Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama / No.CM
: Ny. K / 16533218
Umur
: 53 tahun
Alamat
: Ngemplaksuren 008/004 Karangduren Sawit Boyolali
Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Tanggal Masuk

: 31 Desember 2016

Tanggal Pemeriksaan : 31 Desember 2016


ANAMNESIS
Keluhan utama

: Autoanamnesis
: bicara pelo mendadak

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan tiba-tiba bicaranya pelo sejak 1 hari SMRS. Awal
keluhan ini yaitu saat pasien bangun tidur siang hari dan ingin memanggil anaknya yang di
ruangan sebelah. Keluhan ini belum diobati pasien sama sekali. Datang untuk berobat
karena tidak ada perbaikan pada keluhan ini, dan khawatir terjadi sesuatu yang bahaya pada
dirinya. Saat keluhan timbul, pasien tidak mengalami pingsan, pusing kepala maupun
muntah. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan ini, dan tidak ada keluhan apapun
sebelumnya. Pasien menyangkal adanya demam maupun trauma.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi

: (+) rutin minum obat

Riwayat Diabetes Melitus

: disangkal

Riwayat Alergi, Asma

: disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: (-)

Riwayat Mondok

: (-)

Riwayat Alergi Obat/makanan

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Sesak Napas

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal
1

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Alergi Obat/makanan

: disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Pasien mengaku dulu terbiasa memasak menggunakan kayu bakar.
Riwayat Merokok aktif

: disangkal

Riwayat Merokok pasif

: (+)

Riwayat Minum alkohol

: disangkal

Riwayat Olahraga

: disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien berobat menggunakan pelayanan
BPJS.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: Tampak sesak, sakit sedang, gizi kesan kurang.

Kesadaran
Vital Sign

: Compos Mentis E4V5M6


: Tekanan Darah = 120/80 mmHg
Nadi = 96 /menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
RR
= 32 /menit, irama tidak teratur, tipe thorakoabdominal
T
= 36.5 C per aksiler
SiO2 = 95% (nasal kanul 3 lpm)
: Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), venectasi (-)

Kulit
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata

: Mesocephal
: Hitam sebagian putih, tidak mudah dicabut
: Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
langsung dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm),

Telinga

Hidung

oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)


: Tidak ada kelainan bawaan, serumen (-), nyeri tekan
aurikuler (-)
: Bentuk simetris, sekret (-)

Mulut : Pursed lips breathing (+), bibir tidak kering, lidah

tidak kotor, tidak hiperemis, palatum tidak terbelah.


: Tidak terdapat pembesaran kelenjar, kaku kuduk (-)
: Retraksi (+) suprasternal, barrel chest (+)

Leher
Thoraks
Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)

Paru (anterior )
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kanan = kiri

Inspeksi dinamis

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+)

Paru (posterior)

Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kanan = kiri

Inspeksi dinamis

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+)

Abdomen
Inspeksi

: Dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal

Perkusi

: Tympani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

Oedem _

Akral dingin

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah tanggal 11 Januari 2016
Hb
: 15,7 gr/dl
(12.0-16.0)
Ht
: 45 %
(37-47)
Antal Leukosit
: 7940/uL
(4.800-10.800)
Antal Trombosit
: 351.000/uL
(150.000-450.000)
GDS
: 120 mg/dl
(60-140)
Ureum
: 18 mg/dl
(10-50)
Creatinin
: 0.82 mg/dl
(0.6-1.1)
SGOT
: 21 U/L
(<31)
SGPT
: 18 U/L
(<31)
HbsAG
: Non Reaktif
Foto EKG
DIAGNOSIS
Hemiparesis dekstra DD SNH, SH
Hipertensi Emergency
TERAPI
Oksigen 3 liter/menit
Inf. Asering 20 tpm
Inj. Citicholin 500 mg/6 jam
Nimotop 3x2
Neurodex 1x1 pagi
Clopidogrel 1x1 siang
Aspirin 100 mg 1x1 sore
Fluoxetin 1x1 sore
MRS Saraf

PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad sanam

: dubia ad malam

Ad fungsionam

: dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,2,4
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.1 Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan
suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.5
B. Epidemiologi

Di seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab


utama kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama
keempat kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok
dan perubahan demografis di banyak negara.4
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk
perempuan 8,5% (SE 5,8). Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat
penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka
kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi
PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan

6,3% dengan prevalensi

tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).2


Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke- 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian
karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke- 6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia.4
C. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko antara lain :
1. Pajanan dari partikel antara lalin :
a. Merokok : Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan
lamanya merokok. Studi di China menghasilkan risiko relative merokok
2,47 (95% CI : 1,91-2,94).2,3,4

Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan


PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel
dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan
risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.1,2,3
b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan

bakar kayu dan asap bahan bakar

minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak


menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah,
tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan
indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari
memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap
dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan
hewan peliharaan serta perokok pasip.1,2,3 Pada studi kasus kontrol yang
dilakukan di Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan
dengan risiko tinggi PPOK (adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2 9,1).2
c. Polusi

outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,

inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan
relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini.1,2
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik
(debu, sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan
baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta,
sebagainya diperkirakan mencapai 19%.2
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan
kontribusi 1 3% pada pasien PPOK.1,2 Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif
jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.
7

Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.1
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang : Infeksi saluran napas akut adalah
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita
anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan
terjadinya PPOK.2,3

D. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat

pembesaran kelenjar mukosa bronkus,

metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas
keperifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama.
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah.
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.3,4

Sumber : http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf
Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi
destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru.
Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum
interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling
jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama

yang

menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan
daya elastisitas dan kekuatan tensil paru. Destruksi serat elastin merupakan
penyebab timbulnya hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi
deposisi dan bentuk remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada
emfisema.3
E. Diagnosis dan Klasifikasi (derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain).

Diagnosis

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)
1. Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :

a. Anamnesis :
1) Ada faktor risiko
o Usia (pertengahan)
o Riwayat pajanan

Asap rokok

Polusi udara

Polusi tempat kerja

2) Gejala atau manifestasi klinis


Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
o Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan.
o Berdahak kronik, kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak
terus menerus tanpa disertai batuk.
o Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas Seringkali
pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis
harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai
skala sesak.
Tabel 1. Skala sesak

10

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
o Inspeksi

Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

Terdapat cara bernapas lips breathing (seperti orang meniup )

Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

Pelebaran sela iga

Penggunaan otot bantu nafas

Hipertrofi otot bantu nafas

Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema,


penderita kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed lips
breathing) atau blue bloater (gambaran khas pada bronkitis kronik,
penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronkhi basah
di basal paru, sianosis sentral dan perifer)

o Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

o Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak


diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

o Auskultasi

Suara nafas vesikuler melemah atau normal

Ekspirasi memanjang
11

Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

Ronki

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
o Radiologi (foto toraks)

Paru hiperinflasi atau hiperlusen

Diafragma mendatar

Corakan bronkovaskuler meningkat

Bulla

Jantung pendulum

o Pemeriksaan faal paru


Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan

diagnosis,

melihat

perkembangan

penyakit,

dan

menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan


secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara
yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced Vital
Capacity (FCV)/ Kapasitas Vital Paksa (KVP). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu
detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan
Forced Expiratory Volume In 1 Second

(FEV1) / Volume Ekspirasi

Paksa 1 detik (VEP1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus
dilakukan (VEP1/KVP).4
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari
VEP1 dan KVP. Adanya nilai VEP1/KVP < 70% disertai dengan hasil
tes bronkodilator yang menghasilkan nilai VEP1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
12

penyakit. VEP1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan
sebagai persentase dari nilai prediksi normal.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK
dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).

Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator


juga dapat menentukan klasifikasi penyakit PPOK. Klasifikasi tersebut
adalah :

Stage I : Ringan
Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian
bronkodilator menunjukan hasil rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai
VEP1 diperkirakan 80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan
atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas
derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.

Stage II : Sedang
Pada stage II, hasil rasio VEP1/KVP < 70% dengan perkiraan nilai
VEP1 diantara 50-80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan atau
tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas derajat
2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Stage III : Berat


13

Pada stage III,

dengan rasio VEP1/KVP < 70%, dan

nilai

menunjukkan VEP1 diantara 30-50% dari nilai prediksi. Sesak nafas


derajat 3 dan 4 dengan gagal nafas kronik, disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan.

Stage IV : Sangat Berat


Pada stage IV, rasio VEP1/KVP < 70%, nilai VEP1 diperkirakan
kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan
respirasi kronik.

o Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah


terjadi hipoksia kronik)
o Analisa gas darah
o Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi).
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk
kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan
aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Spirometri

dibutuhkan

untuk

diagnosis

klinis

PPOK

adanya

postbronchodilator VEP1/KVP<0.70 mengindikasikan adanya keterbatasan


aliran udara dan PPOK.
Catatan : Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu

disingkirkan

kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru, dan


sindrome obtruktif pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara
klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri.
Sedangkan penegakkan diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold
tahun 2014, dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas kesehatan lainnya yang
memiliki spirometri.

14

F. Diagnosis Banding
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
3. Pneumothoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena
terapi dan prognosisnya berbeda.
Tabel 2. Perbedaan asma, PPOK, dan SOPT

G. TATALAKSANA
1. Non Farmakologis
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi
riwayat dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk
berhenti merokok.4,5
Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti
merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti
merokok hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin,

15

inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan
varenicline,

bupropion

atau

nortriptyline

dengan

baik

meningkatkan

penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada
placebo.4
Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan
membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan
berulang. Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus
didorong untuk tetap aktif.4
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan
mengeleminasi atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari
atau mengurangi polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan
pemanasan atau memasak diruangan yang ventilasinya buruk, sarankan pasien
untuk memperhatikan pengumuman publik tentang tingkat polusi udara. Semua
pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan disarankan
untuk selalu aktif.4,5
2. Terapi farmakoligis pada PPOK 1,4,5
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan
harus spesifik terhadap setiap pasien, karena

gejala dan keparahan dari

keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi


keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status kesehatan secara umum.
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting )
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Golongan agonis beta 2

16

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan

memperkuat

efek

bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.


Disamping

itu

penggunaan

obat

kombinasi

lebih

sederhana

dan

mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Tabel 3. Pengguanaan bronkodilator sesuai dengan gejala

17

b. Anti inflamasi
Kortikosteroid

inhalasi

dipilih

pada pasien PPOK dengan

FEV1<60%, pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat


mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan
pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa
menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terapi monoterm

jangka

panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan.


c. Antibiotik

18

Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan


eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat, dan hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan :
Lini I :

Lini II :

Amoksisilin
Makrolid
Amoksisilin dan asam klanuvalat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru

d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen 1,4,5
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya
Indikasi
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi


oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
19

tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90%.

DAFTAR PUSTAKA
1. KEMENKES RI NO 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman
Pengendalian

Penyakit

Paru

Obstruktif

Kronik

http://www.btklsby.go.id/wp-content/uploads/2010/07/kepmenkes-1022-thn2008-ttg-pedoman-pengendalian-ppok.pdf.

20

2. Oemiati, Ratih., 2013., Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif


Kronik (PPOK). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88 ;
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=87006&val=4883.
3. Suradi., 2007., Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(Ppok) Tinjauan Patogenesis, Klinis Dan Sosial. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas

Sebelas

Maret

http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf.
4. Putra, Wijaya I P., Artika, Made I D., 2011., Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit

Paru

Obstruktif

Kronis.,

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4872/3658.
5. PDPI., 2003., Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok ) Pedoman
Diagnosis

Dan

Penatalaksanaan

Di

Indonesia.

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai