Kebijakan Impor Gula
Kebijakan Impor Gula
PERMASALAHAN
Keberadaan pabrik gula atau PG baru yang harusnya memperkuat industri gula
nasional ternyata terbukti menjadi bagian dari upaya sistematis masuknya gula mentah
(raw sugar) impor dan berpotensi membunuh pertanian tebu serta industri gula nasional
secara massif. Masyarakat cenderung menilai bahwa Pabrik Gula baru merupakan kedok
buat asing gelontorkan raw sugar impor ke dalam negeri, seperti dilakukan PG Kebun
Tebu Mas di Lamongan, dimana pada musim giling pertama ini saja memasukkan 100
ribu ton gula mentah impor atau raw sugar. APTRI mengiindikasikan banyak PG baru
lainnya di berbagai daerah, yang juga merupakan kedok mengimpor gula mentah dan
memicu keresahan petani tebu hingga didesak untuk ditutup. Misal, di Blora, Jawa
Tengah, ada PG Gendis Multi Manis (GMM), yang juga pabrik baru dan telah kantongi
ijin impor raw sugar hingga 300 ribu ton di 2016.
Mengutip data APTRI, produksi gula di Jatim sendiri surplus. Gula dari tebu petani
tebu Jatim mampu menghasilkan gula rata-rata 1.250.000 ton per tahun. Hal ini jauh
melebihi total konsumsi warga Jatim setiap tahun sekitar 650.000. Sehingga surplusnya
mencapai 600.000 ton per tahun, tapi kenapa masih digelontor gula impor 100 ribu ton di
KTM. Atas dasar itulah, para petani tebu bersama pekerja perkebunan meradang dan
mendesak gubernur Jawa Timur bisa bersikap tegas pada PG baru yang diindikasikan
sekadar kedok masuknya gula impor ke Jatim. Petani tebu berharap Gubernur Jatim
menjadi pelopor penolakan gula impor ke Jatim bahkan tanah air, sesuai janjinya kepada
petani tebu Jatim kala itu.
Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menandaskan,
sungguh petani tebu saat ini dalam bahaya dengan kepungan berbagai kedok impor gula.
Awalnya, masyarakat dibuat terkecoh dengan persepsi harga gula mahal. Lalu
masyarakat pun dibenturkan dengan petani tebu melalui pembentukan persepsi harga
gula mahal, yang sengaja diciptakan, sebagai alat legitimasi dan argumentasi memaksa
impor gula. Saat harga gula berada pada titik Rp 15-16 ribu per kilogram, ada persepsi
yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu bahwa kondisi tersebut sudah merugikan
masyarakat dan konsumen luas. Padahal, jika dihitung, harga gula tersebut masih sangat
wajar. Rumus harga gula adalah 1 kilogram gula sama dengan harga 1,5 kilogram harga
beras. Kebutuhan gula untuk konsumsi langsung 9 kg per kapita per tahun atau 0,75 kg
per kapita per bulan. Dengan harga gula Rp 15 ribu per kilogram, berarti setiap orang
jika rutin mengkonsumsi gula setiap hari hanya mengeluarkan uang Rp 375. Bila
dibandingkan ongkos ke toilet atau harga satu batang rokok jauh lebih murah.
Kebutuhan gula itu bisa dibagi tiga, antara lain gula untuk konsumsi rumah tangga,
gula untuk industri makanan dan minuman skala besar, dan terakhir untuk industri
UKM. Data APTRI, kebutuhan gula konsumsi industri makanan dan minuman besar itu
sebanyak 5 kg per kapita, sementara yang UKM 4 kg per kapita, dan konsumsi rumah
tangga 9 kg per kapita. Jadi, total kebutuhan gula Indonesia dari uraian tersebut, 18 kg
per kapita per tahun dan bila dikalikan 255 juta jiwa adalah 4.590.000 ton. Ada selisih
cukup besar hingga 1,1 juta ton, karena data kebutuhan gula pasir nasional versi
pemerintah sebesar 5,7 juta ton sedangkan total kebutuhan versi APTRI sebesar 4,59 juta
ton.
untuk menutup defisit pada April 2016. Dari 3,317 juta ton GKP tersebut, sebanyak 2,82
juta ton akan habis dikonsumsi sepanjang 2016, karena kebutuhan per bulan 235.000 ton.
Maka, pada akhir 2016 akan ada sisa 517 ribu ton untuk stok awal 2017.
Dengan perhitungan konsumsi gula untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 235
ribu per bulan, maka stok sebanyak 517 ribu ton tersebut hanya cukup sampai
pertengahan Maret 2017. Sedangkan musim giling tebu baru mulai Mei. Artinya, ada
defisit gula yang harus dipenuhi dari impor untuk pertengahan Maret sampai awal Mei
2017 mencapai 400.000 ton. Keadaan ini dilematis karena impor gula tahun ini tidak bisa
dihindari. Produksi turun akibat cuaca ekstrim. Keputusannya bisa dilakukan pada
penghujung akhir tahun 2016 atau sejak dini impor GKP atau gula mentah (raw sugar)
untuk diolah di pabrik gula pada saat giling tebu. Manfaatnya kapasitas produksi gula di
pabrik akan meningkat sekitar 11% dan mengurangi biaya produksi sekitar 4%. Produksi
gula tahun ini dipengaruhi tiga faktor utama yakni luasan tebu, produktivitas dan
rendemen. Produktivitas dan rendemen tebu dipengaruhi oleh iklim dan budidaya.
Kemudian luasan ini tergantung pada pendapatan petani.
Pertama, luas areal tebu 2016 diperkirakan sama dengan tahun lalu (Lampiran 1),
bahkan di beberapa tempat itu turun. Khususnya daerah pengembangan di Jawa Tengah
dan Pantai Utara Jawa Timur. Sehingga areal pada tahun 2016 diperkirakan hanya
451.000 hektar, lebih luas dari tahun sebelumnya sebesar 446.000 hektar. Program
bongkar tahun lalu gagal tumbuh karena cuaca kering. Tahun lalu ada fenomena El nino
kuat dan diperkirakan akan berpengaruh terhadap capaian produksi 2016. Pengaruh El
Nino sangat kuat dan imbasnya mengurangi luas areal tebu. Kemudian pendapatan petani
tidak naik karena harga gula stagnan dikisaran Rp 9.000/kilogram.
Luas areal di Jawa, praktis sama daripada tahun lalu. Sementara di luar Pulau Jawa
ada areal pengembangan tebu rakyat sekitar 3000-5000 hektar. Namun secara total luas
real tebu relatif tidak ada kenaikan. Kedua, akibat adanya El Nino berimbas pada
penurunan produktivitas tebu utamanya di lahan-lahan tegalan. Produktivitas tebunya
turun dratsis, bahkan ada yang mencapai 10%. Tanaman baru (plant cane) yang ditanam
pada awal tahun 2015 mengalami stagnasi pertumbuhan akibat stress air, yang berpotensi
menurunkan produktivitas tebu per hektar. AGI memperkirakan produktivitas tebu tahun
2016 turun dari 67,6 ton/hektar menjadi 66 ton/ hektar.
Ketiga, rendemen juga diprediksi turun dibandingkan tahun lalu. Tahun 2016
diperkirakan hanya 7,75%, dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 8,28%. Ini akibat
dipicu oleh iklim yang kering, sehingga proses dalam pembentukan gula di dalam
tanaman lebih cepat. Rendemen 2015 tertinggi dalam 25 tahun terakhir ini. Sebelumnya
tahun 1990 sebesar 8,5%. imbasnya gula yang dihasilkan turun akibat produktivitas dan
rendemen mengalami penuruanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan,
realisasi produksi gula nasional tahun 2015 sebesar 2,49 juta ton. Produksi diperoleh dari
areal seluas 446.060 hektar yang dihasilkan tebu dipanen 30.164.098 ton. Produktivitas
hablur mencapai 5,6 ton/hektar dengan bobot tebu/hektar dan rendemen 8,28%.
Pada musim giling giling 2015 lalu produksi gula dari semua pabrik gula (PG)
Jawa mencapai 1.536.064 ton, dengan luas areal 276.108 hektar dan menghasilkan tebu
giling sebanyak 18.955.903 ton. Sedangkan produktivitas tebu 5,55 ton/hektar.
Sedangkan luar Jawa tercatat menghasilkan produksi gula sebesar 961.333 ton dengan
areal seluas 169.453 hektar yang menghasilkan tebu giling mencapai 11.208.194 ton,
sementara produktivitas tebu 5,68 ton/hektar.
Produksi gula nasional tahun 2015 lebih rendah ketimbang produksi tahun 2014
yang mencapai 2,57 juta ton. Ditopang oleh areal seluas 477.123 hektar yang
menghasilkan tebu giling 33.723.378 ton, dengan produktivitas hablur 5,41 ton/hektar.
Sedangkan bobot tebu 70,7 juta ton/hektar dan rendemen 7,65%. Adanya El Nino yang
ditandai iklim ekstrim kering selama giling menyebabkan rendemen tahun 2015 lebih
baik dibanding 2014. Namun untuk produktivitas tebu turun. Sedangkan luas areal
khusunya tebu rakyat menurun signifikan akibat rendahnya harga gula sepanjang tahun
2013 dan 2014.
Perkiraan bakal turunnya produksi gula nasional ini ditegaskan kembali oleh Agus
Pakpahan, Direktur Eskekutig AGI lainnya. Dijelaskan, produksi gula nasional tahun ini
diperkirakan bakal turun hingga 10% akibat faktor iklim kekeringan yang terjadi akhir
tahun lalu hingga musim penghujan awal 2016. Kalangan industri gula memperkirakan
akan ada penurunan produksi tahun ini menjadi 2,3 juta ton gula kristal putih (GKP) dari
produksi tahun lalu yang mencapai 2,5 juta ton. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil juga mengakui bakal ada penurunan
produksi tebu tahun ini paling parah turun sampai 20%. Akhir 2015 terjadi kemarau
panjang, sehingga pertumbuhan vegetatif tebu jadi tidak bagus karena butuh air saat
pemupukan. Pada awal tahun ini kalau ternyata iklim basah berkepanjangan akan
membuat tebu tidak bisa masak dengan sempurna. Hal itu otomatis mengakibatkan
turunnya tingkat rendemen gula, sehingga produksi tebu tidak bisa optimal.
III.
SOLUSI
Badan
Koordinasi
Penanaman
Modal
(BKPM)
Surat
Menteri
tebu +50% dari total luasan lahan saat ini, diharapkan swasembada gula yang
berdaya saing dapat terwujud. Perluasan lahan tidak memerlukan pembangunan
pabrik baru, melainkan peningkatan kapasitas terpasang dengan merevitalisasi
pabrik yang ada. Selain itu, penambahan luas lahan tebu ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman tebu dan meningkatan rendemen. Efisiensi
bukan hanya revitalisasi pabrik untuk meningkatkan kapasitas, tetapi loss juga
harus diminimalisir. Produksi gula yang berdaya saing selain mampu untuk
memebuhi kebutuhan pangan nasional, mengatasi permasalahan impor gula, juga
menggerakkan ekonomi masyarakat pedesaan bermata pencaharian sebagai petani
tebu.
3.2.2 Hambatan Perdagangan Internasional
3.2.3 Kebijakan Ekspor
Kebijakan subsidi ekspor umumnya diterapkan pada komoditas pertanian
(olahan dan produk mentah) di negara berkembang dimana kebijakan ini
memperbolehkan harga domestik dinegara pengekspor lebih tinggi dari harga
pasar dunia. Kebijakan ini akan mengurangi kesejahteraan yang sama terhadap
surplus produsen, surplus konsumen, dan pendapatan pemerintah.
P
Sd
Pd
A
D
Pw
Dd
Qc
Qc
Qp
Qp
subsidi ekspor sebesar Pd Pw. Perlu diingat bahwa dalam kasus ini konsumen
domestik
membayar
harga
non
subsidi
sebesar
Pd.
Jika
pemerintah
Pd A B
Pw D
Sd
C
F
Pw
ES
ES
Pw
ED
Pw
t
Dd
QT
QT
Sd
Se
ES
De
Dd
kuantit
as
kuantit
as
PW
P W
PW
ED
QC
QP
QT
QT
Dd
terhadap
keseluruhan
jumlah
produksi
ditambah
dengan
B
C
Q1
Q2
Kuantitas