Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PERKEMBANGAN

BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

Bery Wahyu Kurniawan


(101644057)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2010

SEJARAH PERKEMBANGAN
BAHASA INDONESIA

A. PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBELUM MERDEKA


Pada dasarnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman
Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di
nusantara dan sebagai bahasa yang digunakan dalam perdagangan antara
pedagang dari dalam nusantara dan dari luar nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai
peninggalan peninggalan, misalnya :

Tulisan yang terdapat pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun
1380 M.

Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683.

Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684.

Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686.

Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan menyebarnya


agama islam di wilayah nusantara. Serta makin berkembang dan bertambah kokoh
keberadaannya, karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara
sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa
dan antar kerajaan.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia
oleh karena itu para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia

yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda,
28 Oktober 1928)
B. PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SESUDAH MERDEKA
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar
1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia.
Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928
bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada taggal 18
Agustus 1945, karena pada saat itu Undang Undang dasar 1945 di sahkan
sebagai Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD
1945 disebutkan bahwa Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia (Bab XV,
Pasal 36)
Prolamasi

kemerdekaan

Republik

Indonesia,

17

Agustus

1945,

telah

mengkukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional


sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia.

C. PERANAN BAHASA INDONESIA


Peranan bahasa bagi bangsa Indonesia adalah bahasa merupakan sarana utama
untuk berpikir dan bernalar, seperti yang telah dikemukakan bahwa manusia
berpikir tidak hanya dengan otak. Dengan bahasa ini pula manusia menyampaikan
hasil pemikiran dan penalaran, sikap, serta perasannya. Bahasa juga berperan
sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan. Melalui bahasa nilai nilai
dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Didalam suatu masyarakat, bahasa mempunyai suatu peranan yang penting dalam
mempersatukan anggotanya. Sekelompok manusia yang menggunakan bahasa
yang sama akan merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya.
D. FUNGSI BAHASA INDONESIA
Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia tidak hanya sekedar alat komunikasi.
Tetapi bahasa Indonesia juga merupakan kekayaan nasional yang sangat berharga
dan dapat mempersatukan suku suku bangsa, serta menunjukkan jati diri bangsa
Indonesia.
Selain itu bahasa Indonesia mempunyai fungsi, yaitu :
1. Sebagai lambang kebanggaan nasional.
2. Sebagai lambang identitas nasional.
3. Sarana penyatuan bangsa dan sarana perhubungan antar budaya.
4. Sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga lembaga pendidikan.
Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna
yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra,
istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15
Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu
Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa,
dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires,
menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah
Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang
menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini
adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi,
sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12.
Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas,
serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan
tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus
berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris
meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa
Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa
dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan
jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang
administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan

teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot,
dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur
bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau,
tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada
abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai
bahasa yang paling penting di "dunia timur". [12] Luasnya penggunaan bahasa
Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan
menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan
bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses
pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di
Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya
juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu
Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa
pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad
ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk
bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa
yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu,
karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok
bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang
kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya

tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk
semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu
mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12]
Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun
1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga
ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.
Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan
kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad

Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi
bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu,
bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya

perkembangan

bahasa

dan

kesusastraan

Indonesia

banyak

dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil

Anwar.

Sastrawan

tersebut

banyak

mengisi

dan

menambah

perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia. [16]

Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa
yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui
pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya
harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mula dengan ramai.
Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.

4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan katakata mamoer, akal, ta, pa, dsb.
Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya.
Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak,
rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2,
ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata
yang mendampinginya.
Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik
selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden
Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun
1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan
Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

Perubahan:

Indonesia Malaysia

Sejak 1972

(pra-1972) (pra-1972)

tj

ch

dj

ch

kh

kh

nj

ny

ny

sj

sh

sy

oe*

Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti
yang tercantum dalam:
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang


Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa Bahasa
Negara ialah Bahasa Indonesia.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa


Indonesia dan Bahasa Nasional
Bahasa indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia (RI) dimana
tercantum dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
yang tertulis bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
juga disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 pada bagian ketiga yang
berbunyi KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG
BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia telah mengalami pekembangan karena
didorong oleh bebeapa faktor, seperti saya kutip dari buku sejarah nasional
Indonesia faktor pertama yaitu bangkitnya semangat kebangsaan Indonesia yang
telah mengatasi kedaerahan dan kesukuan. Faktor kedua karena telah terbitnya
kitab logat melayu pada tahun 1901 karangan Van Ophuyzen, yang digunakan
di sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa melayu. Faktor ketiga adalah
didirikannya Commissie voor de Volkslecture pada tahun 1908, yang kemudian
menjadi Balai Pustaka. Hal ini mendorong perkembangan dibidang bahasa dan
sastra, terutama dengan lahirnya kelompok Pujangga baru.
Faktor-faktor diatas medasari terpenuhinya fungsi bahasa tersebut sebagai bahasa
baku yang telah memperkuat sikap masyarakat Indonesia terhadapnya. Jika
melihat dari kedudukannya, Bahasa Indonesia ialah status relatif bahasa Indonesia

sebagai lambang nilai budaya Indonesia yang dirumuskan atas dasar nilai sosial
Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai :
1. Bahasa resmi kenegaraan dimana kedudukannya berada di atas bahasabahasa daerah.
2. Bahasa pengantar resmi di dalam dunia pendidikan.
3. Alat penghubung resmi pada tingkat nasional.
Namun jika melihat dari kondisi negara Indonesia yang memiliki keanekaragaman
suku dan bahasa, wajarlah penerapan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari
menjadi sulit dikarenakan keanekaragaman bahasa daerah itu sendiri. Masyarakat
Indonesia lebih terbiasa menggunakan bahasa daerahnya sendiri ketimbang
menggunakan Bahasa Indonesia yang merupaka bahasa kenegaraan.

FUNGSI BAHASA DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA


Sejarah bahasa Indonesia;
Bahasa indonesia adalah dialek kaku dari bahasa Melayu Klasik dan bahasa
Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia
baru dianggap lahir atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928
atas usulan Mohammad Yamin. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945
bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.tepatnya pada saat hari
Kemerdekaan
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu
kami dan kita. Kami adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk
sang lawan bicara, sedangkan kita adalah kata ganti inklusif yang berarti
kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar adalah Subjek Predikat Objek-Keterangan (SPOK),

walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa
berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga
tidak mengenal kala/waktu (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata
keterangan waktu (seperti, kemarin atau besok), atau indikator lain seperti
sudah atau belum.Dan Bahasa Indonesia di atur dalam UUD 1945 pada pasal
36 yaitu Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Berdasarkan fungsinya bahasa Indonesia dibagi menjadi 5 fungsi;
1.Ekspresif
Contohnya;mampu menggungkapkan gambaran,maksud ,gagasan, dan perasaan.
2.Komunikasi
Contohnya; sebagai alat berinteraksi atau hubungan antara dua manusia dan
sehingga pesan yang dikmaksudkan dapat dimengerti.
3.Kontrol sosial
contohnya; tulisan dilarang merokok bahasa tersebut berfungsi sebagai pengatur
atau pengontrol
4. Adaptasi
Contohnya;bila kita berada di wilayah atau daerah yang asing atau diluar ibu kota,
kita dapat menggunakan bahasa Indonesia tersebut sebagai alat untuk adaptasi
dengan lingkungan baru tersebut.
5. Integrasi/pemersatu
Contohnya;bahasa-bahasa yang berbeda atau beraneka ragam dan dipersatukan
oleh bahasa Nasional yang dapat dipakai di seluruh Indonesia yang menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bulat.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional di ikrarkan pada 28 oktober
1928 yaitu hari Sumpah Pemuda yang memilki fungsi-fungsi sebagai;
1. Lambang identitas Nasional.
2. Lambang kebanggaan kebangsaan.
3. Bahasa indonesia sebagai alat komunikasi.

4. Alat pemersatu bangsa yang berbeda Suku,Agama,ras,adat istiadat dan Budaya.


Hasil perumusan seminar polotik bahasa Nasional yang diselenggarakan di jakarta
pada tangal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan berdasarkan Kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah;
1. Sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
4. Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.

Ragam Bahasa Indonesia


Manusia adalah makhluk social yang saling berinteraksi dalam masyarakat
menggunakan bahasa, dan dalam masyarakat tersebut terdapat bermacam
macam bahasa yang disebut Ragam Bahasa. Indonesia merupakan Negara yang
terdiri atas beribu-ribu pulau, yang dihuni
oleh ratusan suku bangsa dengan pola kebudayaan sendiri-sendiri, pasti
melahirkan berbagai ragam bahasa yang bermacam-macam dan ini disebut Ragam
Bahasa Indonesia.
Ragam bahasa menurut sudut pandang penutur :

Ragam daerah ( logat / dialek)

Ragam pendidikan :

1. Bahasa baku

2. Bahasa tidak baku

Ragam bahasa menurut sikap penutur , gaya atau langgam yang


digunakan penutur terhadap orang yang diajak bicara.

Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya :

ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan

ragam menurut sarananya : 1. Lisan : dengan intonasi yaitu tekanan, nada,


tempo

suara, dan perhentian.

2. Tulisan : dipengaruhi oleh


bentuk, pola kalimat, dan tanda baca.

ragam yang mengalami gangguan pencampuran

Ragam bahasa menurut bidang wacana :

Ragam ilmiah : bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah,ceramah,


tulisan-tulisan ilmiah

Ragam populer : bahasa yang digunakan dalam pergaulan seharihari dan


dalam tulisan populer

Ragam bahasa baku dan tidak baku


Ciri ciri ragam bahasa baku :

kemantapan dinamis, memiliki kaidah dan aturan yang relatif tetap dan
luwes.

Kecendekiaan, sanggup mengungkap proses pemikiran yang rumit


diberbagai ilmu dan tekhnologi

Keseragaman kaidah adalah keseragaman aturan atau norma

Proses pembakuan bahasa terjadi karena keperluan komunikasi. Dalam proses


pembakuan atau standardisasi variasi bahasa, bahasa itu disebut bahasa baku atau
standard. Pembakuan tidak bermaksud untuk mematikan variasi-variasi bahasa
tidak baku. Untuk mengatasi keanekaragaman pemakaian bahasa yang merupakan
variasi dari bahasa tidak baku maka diperlukan bahasa bahasa baku atau bahasa
standard.
Bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang dipergunakan dalam:

komunikasi resmi, yakni surat-menyurat resmi, pengumuman yang


dikeluarkan oleh instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi,
perundang-undangan, dan sebagainya.

wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah.

pembicaraan di depan umum yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah

pembicaraan dengan orang yang dihormati yakni orang yang lebih tua,
lebih tinggi status sosialnya dan orang yang baru dikenal.

Ciri struktur (unsur-unsur) bahasa Indonesia baku adalah sebagai berikut.


1. Pemakaian awalan me- dan ber- (bila ada) secara eksplisit dan konsisten.
2. b. Pemakaian fungsi gramatikal (subyek, predikat, dan sebagainya secara
eksplisit dan konsisten.
3. c. Pemakaian fungsi bahwa dan karena (bila ada) secara eksplisit dan
konsisten (pemakaian kata penghubung secara tepat dan ajeg.
4. d. Pemakaian pola frase verbal aspek + agen + verba (bila ada) secara
konsisten (penggunaan urutan kata yang tepat).
5. e. Pemakaian konstruksi sintesis (lawan analitis).
6. f. Pemakaian partikel kah, lah, dan pun secara konsisten.
7. g. Pemakaian preposisi yang tepat.
8. h. Pemakaian bentuk ulang yang tepat menurut fungsi dan tempatnya.
9. i. Pemakaian unsur-unsur leksikal berikut berbeda dari unsur-unsur yang
menandai bahasa Indonesia baku.
10. j. Pemakaian ejaan resmi yang sedang berlaku (EYD).
11. k. Pemakaian peristilahan resmi.
12. Pemakaian kaidah yang baku
Ragam Bahasa Tulis dan Bahasa Lisan
Ada dua perbedaan yang mencolok mata yang dapat diamati antara ragam bahas
tulis dengan ragam bahasa lisan, yaitu :
1. a. Dari segi suasana peristiwa

Jika menggunakan bahasa tulisan tentu saja orang yang diajak berbahasa tidak ada
dihadapan kita. Olehnya itu, bahasa yang digunakan perlu lebih jelas. Fungsi
gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, dan hubungan antara setiap fungsi itu
harus nyata dan erat. Sedangkan dalam bahasa lisan, karena pembicara
berhadapan

langsung

dengan

pendengar,

unsur

(subjek-predikat-objek)

kadangkala dapat diabaikan.


1. b. Dari segi intonasi
Yang membedakan bahasa lisan dan tulisan adalah berkaitan dengan intonasi
(panjang-pendek

suara/tempo,

tinggi-rendah

suara/nada,

keras-lembut

suara/tekanan) yang sulit dilambangkan dalam ejaan dan tanda baca, serta tata
tulis yang dimiliki.
Goeller (1980) mengemukakan bahwa ada tiga krakteristik bahasa tulisan yaitu
acuracy, brevety, claryty (ABC).

Acuracy (akurat) adalah segala informasi atau gagasan yang dituliskan


dapat memberi keyakinan bagi pembaca bahwa hal tersebut masuk akal
atau logis.

Brevety (ringkas) yang berarti gagasan tertulis yang disampaikan bersifat


singkat karena tidak menggunakan kata yang mubazir dan berulang,
seluruh kata yang digunakan dalam kalimat ada fungsinya.

Claryty (jelas) adalah tulisan itu mudah dipahami, alur pikirannya mudah
diikuti oleh pembaca. Tidak menimbulkan salah tafsir bagi pembaca.

Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan
tempat tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan
sesuai dengan topic pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu
beragam baku. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik
adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan

jenis pemakaian bahasa. Ada pun berbahasa Indonesia yang benar adalah
berbahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai