Anda di halaman 1dari 6

TUGAS HUKUM DAN KEBIJAKAN PERIKANAN

DINAMIKA HUKUM DAN KEBIJAKAN PERIKANAN DI INDONESIA


DAN DI LUAR NEGERI DALAM MEMPEROLEH KESEJAHTERAHAN
MASYARAKAT DI SEKTOR PERIKANAN

Disusun Oleh :
Prisvon Eka Aijerin

141511233088

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

Dinamika Hukum Dan Kebijakan Perikanan Di


Indonesia Dan Diluar Negeri Dalam Memperoleh
Kesejahterahan Masyarakat Di Sektor Perikanan
DI INDONESIA
Hal ini bermula dari definisi nelayan yang terbatas pada mereka yang menangkap ikan
di laut. Atau dengan kata lain, seluruh aktivitas di luar penangkapan, semisal: pengolahan dan
pemasara. ekonomi nelayan sangat bergantung dengan penjualan ikan non-olahan dan tidak
memiliki nilai tambah. Padahal pada Pasal 1 Ayat 1 UU No.45 Tahun 2009 telah memberikan
penjelasan berbeda terkait kegiatan perikanan, sebagai berikut:
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Berikut sumber KNTI pada tahun 2004 yang diolah langsung dari KKP mulai tahun 2008
sampai tahun 2013 :

Terdapat 2 (dua) persoalan mendasar terkait langsung dinamika politik kebijakan


kelautan dan perikanan di Indonesia Pertama, disorientasi dalam hal pengelolaan laut itu
sendiri. Perihal kekayaan sumber daya kelautan begitu melimpah, namun belum

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi, ketika


membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sekaligus
mengeluarkan terobosan berupa penjelasan 4 (empat) tolok-ukur pengertian sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Keempat hal tersebut adalah: kemanfaatan SDA bagi rakyat, tingkat
pemerataan manfaat sumber daya alam (SDA) bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat
menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan SDA. Kedua, sebagai konsekuensi dari ideologi menyimpang tadi, terjadilah
sektoralisme kebijakan pengelolaan SDA. Kelautan dilihat sempit hanya sebagai sektor
(bahkan sebatas ekonomi). Karenanya, agenda kelautan dan warga yang menggantungkan
hidupnya terhadap SDA Kelautan selalu dihadap-hadapkan (dan cenderung kalah) dengan
kepentingan sektor ekonomi lain, seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, dan
seterusnya. Padahal, laut dan kelautan seharusnya menjadi arusutama pembangunan ekonomi,
sosial, budaya, bahkan politik bangsa.
Sementara batas maritim dengan negara tetangga lain baru dilakukan penetapan
batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas laut wilayah. Untuk
menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia diperlukan penetapan
batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan
Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS
1982) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun
1985. Implementasi dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya pengelolaan terhadap batas
maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara tetangga:
21 Pasal 45 ayat (3) Perpres 87 Tahun 2014 mengatur bahwa keanggotaan Panitia
Antarkementerian meliputi :
1. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;
2. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau lembaga lain yang terkait
dengan substansi yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang; dan
3. perancang Peraturan Perundang-undangan yang berasal dari instansi Pemrakarsa.
22 Pasal 12 ayat 4 Perpres 87 Tahun 2014
23 Pasal 18 ayat 2 Perpres 87 Tahun 2014
24 Pasal 28 ayat 2 Perpres 87 Tahun 2014
25 Pasal 29 Perpres No 87 Tahun 2014

Kesejahteraan adalah pilar penting yang menjadi tujuan sekaligus tolok ukur dari
berhasil tidaknya pembangunan perikanan. Pembangunan perikanan harus memjawab
permasalahan krusial yang dihadapi sektor ini, yaitu kemiskinan karena faktanya nelayan
hingga saat ini termasuk dalam kelompok masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat
lainnya. Dalam pembangunan perikanan ke depan hendaknya peran dari masyarakat nelayan
perlu dikedepankan dan tidak dijadikan pelengkap semata. Lembaga-lembaga adat yang
hidup di masyarakat seperti Sasi di Maluku, Panglima Laot di Aceh atau Awig-Awig di Bali
dan Nusa Tenggara Barat yang sejauh ini tereduksi oleh rezim pengelolaan yang didominasi
pemerintah, harus diberdayakan kembali. Masyarakat harus diposisikan sebagai subjek dalam
pembangunan perikanan sebab reduksi peran masyarakat selama ini terbukti membuat
pengelolaan perikanan menjadi tidak efisien. Konflik antar nelayan, degradasi sumberdaya
perikanan merupakan salah satu turunan dari problem sentralisasi pengelolaan perikanan
yang menafikan peran dari masyarakat nelayan sebagai pemangku kepentingan utama.

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERKAIT PERIKANAN


Kebijakan luar negeri Indonesia terkait perikanan merupakan bagian dari pelaksanaan
politik luar negeri RI. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
dengan jelas mendefinisikan politik luar negeri sebagai kebijakan, sikap, dan langkah
Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara
lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka
menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Dalam konteks kebijakan
luar negeri Indonesia terkait perikanan, output dari penyelenggaraan hubungan luar negeri
secara garis besar adalah dua hal yaitu: pembentukan dan pelaksanaan ketentuan hukum
internasional yang relevan, serta keanggotaan dalam suatu organisasi internasional perikanan.
1. Ketentuan Hukum Internasional yang Relevan di bidang Perikanan
Masalah perikanan terkait dengan berbagai aspek dalam hukum internasional
mulai dari ketentuan yang berlaku dalam hukum laut internasional, misalnya hukum
maritim, hukum lingkungan internasional, hingga hukum organisasi internasional.
Secara umum, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam suatu negara adalah
kewenangan asasi sebagai negara yang berdaulat. Hukum internasional sendiri
mengakui hak dari suatu negara berdaulat untuk mengatur sumber dayanya. PBB

melalui Resolusi Majelis Umum nomor 1803 Permanent Sovereignty over Natural
Resources menggarisbawahi bahwa negara-negara memiliki kedaulatan permanen
atas sumber dayanya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan dan
mendapatkan manfaat ekonomi atasnya. Ada empat kategori instrumen internasional
terkait perikanan dimana Indonesia menjadi negara pihak, yaitu:
1. Perjanjian Internasional Perikanan yang mengikat untuk menghadapi
permasalahan konservasi dan manajemen fish stocks, terutama
straddling fish stocks dan highly migratory fish stocks.
2. Perjanjian internasional secara suka rela untuk mempromosikan
kerangka prinsip dan standar untuk responsible fisheries.
3. Kerangka kerja sama regional untuk manajemen tuna dan spesies
seperti tuna; dengan cakupan global
4. Perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup.
Implementasi
Dampak positif dari implementasi Permen KP No 2 Tahun 2015 di
beberapa lokasi sentra nelayan cantrang (Muara Baru, Tegal, Karawang,
Lamongan, Karimun Jawa, Brebes, dan Sibolga) seperti berkurangnya
waktu tempuh melaut nelayan, penghematan konsumsi BBM, lebih
dekatnya fishing ground, produksi ikan tangkapan nelayan non cantrang
meningkat berkisar antara + 10-20% dari sebelumnya, peningkatan
pendapatan nelayan non cantrang sebesar + 5-15% dari sebelumnya,
berkurangnya frekuensi koflik antara nelayan cantrang (andon) dengan
nelayan setempat, berkurangnya kerugian nelayan tradisional akibat rusak
atau hilangnya alat penangkapan ikan (rumpon dasar, bubu) yang terseret
oleh cantrang, terselamatkannya sumberdaya ikan non target yang
tertangkap dan kemudian dibuang oleh nelayan cantrang sebesar + 30-50%
dari total hasil tangkapan cantrang, serta akses dan distribusi BBM

bersubsidi teralokasi kepada nelayan non cantrang.


Dampak negatif seperti a) Nelayan tidak dapat melakukan usaha
penangkapan

ikan

sehingga

berdampak

pada

hilangnya

sumber

penghidupan (sementara); b) Adanya potensi koflik sosial akibat


terganggunya jaringan jaringan sosial produksi di masyarakat nelayan; c)

Adanya potensi perubahan sosial di masyarakat; dan d) Terganggunya


pasokan ikan untuk konsumsi dalam negeri (jangka pendek).
Rekomendasi kebijakan untuk mengurangi dampak implementasi
Permen KP No 2 Tahun 2015 terdiri dari tiga program prioritas, yaitu: (a)
Membuat sistem manajemen pengawasan yang ketat dan terpadu terhadap
pelaksanaan Permen KP No. 2/2015, terutama terhadap perlindungan
wilayah penangkapan bagi nelayan tradisional (bekerja sama dengan
organisasi nelayan, institusi penegak hukum. Hal ini untuk menghindari
koflik alat tangkap pada setiap provinsi/kabupaten/kota pesisir; (b)
Sosialisasi dan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan
(apabila sudah ada alternatif alat tangkap pengganti); dan (c) Pembuatan
kebijakan terkait skema pembiayaan untuk membantu nelayan peralihan ke
alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau
kelembagaan koperasi nelayan.

Anda mungkin juga menyukai