Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran suhu, nadi, tekanan
darah, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen. Sebagai indikator dari status kesehatan,
ukuran-ukuran ini menandakan keefektifan sirkulasi, respirasi, fungsi neural dan endokrin
tubuh. Karena sangat penting maka disebut tnda vital. Banyak faktor seperti suhu lingkungan,
latihan fisik, dan efek sakit yang menyebabkan perubahan tanda vital, kadang-kadang di luar
batas

normal.

Suhu

tubuh

manusia

cenderung

berfluktuasi

setiap

saat.

Untuk

mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan, diperlukan regulasi suhu
tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan balik (feed back) yang
diperankan oleh pusat pengaturan suhu di hipotalamus.
Pada Hewan Pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan,
yaitu Poikiloterm dan Homoiterm. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan.
Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti
ini juga disebut hewan berdarah dingin. Yang termasuk dalam poikiloterm adalah bangsa
Ikan, Reptil, dan Amfibi. Dan hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas karena
dapat menjaga suhu tubuhnya. Hewan yang termasuk dalam homoiterm adalah bangsa Aves
dan Mamalia.
Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau
diabsorbsi dengan panas yang hilang. Panas yang hilang dapat berlangsung secara radiasi,
konveksi, konduksi dan evaporasi. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik,
tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan
transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan lansung tanpa ada
transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi kebagian yang memiliki
suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan panas melalui aliran cairan atau
gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi
merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas
karena evaporasi.
BAB II
PEMBAHASAN

Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan suhu


internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir. Proses yang terjadi pada hewan
untuk mengatur suhu tubuhnya agar tetap konstan dinamis. Mekanisme Termoregulasi terjadi
dengan mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan pelepasan panas.
Termoregulasi manusia berpusat pada hypothalamus anterior terdapat tiga komponen
pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu termoreseptor, hypothalamus, dan
saraf eferen serta termoregulasi dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang
konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya
Mekanisme pengaturan suhu tubuh merupakan penggabungan fungsi dari organ-organ tubuh
yang saling berhubungan. didalam pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor
pengatur suhu, yautu sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan
sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh.Dari kedua
jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan
kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas
untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah itu terjadi umpan balik,
dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor panas dan sensor dingin melalui peredaran
darah .
Sebagian panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan badan. Melalui
evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. dan modifikasi sistim sirkulasi di
bagian kulit. Kontriksi pembuluh darah di bagian kulit dan countercurrent heat exchange
adalah salah satu cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. Mausia menggunakan baju
merupakan salah satu perilaku unik dalam termoregulasi
Suhu tubuh hewan dipengaruhi oleh suhu lingkungan luar. Pada suhu -2oC s.d suhu 50oC
hewan dapat bertahan hidup atau pada suhu yang lebih ekstrem namununtuk hidup secara
normal hewan memilih kisaran suhu yang lebih sempit dari kisaran suhu tersebut yang ideal
dan disukai agar proses fisiologis optimal.
Usaha hewan untuk mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap konstan dan tidak
terjadiperbedaan drastis dengan suhu lingkungannya disebut thermoregulasi. Di dalam tubuh
hewanyang hidup selalu terjadi proses metabolisme. Dengan demikian selalu dihasilkan
panas,karena tidak semua energi yang terbentuk dari metabolisme dimanfaatkan. Panas
yangterbentuk dibawa oleh darah ke seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi panas dan
disebutsebagai suhu tubuh.
Suhu Tubuh Normal

A.

Pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu

1. Poikiloter.
Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan
berdarah dingin.
2. Homoiterm.
Homoiterm sering disebut hewan berdarah panas. Pada hewan homoiterm suhunya
lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur
suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda
akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm mempunyai variasi
temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan,
faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan faktor jenuh
pencernaan air.
Hewan berdarah panas adalah hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu
tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya. Sebagian
panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan badan. Melalui evaporasi
berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Contoh hewan berdarah panas adalah
bangsa burung dan mamalia. Hewan yang berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya
kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu tubuh tergantung pada neraca
keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang.

B.

Panas Yang Hilang Dapat Berlangsung Secara Radiasi, Konveksi, Konduksi Dan
Evaporasi.
Interaksi panas hewan dengan lingkungan menguntungkan untuk mengatur suhu tubuh
meningkatkan/menurunkan pelepasan panas dari tubuh dan memperoleh panas melaui :
1.

Konduksi

Perpindahan atau pergerakan panas antara dua benda yang saling bersentuhan. Panas
mengalir dari benda bersuhu lebih tinggi ke benda bersuhu lebih rendah. dipengaruhi oleh:
Luas permukaan benda yang saling bersentuhan
Perbedaan suhu awal antara kedua benda tersebut
Konduktivitas panas (tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda)
dari kedua benda
Mamalia dan Aves:

Konduktivitasnya rendah
Penahan panas yang baik ialah rambut dan bulu
Hanya akan melepaskan sejumlah kecil panas dari tubuhnya ke benda lain yang bersentuhan
dengannya
2.

Konveksi

Perpindahan panas antara dua benda yang terjadi melalui zat alir (fluida) yang bergerak.
Proses Konveksi:
Berlangsung sampai suhu tubuh kembali ke suhu normal
Perpindahan panas bisa dipercepat, apabila kecepatan aliran fluida di sekeliling tubuh
ditingkatkan
Terjadi dari lingkungan ke tubuh hewan, misalnya pada saat udara panas bertiup di dekat
hewan, lama-kelamaan tubuh hewan akan menjadi lebih panas juga
3.

Radiasi

Perpindahan panas antara dua benda yang tidak saling bersentuhan misalnya pada proses
perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan.
Frekuensi dan Intensitas Radiasi:
Tergantung pada suhu benda yang mengeluarkan radiasi. Semakin tinggi suhu benda yang
mengeluarkan radiasi, semakin tinggi pula intensitas radiasinya
tubuh hewan (kulit, rambut, dan bulu) menyerap panas radiasi dengan baik
berjemur pada hewan (khususnya poikiloterm) untuk menaikkan atau memperoleh panas
tubuh
4.

Evaporasi

Proses perubahan benda dari fase cair ke fase gas.misalnya pada mekanisme ekskresi
kelenjar keringat.
Evaporasi:
Cara penting untuk melepaskan panas tubuh
Hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat, jika tubuhnya panas, penguapan melalui
saluran pernafasan dengan cara terengah-engah (pada anjing diikuti dengan menjulurkan
lidahnya)
Jika suhu tubuh meningkat, keringat akan membasahi kulit, selanjutnya keringat akan
menyerap kelebihan panas dari tubuh dan mengubahnya menjadi uap, setelah keringat
mengering, suhu tubuh pun turun

C.

Adaptasi Pada Termoregulasi hewan


Hewan mempunyai kemampuan adaptasi terhadap perubahan suhu lingkungan.
Sebagai contoh, pada suhu dingin, mamalia dan burung akan meningkatkan laju metabolisme
dengan perubahan hormon-hormon yang terlibat di dalamnya, sehingga meningkatkan
produksi panas. Pada ektoterm (misal pada lebah madu), adaptasi terhadap suhu dingin
dengan cara berkelompok dalam sarangnya. Hasil metabolisme lebah secara kelompok
mampu menghasilkan panas di dalam sarangnya.
Beberapa adaptasi hewan untuk mengurangi kehilangan panas, misalnya adanya bulu
dan rambut pada burung dan mamalia, otot, dan modifikasi sistim sirkulasi di bagian kulit.
Kontriksi pembuluh darah di bagian kulit dan countercurrent heat exchange adalah salah satu
cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh.
Perilaku adalah hal yang penting dalam hubungannya dengan termoregulasi. Migrasi,
relokasi, dan sembunyi ditemukan pada beberapa hewan untuk menurunkan atau menaikkan
suhu tubuh. Gajah di daerah tropis untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara mandi atau
mengipaskan daun telinga ke tubuh.
Manusia menggunakan pakaian adalah salah satu perilaku unik dalam termoregulasi.
Jenis-Jenis Dan Macam-Macam Adaptasi pada termoregulasi berbagai hewan:
1.AdaptasiMorfologi
Adaptasi morfologi adalah penyesuaian pada organ tubuh yang disesuaikan dengan
kebutuhan organisme hidup. Misalnya seperti gigi singa, harimau, citah, macan, dan
sebagainya yang runcing dan tajam untuk makan daging. Sedangkan pada gigi sapi, kambing,
kerbau, biri-biri, domba dan lain sebagainya tidak runcing dan tajam karena giginya lebih
banyak dipakai untuk memotong rumput atau daun dan mengunyah makanan.
2. Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yang
menyebabkan adanya penyesuaian pada alat-alat tubuh untuk mempertahankan hidup dengan
baik. Contoh adapatasi fisiologis adalah seperti pada binatang / hewan onta yang punya
kantung air di punuknya untuk menyimpan air agar tahan tidak minum di padang pasir dalam
jangka waktu yang lama serta pada anjing laut yang memiliki lapisan lemak yang tebal untuk
bertahan di daerah dingin.
3. Adaptasi Tingkah Laku

Adaptasi tingkah laku adalah penyesuaian mahkluk hidup pada tingkah laku / perilaku
terhadap lingkungannya seperti pada binatang bunglon yang dapat berubah warna kulit sesuai
dengan warna yang ada di lingkungan sekitarnya dengan tujuan untuk menyembunyikan diri.
Termoregulasi pada Manusia
Termoregulasi manusia berpusat pada hypothalamus anterior terdapat tiga komponen
pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu termoreseptor, hypothalamus, dan
saraf eferen serta termoregulasi dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang
konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya.

BAB III
KESIMPULAN
Termoregulasi merupakan proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu
tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak supaya suhu tubuhnya tidak mengalami
perubahan yang terlalu besar. Tidak semua hewan mampu mempertahankan suhu tubuh yang
konstan.
Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan ekskresi adalah
elemen-elemen dari homeostasis. Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah
dingin (cold-blood animals) dan hewan berdarah panas (warm-blood animals).
Suhu tubuh merupakan keseimbangan antara perolehan panas dari dalam
(metabolisme) atau luar dengan kehilangan panas. Untuk menghadapi cuaca yang sangat
buruk (terlalu dingin atau terlalu panas) hewan perlu menghemat energi dengan cara
hibernasi atau estivasi.
poikiloter.
Mekanisme pengaturan suhu tubuh merupakan penggabungan fungsi dari organ-organ
tubuh yang saling berhubungan. didalam pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis
sensor pengatur suhu, yautu sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada
jaringan sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh.Dari
kedua jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan
kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas
untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh.

Sumber Referensi:
Anonim, 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/ (diakses pada tanggal 19 Mei 2012)
Biologi,www.baltimore.ohlog.com
Keseimbangan panas pada ternak,www.blogspot.com. diakses pada 20 Mei 2012

ADAPTASI MANUSIA TERHADAP KETINGGIAN


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia membutuhkan ruang untuk hidupnya, yaitu lingkungan tempat tinggal.
Sehingga lingkungan tidak bisa dipisahkan dari manusia. Lingkungan itu sendii merupakan
suatu kekuatan yang sangat potensial dalam perngaruhnya terhadap organisme. Istilah
lingkungan menyatakan suatu kondisi yang sangat kompleks, tiap-tiap kondisi bekerja
dengan derajat intensitas dan waktu yang berbeda. Kondisi ini dapat meliputi variasi dalam
suhu, kelembaban, tekanan barometer, jumlah dan macam partikel di udara, cahaya matahari,
radiasi kosmik, makanan, air, kandungan mineral dalam tanah dan semua yang termasuk di
bawah sosial ekonomi.
Lingkungan mempunyai pengaruh yang begitu besar, sehingga untuk bertahan hidup
manusia harus dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi segala tekanan yang datang dari
lingkungan tersebut dengan melakukan adaptasi. Adaptasi adalah suatu seri perubahan dalam
organisme dalam mengatasi tantangan untuk hidup. Adaptasi meliputi adaptasi budaya dan
adaptasi biologi. Dalam arti luas adaptasi biologi meliputi setiap proses biologis yang
penting, yaitu proses biokimia, fisiologis, dan genetik.
Manusia ataupun binatang di darat telah mengenal kehidupan pada kondisi lingkungan
di ketinggian (high altitude) sejak ribuan tahun yang lalu, mengingat telah banyak kelompok
masyarakat sejak zaman prasejarah yang hidup di pegunungan tinggi seperti Tibet, Andes dan
Afrika Timur. Perbedaan ketinggian mempunyai perbedaan niche ekologi. Hidup pada tempat
tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya tekanan barometer yang
rendah (dengan turunnya tekanan oksigen dan karbon dioksida di udara), kelembapan udara

yang rendah dan suhu udara yang dingin, medan yang sulit, serta dibutuhkan aktivitas
muskular yang tinggi.
Makalah ini bertujuan untuk mengupas masalah-masalah lingkungan yang dihadapi
pada daerah tempat tinggi serta proses adaptasi yang dilakukan oleh manusia terhadap
ketinggian.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian adaptasi manusia
2. Mengetahui mekanisme adaptasi manusia
3. Mengetahui macam stress lingkungan pada tempat tinggi
4. Mengetahui mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian
5. Mengetahui patofisiologi ketinggian
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian adaptasi manusia ?
2. Bagaimana mekanisme adaptasi manusia ?
3. Apa saja macam stress lingkungan pada tempat tinggi ?
4. Bagaimana mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian ?
5. Apa saja patofisiologi ketinggian ?
BAB II
ISI
A. Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi kesehatan, yaitu penyesuaian dan
perubahan yang memungkinkan suatu populasi untuk menjaga atau memelihara dirinya
sendiri dalam lingkungannya. Karena hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah
seiring waktu karena adaptasi merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik
kontinuitas dan perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk
varian yang menguntungkan.
Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan individu, dan tingkah laku
serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam atau beberapa menit. Adaptasi secara
tidak langsung menunjukkan antitesisnya yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat
adaptif, lainnya akan kurang adaptif atau maladaptif di bawah kondisi yang sebanding.
Sebagai contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang lari

akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena itu dapat
melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari b ahayua atau menangkap mangsa.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif adaptif karena akan
membatasi bentuk hidup seseorang.
Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun hubungan dalam suatu sistem
ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi kesehatan organisme saling mempengaruhi
satu sama lainnya dan saat umpan balik berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas
dan reproduksi, kode informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia,
baik kode genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses
kognitif. Kedua macam kodse tersebut merupakan mekanisme untuk survival.

B. Mekanisme Adaptasi
Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang
mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia
dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri
dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis,
sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme
dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup
meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.
Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi
dan adaptasi budaya. Adaptasi biologhi adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh
atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang
lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya
meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non
biologis. Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya
keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan lingkungan.
Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau individu dilakukan untuk
mengembalikan

homeostatis

internal,

sehingga

terjaganya

keseimbangan

dinamis.

Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi dinamis, mekanisme umpan balik, dimana
stimulus yang diberikan memberikan respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan
awal. Keperluan untuk terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi
seluler terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses adaptasi

fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis yang akan


menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas individu.
1. Adaptasi Fungsional
Adaptasi fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi,
morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik bebas
ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat terjadi melalui
a.

Aklimatisasi
Yaitu perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan yang
kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini
disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.

b. Akllimasi
Yaitu perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi
eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada aklimatisasi.
c.

Habituasi
Yaitu reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang berulang-ulang.
Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf yang normal, misalnya
pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi
umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik).
Habituasi tergantung pada pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme
untuk memudahkan respon yang telah ada terhadap stimulus baru.
Perubahan fisiologis terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering
reversible, perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian
jangka pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang
bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses.
Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan penyesuan jangka
pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ; aklimatisasi, penyesuaian lebih
jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang
lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama
pertumbuhan.

2. Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi
atau mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang
mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan

hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Manusia adalah hewan
yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan,
mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk
menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi
terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya terutama
dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis dan supraorganis.
Wujud adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan
bermacam-macam pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan
kebiasaaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan
pengobatan dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai
revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia terhadap
lingkungan fisik.
3. Adaptasi Genetik
Adaptasi genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan
survival suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik
dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu tersebut
menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan bergantung pada
stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi maka lebih lama individu atau
populasi akan survive. Perubahan genetik merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat
dan paling sedikit dapat kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk
adaptasi fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari adaptasi,
misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi susu.
C. Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif sebagian kecil dari populasi
dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1 % masyarakat di dunia) tinggal di tempat
yang tinggi. Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang
dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
2. Sierra Madre di Meksiko
3. Pegunungan Andes di Amerika Selatan
4. Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
5. Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
6. Pegunungan Himalaya

7. Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan


8. Pegunungan Atlas di Moroko
9. Dataran Tinggi di Ethiopia
10. Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur
11. Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan
12. Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik
dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung
yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga modal utama dalam adaptasi, yaitu
:
1. Perubahan fisiologis jangka pendek
2. Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan
3. Modifikasi unggun gena
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti
alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Untuk mengurangi beban
psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis
yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang
tipis. Mereka cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks
yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru
yang lebih besar di dalam costae dan sternum.
D. Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah,
baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah,
habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang
berbeda. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian
mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress
ekologis yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :
1. Hipoksia
2. Barometer rendah
3. Radiasi matahari tinggi
4. Suhu udara dingin
5. Kelembaban udara rendah

6. Angin kencang
7. Nutrisi terbatas
8. Medan yang terjal
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan
udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen
rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis
manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang
rendah) pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat
dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.
E. Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Telah
diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan
pada tempat yang tinggi. Dimana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena
pengurangan jumlah molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia
merupakan keadaan dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel
akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan
umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel dapat mengalami
adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan
oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak antara lain mual, nafas pendek, dan
pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh
manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ
dipengaruhi oleh hipoksia.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial
oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian.
Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas
ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan
barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya,
sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer
berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan
dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91
mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan
berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin
dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.

Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah


mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000
kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian
lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2)
dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri
mulai bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun dengan
cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi
mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga
kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa
udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan
terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung,
tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan
terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer,
termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu. Demikian juga
kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah
terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan
berlangsung hilang dan pada tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti
napas. Secara umum dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Tahap-tahap Hipoksia.


Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang perubahan aktivitas enzim
antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada serta otot terhadap pajanan 12 jam di
ketinggian. Hasil serupa ditunjukkan pada studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al
(2001). Sebanyak 12 sukarelawan dipajankan pada ketinggian 4559 m yang berakibat
kerusakan pada DNA dan kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi Everest III, pada
ketinggian 6.000 m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan menjadi 79 % pada
ketinggian 8848 m menunjukkan kenaikan level kerusakan oksidatif sejalan dengan
peningkatan ketinggian. Pada level seluler, hipoksia dapat mengakibatkan stress oksidatif

pada sel. Sel menghasilkan energy melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses
metabolism normal, molekul-molekul oksigen reaktif yang tereduksi dihasilkan dalam jumlah
kecil sebagai produk sampingan respirasi mitokondrial. Molekul-molekul oksigen reaktif
tereduksi ini dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species / ROS). Sel
memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini yang dikenal
sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses pembentukan dan eliminasi
(scavenging) radikal bebas berakibat pada stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi akan mengalami adaptasi
fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon cepat terhadap hipoksia. Menurut
Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek fisiologis hipoksia sangat kompleks dan
bermacam-macam, yang meliputi :
1.

Fungsi Paru-Paru
Efek fisiologis pada paru-paru berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring dengan
bertambahnya ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada ketinggian 5000 m naik
sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut. Menurut hasil penelitian saat ini,
kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh stimulasi badan varoid dan kemoreseptor
lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat dari kenaikan ventilasi pembuangan karbondioksida
juga meningkat, yang menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik.

2.

Fungsi Sirkulasi pada Jantung


Dengan bertambahnya hipoksia kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak per
menit menjadi sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama setelah tiba
pada ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan kemudian meningkat, pada
ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada ketinggian 4500 m adalah 50%.

3.

Darah
Meliputi kenaikan produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume
darah serta aktivitas erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah merah naik dari
5 juta menjadi 7 juta per mm 3, kenaikan terjadi pada hari ke 7-14 setelah berada pada
ketinggian tersebut. Volume darah bertambah dari 40ml/kg menjadi 50 ml/kg pada ketinggian
4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan produksi sel darah merah tersebut disebabkan oleh
kenaikan aktivitas erythropoietik

4.

Sirkulasi Retinal
Setelah 2 jam berada di ketinggian 5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik sekitar
seperlimanya.

5.

Sensitivitas Cahaya

Semakin tinggi tempat semakin besar penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian diatas
4500 m, dibutuhkan sekitar 2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk cahaya agar bisa
nampak.
6.

Memori dan Pembelajaran


Memori akan menurun dengan bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.

7.

Pendengaran
Mempunyai sensitivitas paling rendah terhadap hipoksia. Penurunan ketajaman pendengaran
dapat terjadi pada ketinggian lebih dari 6000 m.

8.

Fungsi Motorik
Pada ketinggian lebih dari 4500 m dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan inkoordinasi
muskuler yang belum jelas disebabkan oleh penurunan kapasitas fungsional otot itu sendiri
atau ketiadaan stimulasi otot.

9.

Perasa dan Pengecap


Berada pad atempat tinggi mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka
memilih gula dan keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada tempat
tinggi dan dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis yang sama di daerah
rendah.

10. Anoreksia dan Kehilangan Berat Badan


Penurunan berat badan disebabkan oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh
kehilangan air badan. Salah satu akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara
energi yang masuk dengan energi yang keluar.
11. Aktivitas Ginjal
Terjadi kenaikan aktivitas pada korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron dan
kenaikan kadar renin dalam plasma
12. Fungsi Tiroid
Berada pada tempat tinggi menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
13. Sekresi Testosteron
Berada pada ketinggian 4250 m selama 3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi
testosteron lebih dari 50% yang disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon dalam
plasma
14. Fungsi Seksual
Meliputi penurunan spermatogenesis, perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus
estrus dan meningkatnya gangguan menstruasi

Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu
umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin. Individu yang masih muda lebihbaik dalam
melakukan adaptasi daripada yang sudah tua, ini disebabkan karena fungsi metabolisme
tubuh pada usia muda masih baik juga mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau
ekstraseluler. Individu dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress
hipoksia lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih baik
daripada laki-laki.
F. Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
1. Adaptasi Biologi
a. Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan
dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang
berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa
tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho

(1979) menyebutkan beberapa

mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan


ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
a. Ventilasi paru-paru.
b. Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
c. Transport oksigen dalam darah.
d. Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
e. Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir
atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek
yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat
tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat
dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al
1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas
aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum
umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas
aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor
genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan
komposisi badan.

Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu.
Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat
menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan
udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.

Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika ketinggian meningkat.


Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level
(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan
molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling
berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per
cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru
menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk
memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan
oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon
fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga
dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena
jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh
mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih
banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang
untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan
vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.

Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap tekanan oksigen


yang rendah.

Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses
terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru
yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para
atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.
Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat untuk waktu singkat setelah kembali dari
ketinggian.
b. Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan
peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada
kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk
direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase. Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi
yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen
reaktif. Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti
anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel
parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik. Maka dari itu, sel memiliki mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia
dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase, dan katalase.
c.

Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen
yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen
lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian
geografis. Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui
bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari
bahaya oksidatif. Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein
yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian. Simonson juga menemukan

adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka
menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup
di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang
terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran
tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi
hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai
versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi
jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis
gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk. Penelitian yang
berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia sudah pernah
dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti variasi mutasi pada populasi
dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil penelitian mereka belum
ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena
mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.
2. Adaptasi Budaya
Adaptasi ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapa keadaan alamnya
sehingga terbentuk lah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya yaitu
respon nonbiologis individu atau popilasi untuk memodifikasi atau mengurangi stess
lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi
biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh
ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan,
yang mebuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk
berkomunikasi,

serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi

lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi trhadap
lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya teruyama dengan
budaya, jadi secara ekstrabiologis atau supraorganis. Wujud adaptasi budaya manusia
misalnya :
a.

Konstruksi rumah
Konstruksi rumah di dataran tinggi biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau
dari kayu untuk menjaga kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang
banyak agar sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.

(sumber: denyrendra.net)
(sumber: adhvara.com)
Gambar 4 Contoh rumah kayu di dataran tinggi

(sumber: pricearea.com)
Gambar 5 Contoh rumah tembok di dataran tinggi
b. Penggunaan pakaian pada bermacam-macam iklim
Penduduk yang tinggal di daerah tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang
tebal untuk menghindari hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.
c.

Pola tingkah laku tertentu


Penduduk di daerah tinggi cenderung lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di
daerah perkotaan sehingga lebih kuat berjalan kaki.

d. Pengobatan dari cara primitif sampai cara modern


Penggunaan informasi budaya yang dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan
melalui pembelajaran pada tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang
berkembang pesat pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem
medis.
e.

Kebiasaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim


Kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian.
Budaya dan teknologi mempermudah adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan
terus menciptakan kondisi stress baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu

modifikasi kondisi lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya
kemajuan dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan
orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan eksplosif dan
meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.
Teknologi barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi
lingkungan yang menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini
berlangsung terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif lain
yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis atau budaya atau akan
mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia pada dunia sekarang mungkin
tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di dunia pada masa yang akan datang,
kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan budaya dengan kapasitas biologisnya.
G. Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Pada Ketinggian
1. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal
Pada daerah tinggi, struktur prenatal terutama plasenta mengalami modifikasi oleh
stress lingkungan tempat tinggi, yaitu dengan menambah luas permukaan yang menyediakan
proses difusi oksigen dan transfusi darah ibu dari fetus, serta dengan mengurangi resistensi
barier plasenta terhadap transfer oksigen. Penelitian menunjukkan bahwa bentuk plasenta
yang irreguler terdapat tiga kali lebih banyak pada tempat tingi daripada di daerah permukaan
laut dan berat plasenta rerata antara 10-15% lebih berat. Dengan modifikasi tersebut
menghasilkan reduksi hampir setengah dari gradien tekanan oksigen antara darah ibu dan
fetus, dan konsentrasi oksigen mencapai darah fetus per kg jaringan yang disuplai mendekati
nilai pada daerah permukaan.
Penelitian di daerah tinggi Bolivia dan Himalaya Barat menunjukkan bahwa bayi
yang lahir didaerah tinggi cenderung mempunyai berat lahir yang rendah. Di daerah Bolivia,
bayi yang lahir dengan berat lahir rendah mempunyai angka mortalitas lebih rendah daripada
yang lahir dengan berat rendah di daerah pantai. Ini merupakan bentuk adaptif di daerah
tinggi dimana kadar oksigen rendah.
2. Pertumbuhan dan perkembangan postnatal
Pertumbuhan dan perkembangan di daerah tinggi cenderung mengalami penundaan.
Penelitian secara mikroskopis menemukan bahwa kemunduran pertumbuhan yang disertai
hipoksia tempat tinggi disebabkan oleh jumlah sel yang lebih sedikit, sedang yang disertai
malnutrisi disebabkan oleh penurunan jumlah sitoplasma. Penelitian lain menunjukkan bahwa
hipoksia mempengaruhi multiplikasi seluler dan protein otak. Penelitian pada populasi Andes
seperti dari dataran tinggi Peruvia, Chili dan Bolivia menunjukkan terdapatnya penundaaan

pertumbuhan postnatal dibandingkan dengan populasi daerah rendah dibawah kondisi nutrisi
dan status ekonomi yang sebanding.
Pertumbuhan anak-anak pada daerah tinggi dan daerah pantai tidak menemukan
adanya perbedaan dalam kecepatan pertumbuhan pada kedua populasi dan menduga bahwa
hipoksia pada tempat tinggi mempunyai peranan yang relatif kecil dalam pertumbuhan
selama 5 tahun pertama setelah kelahiran dan nampaknya yang lebih berperan adalah faktor
nutrisi dan penyakit.
Faktor nutrisi berperan secara signifikan terhadap pola pertumbuhan dan
menunjukkan bahwa kekuatan sosial dan lingkungan bekerjasama untuk menciptakan tingkat
perbedaan dari stress yang berperan terhadap variasi dalam biologi. Penelitian pada populasi
Nunoa di Peru, menemukan bahwa variasi dalam pertumbuhan diantara populasi yang tinggal
di tempat tinggi dapat dihasilkan dari beberapa faktor yaitu perbedaan tingkat hipoksia
ketinggian, perbedaan genetik, nutrisi dan sosioekonomi.
Pola pertumbuhan dan perkembangan di tempat tinggi merupakan refleksi interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh besar yaitu
hipoksia, dingin dan energi (nutrisi).
H. Aklimatisasi Terhadap Ketinggian
Setelah beberapa waktu tinggal di ketinggian terjadilah penyesuaian dengan iklim
lingkungan setempat (aklimatisasi). Ventilasi paru terus meningkat dan juga terjadi
peningkatan progresif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang akan
membantu memulihkan kandungan O2 dan transportasinya. Juga terdapat peningkatan
kapilarisasi dan konsentrasi enzym-enzym oksidatif dalam otot-otot yang akan berperan
meningkatkan performance. Perubahan-perubahan adaptif ini meningkatkan kemampuan
endurance, tetapi tidak akan pernah mencapai nilainya di permukaan laut. Waktu untuk
terjadinya aklimatissi penuh tergantung pada ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan
waktu sekitar 3 minggu untuk beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m).
Walaupun telah diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada
ketinggian 2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% di bawah nilai yang dapat
diperoleh di permukaan laut. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi memulihkan 3-4%
kemampuan penampilannya. (Ingat: nilai konsumsi O2 max menurun 3% untuk setiap
kenaikan 300 m di atas ketinggian 1500 m). Tetapi di atas 6000 m aklimatisasi tidak mungkin
dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduran, kehilangan berat
badan dan kemampuan penampilannya.

I.

Patofisiologi Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit fisiologis yang disebabkan
oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian
seperti mountain sickness akut dan edema pulmoner. Mountain sickness akut terjadi selama
beberapa hari pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya meliputi
anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur dan sakit kepala.
Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti edema yang tersebar luas pada
alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan bekuan sel darah merah dan konstriksi
vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga karena kenaikan tekanan kapiler.
Pendakian yang cepat ke ketinggian sedang dan yang lebih tinggi, sering disertai
dengan berbagai gejala penyakit, diantaranya sebagai berikut :

1. Penyakit Gunung Akut


Ini adalah kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di atas 2000
m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah tersinggung, susah
tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala tersebut bagian
terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Penyakit gunung akut (PGA) dapat
diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah (<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000
m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi
ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu
hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis diuretika) terbukti dapat
meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
2. Udema Paru Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin
dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak
nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada dan sering disertai terbentuknya sputum yang banyak
dan berbusa disertai bercak darah. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam
posisi tegak (mengurangi udeme paru), memberi O2, frusemide (Lasix - diuretika) dan bila
mungkin segera evakuasi.
3. Udema Cerebral Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih dari 4000
m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi, halusinasi dan coma, dan
pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid intravena dan segera evakuasi ke dataran

rendah. Sekali lagi, pencegahannya dapat dilakukan dengan memberi waktu untuk
aklimatisasi selama pendakian yaitu pendakian harus dilakukan secara lambat.
4. Perdarahan Retina Pada Ketinggian
Pada ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina. Biasanya
asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan terjadi gangguan
penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang terlatih akan mendapat risiko
yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah ketinggian ternyata tidaklah benar. Bahkan
pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak
Gunung Everest) juga menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian, yang
mengancam maut.
BAB III
KESIMPULAN
1.

Adaptasi manusia merupakan penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia


untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya.

2.

Mekanisme adaptasi manusia dilakukan untuk menghadapi stress lingkungan, yaitu suatu
kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian
manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka
sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis,
psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional
organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur
hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya. Berdasarkan
sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya.

3.

Perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi
akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya hipoksia, barometer rendah,
radiasi matahari tinggi, suhu udara dingin, kelembaban udara rendah, angin kencang, nutrisi
terbatas, dan medan yang terjal. Secara fisiologis, stress lingkungan yang paling penting
adalah hipoksia yang mempunyai efek pada fungsi paru-paru, fungsi sirkulasi pada jantung,
darah, sirkulasi retinal, sensitivitas cahaya, memori dan pembelajaran, pendengaran, fungsi
motorik, perasa dan pengecap, anoreksia dan kehilangan berat badan, aktivitas ginjal, fungsi
tiroid, sekresi testosteron, dan fungsi seksual.

4.

Mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian terdiri atas adaptasi biologi dan budaya.
Adaptasi biologi manusia dari ketinggian terjadi secara fisiologis, genetis, dan biokimia.

Mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan


ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi ventilasi
paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner, transport oksigen dalam darah,
difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
5. Mengetahui patofisiologi ketinggian adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress
lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti
mountain sickness akut, edema pulmoner, perdarahan retina pada ketinggian, dan udema
cerebral pada ketinggian tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.

Adaptasi

terhadap

Ketinggian.

Diambil

dari

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d515_0607052_chapter2.pdf diakses pada tanggal


15 Mei 2011 pukul 22.15 WB
Ayu, Anatriera. 2009. Hipoksia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anonim. Modul VII : Stress Lingkungan. Fakultaas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Jurusan
Pendidikan Olahraga. Diambil dari www.google.co.id pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 22.15
WB
Janatin, Hastuti et al.2005. Sains Kesehatan : Ciri Antropometris dan Kapasitas Vital Penduduk
Dataran Tinggi Kulon Progo. Yogyakarta: UGM
Rian, Hidayat. 2009. Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita di Ketinggian ?. Diambil dari
http://rianh.wordpress.com/ pada hari selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 wib
Tutiek, Rahayu. 2011. Handout Adaptasi Manusia Terhadap Ketinggian. Yogyakarta: Jurdik Biologi
FMIPA UNY.

Anda mungkin juga menyukai