekas bangun dan pergi ke pasar
untuk membeli bahan-bahan untuk keperluan sego boran.
Saya tidak pernah tahu pasar mana yang Yuk Ti tuju untuk membeli semua keperluan itu.
Sedangkan ketika Yuk Ti pulang, ia bergegas untuk menyiapkan untuk dagangannya. Mulai
dari bumbu yang begitu khas baunya, tak seperti milik penjual sego boran lainnya. Memang
beda, ndas pitek5 yang disajikan Yuk Ti lebih lembut , apalagi empuk6 yang begitu nikmat dan
gurih. Terkadang orang-orang menyebut menyebut sego boran Yuk Ti yang terbaik se kota
pinggiran ini.
Terlihat jelas bagaimana orang-orang akan rela antre berjam-jam untuk mendapatkan sego
boran Yuk Ti itu dan aku yang akan selalu berdoa agar dagangan Yuk Ti selalu habis.
Begitulah Yuk Ti terhadap saya, mempercayakan penuh di tubuh saya atas segala makanan
yang akan didagangkan berbau rido dan doa. Mungkin itu yang terlihat berbeda dari Yuk Ti
ketimbang penjual yang lainnya.
Tapi semua sudah berlalu, saat orang-orang tengah antre malam itu dan gerombolan lelaki
yang semerbak bau alkohol itu datang dan merubah malam yang seharusnya penuh dengan
rejeki dan berkah menjadi takdir kematian bagi Yuk Ti dan itu pun menjadi petaka pula bagi
saya yang akan hidup sendiri sebatang kara setelahnya.

5
6

Kepala ayam (Bahasa Jawa)


Makanan yang terbuat dari tepung terigu yang dibumbui, paduan pada sego boran

Aku masih menunggu Yuk Ti menjemputku atau mungkin sekedar menemaniku di pinggir
jalan aspal, di atas trotoar ini.
***
Malam ini, orang-orang yang datang minum kopi pagi hari tadi datang kembali. Tampak
kusut wajah yang mereka bawa dan seperti tengah memnyimpan sesuatu. Lelaki yang berkata
pembunuh itu adalah anak Yuk Ti sendiri sedang memesan kopi, lalu orang-orang yang
lainnya dengan lemas memesan kopi juga.
Bagaimana dengan Yuk Ti? tanya salah seorang laki-lakii kepada perempuan penjaga itu.
Lha yo embuh to lek7.
Tak ada yang menyela jawaban perempuan penjaga itu. Begitu pula orang yang mengatakan
anak Yuk Ti lah yang membunuh. Semua diam, termengu, salah seorang dari mereka menatap
kearah trotoar yang biasa Yuk Ti bertempat untuk berjualan.
Lihat, saya sudah tak bisa lagi merasakan sosok Yuk Ti yang selalu sumringah saat meladeni
sego boran untuk pelanggannya, ujarnya sembari menunjuk tempat Yuk Ti berjualan.
Orang-orang diam, lalu mengangguk sembari menatap trotoar itu.
Mas Yuk Ti kok belum buka? tanya seorang laki-laki yang masih berada di atas motornya
yang masih menyala bersama perempuan yang ada di belakangnya. Namun, orang-orang tak
ada yang menjawab, satu persatu dari mereka malah saling bertatap-tatapan .
Jawab nduk, ucap lirih salah seorang laki-laki sembari melengos ke arah perempuan
penjaga itu. Namun, perempuan itu tak berkutik sama sekali. Tak ada yang menjawab
pertanyaan itu, semua orang serba salah untuk menjawab pertanyaan itu.
Wonge wes mati8, sela salah seorang lelaki yang tengah berjalan di trotoar melewati saja
orang-orang yang tengah ngopi dan sesorang yang bertanya tentang Yuk Ti yang belum buka.
Tanpa melengos sedikitpun, seseorang yang berambut gondrong dengan tubuh keceng yang
mirip seperti pembunuh Yuk Ti itu berlalu sekilas melewati orang-orang dengan menyisakan
tatapan matanya yang tertuju kepada saya yang tengah duduk di atas trotoar.

7
8

Ya tidak tahu mas (Bahasa Jawa)


Orangnya telah mati (Bahasa Jawa)

Orang-orang tersontak kaget dengan ucapan yang diberikan lelaki itu. Seseorang yang
bertanya itu pun tak tahu menahu dan menjadi kebingungan lalu pergi. Lelaki yang
menganggap pembunuh itu adalah anak Yuk Ti sendiri pun melongo dibuatnya. Sedangkan
saya hanya dapat pastikan bahwa memang betul itu adalah lelaki yang membunuh Yuk Ti
malam itu. Rasanya saya geram sekali di lewatinya saja, sedangkan jika saya mampu, saya
ingin pula membunuhnya. Lelaki yang menganggap pembunuh Yuk Ti sendiri adalah
anaknya sendiri itu harus tahu bahwa lelaki yang barusan lewat itu adalah pembunuhnya.
Saya hanya mampu berdoa untuk lelaki pembunuh itu dan seharusnya tak ada prasangka yang
tertuju kepada anak Yuk Ti, sebab sebenarnya Yuk Ti sendiri merindukan anaknya yang sudah
jauh pergi. Keterbatasan ini membuat saya semakin geram pula, seharusnya saya menolong
Yuk Ti dari maut itu dan seharusnya saya memberi tahu bahwa bukan akan Yuk Ti lah
pembunuhnya.
Itu... anak Yuk Ti, pembuhnya! lelaki itu mengulang kembali prasangkanya kepada anak
Yuk Ti dengan menganggap lelaki yang barusan lewat adalah anak Yuk Ti.
Sego boran buatan Yuk Ti itu adalah wujud kerinduannya kepada anaknya itu, kau harus
tahu itu, saya menggerutu dalam diri kepada semua orang yang menganggap pembunuh itu
adalah anak Yuk Ti sendiri.
Malam itu seketika henting, riuh jalanan mulai menipis, orang-orang itu pun telah pergi
meninggalkan warung kopi. Lalu saya sendiri, memandangi riuh jalanan yang mulai menipis.
Saya sendiri disini, sedang menunggu datangnya Yuk Ti menjemputku atau menemaniku
duduk di atas trotoar ini. Saya merindukannya, seperti Yuk Ti yang merindukan anaknya.
Kalau saya diciptakan seperti Yuk Ti mungkin saya akan membuatkan sego boran untuk Yuk
Ti sebagai bentuk rindu saya.
Aku menunggumu, Yuk, gumam saya dalam diri berharap Yuk Ti mendengarnya.
Malam mulai lepas, saya telah terlelap. Debu-debu jalanan menyentuh tubuh saya, riuh suara
truk dan bis malam mengiringi malam ini, satu hari setelah tragedi kematian Yuk Ti. Namun,
dalam lelap saya merasakan ada sesuatu yang medekat dan akan datang menghampiriku,
entah apa hal itu. Ruang udara mulai menyempit, suara riuh truk dan bis malam tiba-tiba
melirih hingga hening, waktu melambat seketika. Saya yang tak sempat membuka pandangan
seketika terpental jauh ke hamparan aspal oleh sebab tendangan keras sesorang yang saya
belum tahu pasti siapa dia.

Seseorang itu mendekat. Kini saya melihatnya jelas, ia mendekat dan tepat di hadapan saya
yang tersungkur di atas aspal. Itu dia lelaki berambut gondrong dengan tubuh keceng. Ia
mendekat lalu mengambil saya dan dilemparkan ke hamparan trotoar. Lalu ia datang lagi,
tubuh saya tak karu-karuan dibuatnya, seperti akan hancur berkeping-keping. Kini lelaki
gondrong itu menginjak-injak tubuhku dengan penuh amarah.
Kau tahu, kau itu harus hancur pula, setelah ibukku kini kau yang harus pergi dari dunia ini.
Aku tak ingin melihat benda sepertimu ada di pandanganku, sebab kau lah, aku tak
dihiraukan oleh ibuku, ia lebih memilih sego borannya ketimbang aku, kau harus tahu itu,
bakul bangsat! ujar lelaki gondrong itu sembari menginjak-injak tubuh saya hingga ringsek.
Ia mengatakannya penuh amarah, ia melampiaskannya, kini saya tahu siapa yang tengah
dirindukan oleh Yuk Ti. Jika saya tak diciptakan seperti ini, saya ingin mengatakan sesuatu
atas gugatannya pada lelaki itu tentang sego boran yang menjadi wujud rindu Yuk Ti kepada
anaknya. Sedangkan saya hanyalah pemberkah agar sego boran milik Yuk Ti berbau ridho
dan doa.
***
Keesokan harinya, saya sudah tak berada di atas trotoar itu lagi. Kini saya hanya tinggal
menunggu dipungut kaarena sudah terlampau hancur. Sedangkan lelaki gondrong itu,
sebelumya melarikan diri dari tangkapan pertama saat pembunuhan Yuk Ti. Lalu ia ditangkap
kembali oleh polisi yang melakukan pengejaran, saat setelah meringsekkan saya. Malam itu
saya menangkap jelas tentang gugatan lelaki gondrong itu atas ketidakadilan Yuk Ti
kepadanya dulu.

Achmad Fathoni, berdomisili di Malang dan aktif berkegiatan bersama Pelangi Sastra
Malang.

Alamat: Jl.Bromo No. 46 Pujon Lor, Kabupaten Malang


No Rekening: 068301008674502 a/n Achmad Fathoni
No Hp: 085749501077

Anda mungkin juga menyukai