Anda di halaman 1dari 34

TUGAS KLIPING

KESEHATAN LINGKUNGAN

Disusun Oleh :
Greysia Manarisip
1161050154

Pembimbing :
DR. Sudung Nainggolan, MHSc

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PERIODE 12 DESEMBER 2016 25 FEBRUARI 2017
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017

Menurut World Health Organization (WHO) ada 17 ruang lingkup kesehatan


lingkungan, yaitu :

1. Penyediaan Air Minum


2. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran
3. Pembuangan Sampah Padat
4. Pengendalian Vektor
5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6. Higiene makanan, termasuk higiene susu
7. Pengendalian pencemaran udara
8. Pengendalian radiasi
9. Kesehatan kerja
10.Pengendalian kebisingan
11.Perumahan dan pemukiman
12.Aspek kesling dan transportasi udara
13.Perencanaan daerah dan perkotaan
14.Pencegahan kecelakaan
15.Rekreasi umum dan pariwisata
16.Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam
dan perpindahan penduduk
17.Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.

DiIndonesia, ruang lingkup kesehatan lingkungan diterangkan dalam Pasal 22 ayat (3)
UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8, yaitu :

1. Penyehatan Air danUdara


2. Pengamanan Limbah padat/sampah
3. Pengamanan Limbah cair
4. Pengamanan Limbah gas
5. Pengamanan radiasi
6. Pengamanan kebisingan
7. Pengamanan vektor penyakit
8. Penyehatan dan pengamanan lainnya, seperti keadaan pasca bencana

1. Dampak Limbah Medis Rumah Sakit Terhadap Lingkungan


January 4, 2014
Filed under: Kesehatan Urip Santoso

Tags: limbah rumah sakit


Rumah sakit adalah tempat pelayanan kesehatan yang dirancang,
dioperasikan dan dipelihara dengan sangat memperhatikan aspek kebersihan
bangunan dan halaman, baik fisik, sampah, limbah cair, air bersih dan serangga/

binatang penganggu. Namun menciptakan kebersihan di rumah sakit merupakan


upaya yang cukup sulit dan bersifat kompleks berhubungan dengan berbagai aspek
antara lain budaya/ kebiasaan, perilaku masyarakat, kondisi lingkungan,sosial dan
teknologi.
Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat
dengan meningkatnya pendirian Rumah Sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen
limbah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat menyebabkan limbah rumah sakit
dapat mencemari lingkungan penduduk disekitar rumah sakit dan menimbulkan
masalah kesehatan, hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat
mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk
demam thypoid, cholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah
sebelum di buang ke lingkungan (Bapedal, 1999).
Dimulai dengan makin meningkatnya pendirian rumah sakit, kehidupan
masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, serta kurangnya
kepedulian manajemen rumah sakit terhadap pengelolaan lingkungan. Mulailah
timbul tumpukan sampah ataupun limbah yang dibuang tidak sebgaimana
semestinya.Hal ini berakibat pada kehidupan manusia dibumi yang menjadi tidak
sehat sehingga menurunkan kualitas kehidupan terutama pada lingkungan
sekitarnya.
A.

Penggolongan Limbah Rumah Sakit


Berdasarkan Depkes RI 1992, sampah dan limbah rumah sakit adalah
semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sampah atau limbah klinis dan non
klinis baik padat maupun cair.

Bentuk limbah atau sampah klinis bermacam-macam dan berdasarkan


potensi bahaya yang ditimbulkannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(Anshar, 2013)
1.

Limbah Benda Tajam


Limbah benda tajam adalah objek atau alat yangmemiliki sudut
tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet
Pasteur, pecahan gelas, pisau bedah.Semua benda tajam ini memiliki
bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau
tusukan.Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh
darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.

2.

Limbah Infeksius
Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien
yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif).Limbah
laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari
poliklinik dan ruang perawatan/ isolasi penyakit menular.Limbah
jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh,
sampah mikrobiologis, limbah pembedahan, limbah unit dialysis dan
peralatan terkontaminasi (medical waste).

3.

Limbah Jaringan Tubuh


Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota
badan, placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat
pembedahan dan autopsy. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan
pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas khusus, diberi label
dan dibuang ke incinerator.

4.

Limbah Citotoksik
Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau
mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan,
pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik.Limbah yang terdapat
limbah citotoksik harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas
1000C.

5.

Limbah Farmasi
Limbah farmasi berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obatobatan yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah
terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh
pasien, obat-obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak
diperlukan dan limbah hasil produksi oabt-obatan.

6.

Limbah Kimia

Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan


medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia
juga meliputi limbah farmasi dan limbah citotoksik.
7.

Limbah Radio Aktif


Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio
isotope yang berasal dari penggunaan medis dan riset radionucleida.
Asal limbah ini antara lain dari tindakan kedokteran nuklir,
radioimmunoassay dan bakteriologis yang dapat berupa padat, cair atau
gas.

8.

Limbah Plastik
Limbah plastic adalah bahan plastic yang dibuang oleh klinik,
rumah sakit dan sarana kesehatan lain seperti barang-barang dissposable
yang terbuat dari plastic dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan
medis.
Selain sampah klinis dari kegiatan penunjang rumah sakit juga
menghasilkan sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor/ administrasi (kertas), unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol),
sampah dari ruangan pasien, sisa makanan buangan, sampah dapur (sisa
pembungkus, sisa makanan/ bahan makanan, sayur dll). Limbah cair yang
dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan
biologi.Limbah
rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme, tergantung dari jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang
dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll).
Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat pathogen.
Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan
organic dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji
air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH, mikrobiologik dan
lainnya. (Arifin, 2008)
Sebagaimana termaktub dalam undang-undang No. 9 tahun 1990
tentang pokok-pokok kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan penerangan dan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat. (Siregar, 2001)
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang
berupa benda cair, padat dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian
dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber
dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu
(Giyatmi, 2003)

Pemrakarsa dan penanggung jawab rumah sakit

Pengguna jasa pelayanan rumah sakit

Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran

Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan


fasilitas yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah disiapkan dengan
menyediakan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedomanpedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan
kesehatan di lingkungan rumah sakit.Disamping itu secara bertahap dan
berkesinambungan
Depertemen
Kesehatan
mengupayakan
instalasi
pengelolaan limbah rumah sakit, sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit
pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun
perlu disempurnakan.Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah rumah
sakit masih perlu ditingkatkan lagi. (Barlin, 1995)
B.

Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Lingkungan dan Kesehatan


Menurut Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 petugas pengelola
sampah harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri dari topi/ helm,
masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron untuk industry, sepatu boot,
serta sarung tangan khusus.
Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan
kesehatan dapat menimbulkan berbagai masalah seperti:

1.

Gangguan kenyamanan dan estetika, berupa warna yang berasal dari sedimen,
larutan, bau phenol, eutrofikasi dan rasa dari bahan kimia organic, yang
menyebabkan estetika lingkungan menjadi kurang sedap dipandang.

2.

Kerusakan harta benda, dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut (korosif
dan karat) air yang berlumpur dan sebagainya yang dapat menurunkan
kualitas bangunan disekitar rumah sakit.

3.

Gangguan/ kerusakan tanaman dan binatang, dapat disebabkan oleh virus, senyawa
nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrient tertentu dan fosfor.

4.

Gangguan terhadap kesehatan manusia, dapat disebabkan oleh berbagai jenis


bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta logam berat
seperti Hg, Pb dan Cd yang bersal dari bagian kedokteran gigi.

5.

Gangguan genetic dan reproduksi.

6.

Pengelolaan sampah rumah sakit yang kurang baik akan menjadi tempat yang baik
bagi vector penyakit seperti lalat dan tikus.

7.

Kecelakaan kerja pada pekerja atau masyarakat akibat tercecernya jarum suntik
atau benda tajam lainnya.

8.

Insiden penyakit demam berdarah dengue meningkat karena vector penyakit hidup
dan berkembangbiak dalam sampah kaleng bekas atau genangan air.

9.

Proses pembusukan sampah oleh mikroorganisme akan menghasilkan gas-gas


tertentu yang menimbulkan bau busuk.

10.

Adanya partikel debu yang berterbangan akan mengganggu pernafasan,


menimbulkan pencemaran udara yang akan menyebabkan kuman
penyakit mengkontaminasi peralatan medis dan makanan rumah sakit.

11.

Apabila terjadi pembakaran sampah rumah sakit yang tidak saniter asapnya akan
mengganggu pernafasan, penglihatan dan penurunan kualitas udara.

C.

Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit


Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan 1997,
diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah1.090 dengan
121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 rumah sakit di Jawa dan Bali
menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg per tempat tidur
per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur
per hari. Analisi lebih jauh menunjukkan produksi sampah (limbah padat)
berupa limbah domestic sebesar 76,8 % dan berupa limbah infeksius sebesar
23,2 %. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) rumah
sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70
ton per hari.Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan seberapa besar potensi
rumah sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya kecelakaan
dan penularan penyakit. (Sabayang dkk, 1996)
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan
teguran kepada 23 rumah sakit yang tidak mengindahkan surat peringatan
mengenai keharusan memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Jaktim yang diterima pembaharuan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jakarta
Timur hanya 3 rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik,
selebihnya ada yang belum memiliki IPAL dn beberapa rumah sakit IPAL-nya
dalam kondisi rusak berat. (Sabayang dkk, 1996)
Data tersebut juga menyebutkan hanya 9 rumah sakit saja yang
memiliki incinerator.Alat tersebut digunakan untuk membakar limbah padat
berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu
saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah
menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit
melaporkan pengelolaan limbahnya setiap 3 bulan sekali. Sayangnya, sejak
dilayangkan surat edaran (September 2005), hanya 3 rumah sakit saja yang
memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit khususnya limbah
medis yang infeksius belum dikelola dengan baik, sebagian besar pengelolaan
limbah infeksius disamakan dengan limbah medis non infeksius. Selain itu
kerap bercampur limbah medis dan non medis.Pencampuran tersebut justru
memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal limbah medis memerlukan
pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah non medis.Yang termasuk
limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksik,
dan limbah laboratorium. Kebanyakan dari rumah sakit, limbah medis
langsung dibuang kedalam sebuah tangki pembuangan berukuran besar,
pasalnya tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak

memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah


sebagian besar limbah rumah sakit malah dibuang ke tangki pembuangan
seperti itu. Sementara itu buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena
pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan
peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
Padahal setiap rumah sakit selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki
Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan
limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus dibakar di
incinerator.Persoalannya harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak
semua rumah sakit memilikinya. (Sabayang dkk, 1996)
D.

Jenis Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.Mengingat dampak yang mungkin
timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik, meliputi pengelolaan
sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana
perorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah
sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan.Limbah rumah sakit
bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis
rumah sakit, tingkat pengolahan sebelum dibuang.Limbah cair rumah sakit
dapat mengandung bahan organic dan anorganik yang umumnya diukur dan
parameter BOD, COD, TSS dan lain-lain.Sedangkan limbah padat rumah sakit
terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar dan lainlain.Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme
pathogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit
infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh
tehnik pelayanan kesehatan yang kurang memadai, kesalahan penanganan
bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan
sarana sanitasi yang masih buruk.(Said, 1999)
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika
dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam pelbagai katagori.Untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang
berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh
mungkin menghindari resiko kontaminasi dan trauma (injury). Jenis-jenis
limbah rumah sakit meliputi: (Shahib dan Djustiana, 1998).

a.

Limbah Klinik

Limbah dihasilkan Selama pelayananpasien secara rutin, pembedahan dan unit-unit resiko
tinggi, yang berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan
populasi umum serta staf rumah sakit.
b.

Limbah Patologi

Limbah ini juga dianggap berisiko tinggi dan sebaiknya di autoclave sebelum keluar dari
unit patologi.
c.

Limbah Bukan Klinik

Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastic yang tidak
berkontak dengan cairan badan.Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit,
limbah tersebut cukup merepotkan, karena memerlukan tempat yang besar
untuk mengangkut dan membuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa,
kutu dan hewan pengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staf
maupun pasien dirumah sakit.
e.

Limbah Radioaktif

Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi dirumah sakit,
pembungannya secara aman perlu diatur dengan baik.
E.

1.

Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah rumah sakit dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam
volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang
(recycle) dan pengolahan (treatment). (Slamet Riyadi, 2000)
Limbah Padat
Untuk memudahkan mengenal jenis limbah yang akan
dimusnahkan, perlu dilakukan penggolongan limbah. Dalam kaitan dengan
pengolahan, limbah medis dikategorikan menjadi 5 golongan sebagai
berikut:
Golongan A:

Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi dari kamar bedah,

Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi,

Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak), bangkai/ jaringan hewan
dari laboratorium dan hal-hal lain yang berkaitan dengan swab dan
dressing.
Golongan B:

Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-benda tajam lainnya.
Golongan C:

Limbah dari ruang laboratorium dan postpartum kecuali yang termasuk dalam
golongan A.
Golongan D:

Limbah bahan kimia dan bahan farmasi tertentu.


Golongan E:

Pelapis bed-pan disposable, urinoir, incontinence-pad dan stomach.


Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah medis perlu dilakukan
pemisahan penampungan, pengangkutan dan pengolahan limbah
pendahuluan.

a.

Pemisahan
Golongan A
Dressing bedah yang kotor, swab dan limbah lain yang
terkontaminasi dari ruang pengobatan hendaknya ditampung
dalam bak penampungan limbah medis yang mudah dijangkau,
bak sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada tempat produksi
sampah. Kantong plastic tersebut hendaknya diambil paling sedikit
satu hari sekali atau bila sudah mencapai tiga perempat
penuh.Kemudian diikat kuat sebelum diangkut dan ditampung
sementara di bak sampah klinis.Bak sampah tersebut juga
hendaknya diikat dengan kuat bila mencapai tiga perempat penuh
atau sebelum jadwal pengumpulan sampah. Sampah kemudian
dibuang dengan cara sebagai berikut:
1.

Sampah dari haemodialisis


Sampah hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Bisa
juga digunakan autoclaving, tetapi kantung harus dibuka dan
dibuat sedemikian rupa sehingga uap panas bisa menembus
secara efektif.

2.

Limbah dari unit lain


Limbah hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Bila
tidak mungkin bisa menggunakan cara lain, misalnya dengan
membuat sumur dalam yang aman. Semua jaringan tubuh,
plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak limbah
medis atau kantong lain yang tepat kemudian di musnahkan
dengan incinerator. Perkakas laboratorium yang terinfeksi
hendaknya dimusnahkan dengan incinerator.Incinerator harus
dioperasikan dibawah pengawasan bagian sanitasi atau bagian
laboratorium.

Golongan B
Syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan
tertutup.Sampah ini hendaknya ditampung dalam bak tahan benda
tajam yang bilamana penuh (dengan interval maksimal tidak lebih
dari satu minggu) hendaknya diikat dan ditampung didalam bak
sampah klinis sebelum diangkut dan dimasukkan kedalam
incinerator.

b.

Penampungan

Sampah klinis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai


dengan kebutuhan. Sementara menunggu pengangkutan untuk dibawa
ke incinerator atau pengangkutan oleh dinas kebersihan (ketentuan
yang ditunjuk). Sampah yang tidak berbahaya dengan penanganan
pendahuluan, dapat ditampung bersama sampah lain sambil menunggu
pengangkutan.
c.

Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan
internal dan pengangkutan eksternal.Pengangkutan internal berawal
dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan atau incinerator
(pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya
digunakankereta dorong, kereta atau troli yang digunakan untuk
pengangkutan sampah klinis harus didesain sedemikian rupa sehingga
tidak akan menjadi sarang serangga, permukaan harus licin, rata dan
tidak tembus, mudah dibersihkan dan dikeringkan, sampah tidak
menempel pada alat angkut, sampah mudah diisikan, diikat dan
dituang kembali. Bila tidak tersedia sarana setempat dan sampah klinis
harus diangkut ketempat lain, harus disediakan bak terpisah dari
sampah biasa dalam alat truk pengangkut dan harus dilakukan upaya
pencegahan kontaminasi sampah lain yang dibawa, harus dapat
dijamin bahwa sampah dalam keadaan aman dantidak terjadi
kebocoran atau tumpah. (Anshar, 2013)

2.

Limbah Cair
Limbah rumah sakit mengandung bermacam-macam
mikroorganisme, bahan-bahan organic dan anorganik. Beberapa
contoh fasilitas atau Unit Pengolahan Limbah (UPL) dirumah sakit
antara lain:

a.

Kolam Stabilisasi Air Limbah (Waste Stabilization Pond System)

b. Kolam Oksidasi Air Limbah (Waste Oxidation Ditch Treatment System)


c.

Anaerobic Filter Treatment System

LATAR BELAKANG
Rumah sakit bersih adalah tempat pelayanan kesehatan yang dirancang,
dioperasikan dan dipelihara dengan sangat memperhatikan aspek kebersihan
bangunan dan halaman baik fisik, sampah, limbah cair, air bersih dan serangga/
binatang pengganggu. Namun menciptakan kebersihan di rumah sakit merupakan
upaya yang cukup sulit dan bersifat kompleks berhubungan dengan berbagai aspek
antara lain budaya/ kebiasaan, perilaku masyarakat, kondisi lingkungan, social dan
teknologi.
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.

Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius belum di


kelola dengan baik.Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan
limbah medis noninfeksius, selain itu kerap bercampur limbah medis dan non medis
yang justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Pengolahan limbah rumah sakit dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan dalam volume,
penggunaan kembali dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang dan pengolahan. Hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pengolahan limbah adalah pemisahan limbah,
penyimpanan limbah, penanganan limbah dan pembuangan limbah.
SIMPULAN
Keberagaman sampah/ limbah rumah sakit memerlukan penanganan yang
baik sebelum proses pembuangan. Sebagian besar pengelolaan limbah medis rumah
sakit masih dibawah standar lingkungan karena umunya dibuang ke tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah dengan sistem open dumping atau dibuang ke
sembarang tempat. Bila pengelolaan limbah tak dilaksanakan secara saniter akan
menyebabkan gangguan bagi masyarakat disekitar rumah sakit dan pengguna
limbah medis. Agen penyakit limbah rumah sakit memasuki manusia (host) melalui
air, udara, makanan, alat atau benda.Agen penyakit bisa ditularkan pada masyarakat
sekitar, pemakai limbah medis dan pengantar orang sakit.
Aspek pengelolaan limbah telah berkembang pesat, system manajemen
lingkungan adalah cara mengelola limbah sebagai by product (output), yang juga
meminimalisasi limbah. Pengelolaan limbah ini mengacu pada Peraturan Menkes
No. 986/Menkes/Per/XI/1992 dan Keputusan Dirjen P2M PLP No HK.00.06.6.44,
tentang petunjuk teknis Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit.Intinya penyehatan
anak harus dinomorsatukan, kontaminasi agen harus di cegah, limbah yang dibuang
harus tidak berbahaya, tidak infeksius dan merupakan limbah yang tidak dapat
digunakan lagi.

SARAN
Semestinya lingkungan rumah sakit menjadi tempat yang mendukung bagi
pemulihan kesehatan pasien sebagai environtment of care dalam rangka Patient
Safety yang dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO. Oleh karena itu
rumah sakit harus bersih dan bebas dari sumber penyakit.Kebersihan yang dimaksud
adalah keadaan atau kondisi yang bebas dari bahaya dan resiko minimal bagi
terjadinya infeksi silang.
Rumah sakit juga harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk
membudayakan kebersihan dan upaya peningkatan kebersihan rumah sakit harus
terus menerus dilaksanakan dengan menggiatkan program supervise, monitoring dan
evaluasi agar kebersihan dapat dipertahankan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.

2. PENINGKATAN KESADARAN KESEHATAN MASYARAKAT


BERBASIS KOMUNITAS MELALUI KELOMPOK STRATEGIS DI
DESA SUWANGI TIMUR KECAMATAN SAKRA KABUPATEN
LOMBOK TIMUR
Habib Alwi & Satriawan
Jurnal Transformasi, Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2015

ISU DAN FOKUS PENGABDIAN


Kesehatan merupakan hal yang dicari oleh semua orang. Menurut World Health Organization
(WHO) bahwa kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental, dan sosial serta
bukan hanya merupakan bebas dari penyakit. Salah satu cara menjaga agar tubuh tetap dalam
keadaan sehat adalah dengan gaya hidup yang bersih dan sehat.
Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan
merupakan salah satu unsur penentu dalam kesejahteraan penduduk. Di mana lingkungan yang
sehat sangat dibutuhkan,bukan hanya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga
untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja dan belajar.
Menurut WHO, setiap tahunnya sekitar 2,2 juta orang di negara- negara berkembang terutama anakanak meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh kurangya air minum yang
aman, sanitasi dan hygiene yang buruk. Selain itu, terdapat bukti bahwa pelayanan sanitasi yang
memadai, persediaan air yang aman, sistem pembuangan sampah serta pendidikan hygiene dapat
menekan angka kematian akibat diare sampai 65%, serta penyakit-penyakit lainnya sebanyak 26%.
Bersamaan dengan masuknya milenium baru, Departemen Kesehatan telah mencanangkan Gerakan
Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yang dilandasi paradigma sehat. Paradigma sehat adalah
cara pandang, pola pikir atau model pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, melihat masalah
kesehatan yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor, dan upayanya lebih
diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan.
Berdasarkan paradigma sehat ditetapkan visi Indonesia Sehat 2010, dimana ada 3 pilar yang perlu
mendapat perhatian khusus, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat serta pelayanan kesehatan yang
bermutu, adil dan merata. Untuk perilaku sehat bentuk kongkritnya yaitu perilaku proaktif
memelihara dan meningkatkan kesehatan. mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari
ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan. Mengingat dampak dari
perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar (30-35% terhadap derajat kesehatan), maka
diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat. Salah satunya
melalui program Perilaku Hidup Sehat dan Bersih.

Dengan kebijaksanaan ini, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan disemua sektor harus
mampu mempertimbangkan dampak negatif dan positif terhadap sektor kesehatan, baik bagi
individu, keluarga maupun masyarakat. Disektor kesehatan sendiri upaya kesehatan akan lebih
mengutamakan upaya-upaya preventif dan promotif yang proaktif, tanpa mengabaikan upaya
kuratif dan rehabilitatif. Dasar pandangan baru dalam pembangunan kesehatan ini disebut
Paradigma Sehat. Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Derajat kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas
sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya
saing manusia.
Kesehatan lingkungan merupakan bagian dari kesehatan masyarakat. Kesehatan lingkungan
menurut Walter R. Lym, adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan yang
berakibat atau mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
Sementara menurut Notoatmojo, antara kesehatan lingkungan dan sanitasi lingkungan merupakan
dua hal yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat. Sanitasi lingkungan menurutnya adalah
status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih dan sebagainya. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.
Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Pada zaman
purba manusia bertempat tinggal digua-gua, kemudian berkembang, dengan mendirikan rumah
tempat tinggal di hutan-hutan dan dibawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah
membangun rumah (tempat tinggalnya) bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang serba
modern.sejak zaman dahulu pula manusia telah mencoba mendesain rumahnya, dengan ide mereka
masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dan
membangun rumah mereka dengan bahan yang ada setempat (lokal material) pula. Setelah manusia
memasuki abad modern ini meskipun rumah mereka dibangun dengan bukan bahan-bahan setempat
tetapi kadang-kadang desainya masih mewarisi kebudayaan generasi sebelumnya.
Menurut L. Blum, derajat kesehatan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan,
perilaku, pelayanan medis dan keturunan. Yang sangat besar pengaruhnya adalah keadaan
lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan perilaku masyarakat yang merugikan
kesehatan, baik masyarakat di pedesaan maupun perkotaan yang disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan kemampuan masyarakat dibidang kesehatan, ekonomi maupun teknologi.
Di daerah pedesaan terutama dengan masyarakat berpenghasilan rendah, penyakit yang
penularannya berkaitan dengan air dan lingkungan terutama penyakit diare masih endemis dan
masih merupakan masalah kesehatan. Di daerah tersebut sebagian besar rumah tangga belum
mempunyai akses penggunaan air bersih dan sanitasi, karena belum semua rumah dilengkapi
sarana. Perilaku hidup bersih dan sehat belum membudaya pada masyarakat pedesaan karena
kurang pengertian dan kesadaran pentingnya terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (healthy life
style). Masyarakat masih menempatkan prioritas pada pembangunan sarana air bersih daripada
pembangunan sarana sanitasi dan program kesehatan, padahal pembangunan sarana air bersih tanpa
disertai pembangunan sarana sanitasi dan kesehatan, kurang memberikan dampak terhadap
peningkatan derajad kesehatan. Masyarakat kurang memperhatikan pentingnya kegiatan untuk
operasional dan pemeliharaan sarana, serta usaha peningkatan kualitas air dan lingkungan,
kurangnya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat terhadap penggunaan sarana air bersih dan
sanitasi menyebabkan kurangnya kesinambungan / keberlanjutan program air bersih, sanitasi dan
kesehatan.

Masalah kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai upaya-upaya menfasilitasi
perubahan perilaku. Dengan demikian p e n y a d a r a n kesehatan adalah program- program yang
dirancang untuk membawa perubahan (perbaikan) baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam
organisasi dan lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya). Atau dengan kata
lain kesadaran akan kesehatan tidak hanya mengaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap
dan perilaku kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan (fisik dan nonfisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Umumnya ada empat faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat agar merubah perilakunya,
yaitu:
a. Fasilitasi, yaitu bila perilaku yang baru membuat hidup masyarakat
yang melakukannya menjadi lebih mudah, misalnya adanya sumber
air
bersih
yang
lebih
dekat.
b. Pengertian yaitu bila perilaku yang baru masuk akal bagi masyarakat dalam konteks pengetahuan
lokal.
c. Persetujuan, yaitu bila tokoh panutan (seperti tokoh agama dan tokoh
masyarakat) setempat menyetujui dan mempraktekkan perilaku
d. Kesanggupan untuk mengadakan perubahan secara fisik misalnya

yang

di

anjurkan.

kemampuan untuk membangun jamban dengan teknologi murah namun tepat guna sesuai dengan
potensi yang di miliki.
Sementara itu luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya
luas lanai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini
tidak sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi O 2 juga bila salah satu anggota
keluarga terkene penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 3 m2 untuk tiap orang (tiap
anggota keluarga).
Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai
berikut:
a.
Penyediaan
air
bersih
b.
Pembuangan
c.
Pembuangan
air
limbah
d.
Pembuangan
e. Fasilitas dapur ruang berkumpul keluarga.

yang
(air

cukup
Tinja
bekas)
sampah

ALASAN MEMILIH DAMPINGAN


Berdasarkan isu yang telah dipaparkan di atas, muncul beberapa alasan yang menjadi concern
memilih dampingan, antara lain: Bagaimana pola perilaku sehat masyarakat Desa Suwangi Timur;
Apa yang menyebabkan masyarakat masih memiliki perilaku sehat yang kurang bersahabat dengan
lingkungan; Bagaimana peran kelembagaan sosial dan tokoh komunitas dalam dinamika perilaku
sehat masyarakat.

Dalam kegiatan pengabdian ini difokuskan pada bagaimana peranan kelompok-kelompok strategis
berbasis komunitas dalam masyarakat desa Suwangi Timur seperti pemerintah, tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda, pendidik, kelompok PKK , dan kader desa dalam membangun
kesadaran hidup sehat dan ramah lingkungan.
Desa Suwangi Timur merupakan salah satu desa di kecamatan sakra yang memiliki luas wilayah
kurang lebih 3.400 Ha dan jumlah KK 1.648 dengan jumlah penduduk 10.370 jiwa yang terdiri dari
4 kekadusan, yakni Dusun Turun Tangis, Jurang Gadung, Pegondang, dan Dusun Penye.
Desa Suwangi Timur adalah salah satu desa hasil pemekaran di Kecamatan Sakra Kabupaten
Lombok Timur yang memiliki luas wilayah kurang lebih 3.400 Ha dengan jumlah penduduk 10.370
jiwa terdiri dan jumlah KK 1648. Desa Suwangi Timur memiliki empat (4) kekadusan yakni; Dusun
Turun Tangis, Dusun Jurang Gadung, Dusun Pegondang, dan Dusun Penye. Desa Suwangi Timur
terletak sekitar 12 km arah selatan kota Selong. Letakknya yang agak di pinggiran dengan tekstur
wilayah persawahan yang agak tandus, menjadikan Desa Suwangi Timur tergolong daerah yang
krisis dengan air khususnya air bersih. Masyarakat di sekitar wilayah desa Suwangi Timur masih
sangat atau masih minim pemahaman tentang kesehatan lingkngungan dalam bentuk perilaku hidup
bersi dan sehat (PHBS). Hal ini terjadi akibat kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap
masyarakat. Perilaku buang air besar (BAB) sembarangan atau tidak menggunakan WC masih
banyak dijumpai terutama pada anak-anak dan sebagian pada orang dewasa, yang tidak lazim
seperti ini merupakan gambaran perilaku keseharian warga desa serta membuang sampah di tempat
sembarangan.
Perilaku masyarakat seperti ini lambat-laun menyebabkan kualitas kesehatan menjadi rendah,
lingkungan menjadi tercemar, dan berbagai penyakit mudah bermunculan. Kondisi alam dan
perilaku masyarakat saling mempengaruhi. Ketersediaan sumber air yang melimpah menyebabkan
perilaku masyarakat berpusat pada sumber-sumber air. Demikian juga sumber-sumber air sangat
dipengaruhi kualitasnya oleh perilaku masyarakat dalam memanfaatkan air. Karena itu, hubungan
antar kedua entitas itu haruslah selaras, seimbang, dan harmonis. Jika tidak, maka air tidak lagi
menjadi sumber kehidupan, tetapi sebagai sumber bala bencana.
Berdasarkan data yang ada mengenai fasilitas masyarakat Desa Suwangi Timur memperlihatkan
bahwa rumah tangga yang menggunakan sumur sebayak 125 KK, dan rumah tangga membuang air
besar di sungai/parit/ kebun 335 orang. Jumlah penduduk yang cukup besar memerlukan
pengelolaan kesehatan lingkungan yang memadai.

KONDISI DAMPINGAN YANG DIHARAPKAN


Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan penyadaran bagi masyarakat akan pentingnya budaya
hidup sehat dalam masyarakat dan lingkungan. Pada gilirannya kesadaran itu memberi pengaruh
pada perubahan sikap dan perilaku sehat serta interaksi produktif manusia dengan alam sekitar.
Hasil yang diharapkan dari pendampingan ini secara spesifik yaitu :
1.

Terbangunnya wawasan dan cara pandang yang baru terhadap lingkungan yang dibutuhkan
dalam peningkatan kesehatan masyarakat.

2.

Terumuskannya sejumlah acuan atau pedoman umum untuk program peningkatan kesehatan
masyarakat Desa Suwangi Timur.

3.

Terjalinnya komunikasi dan jaringan berbasis komunitas melalui forum komunikasi antar
kelompok-kelompok strategis masyarakat di wilayah Desa Suwangi Timur dalam
pengembangan
perilaku
hidup
sehat.

STRATEGI YANG DILAKUKAN UNTUK MENCAPAI KONDISI HARAPAN


Kegiatan ini menggunakan beberapa strategi dan metode yang relevan sesuai dengan kebutuhan
tiap-tiap tahap kegiatan diantaranya :
a.

Tahap
awal
Pada tahp awal ini dilakukan pemetaan kondisi lapangan melalui survey terhadap para
kelompok strategis, kemudian dilakukan penjaringan peserta yang terlibat dalam kegiatan
yang berbasis komunitas tersebut.

b.

Tahap
pelaksanaan
Kegiatan ini dilakukan melalui metode ceramah dan diskusi oleh narasumber yang dipilih
dari pakar dan praktisi. Untuk pendalaman dan elaborasi serta pemetaan-pemetaan masalah
dan potensi dilakukan focus group discussion (FGD) di antara peserta.

c.

Tahap
pemantapan
Pada tahap pemantapan dilakukan simulasi atau praktek di mana peserta memperlihatkan
kemampuan mereka dalam melakukan penyadaran kepada masyarakat. Tahapan ini bisa
dianggap sebagai project mini.

d.

Tahap
monitoring
dan
evaluasi
Kegiatan pendampingan dilaksanakan secara kontinyu selama proses kegiatan
pendampingan berlangsung untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan kegiatan tentang
penyadaran dan perubahan perilaku masyarakat. Tahap monitoring dan evaluasi ini
bertujuan
untuk
:

1. Mengetahui Kemajuan Perubahan Secara Fisik dengan menggunakan peta sosial

Apakah
ada
perubahan
tempat-tempat
yang
semua
digunakan untuk buang air besar (seperti di sungai, hutan, kebun, dan lain-lain) sekarang
masih digunakan untuk buang air besar dam juga buang sampah sembarangan.
Apakah ada tempat-tempat untuk membuang kotoran bayi- balita, sekarang masih
terjadi.

Apakah

ada

penambahan

jumlah

sarana

air

bersih

Apakah di jamban ada perubahan tentang penyediaan air dan sabun untuk cuci tangan.
2. Memeriksa kemajuan pelaksanaan kegiatan dengan menggunakan tabel perencanaan yang
disusun berdasar data d a m p i n g a n untuk mengetahui apakah jenis kegiatan yang direncanakan,
pada saat ini sudah dilaksanakan.
3. Evaluasi Perubahan Perilaku Secara Partisipatif melalui kelompok- kelompok strategis.

PIHAK-PIHAK
YANG
KETERLIBATANNYA

TERLIBAT

(STAKEHOLDERS)

DAN

BENTUK

Masalah utama pada rural society (masyarakat pedesaan) adalah adanya saling keterkaitan yang erat
antara perilaku dengan alam. Pandangan (mind-set) masyarakat tentang alam dan lingkungannya
diikuti dengan sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan. Karena itu,
upaya penyadaran merupakan hal yang sangat urgen dilakukan dalam masyarakat. Proses
penyadaran melalui pemberian pengetahuan yang benar kepada masyarakat dianggap relatif efektif
karena secara teoretis sikap dan perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan yang ada di
benaknya. Pendekatan penyadaran intelektual atau informatif ini memiliki dampak yang signifikan
bagi pendewasaan sikap seseorang.
Dalam masyarakat paguyuban seperti itu, institusi dan forum- forum sosial, budaya, dan keagamaan
memegang peranan penting dalam penanaman nilai yang dianut oleh masyarakat. Karena itu, jika
hendak menyemai wawasan atau gagasan tertentu, maka peran kelompok strategis yang berbasis
komunitas dalam masyarakat seperti dai atau khatib, ustadz, kiyai (tuan guru), kelompok PKK,
kader desa, serta kelompok strategis lainnya dalam masyarakat. Untuk itu, proses penyadaran harus
dimulai dari kelompok strategis itu, karena dari merekalah akan ditransformasikan ilmu
pengetahuan kepada masyarakat umum. Adapun pihak-pihak yang terlibat yaitu :
1.

Pemerintah Desa/Kelurahan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat desa setempat.


Keterlibatan pemerintah Desa merupakan suatu keharusan dan diharapkan dapat membantu
secara administratif dan politis upaya mengembangkan program kerja takmir menyentuh
berbagai aspek kehidupan.

2.

Tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat sebagai fasilitator. Suatu kegiatan sulit
dilaksanakan jika tidak melibatkan tokoh agama dan masyarakat setempat. Oleh karenanya,
dalam kegiatan ini tokoh agama dan tokoh masyarakat ditempatkan sebagai kunci pelaksanaan
kegiatan, baik dalam hal koordinasi maupun dalam mobilisasi.
3.

Lembaga terkait seperti, Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur, Puskesmas


Kecamatan
Sakra
,
dan
Akademisi.

4.

Organisasi Kemasyarakatan, Tokoh Agama dan Masyarakat berperan sebagai pihak-pihak


yang
melakukan
penguatan.

5.

Lembaga Penelitian, Penerbitan, dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN Mataram,


sebagai
pendamping
/
panitia.

BENTUK KETERLIBATANNYA
a). Advokasi (pendekatan pada para pengambil keputusan.
1.

Ditingkat keluarga/rumah tangga, strategi ini ditujukan kepada para kepala keluarga/
bapak/suami. Tujuannya agar para pengambil keputusan di tingkat keluarga/rumah tangga
dapat meneladani dalam berperilaku sehat, memberikan dukungan, kemudahan,

pengayoman
dan

2.

dan

bimbingan
lingkungan

kepada

anggota
disekitarnya.

keluarga

Di tingkat pimpinan, strategi ini ditujukan kepada para pimpinan


atau pengambil keputusan, seperti Kepala Desa, Kepala Poskesdes , Pimpinan Pondok
Pesantren dan kelompok-kelompok strategis sebagai pembina program kesehatan di
wilayahnya.
Tujuannya

adalah agar para pimpinan atau pengambil keputusan mengupayakan kebijakan, program atau
peraturan yang berorientasi sehat, seperti adanya peraturan tertulis, dukungan dana, komitmen,
termasuk memberikan keteladanan.
b). Membangun dukungan suasana di tingkat keluarga/RT, strategi ini ditujukan kepada para kepala
keluarga/suami/bapak ibu. kakek. nenek. dan lain-lain. Tujuannya adalahagar kelompok ini dapat
mengembangkan atau menciptakan suasana yang mendukung dilaksahakannva PHBS di lingkungan
keluarga. Di kelompok strategis, strategi ini ditujukan kepada kelompok sasaran Tujuannya adalah
agar kelompok ini dapat mengembangkan atau menciptakan suasana yang mendukung
dilaksanakannya PHBS.
c). Gerakan Masyarakat. Strategi ini ditujukan kepada anggota keluarga seperti bapak, ibu yang
mempunyai tanggung jawab sosial untuk lingkungannya. Tujuannya agar kelompok sasaran
meningkat pengetahuan, kesadaran maupun kemampuannya, sehingga dapat berperilaku sehat.
Caranya dengan penyuluhan perorangan, kelompok, membuat gerakan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat.

PELAKSANAAN KEGIATAN
Berangkat dari pemaparan kondisi obyektif tentang tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang
dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kegiatan desa binaan ini dirancang untuk memberikan
solusi alternatif terhadap pemberdayaan warga masyarakat setempat dengan bentuk kegiatannya
adalah sosialisasi dan penyuluhan kesehatan masyarakat. Akan tetapi karena keterbatasan berbagai
sarana maupun prasarana termasuk pendanaan yang disediakan, maka untuk obyek dan sasarannya
adalah terbatas pada Kelompok-kelompok Strategis yang berada wilayah Desa Suwangi Timur.
Akan tetapi juga tidak semua dari pada Kelompok-kelompok Strategis di Desa Suwangi Timur ini
dilibatkan secara langsung sebagai peserta. Mereka dipilih berdasarkan hasil kesepakatan antara tim
dengan Stakeholder yang berdomisili di Desa Suwangi Timur. Sasarannya adalah meningkatkan
kesadaran kesehatan masyarakat yang ada di Desa Suwangi Timur Kecamatan Sakra Kabupaten
Lombok Timur.
Output dari kegiatan desa binaan ini adalah para Kelompok- kelompok Strategis seperti; tokoh
agama, tokoh masyarakat, Karang Taruna, Kader Posyandu, PKK yang ada di Desa Suwangi Timur
memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga dan memelihara kesehatan lingkungan sekitarnya.
Mereka dipilih berdasarkan kesepakatan antara tim dengan tokoh masyarakat setempat (Kepala
Desa dan Kadus) yang berjumlah 25 orang. Sasarannya adalah upaya meningkatkan kesadaran
kesehatan hidup mereka dan memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga outcomenya adalah mereka memiliki kesadaran dalam mengelola lingkungan

sosialnya serta mampu menciptakan suasana lingkungan yang bersih dan sehat serta ramah
lingkungan sehingga terrwujudnya suatu bentuk sikap dan perilaku hidup besih dan sehat baik
secara fisik maupun psikis.

TAHAPAN DAN METODE PELAKSANAAN KEGIATAN


Rancangan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi peningkatan kesadaran kesehatan terhadap
kelompok strategis ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan proses atau prosedur kegiatan, yaitu:
1. Survey
Survey dilakukan oleh organisasi pelaksana dengan terjun langsung ke masyarakat untuk
melakukan identifikasi terhadap permasalahan dan ketersediaan potensi yang dimiliki warga
masyarakat pedesaan tentang perilaku hidup sehat dan bersih baik di dalam rumah maupun di
lingkungan sekitar wilayah desa Suwangi Timur yang dapat dimanfaatkan atau dikembangkan
untuk memberi peluang alternative pemecahan masalah dbagi warga masyarakat setempat. Setelah
diadakan survey, maka disepakati tentang bagaimana sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingya
kesadaran tentang kesehatan, bagaimana peran para kelompok-kelempok strategis (tokoh agama,
tokoh masyarakat, Kader Posyandu, PKK) di masyarakat dalam
memberikan penyadaraan. Kemudian disepakati tempat pelaksanaan kegiatan dimaksud ( Aula
Kantor Desa Suwangi Timur). Setelah mendapatkan informasi dan kepastian dari peserta, Tim
Pelaksana meyiapkan perlengkapan untuk kegiatan desa binaan dimaksud.
2. Pengorganisasian Peserta
Karena jumlah masyarakat atau kelompok strategis ini cukup banyak, sementara jumlah peserta
yang diinginkan sebagai target sasaran terbatas, yaitu 25 orang, maka akan dilakukan
pengorganisasian dengan pembentukan tim atau kelompok perwakilan yang akan dibina terlebih
dahulu sebagai percontohan. Setiap kelompok terdiri dari 5 orang dan akan dikoordinir oleh satu
orang sebagai ketuanya. Jika suatu saat kegiatan ini dirasakan berhasil, maka tim ini nanti
diharapkan dapat membentuk kelompok lagi untuk dibina lagi secara mandiri.
3. Penyuluhan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan motivasi kepada para peserta dalam
memelihara dan menjaga kesehatan lingkungan dengan mencerminkan suatu bentuk perilaku hidup
bersih dan sehat.
4. Training
Kegiatan ini berbentuk pemberian pengetahuan sekaligus keterampilan tentang kesadaran kesehatan
masyarakat berbasis komunitas dengan melalui kelompok-kelompok strategis, serta tugas dan
tanggung jawab para kelompok strategis tersebut dalam menjaga dan memelihara kesehatan
lingkungan sekitarnya. Beberapa tahapan dari metode kegiatan ini yaitu diawali dengan pemberian
materi tentang pentingnya kesadaran kesehatan dan peran kelompok- kelompok strategis dalam
masyarakat, oleh narasumber yang telah diundang oleh tim pelaksana. Metodenya adalah ceramah
interaktif atau FGD (Focus Group Discussion) antara narasumber dengan peserta. Kemudian tahap
selanjutnya adalah curah pendapat oleh para peserta dengan di dampingi atau bimbingan langsung
narasumber. Setelah para peserta ini dianggap sudah bisa oleh narasumber, tetapi pengontrolannya
akan tetap dilakukan oleh organisasi pelaksana.

5. Pendampingan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengadakan pendampingan langsung kepada para peserta pelatihan
sekaligus sebagai upaya pengontrolan terhadap persoalan-persoalan yang ditemui setelah mereka
menerima sosialisasi, sehingga kendala-kendala tersebut segera dicarikan solusi penyelesaiannya,
terutama pada masa-masa proses pembinaan yang sudah terjadwal .

LATAR BELAKANG
Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan
merupakan salah satu unsur penentu dalam kesejahteraan penduduk. Di mana lingkungan yang
sehat sangat dibutuhkan,bukan hanya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga
untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja dan belajar. Departemen Kesehatan telah
mencanangkan Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yang dilandasi paradigma sehat.
Paradigma sehat adalah cara pandang model pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, melihat
masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor, dan upayanya
lebih diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan. Kesehatan
lingkungan dan sanitasi lingkungan merupakan dua hal yang perlu mendapat perhatian dari
masyarakat. Di daerah pedesaan terutama dengan masyarakat berpenghasilan rendah, penyakit yang
penularannya berkaitan dengan air dan lingkungan terutama penyakit diare masih endemis dan
masih merupakan masalah kesehatan. Perilaku hidup bersih dan sehat belum membudaya pada
masyarakat pedesaan karena kurang pengertian dan kesadaran pentingnya terhadap perilaku hidup
bersih dan sehat (healthy life style). Dengan demikian penyadaran kesehatan adalah program yang
dirancang untuk membawa perubahan baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam organisasi
dan lingkungannya berupa lingkungan fisik, sosial budaya.

KESIMPULAN
Secara umum, kegiatan pelatihan ini berjalan sesuai rencana dan mendapatkan respon baik oleh
masyarakat setempat, baik yang terdaftar sebagai peserta maupun yang tidak. Terlihat dari
kemampuan peserta sosialisasi dan penyuluhan. Oleh karena itu perlu ada lembaga-lembaga
tertentu, baik dari pemerintah, perguruan tinggi, atau swasta untuk lebih memperhatikan kebutuhan
dan kepentingan komunitas binaan ini yang berada di Desa Suwangi Timur Kecamatan Sakra
Kabupaten Lombok Timur.

SARAN
Demikian Pengabdian Pada Masyarakat Program Desa Binaan dengan kegiatannya adalah
Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Kesehatan Masyarakat Berbasis Komunitas melalui Kelompok
Strategis di Desa Suwangi Timur Kecamatan Sakra Lombok Timur tahun 2014. Melalui kegiatankegiatan pemberdayaan, wujud nyata perguruan tinggi sebagai mitra masyarakat benar-benar dapat
dirasakan dan secara tidak langsung merupakan salah satu upaya untuk peningkatan kualitas
sumberdaya manusia masyarakat. Akhirnya, semoga kegiatan ini memberikan manfaat, baik bagi
lembaga pendukung, tim pelaksana maupun Para Kelompok Strategis sebagai kelompok sasaran
terpilih. Salah satu persoalan yang ada di masyarakat adalah tentang persoalan Kesehatan terutama

kesehatan lingkungan. Permasalahan ini tentu berimbas pada rendahnya kualitas sumberdaya
manusia dalam memahami pentingnya kesehatan. Untuk itu, sebagai mitra masyarakat, perguruan
tinggi perlu meningkatkan kegiatan pengabdian masyarakatnya melalui penugasan kelompokkelompok dosennya, terutama melalui kegiatan-kegiatan yang dapat menciptakan pembinaan
terhadap masyarakat terutama masalah kesehatan sebagai wujud pengamalan tri dharma perguruan
tinggi.

3. PERAN PDAM DALAM PENGELOLAAN BAHAN AIR BAKU AIR


MINUM SEBAGAI PERLINDUNGAN KUALITAS AIR MINUM DI
KOTA YOGYAKARTA
Jurnal Hukum Pertanahan dan Lingkungan Hidup. Fakultas Hukum Universitas AtmaJaya
Yogyakarta. Tanggal 24 Januari 2014.

LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari air merupakan salah satu komponen yang paling dekat dengan
manusia yang menjadi kebutuhan dasar bagi kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia, oleh
karena hal tersebut air harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.Selain merupakan
sumber daya alam, air juga merupakan komponen ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.Hal ini tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat pentingnya kebutuhan akan air bersih, maka sangatlah
wajar apabila sektor air bersih mendapatkan prioritas penanganan utama karena menyangkut
kehidupan orang banyak.
Bertambahnya jumlah penduduk maka akan mengakibatkan bertambah jumlah kebutuhan air bersih.
Berdasarkan data kependudukan, kecepatan pertambahan jumlah penduduk Indonesia adalah 2,3 %
per tahun, artinya, apabila percepatan pertambahan penduduk tersebut tidak dikurangi, setiap 30
tahun jumlah penduduk menjadi dua kali lipat.1Air tawar yang dapat dikonsumsi oleh manusia
merupakan sumber daya alam langka. Sekitar 97.2 % dan apa yang kita sebut sebagai air adalah air
laut yang tidak dapat dikonsumsi oleh manusia dan 2.15% merupakan air yang membeku. Jumlah
yang kurang dari 1% ini terdapat pada sungai-sungai, danau-danau, atau telaga-telaga dan air bawah
tanah.
Penanganan akan pemenuhan kebutuhan air bersih dapat dilakukan dengan berbagai cara,
disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada. Di daerah perkotaan, sistem penyediaan air
bersih dilakukan dengan sistem perpipaan dan non perpipaan.Sistem perpipaan dikelola oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sementara sistem non perpipaan dikelola oleh masyarakat
baik secara individu maupun kelompok. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah Perusahaan
yang berbentuk Badan Hukum yang dapat mengurus kepentingannya sendiri, ke luar dan ke dalam
terlepas dari Organisasi Pemerintah Daerah, seperti PU Kabupaten/ Kotamadya dan lain
sebagainya.3 Dengan adanya parameter kualitas air, maka dibutuhkan peran Pemerintah khususnya
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam pengelolaan bahan air baku air minum sebagai
perlindungan kualitas air yang ada dalam parameter kualitas air terutama dalam kelas satu yang
digunakan sebagai air baku air minum.
Kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga lingkungan, merupakan salah satu penyebab yang
dapat menimbulkan bencana bagi generasi yang akan datang. Salah satu bencana itu adalah
tercemarnya air tanah dan kelangkaan air. Disekitar Kota Yogyakarta terdapat sumber air baku yang
tidak mencukupi kebutuhan air bersih untuk masyarakatnya. PDAM Kota Yogyakarta sebagian
besar hanya mengandalkan sumber air dari mata air Umbulwadon, sumur dalam, sumur dangkal,

maupun air permukaan. Mata air Umbulwadon merupakan salah satu sumber air baku PDAM Kota
Yogyakarta dengan kapasitas air baku sebesar 350-550 l/dtk. PDAM Kota Yogyakarta
memanfaatkan kurang lebih sebesar 80 l/dtk untuk melayani kawasan tengah Kota Yogyakarta.Hal
ini diperparah dengan lemahnya PDAM dalam menyalurkan air bersih sehingga penyedotan air
tanah secara individual oleh masyarakat pun tidak terelakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
air tersebut.
B. MetodePenelitian
Jenis penelitian dengan penelitian hukum yuridis empiris yang merupakan penelitian dengan fokus
pada perilaku masyarakat hukum (law action), dan memerlukan data primer yang diperoleh secara
langsung dari responden dan nara sumber sebagai data utama disamping data sekunder berupa
bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan bahan
hukum sekunder yang meliputi pendapat hukum, buku serta hasil penelitian yang dipakai sebagai
pendukung.
C. Hasil Penelitian
Peran Perusahaan Daerah Air Minum dalam Pengelolaan Bahan Air Baku Air Minum sebagai
Perlindungan Kualitas Air Minum di Kota Yogyakarta.Penelitian ini dilakukan di PDAM Tirtamarta
Kota Yogyakarta, wawancara dilakukan dengan Kepala Bagian Umum PDAM Tirtamarta
Yogyakarta yaitu Bapak Majiya, SE. MM dan Kepala Bidang Pengawasan dan Pemulihan
Lingkungan Hidup yaitu Bapak Ir. Budi Raharjo di Badan Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta.Penelitian ini juga mengambil data dari beberapa responden yang diantaranya adalah
Rizky Rizaldi Sub Bidang Pengawasan dan Pemulihan Lingkungan Hidup dan 2 orang Pelanggan
tetap dari PDAM Tirtamarta Yogyakarta.
Perusahaan Daerah Air Minum Tirtamarta Kota Yogyakarta beberapa kali mengalami perubahan
dari institusi ekonomi menjadi institusi sosial, kemudian berubah lagi menjadi institusi ekonomi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 14 Tahun 2012 tentang Perusahaan Daerah Air
Minum Tirtamarta Kota Yogyakarta, maksud dan tujuan Pembentukan PDAM Tirtamarta adalah
untuk memberikan pelayanan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum serta menggali
Pendapatan Daerah dengan motto pelayanan Pelayanan semakin baik. Tujuannya adalah
melaksanakan Pembangunan Daerah pada khususnya dan Pembangunan Ekonomi Nasional pada
umumnya, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam bidang air
minum yang memenuhi syarat-syarat kesehatan bagi masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
PDAM Tirtamarta memiliki kapasitas produksi sebesar 565 l/det. Lebih lanjut diterangkan sampai
saat ini PDAM Tirtamarta memiliki 35.000 pelanggan. PDAM Tirtamarta disamping melayani
wilayah Kota Yogyakarta, juga melayani sebagian wilayah KabupatenSleman dan Bantul.
Berdasarkan keterangan Rinawanti SE Koordinator Pembinaan Pengembangan mengatakan bahwa
untuk memenuhi kualitas air bersih maka PDAM Tirtamarta memiliki 10 ( sepuluh) Instalansi
Pengolahan Air (IPA) yang difungsikan sebagai alat tampung dari berbagai sumber air dan untuk
mengaliri layanan.
Pengelolaan dan pelayanan air bersih untuk kebutuhan masyarakat di KotaYogyakarta, dilaksanakan
oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirtamarta Kota Yogyakarta yang merupakanperusahaan milik
Pemerintah Kota Yogyakarta. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, menentukan bahwa yang dimaksud dengan air adalah semua yang terdapat pada,
di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah,
air hujan, dan air laut yang berada di darat. Pengertian tentang air baku dapat ditemukan pada

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, Pasal 1 angka 1 menentukan bahwa air baku adalah air yang dapat berasal
dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu
tertentu sebagai air baku untuk air minum. Berdasarkan peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
air baku air minum adalah air yang berasal dari sumber air, yang meenuhi baku mutu tertentu yang
dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, baik melalui pemrosesan maupun tanpa diproses
terlebih dahulu.
Beberapa persyaratan Kualitas Air Minum menentukan bahwa Air minum aman bagi kesehatan
apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif.Hal tersebut tertulis
dalam Pasal 3 Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010
Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.Permasalahan tentang kualitas air disebabkan oleh
beberapa sifat dari air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi, dan komponen lain yang ada dalam
air tersebut.Klasifikasi mutu air, berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, air dikelompokkan menjadi 4
kelas yaitu:
a. Kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan/atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi tanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi tanaman dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Klasifikasi mutu air dilakukan melalui pendekatan untuk menetapkan
kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar dalam penetapan baku mutu air. PDAM
Tirtamarta mengambil Sumber Air baku diperoleh dari air permukaan dan air tanah, dimana air
tanah meliputi mata air, sumur dangkal dan sumur dalam. Air permukaan diperoleh darisumber air
Umbul Wadon telah memenuhi persyaratan kualitas air baku sebagai air bersih, sebelum dialirkan
ke pelanggan dibubuhi kaporit sebagai disenfektan. Sedangkan air baku dari Kali Kuning sebelum
dialirkan kepelanggan dilakukan penjernihan melalui saringan pasir, bak sedimentasi, saringan pasir
cepat dan disenfeksi. Pengolahan air bawah tanah dari sumur dalam dilakukan dengan aerasi bawah
tanah, pelaksanaan aerasi diterapkan pada sumur produksi Bedog, Ngaglik, Karanggayam,
sedangkan pengolahan di Kotagede dilakukan dengan kegiatan aerasi, kougulasi, flokulasi, filtrasi
dan pembubuhan kaporit sebagai disenfektan. Untuk air baku dari sumur dangkal dilakukan
penjernihan dengan menggunakan saringan pasir cepat dan pemberian disenfektan berupa kaporit.
PDAM Tirtamartani berkoordinasi dengan beberapa instansi, seperti halnya Departemen Dalam
Negri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian Pengelolaan sumber daya air
dilakukan dengan koordinasi yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan
para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air. Koordinasi dapat dilakukan melalui suatu
wadah koordinasi yang bernama Dewan Sumber Daya Air.Koordinasi yang dilakukan dengan dinas
terkait yaitu Dinas Kesehatan dalam kaitannya dengan pengawasan kualitas air baku air minum
yang di kelola PDAM Tirtamarta. Koordinasi dengan Dinas PU terkait dalam pemberian bantuan

sarana dan prasarana pendukung dalam melindungi kualitas air baku minum. Koordinasi dengan
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL). Dalam kaitannya dengan pengelolaan air sebagai

usaha dalam melindungi kualitas air minum, PDAM Tirtamarta menjalin koordinasi dengan BLH.
Hal tersebut dikarenakan dalam melindungi kualitas air baku tidak lepas dari prasarana perkotaan
lain yang dapat menimbulkan kualitas air menurun. Seperti halnya industri-industri yang
memanfaatkan air dalam produksinya serta dalam pembuangan limbah cair.

KESIMPULAN
1. Peran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta dalam pengelolaan bahan air baku air
minum sebagai perlindungan kualitas air minum di Kota Yogyakarta sudah berjalan dengan baik
dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sangat berperan
penting dalam penyediaan air baku air minum sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 yang mencukupi kebutuhan pelanggan
dengan sistem pendistribusian air bersih yang berlaku. PDAM juga telah melakukan koordinasi
dengan Dinas Kesehatan dalam kaitannya dengan pengawasan kualitas air baku air minum yang
dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamarta, koordinasi dengan Dinas PU terkait
dalam pemberian bantuan sarana dan prasarana pendukung dalam melindungi kualitas air minum,
koordinasi dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) kaitannya dengan pengelolaan air
sebagai usaha dalam melindungi kualitas air minum serta koordinasi dengan BLH dalam kaitannya
dalam melindungi kualitas air baku tidak lepas dari prasarana perkotaan lain yang dapat
menimbulkan kualitas air menurun.
2. Hambatan-hambatan dalam menjalankan peran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam
pengelolaan bahan air baku air minum sebagai perlindungan kualitas air minum di Kota Yogyakarta
adalah sebagai berikut :
a. Kurang Pedulinya masyarakat Terhadap Lingkungan
b. Kandungaan Fe dan Mn Tinggi
c. Kebocoran pada Saluran Pipa Distribusi

SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang
Sumber Daya Air, Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan peraturan lain
yang terkait dengan perlindungan lingkungan, terutama soal pelestarian sumber daya air, sehingga
nantinya diharapkan tinggkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dapat meningkat.
2. Perlu adanya peningkatan peran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam pengelolaan
bahan air baku air minum sebagai perlindungan kualitas air minum di Kota Yogyakarta, untuk
meminimalisir keluhan pelanggan.

4. HIGIENE DAN SANITASI MAKANAN


KECAMATAN GRESIK KABUPATEN GRESIK

NASI

KRAWU

DI

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 3844


Makanan merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Makanan
memberikan energi dan bahan yang diperlukan untuk membangun dan mengganti jaringan, untuk
bekerja, dan untuk memelihara pertahanan tubuh terhadap penyakit. Seiring dengan kemajuan
zaman, masyarakat kini menuntut kemudahan dalam memperoleh makanan. Kenyataan ini
mendorong tumbuh kembangnya pedagang makanan seperti rumah makan, restoran, jasa boga, dan
pedagang makanan kaki lima.

Pemenuhan kebutuhan makanan yang higienis merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Namun perlu diketahui bahwa makanan merupakan salah satu
media penularan penyakit infeksi dan dapat menimbulkan keracunan makanan jika dalam
penanganan makanan, keadaan lingkungan dan peralatan yang digunakan tidak bersih dan dapat
menyebabkan tercemarnya makanan oleh bakteri melalui lingkungan fisik maupun biologis.
Kualitas higiene dan sanitasi yang dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor penjamah
makanan dan faktor lingkungan di mana makanan tersebut diolah, termasuk fasilitas pengolahan
makanan yang tersedia. Dari kedua faktor tersebut, faktor penjamah makanan dipandang lebih
penting karena sebagai manusia, bersifat aktif yang mampu mengubah diri dan lingkungan ke arah
yang lebih baik atau sebaliknya. Higiene perorangan merupakan kunci keberhasilan dalam
pengolahan makanan yang aman dan sehat. Betapapun ketatnya peraturan telah dibuat dan
dikeluarkan oleh suatu usaha ditambah peralatan kerja dan fasilitas memadai, semua itu akan siasia saja bila manusia yang menggunakannya berperilaku tidak mendukung (Departemen Kesehatan
RI, 2002).
Saat ini banyak orang yang telah mengenal nasi krawu. Makanan khas Kota Gresik yang punya
pengaruh kuliner Madura yang sangat kental, kebanyakan penjualnya memang ibu-ibu keturunan
Madura yang sudah lama menetap di Kota Gresik. Keberadaan nasi krawu ini sudah lama dikenal
masyarakat umum, dengan mayoritas masyarakat menyukai makanan tersebut. Tetapi hingga saat
ini masih banyak dijumpai pedagang nasi krawu yang kurang memperhatikan higiene dan sanitasi.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kejadian luar biasa (KLB)
keracunan makanan sepanjang 20012006 menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah kejadian
maupun jumlah korban yang sakit dan meninggal. Dengan kriteria industri jasa boga (katering) dan
produk makanan rumah tangga menjadi penyumbang terbanyak kasus keracunan makanan
sepanjang empat tahun terakhir yakni mencapai 31% daripada pangan olahan 20%, jajanan 13% dan
lain-lain 5%.
Apabila keadaan tersebut tidak ditindaklanjuti tidak menutup kemungkinan dapat terjadi kejadian
luar biasa juga terjadi pada makanan nasi krawu khas Kota Gresik. Oleh karena itu peneliti ingin
mencoba melihat bagaimana kondisi higiene dan sanitasi yang kurang baik karena kemungkinan
besar akan mengakibatkan penularan penyakit infeksi dan keracunan makanan. Perilaku penjamah
pedagang makanan nasi krawu yang tidak bersih dan tidak sehat juga dapat memengaruhi kualitas

makanan dan minuman yang diolahnya. Selain itu nasi krawu merupakan komoditas pariwisata di
Indonesia khususnya di Kota Gresik yang belum diketahui higiene dan sanitasinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008Juni 2009. Populasi penelitian adalah semua
pedagang nasi krawu di Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik yaitu sebanyak 32 pedagang nasi
krawu. Sampel penelitian merupakan total populasi.
Data yang diambil merupakan data primer yang diperoleh melalui 2 teknik, yaitu teknik wawancara
dan teknik observasi. Untuk pengolahan data menggunakan proses editing yaitu meliputi
pemeriksaan data dengan tujuan untuk mengetahui apakah data yang tersedia cukup baik dan
setelah itu dilakukan tabulasi untuk menyajikan data dalam bentuk tabel sehingga data dapat dibaca
dengan mudah. Analisis data setiap variabel yang diperoleh dari sampel setelah diperiksa kemudian
ditabulasi dan dihitung. Hasil yang diperoleh menggunakan acuan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 942/Menkes/SK/VII/ 2003a tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan Jajanan
kemudian dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2005): Baik,
jika 65% syarat yang telah ditentukan terpenuhi, dan kurang, jika < 65% syarat yang telah
ditentukan terpenuhi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Makanan Nasi Krawu
Berdasarkan hasil kuesioner sebagian besar pedagang makanan nasi krawu di sepanjang jalan Kota
Gresik tepatnya di Kabupaten Gresik, Kecamatan Gresik adalah pedagang dengan tingkat
pendidikan tidak tamat SD sebanyak 28% dengan usia rata-rata berkisar antara 5160 tahun
sebanyak 37,5%. Apabila ditinjau dari tingkat pendidikan maka pedagang makanan nasi krawu
dapat dikatakan masih rendah, hal ini secara tidak langsung dapat memengaruhi pengetahuan
pedagang dalam berperilaku secara higienis, karena pengetahuan mengenai perilaku sehat dalam
mengelola dan menangani makanan harus diperhatikan dengan baik oleh penjamah yang
melakukannya. Hal ini didasarkan kepada terciptanya makanan yang sehat. Akan tetapi bila ditinjau
dari segi usia maka pedagang makanan nasi krawu bukan lagi tergolong sebagai orang yang belum
dewasa yang tidak mengerti segala sesuatu, namun dengan umur yang mulai lanjut maka
pengalaman yang adapun semakin banyak setidaknya keadaan ini dapat memicu mereka untuk
berpikir secara positif tentang bagaimana cara penanganan makanan yang baik dan higienis.
Dilihat dari lama berjualan sebagian besar pedagang telah berjualan selama lebih dari 20 tahun
sebesar 32%. Masa kerja ini tergolong cukup lama, dan diharapkan pengalaman berjualan yang
cukup lama tersebut dapat memengaruhi tingkat pengetahuan pedagang tentang higiene dan sanitasi
makanan. Selain itu juga masih dimungkinkan bagi pedagang makanan nasi krawu untuk diberikan
pengetahuan tentang higiene sanitasi makanan dengan cara pelatihan dan penyuluhan secara rutin
oleh pihak terkait (Azwar, 1996), dalam hal ini adalah dinas kesehatan. Hal ini perlu untuk
mendapatkan perhatian khusus karena selama ini belum pernah dilakukan pengawasan kesehatan
dari pihak terkait di kawasan tersebut. Kegiatan pengawasan higiene sanitasi makanan dan
minuman secara umum dapat dibedakan atas 3 macam, yakni melaksanakan pendidikan kesehatan,
pengamatan dan pengawasan terhadap produsen makanan dan minuman, serta pemeriksaan
produsen makanan dan minuman.
Dapat disimpulkan bahwa hanya 8 responden (25%) yang telah memenuhi syarat higiene penjamah
yang telah ditentukan, sedangkan 24 responden (75%) tidak memenuhi syarat higiene penjamah

yang telah ditentukan. Keadaan ini tergolong kurang karena tidak memenuhi syarat kesehatan lebih
dari 65%.
Agar bahan makanan tidak tercemar, maka orang yang berhubungan dengan bahan makanan
tersebut harus terpelihara higiene dan sanitasinya. Termasuk kondisi kesehatan penjamah makanan
harus bebas dari penyakit infeksi (kulit, paru-paru, saluran pencernaan, dan lain sebagainya) serta
bukan carrier dari suatu penyakit infeksi (Azwar, 1996). Untuk menghindari penyebaran penyakit
tersebut dan untuk mengantisipasi adanya carier pada penjamah makanan, disarankan melakukan
pemeriksaan kesehatan setiap enam bulan sekali (Purnawijayanti, 1999).
Pakaian yang digunakan pedagang nasi krawu pada saat berjualan merupakan pakaian sehari-hari.
Sedangkan untuk kebersihan pakaiannya sudah cukup baik yaitu hampir seluruh pedagang
menggunakan pakaian yang bersih dan rapi. Pakaian yang digunakan untuk berdagang selain harus
bersih dan rapi, sebaiknya pakaian kerja dibedakan dari pakaian sehari-hari dan disarankan untuk
mengganti dan mencuci secara periodik, untuk mengurangi risiko kontaminasi (Purnawijayanti,
1999).
Kebersihan tangan dan kuku pedagang nasi krawu masih kurang hanya 15 pedagang (46,9%) yang
menjaga kebersihan tangan dan kukunya. Seharusnya kebersihan tangan dan kuku pun harus dijaga
dan dipertahankan antara lain harus dipotong pendek, bersih dan tidak menggunakan kosmetik (cat
kuku).
Sedangkan untuk kerapian rambut sebagian besar pedagang nasi krawu tergolong baik, karena
mereka kebanyakan memakai kerudung ketika berjualan dan yang tidak memakai kerudung
pedagang menggunakan ikat rambut. Kebersihan dan kesehatan rambut harus dipelihara dengan
baik agar tetap bersih dan sehat. Setiap saat rambut berhubungan dengan dunia luar seperti debu,
panas, sinar violet, dan sebagainya yang menyebabkan rambut menjadi kotor maka sebaiknya
mencuci rambut dilakukan sehari 2 hari sekali atau sesuai kebutuhan (Rahardian, 2008).
Pedagang nasi krawu masih ada yang terlihat tidak mencuci tangan terlebih dahulu melainkan
kontak langsung dengan uang setelah itu menjamah makanan. Pencucian tangan dengan sabun dan
air hangat membantu untuk menghentikan penyebaran kuman, para pedagang harus diajarkan teknik
pencucian tangan yang sesuai yaitu meliputi mencuci tangan dengan air hangat (jika ada);
penggunaan sabun yang sesuai dan penggosokan yang termasuk membersihkan di bawah kuku jari
tangan kemudian membasuh dan mengeringkan tangan (Harish, 2009). Hal ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas makanan yang dijual, karena dimungkinkan terjadi kontaminasi dengan kotoran
yang berasal dari kuku tangan/jari, keringat yang dihasilkan sewaktu kerja, begitu juga dengan uang
yang selalu berpindah tangan, sangat rentan terhadap kotoran maupun kuman penyakit yang terselip
di dalamnya (Purnawijayanti, 1999). Merokok juga tidak diizinkan saat bekerja, aktivitas meludah
biasanya juga muncul setelah merokok hal ini seharusnya tidak diperbolehkan karena meludah
merupakan salah satu modus transmisi penyakit dan kontaminasi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan menggosok gigi. Hal ini dapat mengurangi kontaminasi pada produk
makanan (Marriot, 2006). Dan masih ada pedagang yang masih menggunakan perhiasan pada saat
menjamah makanan, hal ini sangat memengaruhi kualitas makanan yang dijual, karena
dimungkinkan terjadinya kontaminasi dengan kotoran pada saat melakukan tindakan- tindakan yang
tidak sesuai dengan yang seharusnya di dalam menjamah makanan tersebut (Departemen Kesehatan
RI, 1989).
Dapat disimpulkan bahwa terdapat 24 responden (75%) telah memenuhi syarat sanitasi sarana yang
telah ditentukan, sedangkan 8 responden (25%) lainnya tidak memenuhi syarat sanitasi sarana yang
telah ditentukan. Keadaan ini tergolong baik karena mencapai 65% dari syarat sanitasi sarana yang
telah ditentukan.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lokasi dagang tidak memenuhi syarat sebanyak
100% pedagang karena lokasi penjualan nasi krawu berada di pinggir jalan raya yang sangat dekat
dengan sumber pencemaran yaitu < 100 m dari jalur lalu lintas kendaraan bermotor.
Lokasi pengolahan makanan yang berdekatan dengan sumber pencemaran sangat rentan sekali
terkontaminasinya makanan tersebut dengan zat- zat membahayakan yang berasal dari lingkungan
sekitar, dan memengaruhi menurunnya kualitas makanan yang dihasilkan (Mawaddah, 1991).
Pedagang makanan nasi kawu di sepanjang Jalan Kota Gresik tepatnya di Kecamatan Gresik,
Kabupaten Gresik memanfaatkan air bersih untuk mencuci peralatan dan bahan makanan yang
digunakan. Air bersih yang digunakan didapatkan dari PDAM. Jika dilihat dari sumbernya, air
tersebut sudah tergolong memenuhi syarat fisik. Ini merupakan hal yang cukup bagus karena
pedagang sudah mengupayakan terhindarnya air bersih dari terjadinya kontaminasi bahan-bahan
yang berbahaya dari lingkungan luar. Di mana air adalah elemen yang penting dalam membersihkan
bahan kimia, membersihkan minyak dan bakteri (Schmidt, 2003).
Di seluruh lokasi berjualan pedagang makanan nasi krawu terdapat tempat sampah. Sampah yang
ada berupa keranjang plastik, ember, maupun tempat sampah permanen, tetapi tidak didukung oleh
kebersihan tempat sampah tersebut. Tempat sampah tersebut dibiarkan terbuka, tidak memisahkan
sampah basah dan kering, serta terlihat kotor karena tidak dibersihkan dan 65,6% pedagang yang
mengatakan bahwa sampah yang tertumpuk dibuang menunggu diangkut oleh truk pengangkut
sampah. Hal tersebut dapat mengundang bibit penyakit dan vektor (lalat, kecoa, tikus). Sehingga
diperlukan pengelolaan sampah yang tepat agar tidak dapat digunakan sebagai tempat berkembang
biak bibit penyakit dan vektor (Candra, 2006).
Air kotor/limbah yang dihasilkan merupakan air hasil pencucian peralatan. Lokasi berjualan
pedagang makanan nasi krawu terletak di pinggir jalan, sehingga pedagang tidak mempunyai
saluran pembuangan air kotor/limbah sendiri, melainkan air kotor/limbah tersebut langsung dibuang
ke selokan yang berada di sekitar tempat berjualan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1098/Menkes/SK/VII/2003.
Sistem pembuangan limbah sebaiknya terbuat dari saluran dengan bahan kedap air, tidak
merupakan sumber pencemaran, misalnya memakai saluran tertutup, septick tank (riol) dan saluran
air limbah dari dapur harus dilengkapi dengan perangkap lemak (grease trap).
Dari 32 pedagang didapatkan bahwa 25 pedagang 78% tempat berjualan pedagang makanan nasi
krawu tidak terdapat vektor (lalat/ kecoa), namun untuk sisanya tempat berjualan pedagang masih
terdapat vektor (lalat/kecoa). Lalat merupakan salah satu vektor/perantara yang dapat menularkan
kuman dan bakteri sehingga memerlukan pengawasan dan pengendalian yang intensif. Terdapat
beberapa cara pengawasan terhadap vektor lalat antara lain: a) menjaga kebersihan; b)
menggunakan tempat sampah tertutup dan mencegah timbulnya bau yang mengundang lalat; c)
menangkap lalat dewasa dengan menggunakan alat penangkap lalat dewasa.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat 27 responden (84,4%) telah memenuhi syarat sanitasi prasarana
yang telah ditentukan, sedangkan 5 responden (15,6%) lainnya tidak memenuhi syarat sanitasi
prasarana yang telah ditentukan.
Peralatan panci, baskom, bakul, pisau, piring, sendok dan garpu yang digunakan seluruh pedagang
sudah dalam keadaan bersih. Untuk wadah pedagang yang dipakai menggunakan tutup sebanyak
panci 100%, baskom 12,5% dan bakul 0%. Dalam hal ini peralatan yang digunakan pedagang yang
tidak menggunakan tutup dapat mengurangi keamanan makanan sehingga dapat menimbulkan
bahaya keracunan dan penyakit pada manusia (Candra, 2006).

Sedangkan untuk peralatan yang dicuci dengan air bersih sebanyak 84,4% pedagang dan sebanyak
78,1% pedagang meletakkan peralatan di rak-rak pengering. Dalam proses pencucian peralatan
sangat dianjurkan untuk memakai sabun atau desinfektan karena hal tersebut sangat efektif untuk
menghilangkan mikroorganisme yang menempel pada peralatan-peralatan tadi. Peralatan-peralatan
yang digunakan harus dicuci bersih kemudian ditiriskan dan dikeringkan.
Sebaiknya pengeringan tidak dilakukan dengan menggunakan kain/serbet yang basah atau
dilakukan berulang kali, karena kemungkinan peralatan akan terkontaminasi ulang dengan
mikroorganisme maupun zat-zat berbahaya lainnya (Purnawijayanti, 1999).
Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa terdapat 24 responden (75%) telah memenuhi syarat
sanitasi makanan yang telah ditentukan dan 8 responden (25%) lainnya tidak memenuhi syarat
sanitasi makanan.
Sebanyak 100% pedagang keadaan makanan nasi krawu yang terolah tidak basi karena Setiap jenis
makanan yang masih baik mempunyai keadaan yang baik pula seperti utuh, berwarna segar, tidak
terjadi perubahan bau dan rasa. (Departemen Kesehatan RI, 1989), untuk makanan sisa berjualan
100% pedagang digunakan lagi untuk keesokan harinya dan makanan tersebut yang tidak habis
disimpan di lemari es atau dipanaskan lagi untuk digunakan pada keesokan harinya. Makanan yang
telah matang sebaiknya disimpan di tempat/lemari yang terlindungi dari vektor baik lalat maupun
kecoa. Adapun persyaratan tempat penyimpanan makanan jadi atau terolah, antara lain (Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1098/Menkes/SK/VII/2003): a) terlindung dari debu, bahan kimia
berbahaya, serangga dan hewan; b) makanan cepat busuk disimpan dalam suhu panas 65,5C atau
lebih, atau disimpan dalam suhu dingin 4C atau kurang; c) makanan cepat busuk untuk
penggunaan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) disimpan dalam suhu 5C sampai 1C.
Dalam menyajikan makanan nasi krawu, nasi krawu di kemas sesuai dengan permintaan konsumen.
Kemasan dapat berupa bungkus dari daun pisang, kertas kotak ataupun kertas koran yang dilapisi
dengan daun ataupun kertas lilin. Untuk penataan makanan dalam kemasan juga tergantung dari
permintaan konsumen menginginkan dipisah antara nasi dan ikannya atau langsung dicampur tanpa
ada pemisah dari daun ataupun mika. Makanan jadi yang disajikan dalam wadah yang bersih,
walaupun masih ada 12,5% pedagang yang masih terlihat menggunakan wadah untuk makanan jadi
yang disajikan dalam kondisi masih kotor. Padahal pengemasan makanan yang tidak bersih, rusak,
bocor ataupun segelnya rusak dapat mengakibatkan kontaminasi dari luar yang menyebabkan
konsumen menjadi sakit (Schmidt, 2003).
Adapun meja yang digunakan oleh penjual nasi krawu tertutup kain plastik. Penyajian makanan
harus memenuhi syarat sanitasi, yaitu bebas dari kontaminasi, bersih dan tertutup serta dapat
memenuhi selera makan pembeli (Candra, 2006). Jika dilihat dari penyajiannya, maka makanan
nasi krawu di sepanjang jalan Kota Gresik tepatnya di Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik sudah
memenuhi syarat sanitasi.
Berdasarkan hasil penilaian higiene sanitasi pedagang makanan nasi kawu di sepanjang Jalan Kota
Gresik tepatnya di Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik tahun 2009 menunjukkan bahwa sebagian
besar pedagang telah memenuhi syarat kesehatan sebanyak 28 pedagang (87,5%). Sedangkan
sisanya sebanyak 4 pedagang (12,5%) masih belum memenuhi syarat kesehatan.
Pembahasan tersebut bila berpedoman menggunakan standar Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
942/Menkes/SK/VII/2003a tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi pedagang makanan masih
memerlukan pembinaan dan perhatian khusus dari instansi terkait seperti Dinas Kesehatan
Kabupaten

KESIMPULAN DAN SARAN


Disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, higiene sanitasi nasi krawu di Kecamatan Gresik
Kabupaten Gresik telah memenuhi syarat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
942/Menkes/SK/VII/2003 dan indikator output Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2005 yaitu
sebesar 87,5% dari seluruh pedagang yang diteliti (32 pedagang).
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik atau pihak terkait untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan rutin untuk meningkatkan higiene dan sanitasi makanan nasi krawu di
Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik, misalnya dengan pendidikan kesehatan, pengamatan dan
pengawasan terhadap pedagang kaki lima yang menjual nasi krawu. Pedagang hendaknya
menerapkan: a) cuci tangan terlebih dahulu sebelum menjamah makanan dan tidak memakai cincin
ketika berjualan; b) menggunakan pakaian kerja khusus yang tidak digunakan sehari-hari; c)
menggunakan alat menjamah makanan secara benar, misalnya menggunakan sarung tangan plastik
saat menjamah makanan. Karena penggunaan tangan secara langsung dalam menjamah makanan
akan mengakibatkan kontaminasi makanan dengan kotoran yang berasal dari tubuh (kuku dan
tangan); d) menggunakan tutup pada wadah (baskom dan bakul) yang digunakan tempat makanan
ketika berjualan agar makanan tidak terkontaminasi lingkungan luar di mana makanan tersebut
dapat mengurangi keamanan pangan yang dapat menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada
manusia. Makanan nasi krawu merupakan makanan khas Kota Gresik, yang terdistribusi sampai di
luar Kota Gresik, sehingga diperlukan adanya izin produksi dari pihak yang berwenang, misalnya
Departemen Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai