Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara
makhluk lainnya. Manusia diberikan akal pikiran untuk dapat menjalani
kehidupan serta mengelola dan memanfaatkan seluruh isi dunia ini. Selain itu
kodrat manusia cenderung untuk berkembang memperbanyak diri, sebagai proses
yang dilalui manusia dalam mempertahankan eksistensinya.
Mempertahankan eksistensinya tersebut, manusia melakukan perkawinan
untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah
yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan
merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan mempunyai
keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah.
Perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga ini, di Indonesia diatur
dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
disebutkan : perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa.
Ketentuan Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut,
bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, dan
adanya hubungan yang erat dengan keturunannya.

Universitas Sumatera Utara

Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak. Apabila dalam


sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga
tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani,
jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.
Membentuk suatu keluarga kemudian melanjutkan keturunan merupakan
hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu
kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orangtua dan
anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling
ditunggu-tunggu kehadirannya. Hadirnya seorang anak akan melengkapi
kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi
kedua orangtuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah
keluarga.
Sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak rasanya kurang lengkap,
bahkan dalam kasus tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib
yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri.
Keinginan untuk memperoleh anak yang tidak dapat tercapai menimbulkan
berbagai perasaan dan pikiran pada tataran tertentu, tidak jarang perasaan dan
pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya
diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, dalam hal ini pasangan
suami isteri.
Keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural
maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak
tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang

Universitas Sumatera Utara

tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak dengan cara ini,
dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam
tulisan ini disebut penulis sebagai pengangkatan anak.
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai
sejak lama. Masalah pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu
hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum
pengangkatan anak ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai
suatu cara untuk meneruskan keturunan, maupun sebagai perwujudan dari
perasaan kasihan. 1
Masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek
pengangkatan anak ini, salah satunya dalam masyarakat Tionghoa, hanya saja
motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan yang lain.
Menurut hukum adat Tionghoa, pengangkatan anak dilakukan semata-mata
untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga
yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat
anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Anak yang diangkat
tersebut diperlukan sebagai anak sendiri, tidak dirasakan lagi dari mana asal anak
tersebut dengan demikian diberi status anak dari orangtua yang mengangkatnya.
Hukum adat Tionghoa juga mengatur bahwa yang seharusnya masuk dalam
preferensi pertama anak yang diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang
tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-

Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi aksara, Jakarta, 1999, h. 36.

Universitas Sumatera Utara

laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman, karena
nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi
yang sama.
Pengangkatan anak secara sah menurut hukum yang berlaku diperlukan
suatu lembaga pengangkatan anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata
adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280
sampai 290 KUHPerdata. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut,
pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad nomor 129 yang
mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5-Pasal15). 2
Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya
mengenai hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat
Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi didalam
KUHPerdata. Masyarakat Tionghoa yang telah mengenal lembaga adopsi
berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat
kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak
atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga
keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.
Pengangkatan anak tidak hanya berlaku bagi anak laki-laki tetapi juga
bagi anak perempuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan
tersebut telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan
anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta

Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, h. 178

Universitas Sumatera Utara

No.907/1963/pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan


Negeri Istimewa Jakarta No. 558/63.6 tertanggal 17 oktober 1963, bahkan pada
tahun yang sama pada kasus lain mengenai pengangkatan anak perempuan
Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu keputusan antara lain menetapkan bahwa
Pasal 5, 6, dan 15 ordonansi S.1917:129 yang hanya memperbolehkan
pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945. 3
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai
sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai
praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat
pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan
yang lain. Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata-mata untuk
melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang
tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak,
diharapkan

keluarga

tersebut

dapat

dikaruniai

anak.

Sejalan

dengan

perkembangan masyarakat, tujuan adopsi lebih ditujukan demi kesejahteraan


anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 28B Undang Undang dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1)
UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, yang
menyatakan : pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, Hal.202.

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan


bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi
juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan
dijadikan sebagai anak angkat. Demi menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan
pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan tokoh adat
masyarakat Tionghoa, ada fenomena menarik yang terjadi pada masyarakat
Tionghoa di Kota Medan mengenai pengangkatan anak. Pengangkatan anak
menurut masyarakat Tionghoa kebanyakan berdasarkan sebagai berikut:
a.

Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri
atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya
pengangkatan dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota
keluarga. Artinya tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua
adat dan kepala lingkungan setempat.

b.

Jika anak yang diangkat berasal dari luar lingkungan keluarga orangtua
yang mengangkat, biasanya dilakukan secara terang dan tunai. Artinya
pengangkatan itu diramaikan oleh keluarga terdekat dan para tetangga
dengan mengadakan acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak
tersebut tidak dapat ditarik oleh orangtua kandungnya.
Pembentuk Undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan

kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Kemampuan pembentuk Undangundang itu terbatas, ada kalanya pembentuk Undang-undang tidak sempat
mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang tetapi mengatur lebih lanjut

Universitas Sumatera Utara

dalam perundang-undangan lain. Ada kalanya pembentuk Undang-undang sengaja


tidak mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang karena menyerahkan
kepada Hakim untuk mengisinya. Ada kalanya tidak terpikirkan oleh pembentuk
Undang-undang untuk mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang karena
pada saat itu belum dirasakan mendesak untuk diatur atau tidak diduga akan
terjadi kemudian.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak pada masyarakat
Tionghoa di Kota Medan dengan judul penelitian: Pelaksanaan Pengangkatan
Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa
di Kota Medan).
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1.

Bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa.

2.

Bagaimana kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat.

3.

Apa hambatan yang dihadapi oleh orangtua angkat dalam proses


pengangkatan anak.

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat


Tionghoa.

2.

Untuk mengetahui kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua
angkat.

3.

Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi orangtua angkat dalam proses


pengangkatan anak.
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoretis, di harapkan kiranya penulisan skripsi ini bermanfaat untuk


dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan
dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang pelaksanaan
pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa. Selain itu skripsi ini dapat
berguna bagi para pembaca yag tertarik terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan pengangkatan anak.
2. Secara praktis, memberikan masukan-masukan tentang tata cara pelaksanaan
pengangkatan anak, akibat hukum terhadap harta warisan menurut hukum adat
Tionghoa dan hambatan yang dihadapi dalam pengangkatan anak.

Universitas Sumatera Utara

D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dalam
Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota
Medan) belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun
dengan kondisi dan fenomena dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang ada
melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak,
dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila
ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pengangkatan Anak
Dari segi etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari bahasa Belanda
Adoptie atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Dalam
bahasa arab disebut Tabanni yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan
dengan mengambil anak angkat, sedang menurut kamus Munjid diartikan
menjadikannya sebagai anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus
hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya
sendiri. 4
4

Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika,

Jakarta, 1985, hal.4

Universitas Sumatera Utara

Dari segi terminology, adopsi diartikan dalam kamus umum bahasa


indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu, anak orang lain yang diambil dan
disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan,
adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya adopsi diadakan
untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang
tidak beranak/tidak mempunyai anak.
Mengenai defenisi adopsi, terdapat beberapa sarjana yang telah
memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut
beliau adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam
keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak
dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang
sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri. 5
Menurut Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat
anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan
tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan
pada faktor hubungan darah. 6

5
6

Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1973, hal. 123
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980, hal. 52

Universitas Sumatera Utara

2. Pengertian Anak Angkat


Menurut ING Sugangga anak angkat adalah orang lain yang dijadikan
anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung
sendiri ada kecintaan/kesayangan. 7
Di Jawa Tengah, pengangkatan anak menurut Djojodiguno dan Raden
Tritawirnata adalah pengangkatan anak orang dengan maksud supaya anak itu
menjadi anak dari orang tua angkatnya. Anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat yang resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan/famili atas
kekayaan rumah tangga. 8
Menurut Tamakiran, anak angkat adalah seseorang bukan turunan suami
istri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak
turunannya sendiri. 9
3. Pengangkatan Anak Menurut

SEMA No.2 Tahun 1979 jo No.6

Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak


Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan
untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak
menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6 tahun 1983, tidak melarang
pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak (perempuan)
7

ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari,1995,

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Badung, Alumni, 1991, hal.149


Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972, hal. 52

hal.35
9

Universitas Sumatera Utara

telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat


Tionghoa. Hal tersebut tercermin dalam SEMA No.2 tahun 1979, Romawi I (satu)
butir ke tiga dengan Romawi II butir ke 3 SEMA No. 6 tahun 1983, yang
berbunyi Semula digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No.129)
hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap
menyatakan sah pula pengangkatan anak perempuan.
4. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak
Di Indonesia Pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap
anak-anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan
perlindungan terhadap anak-anak yaitu dengan disahkan nya Undang-Undang ini
yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan
perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak.
Pengertian pengangkatan anak menurut PP Republik Indonesia No.54
tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua,
wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang
tua angkat.
Dengan demikan pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil
anak orang lain dan dapat disamakan haknya dengan seorang anak kandungnya
dari suatu perkawinan atau anak sendiri.

Universitas Sumatera Utara

5. Hukum Adat
a. Pengertian Hukum Adat
Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda adatrecht
Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah adatrecht
kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah
teknis yuridis. 10
Perkataan hukum adat adalah istilah untuk menunjukan hukum yang tidak
dikodifikasi dikalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing. Ketika orang
berusaha menyelidiki hukum adat secara berilmu pengetahuan, dibutuhkan suatu
istilah setegas-tegasnya untuk menyatakan keseluruhan hukum adat tersebut.
Perundang-undangan Hindia Belanda menggunakan istilah Undang-Undang
Agama, Lembaga-Lembaga dan kebiasaan-kebiasaan. 11
Beberapa ahli hukum adat memberikan defenisi tentang hukum adat sebagai
berikut :
Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Jaren Saragih :
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan
didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sahnya peraturanperaturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 12

10

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Diterjemahkan oleh
A.Soehardi Sumur, Bandung, 1982,hal.2
12
Jaren Saragih, Pengantarhukum adat, Edisi II, Taristo, Bandung, 1984, hal.13
11

Universitas Sumatera Utara

Soekanto mengemukakan bahwa jika diselidiki adat istiadat ini maka terdapatlah
peraturan-peraturan yang bersanksi, yaitu kaidah-kaidah yang apabila dilanggar
ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dan kemudian dihukum.
Kompleks adat istiadat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum),jadi
mempunyai akibat hukum, kompleks ini disebut hukum adat. 13
J.H.P. Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot de rechtswetenschap in
Nederland sebagaimana dikutip Jaren Saragih, memberi pengertian :
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. 14
C.Van Vollenhoven memberi pengertian:
hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alatalat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh
kekuasan Belanda dahulu. 15
Apabila dilihat dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana
tersebut diatas, maka kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum adat itu
adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan

13

Soekanto, Meninjau Hukum Adat IndonesiaSuatu Pengantar Untuk Mempelajari


Hukum Adat, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, CV.Rajawali, Jakarta,1985,hal.2
14
Jaren Saragih, OpCit, hal.14
15
C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 19041933, hal.7

Universitas Sumatera Utara

rakyat yang selalu berkembang (sifat dinamis) serta meliputi peraturan-peraturan


tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat,
sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat,
sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi).
b. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam
keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang
mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 16
Masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang patuh pada peraturan
atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama
lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar
hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari
para penguasa adat.
Pada dasarnya masyarakat adat terbagi menjadi empat:
a. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan atau
patrilinial adalah kekerabatan yang mengutamakan keturunan menurut
garis keturunan laki-laki.
b. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan atau matrilinial
adalah kekerabatan yang lebih mengutamakan keturunan menurut
garis perempuan.
16

Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,

1982, hal.106

Universitas Sumatera Utara

c.

Masyarakat adat yang bersendi pada kebapakan dan keibuan atau


parental/bilateral adalah kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari bapak dan ibu.

d. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih atau alteneren adalah


kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun
adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya pengaruh
dari faktor lingkungan, waktu dan tempat.17
Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris tidak
terlepas dari susunan kekerabatan atau sistem kekeluargaan/keturunan. Sistem
kekeluargaan ini sudah berlaku sejak sebelum masuknya ajaran agama Hindu,
Kristen, dan Islam.
Secara umum sistem kekeluargaan ini dapat dibedakan dalam 3 corak,
18

yaitu:
a. Sistem Patrilinial, adalah sistem kekeluargaan berdasarkan garis
kebapakan/dari pihak ayah, yaitu suatu masyarakat hukum yang
menarik garis kekeluargaan ke atas melalui garis bapak, bapak dari
bapak terus keatas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai
moyangnya. Contoh masyarakat ini adalah Batak, Nias, Lampung,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Ambon. Pada
asasnya dalam susunan masyarakat, yang mempertahankan sistem ini
yang berhak mewaris adalah anak laki-laki, kemungkinan bagi wanita
menjadi ahli waris sangat kecil.
17
18

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, hal. 23


Ibid, Hal.20

Universitas Sumatera Utara

b. Sistem Matrilinial, adalah sistem dimana para anggotanya menarik


garis keturunan keatas melalui garis ibu, ibu dari ibu terus keatas
sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya, contoh
masyarakatnya adalah Minangkabau, Pesisir Sumatra selatan bagian
utara, Enggana, Lampung Pesisir, dan lain-lain. Yang menjadi ahli
waris adalah anak perempuan. Menurut Ter Haar kedudukan
perempuan sebagai ahli waris dalam sistem matrilinial berbeda dengan
kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam sistem patrilinial.
c. Sistem Parental atau Bilateral, adalah suatu sistem dimana para
anggotanya menarik garis keturunan keatas baik bapak/ibu terus
keatas hingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai
moyangnya. Contoh, masyarakat Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, Madura, Aceh, Riau, Sulawesi dan Kalimantan. Baik anakanak pria maupun wanita berhak mendapat warisan dari orang tuanya,
baik terhadap harta peninggalan yang tergolong harta pusaka
keturunan, maupun yang berasal dari harta bawaan ibu atau ayah,
ataupun harta pencaharian selama hidup mereka.
6. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir
batin

diperlakukan

seakan-akan

sebagai

anak

kandung

sendiri

ada

kecintaan/kesayangan. 19
Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu :
19

Muderis Zaini, Op.Cit. hal.32.

Universitas Sumatera Utara

a. pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai,


artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap
keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran
uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak
tersebut dengan orang tua aslinya.
b. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya
pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang
keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak
dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang
adat.
Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang
tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli
dan orang tua angkat. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam
dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. 20
Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan
pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat
hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus
hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi keluarga orang tua
angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang
tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai,
anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan

20

ING Sugangga, OpCit, hal.35

Universitas Sumatera Utara

hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu
masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.
Dengan adanya Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak maka pengangkatan anak pada dasarnya harus memperhatikan kepentingan
kesejahteraan anak itu.
7. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Tionghoa Sebelum
Staatblaad Tahun 1917 No. 129 tentang Adopsi
Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129)
khususnya Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi
golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di
Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan
anak (adopsi).
Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi
pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah
generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian
lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak
adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan
demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang
orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya,
sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.
Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya
larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya

Universitas Sumatera Utara

nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak
muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain
8. Pengangkatan Anak Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129 tentang
Adopsi
Staatblad tahun 1917 No.129 tidak memberikan defenisi mengenai
pengangkatan anak, namun mengatur mengenai alasan, syarat, tata cara dan akibat
hukum pengangkatan anak , bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan
dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak
mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena
pertalian

darah

maupun karena

pengangkatan.

Menurut

Staatblad

ini,

pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan


keturunan/anak laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu dengan menggambarkan keadaan atau fenomena
yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di teliti. 21 Penelitian deskriptif
ini dimulai dengan pengumpulan data yang berhubungan dengan pembahasan di
atas, lalu menyusun, mengklasifikasikan data sehingga diperoleh gambaran yang
jelas tentang fenomena yang diteliti.
Metode pendekatan yang digunakan adalah teori yuridis empiris yaitu suatu
penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan
dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian
kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Dengan
metode library research dimaksudkan dapat

dikumpulkan

bahan-bahan

kepustakaan, berupa buku-buku, majalah, dokumen-dokumen, serta sumbersumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam skripsi
ini. Studi lapangan yang akan dilakukan dimaksudkan untuk melengkapi data
yang telah diperoleh melalui studi literatur. Studi lapangan akan dilakukan dengan
melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat Tionghoa di Kota Medan .

21

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
2003, h. 36.

Universitas Sumatera Utara

G. Sistematika Penulisan
Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk
tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi
antar satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif).
Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5
(lima) bab, yaitu:
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang
pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan, dan gambaran isi.

BAB II

: TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK


Di dalam bab ini dijelaskan pengertian pengangkatan anak dan
anak angkat, latar belakang pengangkatan anak, pengangkatan
anak menurut peraturan perundang-undangan, dan akibat hukum
pengangkatan anak.

Universitas Sumatera Utara

BAB III

: TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK


MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA
Di dalam bab ini dijelaskan tentang masyarakat Tionghoa di Kota
Medan,

dasar

hukum,

syarat-syarat

serta

akibat

hukum

Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat Tionghoa.


BAB IV

: PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN


ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA
Di dalam bab ini dijelaskan tentang proses pengangkatan anak
dalam hukum adat Tionghoa, kemudian tentang kedudukan anak
angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat serta tentang
hambatan yang dihadapi oleh orangtua angkat dalam proses
pengangktan anak tersebut.

BAB V

: KESIMPULAN DAN SARAN


Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh
analisis dan pembahasan serta saran yang dapat diberikan oleh
penulis.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai