Anda di halaman 1dari 13

USAHA KACANG METE MELALUI

UMKM
AGUS KHALIK
Pemilik Toko Oleh-oleh Khas Makassar
Rintis Usaha Mete dari Nol Melalui UMKM

Foto: Effendy Wongso


Jalani usaha dari titik nol memang tidak mudah. Banyak proses getir yang mesti
dijalani sehingga bisa berkembang hingga membuahkan hasil seperti sekarang. Itulah
yang dirasakan oleh Agus Khalik, pengusaha yang bergerak di sektor usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), Oleh-oleh Khas Makassar.
Ditemui beberapa waktu lalu di rukonya, Jalan Monumen Emmy Saelan,
Makassar, Agus, demikian pengusaha mandiri ini disapa, mengungkapkan awal-awal
sulit yang dijalaninya selama 12 tahun merintis usahanya. Saya sempat jatuh-bangun,
bahkan dua kali di awal usaha. Tapi saya tetap berusaha bangkit lagi, ungkap pria
yang menikah pada 10 Maret 2001 ini.
Agus mengisahkan, ihwal usaha yang dibangunnya tak lepas dari ketertarikannya
terhadap mete. Sewaktu bekerja sebagai tenaga pengajar mata kuliah Bimbingan
Konseling di STKIP Makassar, runutnya, sepulang kerja, ia kerap singgah di perkulakan
Goro, Jalan AP Pettarani, Makassar, untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari saya tertarik dengan mete, ketika itu saya melihat mete dalam jumlah
banyak, bertumpuk-tumpuk, tapi masih tetap pada posisi semula, tidak pernah
berkurang dari minggu ke minggu, akunya.
Sejak saat itulah, suami dari Suryati ini kemudian memutuskan untuk membeli
mete sekitar setengah kilogram untuk diolah kemudian dijual. Kemasan yang
dipakainya masih sederhana, ia mengemas mete dengan harga eceran Rp 1.000 per
bungkus, yang kemudian dititip di warung makan.
Saya tidak menyangka, respons pasar yang positif waktu itu. Pada saat itulah,
saya kemudian memberanikan diri untuk membeli mete lebih banyak lagi, ujar Agus.
Selain menitip mete gorengya di warung makan, ia pun menjajakan ke kampuskampus dan toko-toko besar dengan berjalan kaki. Kerap kali barang yang ditawarkan
pria kelahiran Sidrap, 12 Januari 1973 ini, mendapat penolakan dari pemilik toko,
namun ia tidak patah semangat.
Untuk meraih sukses, ayah dua anak ini mengemukakan terus memperdalam
kelihaian dalam bisnis. Pelatihan bisnis yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
kampus-kampus, lanjutnya, tidak pernah luput dari perhatiannya. Meski kerap ditolak
oleh panitia pelaksana pelatihan karena tidak membawa undangan pada waktu itu, ia
menunggu hingga kegiatan dilaksanakan.
Biasanya saya bertanya kepada panitia, boleh tidak saya menggantikan
undangan yang tidak datang, nah dari sana biasanya saya diizinkan masuk sebagai
peserta kegiatan, kenang Agus.
Anak dari pasangan Abdul Khalik dan Bayani ini mengatakan, meraih sukses
memang tidak mudah. Mendapat penolakan dari berbagai pihak adalah hal yang biasa.
Menurut Agus, tekad kuat dan tidak mudah putus asa, memang sudah ditanamkan oleh
orang tuanya sejak ia kecil.
Didikan orang tua saya yang mengajarkan kemandirian, membentuk karakter dan
mental saya. Sejak kecil, SD hingga SMP, saya diajarkan hidup mandiri dengan
menjual es lilin, ungkapnya.
Selain itu, tambahnya, kejujuran dan kesabaran adalah sifat yang ditanamkan
orang tuanya sejak dini. Ayah dari Azra dan Naufal ini juga dididik untuk taat terhadap
ajaran agama. Semua hal ini membentuk karakter tangguh dan tak gampang menyerah
sehingga bisa menjalankan usahanya dengan sukses.
Usaha yang Semakin Berkembang
Agus mengatakan, di 2014 usahanya semakin berkembang. Ia mulai kewalahan
memenuhi permintaan kacang mete yang semakin banyak lantaran modal yang
dimilikinya masih kecil. Ia kemudian menghubungi teman temannya yang memiliki
koperasi untuk berinvestasi dibisnisnya.
Waktu itu modal yang terkumpul sebanyak Rp 25 juta. Nah, dengan modal
sebesar itu, saya akhirnya bisa memenuhi permintaan pasar dengan membuat mete
sebanyak lima kilogram per hari, terangnya.
Saat ini,urai Agus, selain mete goreng, ia juga memproduksi kacang goreng dan
jagung yang dapat dijumpai di mal atau swalayan terkemuka seperti Hypermart dengan
merk Asan. Asan diambil dari singkatan nama keluarganya, Agus, Suryati, Azra, dan

Naufal. Omset yang dicapai saat ini mencapai puluhan juta rupiah perbulan. Sedangkan
produknya telah dipasarkan di Kendari, Surabaya, dan Jakarta.
Meski telah sukses, namun Agus tidak tinggi hati. Ia mengatakan, baginya, produk
yang masuk di mal tidak mengambil untung besar, akan tetapi sebatas promosi saja.
Saya lebih banyak meraih keuntungan dari toko Oleh-oleh Khas Makassar, yang
terletak di Jalan Emmy Saelan ini, tandasnya.
Bermula dari 5 Kilogram
Agus menerangkan, mete atau mede dikenal pula sebagai jambu monyet
(anacardium occidentale), merupakan sejenis tanaman dari suku anacardiaceae yang
berasal dari Brasil dan memiliki buah yang dapat dimakan. Buah ini bijinya biasa
dikeringkan dan digoreng untuk dijadikan berbagai macam penganan. Secara botani,
tumbuhan ini sama sekali bukan anggota jambu-jambuan (myrtaceae) maupun kacangkacangan (fabaceae), melainkan malah lebih dekat kekerabatannya dengan mangga
(suku Anacardiaceae).
Dijelaskan, mete dalam bahasa Inggris dinamakan cashew (tree), berasal dari
bahasa Portugis (untuk menamai buahnya), caju. Sedangkan nama marganya,
anacardium, merujuk pada bentuk buah semunya yang seperti jantung terbalik.
Agus Khalik memulai usaha kacang mete bermula dari lima kilogram.
Pengemasan dilakukan secara sederhana, dengan membanderol Rp 1.000 per
bungkus. Saya mengajak teman-teman untuk investasi modal, mereka punya koperasi
dan menyisihkan gaji dari koperasinya untuk investasi, ungkapnya.
Dari sana, terang Agus, terkumpul Rp 25 juta. Investasi terus meningkat, apalagi
ketika harga mete naik seratus persen, yang semula Rp 27 ribu ke Rp 55 ribu per
kilogram.
Sekarang, hasil produksinya tak hanya mete, tetapi juga jagung disco (camilan
khas Makassar) dan markisa. Selain itu, saya juga menampung produk UMKM lain
seperti sirup markisa, minyak gosok, dan lain-lain, serta memasarkannya kepada
pelanggan tetap, paparnya. (blogkatahatiku.blogspot.com)

Wawancara dengan seorang pengusaha sukses markisa


Indonesia

Sirup Markisa goes to Australia


Negara Australia dengan pendapatan perkapita sekitar US $ 33.000 dan berpenduduk sekitar 20
juta jiwa merupakan suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan
survey pasaran dan referensi dari para pengusaha Indonesia, di Australia ada beberapa produk
atau komoditas yang telah berhasil menembus serta berkembang di Australia, salah satunya
adalah produk-produk makanan & minuman.

Baru-baru ini, sebagian orang Austalia sudah mulai mengenal minuman khas Makasar (Sulawesi
Selatan) yaitu Sirup Markisa. Perkenalan orang Australia dengan minuman khas Makasar ini
tidak dapat dipisahkan dengan kiprah dari seorang pengusaha sirup markisa asal Makasar, Bapak
Chairul A. Halim. Dihubungi di sela-sela kesibukannya menjalankan perusahaan CV. Surya
Lestari, perusahaan penghasil Sirup Maskisa merk Cemerlang, Bapak dari dua orang Putri ini
bersedia untuk menceritakan sepintas pengalaman beliau dan perusahaannya dalam mengakses
pasar Australia kepada reporter kami. Berikut ini adalah cuplikan wawancara yang berhasil kami
lakukan di sore hari pada hari minggu (13 Mei 2004), mengingat pada hari-hari kerja, waktu
beliau dihabiskan di kantor dan perjalanan bisnis ke daerah-daerah pusat penghasil buah markisa,
seperti Toraja dan Gowa.
Bisakah Bapak ceritakan sekilas sejarah perusahaan yang Bapak pimpin ini?
Perusahaan CV. Surya Lestari ini didirikan pada tahun 1996, karena kita melihat Sulawesi
Selatan ini memiliki sumber daya alam buah markisa yang sangat berlimpah. Saya memulai
industri rumah tangga ini bersama-sama dengan istri dan kedua anak, saya sebut dengan industri
rumah tangga karena dari dulu hingga sekarang yang mengelola (pegawai tetap bidang produksired.) perusahaan ini sebanyak tujuh orang (kalau termasuk Bapak Chairul maka delapan orang).
Tapi pengalaman saya berkecipung di dunia sirup markisa telah dialami jauh hari sebelum kami
mendirikan CV. Surya Lestari ini, yaitu pada tahun 1989. Ini dikarenakan dengan pengalaman
saya sebagai pegawai dalam mengelola dan mengembangkan produk sirup markisa pada
perusahaan orang lain.

Upaya saya untuk mendirikan perusahaan ini, selain dikarenakan perusahaan tempat saya bekerja
mengalami kebangkrutan juga dikarenakan adanya kreativitas serta jiwa dagang (berwiraswastared.) dari sang istri yang cukup besar. Ketika saya berkecimpung di dunia markisa, sering saya
membawa pulang buah markisa banyak. Istrilah yang mulai melakukan upaya pembuatan sirup
markisa, yang kemudian dikenal sebagai sirup markisa merk cemerlang, produk andalan
perusahaan kami.
Awalnya sirup markisa buatan istri, kami bagi-bagikan kepada saudara, tetangga, kolega bahkan
tukang becak di sekitar rumah kami. Hal ini sengaja kami lakukan sebagai suatu survey reaksi
pasar terhadap sirup markisa yang diproduksi oleh perusahaan kami. Dari sinilah kami mulai
berkembang.
Berapa besar kapasitas produksi perusahaan Bapak dulu?
Jumlah produksi perusahaan kami tidak menentu, karena kapasitas produksi kami masih
mengikuti dengan jumlah permintaan pasar lokal yang ada. Namun sebagai gambaran diawal
usaha kami dulu, kami dapat memproduksi sekitar 1000 liter per bulan. Jadi produksi kami
dahulu masih belum optimal dikarenakan persaingan diantara perusahaan-perusahaan sejenis di
Makasar (Sulawesi Selatan-red.) juga sangat ketat. Tercatat ada sekitar 60-70 perusahaan yang
memproduksi minuman khas Makasar ini.
Berapa besar kalau kapasitas produksi perusahaan Bapak sekarang?
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa ini merupakan industri rumah tangga bahkan
kami masih melakukan produksinya di perumahan kami sendiri dan bukan di pabrik. Oleh karena
itu besaran produksi yang kami lakukan masih tergantung kepada permintaan pasar yang ada.
Tapi secara kapabilitas produksi kita dapat memproduksi sirup markisa dalam jumlah yang besar.
Kondisi produksi kami sekarang memungkinkan kami untuk memproduksi sekitar 10.000 liter
per bulan. Bahkan dari segi pegawai di bidang produksi, seiring dengan adanya permintaan
Australia, kami juga melakukan penambahan tenaga kerja tidak tetap sekitar tiga puluh lima (35)
orang.
Bicara tentang Australia, bagaimana awal mula ketertarikan Bapak untuk masuk ke Pasar
Australia?
Seperti yang saya katakan tadi, keadaan di pasar lokal (Sulawesi Selatan-red.) sendiri sudah
berdesak-desakan makanya kami mencoba-coba mencari informasi ke Dinas Koperasi (Dinas
Koperasi, Usaha Kecil dan Menegah-red.) untuk berusaha mengakses pasar luar negeri. Karena
jujur saja, kami punya produk kalah merek dengan yang lain-lain karena mereka duluan lahir dan
telah dikenal masyarakat.
Untuk menyiasati keadaan tersebut, maka kami berusaha bergandengan dengan berbagai instansi
pemerintah dalam hal ini salah satunya dinas perdagangan untuk dapat mengikutsertakan kami
dalam berbagai pameran.Terus terang terkadang dalam pameran yang kami ikuti, hasil penjualan
tidak dapat menutupi seluruh biaya pameran yang kami keluarkan, apalagi biaya pameran
merupakan pembiayaan sendiri. Tapi alhamdulillah seiring doa Istri dan Anak, ceritanya produk

saya ada yang naksir (pembeli/buyer dari Australia-red.). Pada tahun 2005 akhir, saya berhasil
melakukan ekspor perdana pulp sirup markisa ke Australia sebanyak satu (1) kontainer (sama
dengan dua puluh /20 ton-red).
Ekspor ini baru dilakukan setelah kami melakukan upaya penawaran dan komunikasi sejak tahun
2003 kepada sekitar lima sampai enam (5-6) calon buyer Australia. Jawaban penawaran dari
Australia baru kami terima pada awal tahun 2005, yaitu setelah kami melakukan penawaran yang
kelima kalinya. Satu hal yang unik adalah pada saat pengiriman sampling produk, saya
mengirimkan sampling produk nomor dua, hal itu dikarenakan pada bulan april 2005
ketersediaan buah markisa sudah mulai berkurang. Tapi syukurlah walau dengan kadar
kemanisan di bawah 12 brick (standar-red.), buyer Australia mau membeli produk saya sebanyak
20 kontainer per tahun (terdiri dari 6 kontainer pulp sirup markisa dan 14 kontainer sirup markisa
murni).
Menurut pandangan Bapak, seberapa penting peranan pameran itu?
Pameran menurut saya paling penting dan paling manjur dalam memperkenalkan serta menjual
produk kita. Karena di pameran adalah tempat bertemunya antara pembeli dan penjual. Selain
itu, keikutsertaan kita dalam pameran juga menunjukan kepada para calon konsumen dan calon
pembeli tentang keseriusan kita. Apabila kita telah mengikuti pameran kemudian sekali saja
tidak ikut maka orang-orang akan mempertanyakan bahwa Wah, Pak Chairul tidak serius ne
(mengembangkan usahanya-red.).
Dalam pameran belum lama ini (semanggi expo agrofood 2007-red.), kami baru saja menerima
permintaan dari pengusaha Shanghai/Cina untuk mengirimkan sekitar lima (5) container per
bulan. Bahkan dari belanda dan perancis, ada juga permintaan sari buah markisa yang belum
dapat kami garap.
Apakah permintaan dari Australia ini telah stabil dan terpenuhi dengan baik?
Terus terang kami sekarang mengalami kesulitan bahan baku untuk memenuhi pasar ekspor di
Australia yang mencapai 20 kontainer per tahun ini. Bahkan pada tahun 2006, kami tidak banyak
melakukan ekspor karena kemarau panjang menyebabkan persediaan buah berkurang. Puncak
panen buah maskisa memang terjadi di musim penghujan yaitu sekitar bulan Desember-Januari.
Terakhir kami mengekspor adalah pada April 2006.
Bagaimana Bapak mengatasinya permasalahan kurangnnya pasokan bahan baku ini?
Mau tidak mau kami mulai menjalin kemitraan atau kerjasama dengan beberapa kelompok tani
di Gowa dan Toraja. Kemitraan itu, saya mulai membagikan kepada para kelompok tani tersebut
bibit markisa untuk mereka semaikan di lahan mereka. Sebagai feedback nya para petani kami
minta untuk mulai memperhatikan kualitas buah yang biasa kami olah untuk dijadikan bahan
baku sari markisa kualitas ekspor.
Berapa banyak kelompok tani yang Bapak ajak bekerja sama?

Di Kabupaten Gowa ada sekitar sembilan (9) kelompok tani dan di Kabupaten Toraja ada sekitar
lima belas (15) kelopok tani. Masing-masing kelompok tani sedikitnya memiliki sekitar 10 - 20
orang anggota. Jadi jika kita pakai hitungan paling jelekpun, saya mampu menjalin kerjasama
dengan sekitar 240 orang pentani (24 kelopok tani X 10 orang anggota = 240 orang petani-red.)
Dan terus terang Pak, dengan adanya pasar ekspor sekarang ini para petani kembali bergairah
untuk menanam buah markisa. Karena selama ini buah maskisa masih menjadi tanaman selingan
para petani di Sulawesi Selatan, selain dari tanaman sayuran yang biasa mereka tanam.
Kemudian menurut Bapak, bagaimana perananan dari pemerintah dalam membantu
usaha Bapak mengakses pasar luar negeri?
Wah, peranannya besar sekali. Tanpa support dan dukungan dari Instansi terkait mungkin sampai
sekarang saya belum bisa ekspor. Yah semua ini juga tidak terlepas juga dari kehendak Allah
SWT yang telah memberikan jalan kepada saya. Tanpa kehendaknya istilahnya kaki jadi kepala,
kepala jadi kaki pun usaha kita belum tentu akan sukses, karena bagaimanapun kita ini masih
merupakan industri rumah tangga Pak.Saat ini, saya bersyukur alhamdulillah bahwa pemerintah
kota Makasar telah memberikan pinjaman sebanyak 25 juta tanpa bunga dan tanpa jaminan,
namun kebutuhan modal kerja kita dalam memenuhi permintaan luar/pasar ekspor jauh lebih
besar.
Hambatan-hambatan apa saja yang Bapak alami dalam mengakses pasar di Australia?
Tidak ada tuh Pak.
Lalu bagaimana pendapat Bapak tentang kesulitan para pengusaha Indonesia dalam
menembus pasar Australia (luar negeri) yang selalu terhambat oleh berbagai peraturan
lingkungan atau standar mutu?
Yang penting adalah komunikasi sebaik-baiknya dengan buyer kita, ini utama sekali. Dulu
sebelum mengekspor saya minta tolong kepada buyer saya untuk memberitahu peraturanperaturan apa saja yang harus kami patuhi supaya kita bisa masuk (pasar Australiared.).Kemudian dia kasih tahu, peraturan ini, ini dan ini. Dia kasih petunjuk, kita ikuti dan
hasilnya adalah barang saya bisa masuk ke Australia tidak ada masalah. Karena logikanya buyer
yang membeli barang, tentunya berpikir bagaimana caranya mempermudah barang masuk dan
bukan mempersulitnya. Walaupun selama ini hubungan saya dengan buyer hanya sebatas
hubungan via faks, tapi hubungan kami cukup baik. Terus terang Pak, saya belum kenal
orangnya (buyer australia-red.).
Perihal sertifikat keamanan produk, ternyata dapat kami atasi dengan melampirkan sertifikat
P3ED (Pusat Pelatihan Promosi Ekspor Daerah) di yang kami dapat dari PPEI (Pusat
Pengembangan Ekspor Indonesia) Grogol, Jakarta. Padahal itu merupakan sertifikat pelatihan
dan bukan setifikat produknya, karena kalau sertifikasi produk yang diminta, yang berasal dari
Sucofindo atau Unggul Lestari itu biayanya cukup mahal bisa mencapai 20-25 juta.

Yang penting, kita harus berani, harus nekad lah. Kita harus berani menawarkan produk kepada
pasar luar negeri dan jangan sampai belum apa-apa sudah takut terkena peraturan lingkungan lah,
standar mutu lah atau keamanan pangan. Masalah aturan-aturan itu masih bisa kita usahakan.
Berbicara tentang pasar ekspor, seberapa besar Pak perbedaan margin keuntungannya
jika dibandingkan pasar lokal?
Jujur yah Pak, berbicara tentang margin keuntungan kita lebih baik melakukan ekspor. Selain itu,
kendala pasar lokal adalah arus perputaran uang sangat lama. Contoh, jika kita memasok ke
pasar swalayan, walau produk kita telah habis dijual dan mereka memesan persediaan produk
lagi. Pembayarannya kepada kita tetap dilakukan dalam jangka waktu satu bulan. Yah, sebagai
perbandingan jika kita bermain di pasar lokal margin keuntungan kita berada dikisaran 10-15 %
lah, sedangkan jika kita bermain di pasar luar negeri (ekspor-red) maka margin keuntungan kita
lebih dari 25%.
Dengan keuntungan yang besar tersebut, bagaimana rencana Bapak mempertahankan
atau meningkatkan pangsa pasar di Austaralia?
Saya bersama-sama istri dan anak-anak komit (commitment-red) untuk selalu menggunakan
bahan baku terbaik. Karena apa gunanya mesin canggih, jika bahan baku yang dipakai adalah
yang masih mentah atau sisa. Ini sudah menjadi prinsip kami kepada konsumen. Kita tidak ingin
konsumen yang mengonsumsi produk kita, merasakan perbedaan di setiap produk yang kita
hasilkan.
Oleh itu, sejak dari awal usaha saya sudah mengatur putri-putri saya untuk dapat berperan. Putri
pertama kami, saya sekolahkan ke teknik pertanian, malahan dia baru lulus S2 dari IPB, Bogor
Februari 2007 lalu. Putri kedua kami, saya masukan ke Sastra Inggris. Jadi ceritanya putri
pertama yang di dapur, sedangkan putri kedua yang jualan.Dengan pengetahuan yang mereka
miliki, maka upaya kami untuk selalu menjaga kualitas produksi dan jalur komunikasi yang baik
dapat dilaksanakan dengan sendirinya.Tapi yang jelas Pak, dengan permintaan satu buyer dari
Australia ini saja kita sudah kewalahan memenuhi permintaannya.
Alhamdulillah, walaupun ekspor kami terhambat akibat kekurangan bahan baku, mereka tetap
menekankan bahwa our customers prefer your products.Untuk pegembangan usaha Pak, kita
kan membutuhkan lahan yang luas, untuk itu kita butuh dana besar. Dana yang kita dapat dari
Pemerintah (skema pembiayaan KUKM-red.) masih terbatas dan belum dapat mempercepat
pengembangan usaha kita. Terus jika kita ke bank maka kita terhambat oleh masalah jaminan dan
suku bunga yang tinggi (sekitar 18-20 % pertahun-red.). Kedepan kita juga masih membutuhkan
komitmen dari dunia perbankan untuk membantu pengembangan KUKM dengan meringankan
masalah penjaminan dan menurunkan suku bunga, yah, sekitar 10-12% pertahun masih oke lah
Pak.
Produk atau usaha lain apa yang dapat dipasarkan serta berkembang di Australia?
Semua buah-buahan. Sebetulnya dia (buyer Australia-red.) minta banyak buah-buahan, contoh
buah jambu batu yang berwarna pink itu, mereka juga minta kita untuk menyediakannya.

Sebenarnya begini, buyer saya itu adalah pengusaha buah-buahan, dia sempat tanya kepada saya
buah apa saja yang banyak di Indonesia yang bisa di ekspor ke Australia. Untuk daerah Makasar,
selain markisa saya menyebutkan potensi buah mangga dan jambu batu pink. Bahkan tahun lalu
dia sempat mengundang saya untuk datang ke Australia, untuk membicarakan peluang-peluang
apa yang bisa digarap.
Pesan atau tips apa yang dapat Bapak sampaikan kepada para pengusaha KUKM kita
untuk bisa menembus pasar luar negeri?
Aktif di pameran, kita jangan jadi penjaga gawang yaitu diam menunggu permintaan datang ke
kita.
Rajin-rajin dan harus berani menawarkan barang layaknya seperti pedagang asongan.
Kita jangan takut dengan peraturan-peraturan, memang jangan sampai dilanggar. Tapi
komunikasi yang baik dengan buyer, terbukti dapat mengatasi berbagai kendala dilapangan.
Yang penting jalan saja dulu, nyelonong saja dulu, kemudian kurang ini kurang itu dapat kita
perbaiki sambil jalan. Ibaratnya kapan kita bisa diberitahu sama buyer jika kita sendiri tidak
memulainya.
Diposkan oleh Aneka Santapan Lezat di Minggu, September 21, 2008

Re: [blogger_makassar] Kisah tentang


Lombok Kuning..
gaby tegouch Wed, 04 Mar 2009 22:50:23 -0800
*merasa* *lirik2 lombok kuning di kulkas* :P
2009/3/4 Syaifullah AF <ipul...@angingmammiri.org>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

sebagai orang SulSel, lombok kuning pasti sudah jadi sesuatu yang akrab
dengan keseharian kita..
makan nyuknyang, makan indomie rebus..hmmm..paling enak memang kalo pake
lombok kuning..
dan, lombok kuning saya kira susah ditemukan di tempat2 lain di luar
SulSel..
ada kisah tentang lombok kuning, bisa disimak di :
http://panyingkul.com/view.php?id=1067&jenis=kabarkita
Kamis, 05-03-2009 Lombok Kuning, Sengatan dari Tangan Wong Komma
*:: Muhammad Arief Alfikri ::*
*Lombok Kuning yang siap dipasarkan.

>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

Foto : Muhammad Arief AlFikri


***

Ini dia Si Kuning yang menyengat tapi disukai banyak orang. Bagi penggemar
kuliner di Makassar, tak lengkap rasanya menyantap nyuknyang, mi kering dan
menu lain tanpanya. Citizen reporter *Muhammad Arief AlFikri*, siswa SMAN
1 Makassar, yang sejak kecil akrab dengan sambal khas Makassar kini,
mengunjungi salah satu pabrik lombok kuning dan membagi cerita pedas
berikut ini. (p*!*)
Orang Makassar menyebut lombok untuk sambal dan cabai. Dan bicara soal
lombok, maka lombok kuning yang jadi primadona khas kota ini. Sambal ini tak
diproduksi di tempat lain. Meski warnanya lebih mirip oranye muda, tapi
sebutan populernya adalah lombok kuning. Berbeda dengan sambal yang
memberikan rasa pedas, manis dan gurih sekaligus, maka si kuning ini
terkenal karena daya sengatnya yang langsung menghunjam lidah.
Sejak kecil saya penasaran, dari mana asalnya dan bagaimana proses
pembuatannya. Rasa ingin tahu itu akhirnya terjawab sewaktu saya mengunjungi
salah satu pabrik lombok kuning, pertengahan Januari lalu.
Kunjungan pertama saya pada hari Minggu menjelang siang, 11 Januari 2009
kurang membuahkan hasil. Lumayan susah menemukan lokasi pabriknya karena
sepanjang lorong di alamat yang saya dapatkan dari kenalan dan seorang
kakak, saya tidak melihat ada papan nama bertulis Di Sini Pabrik Lombok
Kuning atau semacamnya.
Untung saja, sekumpulan anak di sekitar situ yang sedang asyik bermain-main
memberi petunjuk. Oh, dilewatimi kak. Di sana, dekatnya rumah kosong itu!
Alamatnya lengkap tapi sulit ditemukan: Jalan Ar. Dg. Ngunjung RW 004 RT
001 Kelurahan Rappokalling Kecamatan Tallo. Dari luar tampak seperti rumah
wirausahawan keturunan Tionghoa pada umumnya; bangunan tinggi, berdinding
keramik putih, dengan jendela di tengahnya, berpagar besi, dan berpintu
lipat dari besi yang selalu tertutup rapat. Berkali-kali saya mengetok pintu
besinya dengan gembok yang tergantung di lubang pengunci pintu tersebut.
Setelah saya cukup bosan dan hampir memutuskan pulang, seorang pria berambut
jarang, yang mengaku sebagai pekerja di situ dengan wajah tersenyum dan
penasaran datang membuka pintu. Saya segera memperkenalkan diri lalu
diresponnya sambil tetap tersenyum, Hooh..besok pi karena sekarang bos
tidak ada. Datang saja besok jam-jam kerja.
Keesokan harinya saya kembali. Pintunya masih tertutup rapat seperti
kemarin. Namun kali ini saya tidak perlu mengetok lima kali. Pemilik pabrik
menyambut ramah.
Empunya usaha ini adalah keturunan Tionghoa bernama Wong Komma. Di beberapa
sisi rumahnya terpasang sebuah kotak merah yang di dalamnya terdapat dupa
dan patung seorang dewi cantik serta beberapa lampu neon. Kelenteng mini
seperti ini biasa ditemukan di rumah-rumah warga keturunan Tionghoa yang
digunakan untuk bersembahyang.
Wong Komma sudah hampir 14 tahun merintis usaha ini. Tepatnya sejak 1995.
Meskipun sudah lebih satu dasawarsa, pabriknya tidak memiliki cabang di mana
pun. Bapak lima anak yang sedang duduk santai mengupas bawang putih di meja

>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

kerjanya ketika saya temui ini mengatakan, lantai bawah kediamannya bersama
keluarga inilah yang disulap menjadi pabrik. Agar lebih leluasa, bagian
belakang pun diperluas.
Berbeda dengan pemandangan luar yang tertutup dan terkesan sunyi seperti
bangunan kosong yang ditinggalkan pemiliknya, keadaan di dalam justru
sebaliknya. Tampak jejeran botol-botol kaca, baskom-baskom besar,
jerigen-jerigen minyak tanah, dan berbagai barang kebutuhan pabrik lainnya.
Sembilan orang pekerja yang hadir pada hari itu tampak sibuk. Menurut Wong
Komma, jumlah pekerja seluruhnya ada 17 orang dan rata-rata rumahnya tidak
jauh dari pabrik. Mereka bekerja setiap Senin sampai Kamis mulai pukul 8
pagi hingga 4 sore, namun pulang setengah jam lebih awal pada hari Jumat dan
Sabtu. Jika perlu lembur mereka pulang pukul 5 sore. Entah mereka sadar atau
tidak bahwa dari tangan dan hasil keringat merekalah salah satu produk khas
Makassar terus eksis.
*Pekerja yang sibuk menyiapkan bahan lombok kuning.
Foto : Muhammad Arief AlFikri
***

*Proses Sederhana Si Kuning*


Wong Komma bercerita, untuk membuat lombok kuning, diperlukan bahan-bahan
seperti lombok (cabai), tomat, ubi, bawang merah, bawang putih, dan benzoat.
Namun keterangan yang tercantum di label yang tertempel di botol hanya
menyebut lombok, garam, bawang putih, dan benzoat.
Benzoat merupakan bahan kimia yang biasa dicampurkan ke dalam makanan untuk
mengawetkan dan menjaga makanan dari bakteri-bakteri yang dapat membuat
makanan membusuk. Jika digunakan sesuai takaran atau secukupnya, maka tidak
berbahaya bagi kesehatan.
Cabai yang digunakan cabai kecil berwarna kuning atau merah yang setelah
dicampur lalu digiling dengan bahan lain akan menghasilkan adonan warna
kuning, meski lebih tepat disebut oranye muda. Oleh karena hampir semua
bahan-bahannya dari alam, menurut Wong Komma, maka nama Sumber Alam cocok
digunakan sebagai merek dagang sekaligus nama perusahaan.
Sedangkan alat yang digunakan, yaitu dua buah wadah aluminium yang
berukuran raksasa untuk mengukus ubi. Setelah dikukus, ubi kemudian dicampur
dengan tomat dan cabai yang telah digiling kasar dengan alat penggiling yang
jumlahnya ada tiga unit di pabrik tersebut.
*Alat penggiling.
Foto : Muhammad Arief AlFikri
***

Proses pencampuran selanjutnya menggunakan alat penggiling yang berbeda;


ukurannya lebih besar dan mempunyai penarik penggerak mesin seperti yang
terdapat pada alat pemarut kelapa. Untuk tahap ini dibutuhkan waktu kurang
lebih dua jama. Di pabrik ini terdapat tiga unit penggiling semacam ini,
yang dipasang saling berdekatan.

>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

Setelah proses produksi selesai, hasilnya dimasukkan ke dalam botol lalu


ditempeli label merek yang bertuliskan Lombok Kuning Sumber Alam Cap Lombok
Kecil serta beberapa kata untuk meyakinkan konsumen seperti: kualitet
istimewa, pedas, dan tanpa pewarna. Selanjutnya botol tersebut disegel
dengan segel berwarna kuning.
Uniknya, botol yang digunakan adalah botol bekas yang tentunya sudah
dibersihkan. Semua proses yang saksikan dikerjakan secara manual.
Selain lombok kuning, pabrik ini juga memproduksi lombok (sambal) merah,
saus tomat, kecap, juga *taicciung* atau tauco (sambal tradisional
berwarna cokelat kehitaman dari bahan baku kedelai yang biasa dimakan
bersama rujak ataupun pun mangga).
Lombok kuning yang diproduksi terdiri atas dua jenis, yaitu lombok kuning
spesial dengan kemasan berukuran 390 ml dan lombok kuning biasa dengan
ukuran kemasan 630 ml. Menurut salah seorang pekerja, yang spesial
menggunakan bawang lebih banyak dibandingkan yang biasa sehingga rasanya
lebih sedap.
Dalam sehari, jumlah hasil produksi lombok kuning tidak menentu. Ya
tergantung pesanan. Biasa 10 lusin, atau 5 lusin, bahkan bisa 2 lusin kalau
pesanan kurang tutur Wong Komma sembari mengupas siung demi siung bawang
putih.
Pasar Terong Makassar merupakan satu-satunya target lokasi pemasaran.
Anak-anak Wong Komma sendiri yang biasanya membawanya ke pasar traditional
tersebut. Satu lusin dipasarkan dengan harga Rp55.000. Pedagang pasar
melepasnya ke konsumen dengan harga Rp5.500 per botolnya.
*Punya Basis Massa*
Lombok kuning ini mirip partai politik atau grup band terkenal: ia punya
basis massa. Salah satunya teman saya, bernama Damara, siswa pindahan dari
Jakarta. Di Jakarta gak ada sambel kayak gini, Fik. Yang ini lebih pedas,
nih! akunya menunjuk sebotol lombok kuning sewaktu kami makan siang di
warung dekat sekolah. *Orang Makassar yang tinggal jauh, memasukkan lombok
kuning sebagai buah tangan wajib. Penggemar fanatiknya hingga ke seberang
pulau. *
Memang, lombok kuning Sumber Alam distribusinya belum merambah antar pulau.
Bagi Wong Komma, prestasi ekspor dan distribusi ke luar pulau tidak terlalu
dipikirkan. Ya terserah penjual di Pasar Terong mau jual ke mana, kami
biasanya hanya tumpuk di situ. Kalau mereka mau jual ke luar, terserah.
Syukur kalau ada yang beli baru dia bawa ke luar (luar pulau maksudnya)
untuk dipakai di sana, mungkin. Tapi setahu saya, belum ada yang sampai
diekspor, tuturnya santai.
Meski terkesan tidak ambisius memajukan usahanya, Wong Komma juga punya
prinsip dagang: kerja keras, meningkatkan mutu dan menjaga stabilitas harga
pemasaran agar jangan sampai dijual terlalu mahal. Katanya, inilah yang
menjadi kunci utama usahanya tetap berjalan sampai sekarang.
Di dinding pabrik tampak sejumlah sertifikat yang membuktikan bahwa lombok
kuning dan produk lain yang dihasilkan Sumber Alam memiliki izin dan telah
diakui oleh beberapa instansi. Dua sertifikat yang menonjol adalah dari
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI.

>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

Saat saya tanya suka duka menjalankan usaha, Wong Komma membagi sejumlah
cerita. Katanya, ia pernah berusuan dengan aparat kepolisian. Pasalnya, Wong
Komma dituduh menimbun minyak tanah di pabriknya yang justru menurutnya
malah sering kekurangan. Ia juga pernah disuruh membayar denda sebesar Rp10
juta dengan alasan yang ajaib: jerigen-jerigen minyak tanahnya tidak
memiliki merek. Pokoknya polisi itu selalu saja cari-cari kesalahan.
Semestinya tugasnya kan membantu agar usaha lancar dan kami merasa aman, ini
malah menyulitkan, ungkapnya.
Lantas bagaimana ia menyelesaikan hambatan seperti itu?
Wong Komma diam sejenak lalu berujar, Yawaktu itu terpaksa saya kasih
saja uang rokok dua juta.
Kali ini saya tersengat bukan karena pedasnya si lombok kuning.
(Dalam hari saya berujar, "Hah?! dua juta untuk uang rokok? Dapat berapa
bungkus yang uang sebesar itu?") (p*!*)
*Citizen reporter Muhammad Arief AlFikri dapat dihubungi melalui email
fick_...@yahoo.co.id
-----"Keep on Bloggin' in a free world..!!!"
read the contents of my brain at :
http://daenggassing.com/

Anda mungkin juga menyukai