Anda di halaman 1dari 13

I.

KONDISI KOMODITAS TEBU

1.1 SUMBER DAYA ALAM


1.2 SUMBER DAYA MANUSIA
1.3 INFRASTRUKTUR
1.4 PRODUKSI
1.5 KEBUTUHAN DOMESTIK
1.6 EKSPOR - IMPOR
1.7 REGULASI
1.8
II.

PERMASALAHAN

2.1 PENINGKATAN KEBUTUHAN GULA BAGI INDUSTRI


Pemerintah menyatakan bahwa alokasi impor gula mentah (raw sugar) sebanyak
3,22 juta ton. Kuota tersebut naik 5% dari kebutuhan gula mentah tahun ini sebanyak
2,89 juta ton. Kenaikan tersebut disebabkan meningkatnya kebutuhan gula rafinasi oleh
industri makanan minuman dalam negeri. Terjadi peningkatan kebutuhan gula rafinasi
dengan rata - rata tumbuh diatas 8% setiap tahun, dengan diambil angka pertumbuhan
moderat sebesar 5% dari kebutuhan 2015 sebesar 2,89 juta ton, perkiraan kebutuhan gula
rafinasi pada tahun selanjutnya sebesar 3,03juta ton atau setara dengan 3,22 juta ton gula
mentah.
Kebutuhan gula pada Tahun 2014 tercatat 2,92 juta ton dan untuk produksi gula
kristal rafinasi (Gkr) sebesar 2,76 juta ton. Kebutuhan gula tersebut sudah disesuaikan
dengan pertumbuhan industri makanan minuman yang rata - rata tumbuh diatas 8% per
tahun tercatat dari tahun 2011 hingga 2014. Izin impor gula mentah yang dikeluarkan
pada tahun 2014 sebanyak 2,8 juta ton yang diperuntukkan bagi industri rafinasi dan
realisasinya 2,67 juta ton. Sementara untuk industri MSG, izin yang dikeluarkan
sebanyak 397 ribu ton dengan realisasi sebanyak 318 ribu ton dan impor gula mentah
untuk idle capacity sebesar 158 ribu ton.
Pada tahun 2015, izin impor gula mentah sebesar 3,10 juta ton dengan realisasi
2,64 juta ton. Sementara untuk industri MSG, izin yang dikeluarkan 451 ribu ton dengan
realisasi 316 ribu ton dan untuk industri makanan dan minuman izin dikeluarkan
sebanyak 20ton dengan realisasi 10ton. Secara keseluruhan, pada tahun ini izin impor
gula mentah baik untuk industri rafinasi, industri MSG, industri makanan minuman
sebanyak 3,55 juta ton dan realisasi 2,96 juta ton. Total izin yang dikeluarkan tersebut
lebih rendah dari 2014 lalu yang sebesar 3,56 juta ton dengan realisasi 3,14juta ton.
2.2 KECENDERUNGAN PABRIK GULA BARU IMPOR GULA MENTAH

Keberadaan pabrik gula atau PG baru yang harusnya memperkuat industri gula
nasional ternyata terbukti menjadi bagian dari upaya sistematis masuknya gula mentah
(raw sugar) impor dan berpotensi membunuh pertanian tebu serta industri gula nasional
secara massif. Masyarakat cenderung menilai bahwa Pabrik Gula baru merupakan kedok
buat asing gelontorkan raw sugar impor ke dalam negeri, seperti dilakukan PG Kebun
Tebu Mas di Lamongan, dimana pada musim giling pertama ini saja memasukkan 100
ribu ton gula mentah impor atau raw sugar. APTRI mengiindikasikan banyak PG baru
lainnya di berbagai daerah, yang juga merupakan kedok mengimpor gula mentah dan
memicu keresahan petani tebu hingga didesak untuk ditutup. Misal, di Blora, Jawa
Tengah, ada PG Gendis Multi Manis (GMM), yang juga pabrik baru dan telah kantongi
ijin impor raw sugar hingga 300 ribu ton di 2016.
Mengutip data APTRI, produksi gula di Jatim sendiri surplus. Gula dari tebu petani
tebu Jatim mampu menghasilkan gula rata-rata 1.250.000 ton per tahun. Hal ini jauh
melebihi total konsumsi warga Jatim setiap tahun sekitar 650.000. Sehingga surplusnya
mencapai 600.000 ton per tahun, tapi kenapa masih digelontor gula impor 100 ribu ton di
KTM. Atas dasar itulah, para petani tebu bersama pekerja perkebunan meradang dan
mendesak gubernur Jawa Timur bisa bersikap tegas pada PG baru yang diindikasikan
sekadar kedok masuknya gula impor ke Jatim. Petani tebu berharap Gubernur Jatim
menjadi pelopor penolakan gula impor ke Jatim bahkan tanah air, sesuai janjinya kepada
petani tebu Jatim kala itu.
Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menandaskan,
sungguh petani tebu saat ini dalam bahaya dengan kepungan berbagai kedok impor gula.
Awalnya, masyarakat dibuat terkecoh dengan persepsi harga gula mahal. Lalu
masyarakat pun dibenturkan dengan petani tebu melalui pembentukan persepsi harga
gula mahal, yang sengaja diciptakan, sebagai alat legitimasi dan argumentasi memaksa
impor gula. Saat harga gula berada pada titik Rp 15-16 ribu per kilogram, ada persepsi
yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu bahwa kondisi tersebut sudah merugikan
masyarakat dan konsumen luas. Padahal, jika dihitung, harga gula tersebut masih sangat
wajar. Rumus harga gula adalah 1 kilogram gula sama dengan harga 1,5 kilogram harga
beras. Kebutuhan gula untuk konsumsi langsung 9 kg per kapita per tahun atau 0,75 kg
per kapita per bulan. Dengan harga gula Rp 15 ribu per kilogram, berarti setiap orang

jika rutin mengkonsumsi gula setiap hari hanya mengeluarkan uang Rp 375. Bila
dibandingkan ongkos ke toilet atau harga satu batang rokok jauh lebih murah.
Kebutuhan gula itu bisa dibagi tiga, antara lain gula untuk konsumsi rumah tangga,
gula untuk industri makanan dan minuman skala besar, dan terakhir untuk industri
UKM. Data APTRI, kebutuhan gula konsumsi industri makanan dan minuman besar itu
sebanyak 5 kg per kapita, sementara yang UKM 4 kg per kapita, dan konsumsi rumah
tangga 9 kg per kapita. Jadi, total kebutuhan gula Indonesia dari uraian tersebut, 18 kg
per kapita per tahun dan bila dikalikan 255 juta jiwa adalah 4.590.000 ton. Ada selisih
cukup besar hingga 1,1 juta ton, karena data kebutuhan gula pasir nasional versi
pemerintah sebesar 5,7 juta ton sedangkan total kebutuhan versi APTRI sebesar 4,59 juta
ton.

2.3 PRODUKSI GULA TAHUN 2016 MENURUN


Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memprediksi produksi gula tahun 2016 hanya
sebesar 2,3 juta ton. Imbasnya tahun depan impor gula kristal putih (GKP) akan
meningkat hingga 400.000 ton. Pada akhir tahun 2015 pemerintah memutuskan impor
GKP sebanyak 200.000 ton. Tugas impor tersebut diserahkan kepada Perum Bulog.
Impor gula itu diputuskan dalam rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator
(Menko) Bidang Perekonomian. Pemerintah mengambil langkah untuk menjaga stok
gula dalam negeri dan stabilitasi harga. Direktur Eskekutif AGI Tito Pranolo dan Agus
Pakpahan menjelaskan, impor gula diperlukan karena diprediksi Indonesia akan terjadi
defisit gula. Menurut hitungan AGI, produksi GKP tahun ini hanya 2,3 juta ton, atau
lebih rendah dari realisasi produksi tahun lalu sebanyak 2,49 juta ton.
Akibat turunnya produksi gula pada tahun ini, diperkirakan akan terjadi defisit
ketersediaan gula pada Februari 2017. AGI memperkirakan butuh impor gula kristal
putih (GKP) sebesar 400.000 ton, untuk memenuhi konsumsi rumah tangga pada awal
2017. Produksi 2016 diperkirakan 2,3 juta ton, Minimal perlu impor 400.000 ton GKP.
Gula yang tersedia di 2016 ini kira-kira mencapai 3,317 juta ton. Jumlah tersebut berasal
dari stok gula di awal tahun, yang merupakan sisa hasil produksi pada 2015 sebesar
817.000 ton. Ditambah produksi gula 2016 sebanyak 2,3 juta ton, dan impor 200 ribu ton

untuk menutup defisit pada April 2016. Dari 3,317 juta ton GKP tersebut, sebanyak 2,82
juta ton akan habis dikonsumsi sepanjang 2016, karena kebutuhan per bulan 235.000 ton.
Maka, pada akhir 2016 akan ada sisa 517 ribu ton untuk stok awal 2017.
Dengan perhitungan konsumsi gula untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 235
ribu per bulan, maka stok sebanyak 517 ribu ton tersebut hanya cukup sampai
pertengahan Maret 2017. Sedangkan musim giling tebu baru mulai Mei. Artinya, ada
defisit gula yang harus dipenuhi dari impor untuk pertengahan Maret sampai awal Mei
2017 mencapai 400.000 ton. Keadaan ini dilematis karena impor gula tahun ini tidak bisa
dihindari. Produksi turun akibat cuaca ekstrim. Keputusannya bisa dilakukan pada
penghujung akhir tahun 2016 atau sejak dini impor GKP atau gula mentah (raw sugar)
untuk diolah di pabrik gula pada saat giling tebu. Manfaatnya kapasitas produksi gula di
pabrik akan meningkat sekitar 11% dan mengurangi biaya produksi sekitar 4%. Produksi
gula tahun ini dipengaruhi tiga faktor utama yakni luasan tebu, produktivitas dan
rendemen. Produktivitas dan rendemen tebu dipengaruhi oleh iklim dan budidaya.
Kemudian luasan ini tergantung pada pendapatan petani.
Pertama, luas areal tebu 2016 diperkirakan sama dengan tahun lalu (Lampiran 1),
bahkan di beberapa tempat itu turun. Khususnya daerah pengembangan di Jawa Tengah
dan Pantai Utara Jawa Timur. Sehingga areal pada tahun 2016 diperkirakan hanya
451.000 hektar, lebih luas dari tahun sebelumnya sebesar 446.000 hektar. Program
bongkar tahun lalu gagal tumbuh karena cuaca kering. Tahun lalu ada fenomena El nino
kuat dan diperkirakan akan berpengaruh terhadap capaian produksi 2016. Pengaruh El
Nino sangat kuat dan imbasnya mengurangi luas areal tebu. Kemudian pendapatan petani
tidak naik karena harga gula stagnan dikisaran Rp 9.000/kilogram.
Luas areal di Jawa, praktis sama daripada tahun lalu. Sementara di luar Pulau Jawa
ada areal pengembangan tebu rakyat sekitar 3000-5000 hektar. Namun secara total luas
real tebu relatif tidak ada kenaikan. Kedua, akibat adanya El Nino berimbas pada
penurunan produktivitas tebu utamanya di lahan-lahan tegalan. Produktivitas tebunya
turun dratsis, bahkan ada yang mencapai 10%. Tanaman baru (plant cane) yang ditanam
pada awal tahun 2015 mengalami stagnasi pertumbuhan akibat stress air, yang berpotensi
menurunkan produktivitas tebu per hektar. AGI memperkirakan produktivitas tebu tahun
2016 turun dari 67,6 ton/hektar menjadi 66 ton/ hektar.

Ketiga, rendemen juga diprediksi turun dibandingkan tahun lalu. Tahun 2016
diperkirakan hanya 7,75%, dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 8,28%. Ini akibat
dipicu oleh iklim yang kering, sehingga proses dalam pembentukan gula di dalam
tanaman lebih cepat. Rendemen 2015 tertinggi dalam 25 tahun terakhir ini. Sebelumnya
tahun 1990 sebesar 8,5%. imbasnya gula yang dihasilkan turun akibat produktivitas dan
rendemen mengalami penuruanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan,
realisasi produksi gula nasional tahun 2015 sebesar 2,49 juta ton. Produksi diperoleh dari
areal seluas 446.060 hektar yang dihasilkan tebu dipanen 30.164.098 ton. Produktivitas
hablur mencapai 5,6 ton/hektar dengan bobot tebu/hektar dan rendemen 8,28%.
Pada musim giling giling 2015 lalu produksi gula dari semua pabrik gula (PG)
Jawa mencapai 1.536.064 ton, dengan luas areal 276.108 hektar dan menghasilkan tebu
giling sebanyak 18.955.903 ton. Sedangkan produktivitas tebu 5,55 ton/hektar.
Sedangkan luar Jawa tercatat menghasilkan produksi gula sebesar 961.333 ton dengan
areal seluas 169.453 hektar yang menghasilkan tebu giling mencapai 11.208.194 ton,
sementara produktivitas tebu 5,68 ton/hektar.
Produksi gula nasional tahun 2015 lebih rendah ketimbang produksi tahun 2014
yang mencapai 2,57 juta ton. Ditopang oleh areal seluas 477.123 hektar yang
menghasilkan tebu giling 33.723.378 ton, dengan produktivitas hablur 5,41 ton/hektar.
Sedangkan bobot tebu 70,7 juta ton/hektar dan rendemen 7,65%. Adanya El Nino yang
ditandai iklim ekstrim kering selama giling menyebabkan rendemen tahun 2015 lebih
baik dibanding 2014. Namun untuk produktivitas tebu turun. Sedangkan luas areal
khusunya tebu rakyat menurun signifikan akibat rendahnya harga gula sepanjang tahun
2013 dan 2014.
Perkiraan bakal turunnya produksi gula nasional ini ditegaskan kembali oleh Agus
Pakpahan, Direktur Eskekutig AGI lainnya. Dijelaskan, produksi gula nasional tahun ini
diperkirakan bakal turun hingga 10% akibat faktor iklim kekeringan yang terjadi akhir
tahun lalu hingga musim penghujan awal 2016. Kalangan industri gula memperkirakan
akan ada penurunan produksi tahun ini menjadi 2,3 juta ton gula kristal putih (GKP) dari
produksi tahun lalu yang mencapai 2,5 juta ton. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil juga mengakui bakal ada penurunan
produksi tebu tahun ini paling parah turun sampai 20%. Akhir 2015 terjadi kemarau
panjang, sehingga pertumbuhan vegetatif tebu jadi tidak bagus karena butuh air saat

pemupukan. Pada awal tahun ini kalau ternyata iklim basah berkepanjangan akan
membuat tebu tidak bisa masak dengan sempurna. Hal itu otomatis mengakibatkan
turunnya tingkat rendemen gula, sehingga produksi tebu tidak bisa optimal.

III.

SOLUSI

3.1 PEMENUHAN KEBUTUHAN DOMESTIK


3.1.1 Kebijakan Subdisi Input
3.1.2 Kebijakan Distribusi Gula Rafinasi
Kementerian Perdagangan menetapkan aturan baru dalam distribusi gula
kristal rafinasi dengan mencabut Surat Edaran Menteri Perdagangan No. 111/MDAG/2/2009 tentang Petunjuk Pendistribusian Gula Kristal Rafinasi. SE No.
111/2009 sudah dicabut, langsung kontrak dengan industri pengguna. Untuk saat
ini basisnya melalui kontrak, tidak melalui distributor. Pada distributor yang akan
memenuhi kebutuhan industri kecil menegah (IKM), Kementerian Perdagangan
berencana menerapkan mekanisme distributor terdaftar.
Menurut surat Menteri Perdagangan Nomor 1.300/M-DAG/SD/12/2014
perihal Instruksi Pendistribusian Gula Kristal Rafinasi, Surat Edaran Menteri No.
111/2009 dicabut untuk menjaga ketertiban distribusi, agar gula kristal rafinasi
terdistribusi sesuai dengan peruntukannya. Penerbitan surat tersebut merupakan
tindak lanjut hasil rapat antara Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan
Kepala

Badan

Koordinasi

Penanaman

Modal

(BKPM)

Surat

Menteri

Perdagangan tersebut antara lain menginstruksikan penanganan perembesan gula


kristal rafinasi ke pasar konsumen. Selain itu juga disebutkan bahwa basis
persetujuan impor gula mentah didasarkan pada rantai pasok dan mekanisme
kontrak antara industri rafinasi dan industri makanan minuman sesuai
rekomendasi Kementerian Perindustrian ke Kementerian Perdagangan. Mulai 1
Januari 2015, gula kristal rafinasi yang dihasilkan industri hanya disalurkan
langsung ke industri makanan dan minuman sebagai pengguna sesuai kontrak
yang telah disepakati. Pelanggaran atau penyimpangan dalam penyaluran gula
kristal rafinasi akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan.
3.2 PERSAINGAN GLOBAL
3.2.1 Peningkatan Luas Areal Lahan Tebu
Perluasan lahan tebu merupakan salah satu alternatif untuk daya saing
global, lahan tebu saat ini mencapai 470.000ha dengan penambahan luas areal

tebu +50% dari total luasan lahan saat ini, diharapkan swasembada gula yang
berdaya saing dapat terwujud. Perluasan lahan tidak memerlukan pembangunan
pabrik baru, melainkan peningkatan kapasitas terpasang dengan merevitalisasi
pabrik yang ada. Selain itu, penambahan luas lahan tebu ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman tebu dan meningkatan rendemen. Efisiensi
bukan hanya revitalisasi pabrik untuk meningkatkan kapasitas, tetapi loss juga
harus diminimalisir. Produksi gula yang berdaya saing selain mampu untuk
memebuhi kebutuhan pangan nasional, mengatasi permasalahan impor gula, juga
menggerakkan ekonomi masyarakat pedesaan bermata pencaharian sebagai petani
tebu.
3.2.2 Hambatan Perdagangan Internasional
3.2.3 Kebijakan Ekspor
Kebijakan subsidi ekspor umumnya diterapkan pada komoditas pertanian
(olahan dan produk mentah) di negara berkembang dimana kebijakan ini
memperbolehkan harga domestik dinegara pengekspor lebih tinggi dari harga
pasar dunia. Kebijakan ini akan mengurangi kesejahteraan yang sama terhadap
surplus produsen, surplus konsumen, dan pendapatan pemerintah.
P

Sd
Pd

A
D

Pw

Dd
Qc

Qc

Qp

Qp

Gambar 5. Kurva Kebijakan Subsidi Ekspor


Kurva diatas menunjukkan kasus subsidi ekspor untuk negara kecil
dimana kurva penawaran dan permintaan domestik digambarkan dengan tingkat
harga dinegara pengekspor, Pd yang berada diatas harga dunia dengan sejumlah t
unit sebagai subsidi ekspor. Contoh, Pemerintah negara pengekspor telah
menentukan bahwa harga domestik harus t unit diatas harga perdagangan bebas,
sehingga satu satunya cara agar negara pengekspor dapat menjual surplus
produksinya (Qp Qc) pada harga domestik yang berlaku adalah melalui

subsidi ekspor sebesar Pd Pw. Perlu diingat bahwa dalam kasus ini konsumen
domestik

membayar

harga

non

subsidi

sebesar

Pd.

Jika

pemerintah

memperbolehkan konsumen domestik membeli produk dengan harga pasar dunia


(melalui subsidi) maka ekspor akan turun sebesar Qc Qc.
Produsen domestik mendapatkan keuntungan dari subsidi ekspor karena
mengalami kenaikan surplus sebesar ACGD dan konsumen mengalami kerugian
suplus sebesar ABFD. Pemerintah juga mengalami kerugian karena harus
mengeluarkan anggaran pemerintah sebesar BCHE untuk mensubsidi agar
eksportir dapat menyuplai sebesar Qp-Qc ke pasar dunia. Kerugian bersih
negara pengekspor adalah BFE dan CHG. Dipasar dunia , negara kecil
menghadapi kuva ekses permintaan (excess demand) yang elastis sempurna
sehingga harga dipasar dunia tidak mengalami perubahan dengan adanya subsidi
ekspor dan negara negara diseluruh dunia tidak mendapat keuntungan secara
signifikan.
Dalam kasus negara besar, negara pengekspor akan mengalami
pengurangan kesejahteraan yang lebih besar karena subsidi ekspor akan
mengakibatkan kenaikan secara signfikan yang mampu menurunkan harga
dipasar dunia. Hal ini dijelaskan melalui Gambar 2. Dengan menggunakan dua
panel dari diagram yang panel. Subsidi ekspor ini menyebabkan kurva ekses
penawaran bergeser turun sesuai jumlah subsidi, menurunkan harga di pasar
dunia ke Pw. Harga domestik dinegara pengekspor mengalami kenaikan yang
lebih kecil dibanding jumlah subsidi ekspor karena harga dipasar dunia telah
turun (dibandingkan Pw+t, harga baru dinegara pengekspor, Pd adalah Pw+t).
Kerugian konsumen (ABFD) dan keuntungan produsen (ACGD) lebih kecil bila
dibanding ketika negara tersebut masih berstatus sebagai negara kecil. Pemerintah
masih mengalami kerugian atas subsidi eksor yang dibayarkan (BCJI). Kerugian
konsumsi (BFE) dan produksi (CHG) lebih kecil, akan tetapi kerugian bersih
yang diterima oleh negara (BFE+CHG+EHJI) lebih besar. Jelaslah bahwa
kerugian bersih akibat dari adanya subsidi ekspor jauh lebh besar bagi negara
yang besar daripada negara kecil.

Pd A B
Pw D

Sd

C
F

Pw

ES
ES

Pw

ED

Pw

t
Dd
QT

QT

Gambar 6. Subsidi Ekspor Ketika Negara Menjadi Besar


Alasan penggunaan subsidi ekspor bagi negara besar adalah bahwa
mereka menilai surplus produsen lebih penting daripada surplus konsumen atau
permintaan (pembiayaan) pemerintah. Apabila mempertimbangkan surplus
produsen (relatif terhadap surplus konsumen) dalam fungsi kesejahteraan sosial
suatu negara maka negara tersebut akan mendapat keuntungan dari subsidi
ekspor. Salah satu contoh negara maju yang menerapkan subsidi ekspor adalah
Amerika Serikat yang telah beralih dari subsidi ekspor umum ke subsidi ekspor
khusus untuk komoditas tertentu dalam rangka menandingi subsidi yang
diterapkan oleh negara lain, terutama Uni Eropa. Subsidi ekspor target ini
mengurangi biaya pemerintah karena subsidi diberikan hanya pada pasar tertentu
dimana Amerika Serikat bersaing dengan subsidi ekspor dari negara lain.
Kebijakan juga mempengaruhi ekspor adalah kebijakan subsidi harga
ekspor. Sistim subsidi harga merupakan kebijakan utama bagi pertanian. Sistem
ini memiliki banyak cara dan berubah ubah dari tahun ke tahun , akan tetapi
konsep dasarnya adalah suatu penetapan harga minimum pemerintah dalam
membeli (atau meminjamkan kepada petani sejumlah barang untuk disimpan)
produk pada harga subsidi tersebut. Akumulasi surplus akan dikeluarkan dari
gudang dan dijual dengan harga yang berlaku (released price). Program ini dapat
diterima selama subsisdi harga relatif rendah terhadap harga jangka panjang dari
produk tersebut dan diakumulasi suplus tidak menjadi beban.

Efek dari kebijakan subsidi harga terhadap kurva penawaran dan


permintaan efektif disajikan pada gambar berikut ini
harga
PR
PS

Sd

Se
ES
De

Dd
kuantit
as

kuantit
as

Gambar 7. Sistem Subsidi Harga untuk Negara Pengekspor

Pada gambar 7 menunjukkan efek dari kebijakan subsidi harga terhadap


kurva penawaran dan permintaan efektif. Kurva permintaan efektif (De)
merupakan kurva permintaan domestik pada harga tertinggi, akan tetapi kurva
tersebut menjadi elastic sempurna pada subsidi harga, Ps karena adanya
pembelian pemerintah. Kurva penawaran efektif (Se) merupakan kurva
penawaran dibawah harga berlaku. Kurva tersebut bersifat elastis sempurna pada
harga tersebut (Pr) sampai Pemerintah mengeluarkan stok sehingga kurva tesebut
kembali pada kurva penawaran domestik. Kurva ekses penawaran (ES) pada
panel sebelah kanan adalah konsisten dengan kurva penawaran dan permintaan
efektif. Jumlah pengeluaran persediaan akan menentukan jumlah dimana kurva
penawaran efektif dan kurva ekses penawara adalah datar pada harga berlaku.
.
Sistem Pembayaran Defisiensi
Pada tahun 1986 Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan kedua untuk
melengkapi sistem subsidi harga yaitu skema pembayaran defisiensi. Dalam hal
ini pemerintah Amerika Serikat menjamin bahwa produsen akan menerima target
harga tetap atau harga patokan (HP) setiap tahun, akan tetapi harga pasar
diperbolehkan untuk ditentukan melalui penawaran dan permintaan (Pemerintah
tidak akan membeli komoditas biji bijian atau membantu pencadangan).
Perbedaan antara harga dipasar dunia dan harga target diselesaikan melalui
pembayaran langsung Pemerintah kepada produsen. Produsen akan membuat
keputusan berdasarkan harga target, sementara konsumen (domestik dan
internasional) akan membuat keputusan berdasarkan harga pasar.
SE
ES
PT

PW

P W

PW

ED
QC

QP

QT

QT

Dd

Gambar 8. Sistem Pembayaran Defisiensi Bagi Negara Besar


Gambar 8 menunjukkan skema pembayaran defisiensi ketika suatu negara
bertindak sebagai eksportir besar. Panel sebalah kiri merupakan situasi penawaran
dan permintaan domestik di negara pengekspor. Kurva penawaran efektif
berbentuk vertikal dibawah PT (karena produsen mengetahui bahwa mereka akan
menerima paling tidak sebesar harga target), sementara kurva permintaan
domestik secara keseluruhan adalah relevan (Dd merupakan kurva penawaran
yang efektif). Ekspor merupakan selisih antara penawaran dan permintaan
domestik sehingga ekspor mengalami kenaikan dengan adanya skema
pembayaran defisiensi. Jika harga dipasar dunia adalah Pw dengan program
pembayaran defisiensi, negara akan memproduksi Qp, mengkonsumsi sebesar Qc
dan mengekspor kelebihannya. Dalam skema pembayaran defisiensi yang asli,
tidak terdapat penambahan stok atau masalah dalam menjual secara internasional
karena subsidi harga lebih rendah dari harga pasar didunia.
Panel sebalah kanan pada gambar 8 menunjukkan kurva ekses penawaran
dinegara pengekspor yang patah pada tingkat harga Pt karena pada tingkat harga
dibawah Pt tidak terdapat efek penawaran dari harga dipasar dunia yang lebih
rendah (produsen dinegara pengekspor tidak memperhatikan harga Pw karena
mereka dijami pada harga Pt). Gambar 8 menunjukkan apa yang terjadi dengan
harga dipasar dunia dan kuantitas yang diperdagangkan tanpa adanya defisiensi
(Pw dan Qt). Jika negara tersebut merupakan negara yang besar seperti Amerika
Serikat, skema pembayaran defisiensi akan menunjukkan hasila pada harga
dipasar dunia yang lebih rendah (Pw) dan pada volume perdagangan dunia yang
lebih besar. Melalui program subsidi harga dan skema pembayaran defisiensi
mengubah kurva penawaran ekspor efektif menjadi lebih datar di dua sisi yaitu
skema pembayaran defisiensi menyebabkan patahnya kurva penawaran ekspor
efektif pada harga patokan.

3.2.4 Kebijakan Impor


Tingkat proteksi nominal dan efektif merupakan ukuran yang tepat untuk
produk basis secara individual. Meskipun demikian kedua ukuran tersebut
tidaklah sempurna terutama untuk produk pertanian karena peran penting dari
subsidi pemerintah. Sebagian dari subsidi pemerintah diterima dalam bentuk
pembayaran langsung kepada produsen sehingga mudah untuk dimasukkan dalam
rumus NRP atau ERP. Pada kenyataannya, banyak Pemerintah Daerah yang tidak
memberikan subsidi secara langsung kepada suatu komoditas atau sulit untuk
mendokumentasikan subsidi kedalam bentuk selisih antara harga domestik dan
harga dunia. Ekuivalensi produsen dikembangkan untuk menyelesaikan beberapa
masalah yang terjadi pada NRPs dan ERPs.
PSE mengukur efek dari kebijakan pemerintah terhadap pendapatan kotor
usaha tani atau pembayaran lum sum oleh pemerintah untuk membayar petani
agar pendapatan mereka tidak berubah jika kebijakan pemerintah dilakukan
(Ballenger, 1992). Yang termasuk dalam PSE adalah pembayaran langsung
pemeritah (atau subsidi) ditambah biaya pembelanjaan pemerintah yang
berhubungan dengan komoditas. PSE merupakan perhitungan dari persentase
penerimaan usahatani atau berdasarkan perhitungan per ton.
Besarnya PSE didapat dari selisih antara harga domestik dengan harga
internasional

terhadap

keseluruhan

jumlah

produksi

ditambah

dengan

pengeluaran pemerintah untuk mensubsidi produsen, termasuk pengeluaran untuk


belanja produkyang spesifik dan umum. Bila PSE dibagi dengan pendapatan
kotor usahatani maka hasilnya merupakan persentase dari pendapatan kotor
usahatani dengan adanya subsidi pemerintah. Pembelanjaan pemerintah yang
tidak berhubungan langsung dengan komoditas tertentu (misalnya,jika jagung
mempunyai proporsi sebesar 10% dari pendapatan usahatani maka 10% dari
pembelanjaan pemerintah akan dimasukkan kedalam perhitungan PSE atas
jagung).
Salah satu kelebihan PSE adalah dapat dibandingkan antar negara karena
telah mencakup skala produksi dan sejumlah nilai uang. Selanjutnya dengan
mudah PSE untuk setiap komoditas dapat dijumlahkan untuk memperoleh PSE
seluruh industri pertanian disuatu negara. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan

menggunakan NRP dan ERP tanpa mempertimbangkan berbagai masalah tiap


produk. Oleh karena itu PSE merupakan alat yang sederhana untuk
membandingkan suatu negara dengan negara lain atau suatu komoditas dengan
komoditas lain. Kombinasi kebijakan pada suatu komoditas dijelaskan pada kurva
berikut ini
Ps
A
Pw
Harga D

B
C

Q1

Q2

Kuantitas

Gambar 9. Kombinasi Kebijakan Tanpa Efek Keuntungan pada Ekspor


PSE suatu negara adalah daerah ABCD akan tetapi kombinasi kebijakan ini tidak
akan berpengaruh pada ekspor negara tersebut. Oleh sebab itu tidak akan terjadi
efek apapun diseluruh dunia. Negara lain sebaiknya mengabaikan kombinasi
kebijakan ini karena tidak mempengaruhi harga pasar dunia, konsumsi atau
produksi. Hal yang sangat berbeda dengan situasi ini adalah sistim subsidi ekspor
murni yang mampu menghasilkan PSE yang sama, akan menaikkan ekspor
negara pengekspor dan kemudian menghasilkan distorsi perdagangan yang akan
mengubah pola produksi dan konsumsi dinegara seluruh dunia. Oleh karena itu
satu hal yang harus diperhatikan dalam mengambil kesimpulan adalah bahwa
PSE selalu mencerminkan distorsi perdagangan.
3.3 PENERIMAAN DEVISA
3.4 PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA

Anda mungkin juga menyukai