Anda di halaman 1dari 27

GAMBARAN ANEMIA PADA PENYAKIT

KRONIK DI RAWAT INAP RSUD KOJA

Disusun Oleh
Rizal Rinaldy (11-2009-059)
Hans Hernando (11-2009-067)

PEMBIMBING
Dr. Suzanna Ndraha, SpPD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2009

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Penyakit kronik adalah penyakit yang menetap atau rekuren, biasanya diderita

selama 3 bulan atau lebih. Penyakit kronik umumnya tidak bisa dihindari dengan vaksin
atau disembuhkan dengan pengobatan ataupun hilang sendiri. Faktor resiko terbesar pada

penyakit kronik adalah pola hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, kurang
berolahraga, dan kebiasaan makan yang tidak sehat. Prevalensi penyakit kronik cenderung
bertambah seiring dengan bertambahnya usia penderita.1
Pada

negara

berkembang

jenis-jenis

penyakit

kronik

adalah

penyakit

kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit saluran napas kronik, penyakit ginjal dan
tumor/neoplasma. Menurut penelitian WHO tahun 2002,penyakit kronik adalah penyebab

kematian terbesar di Indonesia, mencapai 61% dengan jumlah sampel 986.000 subjek,

dimulai dari yang terbanyak diderita, yaitu penyakit kardiovaskular (28%), penyakit kanker
(12%), penyakit saluran napas kronik (7%), diabetes mellitus (3%), dan sisanya (11%)
adalah penyakit kronik lain.2

Yang dimaksud dengan anemia adalah suatu kondisi dari berkurangnya jumlah sel

darah merah atau kuantitas dari hemoglobin dalam darah. Seperti kita ketahui, sel darah
merah berguna untuk mengangkut oksigen serta nutrisi dan menghantarkannya ke seluruh

sel-sel tubuh. Bila terjadi anemia, maka fungsi dari sel darah merah tersebut akan
berkurang tergantung dari derajat anemia yang diderita.1,3

Gejala anemia secara umum dapat berupa pucat, lemas, mudah lelah, namun pada

kasus anemia berat dapat timbul, nyeri dada, palpitasi, penurunan tekanan darah, sampai
sesak nafas. Anemia penting karena gejala yang ditimbulkan olehnya beragam dan dapat

mengancam nyawa.Pada penanganannya anemia perlu didiagnosa dengan tepat dan


mendapatkan terapi yang baik, sesuai dengan penyebabnya.3,4,5

Sampai saat ini, belum ada penelitian yang mencakup prevalensi anemia pada

pasien yang dirawat dengan penyakit kronik, baik dari data literatur luar negeri maupun di

dalam negeri. Namun menurut kepustakaan sebagian besar penyebab dari anemia di
1

seluruh dunia adalah anemia defisiensi besi, mencakup 50% dari seluruh penderita
anemia.5

Di RSUD Koja, pasien rawat inap dengan penyakit kronik cukup banyak, sebagian

diantaranya disertai anemia, namun evaluasi anemia pada penderita penyakit kronik
tersebut

belum

rutin

dilakukan.

Karena

itu

penelitian

ini

dilakukan

untuk

mengetahuibagaimana proporsi dan profil anemia pada pasien yang dirawat dengan

penyakit kronik di RSUD Koja, dengan tujuan agar penanganan pasien penyakit kronik
yang disertai dengan anemia dapat lebih baik dan tepat.
I.2 Identifikasi Masalah
Dari permasalahan diatas timbul pertanyaan penelitian, yaitu:
I.2.1 Pertanyaan umum:

Bagaimana proporsi dan profil anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.

I.2.2 Pertanyaan khusus:

1. Apa saja penyakit kronik di rawat inap RSUD Koja.

2. Bagaimana proporsi anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.


3. Bagaimana profil anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan umum:

Diketahuinya proporsi dan profil anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.

I.3.2 Tujuan khusus:

1. Diketahuinya gambaran penyakit kronik di rawat inap RSUD Koja.


2. Diketahuinya proporsi anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.
3. Diketahuinya profil anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja.

I.4 Hipotesis Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif, sehingga tidak memerlukan hipotesis.
I.5 Manfaat Penelitian

1. Dengan diketahuinya apa saja penyakit kronik di rawat inap RSUD Koja, maka

penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi pada pasien dengan penyakit kronik


menjadi lebih baik.

2. Dengan diketahuinya bagaimana proporsi anemia pasien yang dirawat di RSUD


Koja, maka perawatan pasien dengan anemia dapat lebih baik.

3. Dengan diketahuinya bagaimana profil anemia pasien yang dirawat di RSUD Koja,

maka penatalaksanaan anemia dapat lebih tepat sesuai dengan penyebab


anemianya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka
II.1.1 Definisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih

rendah dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dL dan Ht < 41% pada

pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht 37% pada wanita.6 Anemia juga dapat diartikan sebagai
suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau

jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Menurut SK Menkes no. 736a/Menkes/XI/189

tentang batas bawah kadar Hb untuk Indonesia, secara umum seseorang dapat dikatakan
anemia apabila hasil pengukuran kadar Hb < 12 g/dL.7
II.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya anemia antara lain:5,6,7

1. Perdarahan aktif: menstruasi yang banyak, luka terbuka dan perdarahan banyak, dll.
2. Kekurangan nutrisi seperti: zat besi, vitamin B12, dan asam folat.
3. Penyakit kronik : gagal ginjal, dll.

4. Kelainan genetik : thalassemia, sickle cell disease, sferositosis herediter, dll.


5. Ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.
6. Kehamilan.

7. Toksin dan obat-obatan.


8. Keganasan.
9. Infeksi.

II.1.3 Klasifikasi
II.1.3.1 Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis:4
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosis dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat


4

c. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan besi

a. Anemia akibat penyakit kronik


b.

Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulang


a. Anemia aplastik
b.

Anemia mieloptisik

d.

Anemia diseritropoietik

c. Anemia pada keganasan hematologi


e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia paska perdarahan akut

2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD

c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia dan hemoglobinopati


struktural: HbS, HbE, dll.

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular


a. Anemia hemolitik auto imun
b.

Anemia hemolitik mikroangiopati

D. Anemia penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

II.1.3.2 Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:4


I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major

c. Anemia akibat penyakit kronik


d. Anemia sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer

a. Anemia paska perdarahan akut


b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik


g. Anemia pada keganasan hematologik

III. Anemia makrositer

a. Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi asam folat

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b. Bentuk non-megaloblastik

1. Anemia pada penyakit hati kronik


2. Anemia pada hipotiroidisme

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

II.1.4 Patofisiologi
II.1.4.1 Patofisiologi Umum
Akibat dari menurunnya jumlah sel darah merah, maka tubuh melakukan beberapa

mekanismekompensasi fisiologis. Efek dari mekanisme ini adalah metabolisme oksidatif

tubuh yang meningkat karena kebutuhan energi yang dipakai meningkat pula sebagai

akibat dari sistem kompensasi. Berikut ini adalah beberapa macam respon tubuh terhadap
anemia:

1. Berkurangnya afinitas oksigen hemoglobin8


Meningkatnya pengambilan oksigen darah oleh jaringan berakibat pada

meningkatnya konsentrasi deoksiHb pada sel darah merah, yang menstimulasi

produksi dari 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG). 2,3-DPG ini menyebabkan


bergesernya kurva dissosiasi dari Hb-oksigen ke kanan, yang berakibat pada
meningkatnya penghantaran oksigen dari darah ke jaringan.
Kurva
dissosiasi
Hb-O2
normal

Saturasi Hb-O2 (%)

Pada anemia, meningkatnya 2,3-DPG menggeser


kurva ke kanan, jadi dengan tekanan parsial yang
sama terdapat lebih sedikit molekul oksigen yang
terikat dengan Hb (berkurangnya saturasi).
Pengurangan afinitas ini berakibat pada
penghantaran oksigen ke jaringan yang lebih
baik.

P O2
2. Redistribusi dari aliran darah8
Pada anemia sebagian pembuluh darah pada area nonvital mengalami
vasokonstriksi selektif dengan tujuan untuk mengalirkan lebih banyak darah ke area

yang vital/ kritikal. Pada keadaan ini kulit dan ginjal mengorbankan kinerja

aerobnya. Pergeseran darah dari lapisan kutan ini merupakan mekanisme dibalik

pucatnya kulit, suatu tanda utama dari anemia. Meskipun ginjal tidak terpikirkan
7

sebagai suatu area nonvital, ternyata dalam kondisi normal ginjal menerima aliran
darah yang jauh lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk metabolismenya.
Pada anemia kronik, tubuh penderita justru memiliki volume darah total yang
meningkat, meskipun total massa sel darah merah menurun, hal ini dimengerti

sebagai suatu upaya dari tubuh untuk meningkatkan darah dari segi kuantitas (yang
dari segi kualitas telah menurun).
3. Peningkatan curah jantung8
Organ jantung merespon hipoksia pada jaringan dengan cara meningkatkan curah
jantung. Curah jantung yang meningkat disertai dengan penurunan resistensi

pembuluh darah perifer serta berkurangnya viskositas darah, sehingga curah


jantung dapat ditingkatkan tanpa diiringi dengan meningkatnya tekanan darah.

Secara umum anemia yang dialami sudah pada tahap yang parah (Hb <7
g/dL)sebelum terjadinya peningkatan curah jantung.

II.1.4.2 Patofisiologi Anemia Menurut Klasifikasi Berdasarkan Morfologi dan


Etiologi:4

I.

Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
Untuk membuat sel darah merah diperlukan zat besi (Fe). Kebutuhan

Fe sekitar 20 mg/hari, dan hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total


Fe dalam tubuh berkisar 2-4 mg, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35

mg/kg BB pada wanita. Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan


kronik. Di Indonesia banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang
(ankilostomiasis), inipun tidak akan menyebabkan anemia bila tidak disertai
dengan malnutrisi.7

Anemia jenis ini dapat pula disebabkan karena:5,7


1. Diet yang tidak mencukupi
2. Absorpsi yang menurun

3. Kebutuhan yang meningkat pada wanita hamil dan menyusui


4. Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah

5. Hemoglobinuria

6. Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.


b. Thalassemia major
Disebut

juga

Cooleys

anemia

atau

mediteranian

anemia.

Thalassemia jenis ini tidak terjadi pembentukan rantai . Dengan demikian


akan terjadi kelebihan rantai yang akan mengalami presipitasi dalam

eritroblas maupun eritrosit. Sel ini akan dihancurkan sehingga terjadi


anemia hemolitik dan eritropoiesis inefektif.7
c. Anemia akibat penyakit kronik
Pada anemia jenis ini, diduga mekanisme anemia merupakan bagian

dari sindrom stress hematologik dimana terjadi produksi sitokin yang

berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi, atau kanker.


Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga

mengikat lebih banyak zat besi, destruksi eritrosit di limpa, dan menekan

produksi eritropoietin di ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang


inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang.4,5

Terdapatnya kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup,

menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik.

Uptake zat besi ke sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih
dipertahankan normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe
dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronik.4

Pada penyakit kronik diduga respon terhadap eritropoietin berkurang

sehingga terjadi anemia. Mekanisme ini masih kontroversial, karena pada

beberapa penelitian ternyata kadar eritropoietin tidak berbeda bermakna


pada pasien anemia tanpa kelainan kronis. Sedangkan penelitian lain
menyebutkan adanya penurunan produksi eritropoietin yang diduga akibat

sitokin (IL-1, TNF-, IFN). Banyak penelitian yang membuktikan bahwa

faktor-faktor yang dihasilkan oleh sel-sel yang mengalami inflamasi


menurunkan respon eritropoietin endogen dan atau eksogen. 4,5

d. Anemia sideroblastik

Anemia sideroblastik dihubungkan dengan mutasi dari gen-gen

mitokondria yang menyebabkan eritropoiesis yang tidak efektif dan


metabolisme besi yang terganggu. Akibat dari mutasi gen tersebut terjadi
gangguan pengikatan besi oleh Hb, sehingga terdapat butir-butir besi pada

eritrosit. Hal ini mengakibatkan gangguan fungsi dari hemoglobin yaitu


mengikat O2.5
II.

Anemia normokromik normositer


a. Anemia paska perdarahan akut
Segera setelah perdarahan, volume darah total akan berkurang, tetapi

kadar Hb dan Ht belum menurun. 20-60 jam setelah perdarahan terjadi

perpindahan cairan dari ekstrasel ke intravaskular. Pada saat ini jumlah


eritrosit per L, Hb dan Ht menurun. Stadium hemodilusi terjadi selama 1-3
hari setelah perdarahan dan timbul anemia normositik normokrom. 7
b. Anemia aplastik
Pada anemia aplastik terjadi kegagalan produksi pada 3 komponen

sel darah. Hasil pencitraan dengan MRI vertebra memperlihatkan digantinya


sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.5
c. Anemia pada gagal ginjal kronik

Gejala anemia mulai dapat dijumpai pada GGK stadium III dan

merupakan gejala klinis yang umum pada GGK stadium IV. Penyebab
utama dari anemia adalah insufisiensi produksi eritropoietin. Ada beberapa

faktor tambahan, seperti defisiensi besi dan gangguan penggunaan besi


akibat inflamasi kronik pada ginjal.5

d. Anemia pada sindrom mielodisplastik


Sindrom mielodisplasia adalah gangguan pembelahan sel induk yang

mengakibatkan kerusakan proliferasi dan diferensiasi sel. Mielodisplasia

disebabkan secara eksogen, seperti radiasi dan agen toksik benzena.


10

Sindrom mielodisplasia sekunder muncul sebagai efek samping kronik dari

pengobatan kanker, biasanya akibat dari radiasi dan radiomimetic alkylating


agent seperti busulfan, nitrosourea, prokarbazin atau DNA topoisomerase
inhibitor.5
III.

Anemia makrositer
1. Anemia defisiensi asam folat.

Anemia ini berhubungan dengan faktor-faktor seperti:4


a. Asupan yang tidak memadai

b. Keperluan yang meningkat, yaitu pada kehamilan

c. Malabsorpsi. Penyakit yang sering menyertai adalah tropical sprue.

d. Obat-obatan, contohnya: analog purin, analog pirimidin, antivirus

zidovudin, antagonis folat (metotreksat), dapat juga oleh fenitoin,


primidon, dan fenobarbital.

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa.


Anemia ini disebabkan oleh:4
a. Gangguan absorpsi: paska gastrektomi, adanya parasit intestinal
(cacing pita).

b. Abnormalitas

ileum,

yaitu

tropical

enteropathy, penyakit Whipple dan TBC.

c.

sprue,

gluten-sensitive

Sindrom Zollinger-Elison, yaitu hiperasiditas lambung karena tumor

yang mensekresi gastrin sehingga mengakibatkan malabsorpsi


kobalamin.

d. Penyakit

Imerslund-Grasbeck,

yaitu

defek

kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri.

selektif

absorpsi

e. Nitrous Oxyde dapat menghancurkan kobalamin endogen bila

pemakaian berulang atau berkepanjangan (lebih dari 6 jam),


utamanya pada pasien tua.

11

II.1.5 Gejala Klinis


II.1.5.1 Gejala Umum
Ketika beberapa mekanisme diatas tidak dapat mengkompensasi, gejala-gejala

klinis mulai semakin jelas terlihat. Tingkat keparahan dari gejala-gejala ini lebih

menunjukkan berapa lamanya anemia diderita daripada derajat anemia itu sendiri.
Kondisi perdarahan akut baru memberikan gejala apabila kehilangan sekitar 20% dari

total volume darah. Sebaliknya, anemia yang berjalan perlahan namun dalam jangka
waktu yang lama cenderung akan mengalami kehilangan total volume darah yang lebih

besar terlebih dahulu sebelum mulai menimbulkan gejala. Tidak jarang ditemukan
pasien yang kadar Hb hanya 4 g/dL dan hematokrit 12% (kehilangan 70% dari total

massa sel darah merah) dibawa berobat ke klinik oleh keluarganya dengan keluhan
karena terlihat sedikit pucat saja.8

Saat gejala bertambah berat, timbul berbagai keluhan akibat kurangnya

penghantaran oksigen ke jaringan: sesak saat beraktivitas, mudah lelah, pingsan, kepala

terasa melayang, tinnitus, dan sakit kepala. Juga, keadaan hiperdinamik pada sistem

kardiovaskular dapat menyebabkan palpitasi dan juga tinnitus. Keadaan ini, seperti

yang dapat diduga, diperparah oleh anemia. Angina pectoris dan claudicatio
intermittens menjelaskan efek dari anemia yang telah mengalami gangguan perfusi.8

Gejala klinis yang dapat dijumpai dari anemia yang berjalan perlahan adalah

pucat, takikardi, dan systolic ejection murmur. Pada anemia yang terjadi dengan cepat
(misal pada keadaan perdarahan akut dan anemia hemolitik berat), gejala yang
dijumpai adalah sinkop saat bangun dari tidur, hipotensi ortostatik, dan takikardi

ortostatik.5 Perlu diingat bahwa anemia yang berkembang dari perdarahan yang terus-

menerus, kadar Ht dan Hb bisa tetap normal (karena pada perdarahan ini sel darah
merah dan plasma hilang dalam kadar yang sama).8

Warna konjungtiva, kuku, bibir, mukosa mulut, dan lipatan telapak tangan

adalah temuan dari pemeriksaan fisik yang secara tradisional dipakai oleh dokter untuk
menegakkan diagnosa anemia. Disini diteliti 50 pasien untuk menentukan apakah ada

korelasi antara temuan ini dan kadar Hb. Ternyata, ada korelasi signifikan secara

statistik antara kadar Hb dengan temuan fisik: pucat pada konjungtiva tarsal bawah
12

mata, pucat/merahnya kuku, dan warna pada lipatan telapak tangan. Hasil dari

penelitian ini membuktikan bahwa adanya anemia dapat diperkirakan secara klinis
melalui pemeriksaan fisik yang teliti.9
II.1.5.2 Gejala Khas
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, contohnya:4,5
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).

b. Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi


vitamin B12.

c. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, dan hepatomegali.


d. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
II.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia merupakan penunjang

diagnostik pokok. Pemeriksaan ini terdiri dari:4


1. Pemeriksaan penyaring (screening test)

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar


hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan

adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut.

2. Pemeriksaan darah seri anemia

Pemeriksaan ini meliputi hitung leukosit, trombosit, retikulosit dan laju endap
darah.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai

sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada

beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk


diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik
yang dapat mensupresi sistem eritroid.

13

4. Pemeriksaan khusus

Merupakan pemeriksaan yang hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya


pada:

a. Anemia defisiensi besi: Serum Iron. TIBC (Total Iron Binding Capacity),
Saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferin,
dan pewarnaan besi pada sumsum tulang.

b. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi


deoksiuridin dan tes Schiling.

c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis Hb, dll.


II.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pada anemia dapat berupa:
a. Terapi untuk keadaan darurat, seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia paska perdarahan akut
yang disertai gangguan hemodinamik.4

b. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia sesuai penyebabnya

14

Kerangka Teori
1.
2.
3.
4.
5.

CKD
DM Tipe 2
TBC
CHF
Sirosis Hepatis
Penyakit Kronik

Tidak Anemia

Anemia

Hb 12 g/dL

Hb < 12 g/dL

SI Normal

SI turun
Anemia ec
defisiensi Fe

Anemia
hemolitik

Anemia
aplastik

Anemia
akibat
hemoragi

Anemia
defisiensi
folat/Vit
B12

Anemia
sebab lain

15

Kerangka Konsep

Penyakit Kronik

Anemia
Hb < 12 g/dL

SI turun

SI Normal

Anemia ec
defisiensi Fe

Anemia sebab lain

16

BAB III

1. Desain:

METODA PENELITIAN

Penelitian observasional Kros Seksional

2. Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di RSUD Koja pada tanggal 9 November 2009 s/d 27


Desember 2009.

3. Populasi dan sampel

Populasi terjangkau adalah semua pasien rawat inap dengan penyakit kronik di
RSUD Koja. Subjek penelitian adalah mereka yang termasuk ke dalam populasi

terjangkau dan memenuhi kriteria penelitian. Metoda pengambilan sampel adalah


dengan cara non-probability sampling yaitu consecutive sampling.

4. Kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi: Semua pasien rawat inap dalam periode waktu 9 November 2009
s/d 27 Desember 2009 dengan penyakit kronik apapun juga.
Kriteria eksklusi:
-

Pasien tidak sadar

Pasien yang menolak diambil darahnya

Pasien tidak bisa berbahasa Indonesia

5. Besar sampel

Penelitian ini bersifat survei, sehingga tidak memerlukan perhitungan besar sampel.

6. Cara kerja
-

Semua pasien yangdirawat di Ruang Rawat Lantai VI dan IW penyakit Dalam

Pasien diminta mengisi informed consent.

RSUD Koja didata dan dikeluarkan bila memenuhi kriteria eksklusi.


Pasien didata:
a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Penyakit kronik yang diderita

d. IMT (Tinggi badan, berat badan)

e. Lab: kadar Hb, bila <12g/dL: periksa serum iron

7. Identifikasi variabel
a. Usia

b. Jenis kelamin
17

c. Penyakit kronik yang diderita


d. IMT
e. Hb
f. SI

8. Definisi operasional variabel

a. Umur adalah lama hidup seseorang dalam satuan tahun yang sudah genap
dijalani.

b. Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua manusia sebagai
wanita atau pria.

c. Penyakit kronik yang diderita adalah penyakit yang menetap atau rekuren,
telah diderita selama 3 bulan atau lebih.

d. IMT

i. Tinggi badan

1. Definisi: merupakan antropometri yang menggambarkan


keadaan pertumbuhan skeleton

2. Cara ukur :
-

Melepaskan sepatu, pakaian luar yang berat, dan hiasan

Berdiri menyandar pada dinding dengan cara: bagian

rambut.

belakang kepala, punggung, pantat, betis, dan tumit


segaris dengan kaki.

Meminta pasien melihat ke depan, kemudian diukur


tinggi badannya.

3. Alat ukur : Alat ukur sentimeter.

4. Hasil ukur : numerik, dalam satuan sentimeter (cm).

ii. Berat badan

1. Definisi : massa total dari jaringan, lemak, air, otot, dan


mineral dari tulang pada satu individu.

2. Cara ukur:
-

melepaskan pakaian luar (jaket, jas, dll), sepatu, dan


perlengkapan
pengukuran.

lain

yang

dapat

mempengaruhi

Berdiri di tengah alat ukur sehingga beban tubuh


terdistribusi merata pada kedua kaki.

18

Berat tercatat pada skala alat ukur.

3. Alat ukur : timbangan badan


e. Hb

4. Hasil ukur : numerik, dalam satuan kilogram (kg).

1. Definisi : Tes untuk mengukur kadar hemoglobin dalam


darah.

2. Cara ukur : Darah diambil dari vena, disimpan dalam tabung

dengan K3EDTA, kemudian diproses di laboratorium dengan


metoda cyanide-free hemoglobin spectophotometry.

3. Alat ukur : Cell-Dyn 3700 (Abbott) atau K-4500 (Sysmex).

4. Hasil ukur : numerik, dalam satuan g/dL. Dinyatakan anemia


f. SI

bila Hb <12g/dL.7

1. Definisi : Tes untuk mengukur kadar besi bebas dalam serum


darah.

2. Cara ukur : Darah diambil dari vena, tanpa antikoagulan


kemudian serum darah diproses di laboratorium dengan
metoda colorimetric ferrozine end-point.

3. Alat ukur : Cobas MiraPlus ABX Diagnostics.

4. Hasil ukur : Numerik, dalam satuan g/dL. Nilai normal: 609. Analisis data

150 g/dL.

Semua data kategori disajikan dalam n (%).

Semua data numerik yang berdistribusi normal disajikan dalam mean (SD), dan
bila tidak berdistribusi normal disajikan dalam median.

10. Masalah etika

Akan dimintakan ETHICAL CLEARANCE dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran FK


UKRIDA. Data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya.

19

BAB IV

HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian terhadap sejumlah pasien yang dirawat di ruang rawat

inap penyakit dalam RSUD Koja dengan diagnosis penyakit kronik gagal ginjal kronik,
diabetes melitus tipe 2, tuberkulosis (paru dan tulang belakang), gagal jantung kongestif,

sirosis hepatis, asma bronkial, hepatoma, tumor paru,AIDS, appendisitis kronik, infark
miokard, VES bigemini, hipertensi, kolangitis e.c. kolelithiasis kronik, dan anemia

defisiensi besi. Didapatkan 55 orang dengan karakteristik sebagaimana ditampilkan pada


tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik dari pasien rawat inap dengan penyakit kronik (n= 55)
Karakteristik
N*
%
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

30
25

54,5
45,5

14
25
16
51,4

25,5
45,5
29,1

Penyakit kronik (5 terbanyak)


GGK
DM Tipe 2
Tuberkulosis
Gagal jantung kongestif
Sirosis hepatis

14
9
6
3
3

25,5
16,4
10,9
5,5
5,5

IMT
Kurang (< 18,5 kg/m2)
Normal (18,5 25 kg/m2)
Lebih (> 25 kg/m2)
Rata-rata ( mean SD )

15
34
6
20,6

27,3
61,8
10,9
3,2

28
27

50,9
49,1

Usia

<40 tahun
40-60 tahun
>60 tahun
Rata-rata ( mean SD )

Hb
Normal
Kurang
Serum Iron
Normal
Kurang
(SD)

15,5

7
25,9
20
74,1
* Data disajikan sebagai n(%) atau mean

20

Gambar 1 menunjukkan hasil kadar Hb pada 55 pasien penyakit kronik rawat inap di

RSUD Koja. Didapatkan 27 (49,1%) pasien dengan Hb dibawah normal.

Gambar 1. Proporsi anemia pada pasien rawat inap dengan penyakit kronik di RSUD Koja

Sebagian besar subjek dengan anemia yang disertai SI dibawah normal mempunyai

riwayat perdarahan atau dugaan perdarahan kronik tersamar saluran cerna. Gambar 2
menunjukkan bahwa dari 20 subjek dengan anemia yang disertai SI dibawah normal, hanya 1

subjek yang tidak mempunyai riwayat perdarahan atau dugaan perdarahan kronik tersamar

saluran cerna. Dari 19 subjek dengan anemia yang disertai SI dibawah normal hanya 2 orang
yang mempunyai riwayat hemoptoe, namun keduanya juga mempunyai riwayat minum

jamu/OAINS dan dengan keluhan dispepsia dan salah satu diantaranya memiliki riwayat
hematokesia.

Gambar 2. Riwayat perdarahan pada anemia dengan SI dibawah normal di RSUD Koja

Dari 27 subjek dengan penyakit kronik disertai anemia, hanya 7 subjek yang mempunyai

SI normal. Dari 7 subjek tersebut, 6 subjek (85,7%) didiagnosa gagal ginjal kronik, dan hanya
1 subjek (14,3%) yang didiagnosa tb paru (Gambar 3).

21

Gambar 3. Jenis penyakit kronik pada pasien rawat inap anemia dengan SI normal di RSUD Koja

22

BAB V

PEMBAHASAN
Dari tabel karakteristik 1 didapatkan penderita penyakit kronik yang terbanyak adalah

laki-laki yaitu 30 orang (54,5%), sedangkan perempuan sebanyak 25 orang (45,5%).

Dari tabel 1 juga didapatkan bahwa usia rata-rata pasien adalah 51,4 15,6 tahun.

Lima penyakit kronik terbanyak yang ditemukan adalah gagal ginjal kronik sebanyak 14
orang (25,5%), diabetes melitus tipe 2 sebanyak 9 orang (16,4%), tuberkulosis sebanyak 6

orang (10,9%), gagal jantung kongestif sebanyak 3 orang (5,5%), dan sirosis hepatis

sebanyak 3 orang (5,5%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian WHO2tahun 2002 dimana
penyakit terbanyak adalah penyakit kardiovaskular sebanyak 271.040 subjek (28%),

penyakit kanker sebanyak 116.160 subjek (12%), penyakit saluran napas kronik sebanyak

67.760 subjek (7%), diabetes mellitus sebanyak 29.040 subjek (3%), dan sisanya 106.480
subjek (11%) adalah penyakit kronik lain. Perbedaan ini antara lain disebabkan populasi

pasien penderita penyakit kardiovaskular di RSUD Koja sebagian besar dirawat di

perawatan jantung, bukan perawatan penyakit dalam, dimana survei ini dilakukan.

Penyebab kedua adalah karena survei yang dilakukan ini hanya terbatas pada waktu 8
minggu, sehingga belum dapat menggambarkan seluruh pasien yang dirawat dalam
setahun.

Pada pemeriksaan kadar hemoglobin (gambar 1) diperoleh hasil pasien dengan kadar

hemoglobin normal sebanyak 28 subjek (50,9%), sedangkan dengan kadar hemoglobin


dibawah normal sebanyak 27 subjek (49,1%). Dari hasil ini berarti hampir separuh dari

pasien dengan penyakit kronik menderita anemia. Sedangkan hasil kadar serum iron pada

pasien penyakit kronik dengan anemia(tabel karakteristik 1) didapatkan 7 subjek dengan SI

normal (25,9%) dan SI kurang sebanyak 20 subjek (74,1%). Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa secara umum sebagian besar anemia ( 50%) di

seluruh dunia disebabkan oleh kekurangan besi5dan juga disebutkan anemia defisiensi besi
paling sering dijumpai pada negara tropik4.

Dari gambar 2 didapatkan bahwa dari 20 subjek dengan SI dibawah normal, 19 subjek

(95%) mempunyai riwayat perdarahan lain dan 1 subjek (5%)tanpa riwayat perdarahan

lain. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan kehilangan besi pada pasien
23

dewasa hampir identik dengan perdarahan menahun atau kronik dengan berbagai penyebab
termasuk riwayat pemakaian OAINS4.

Pada gambar 3 diperoleh hasil bahwa 7 subjek yang menderita anemia dengan kadar

serum iron normal, 6 subjek (85,7%) diantaranya didiagnosa menderita gagal ginjal kronik
dan 1 subjek (14,3%) didiagnosa tb paru. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada
anemia yang disebabkan oleh penyakit renal hasil serum iron-nya adalah normal 5.

24

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa 5 penyakit kronik

terbanyak pada pasien rawat inap di RSUD Koja adalah gagal ginjal kronik, DM tipe 2,
tuberkulosis (paru dan tulang), gagal jantung kongestif, dan sirosis hepatis.

Proporsi penyakit kronik dengan anemia adalah sebanyak 27 subjek (49,1%).

Sebagian besar pasien anemia (20 subjek, 74,1 %) mempunyai nilai serum iron dibawah
normal.

Profil dari anemia pada pasien rawat inap dengan penyakit kronik adalah karena

kekurangan

besi

yang

disertai

riwayat

perdarahan/dugaan

perdarahan

kronik

(95%)danhanya 1 subjek (5%) yang diperkirakan kekurangan besi sebagai penyebab


tunggal anemianya. Sedangkan pada 7 pasien anemia dengan nilai serum iron normal, 6

diantaranya didiagnosa gagal ginjal kronik dan diduga penyebab anemianya adalah

defisiensi erithropoetin. Penyebab anemia lainnya tidak dapat diperiksa lebih lanjut oleh
karena keterbatasan waktu dan finansial.
Saran

Diharapkan bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lainnya untuk

mengetahui penyebab anemia, seperti TIBC, serum ferritin, morfologi darah tepi, hitung
retikulosit,dsb sehingga hasil penelitian dapat lebih spesifik dan akan lebih baik hasilnya di
masa mendatang.

25

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA
1.

Definition of Chronic disease. MedicineNet Publishing [article online] 2004 [cited

2009 Des 28]. Available from: URL:

http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=33490.

The Impact of Chronic Disease in Indonesia. World Health Organization:2002

[cited 2009 Des 28]. Available from: URL:

http://www.who.int/chp/chronic_disease_report/en/.

Conrad ME. Anemia overview. Medscape Emedicine [article online] 2009 Des

[cited 2009 Des 28] Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/198475-overview.

Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG, Soenarto, Parjono E, Sudoyo AW. Anemia.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata M, setiati S. Buku ajar


Ilmu Penyakit Dalam jilid ke II. Edisi keempat. Jakarta:penerbit FKUI;2006. hlm.

622-653.

Hillman RS. Hematopoietic Disorders. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,

Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principle of Internal Medicine 17th
edition. McGraw-Hill;2008. p. 628-671.

Haryanto A. Hematologi. In: Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI,

Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran


aesculapius;2001. p. 547-548.

jilid 1. Jakarta:FKUI media

Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun Patologi Klinik

Hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida;Juli 2007, p.


104;108-109;119-120;132-137.

Uthman E. Anemia: Pathophysiologic Consequences, Classification, and Clinical

Investigation [serial online] 1998 [cited 2009 Des 28]. Available from: URL:
http://web2.airmail.net/uthman/anemia/anemia.html.

Strobach RS, Anderson SK, Doll DC, Ringenberg QS. The Value of the Physical

Examination in the Diagnosis of Anemia Correlation of the Physical Findings and


the Hemoglobin Concentration. Arch Intern Med;1988:148: 831-832.

26

Anda mungkin juga menyukai