IDENTITAS PASIEN
Nama / No.CM
: Ny. K / 16533218
Umur
: 53 tahun
Alamat
: Ngemplaksuren 008/004 Karangduren Sawit Boyolali
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pekerjaan
Tanggal Masuk
: 31 Desember 2016
: Autoanamnesis
: bicara pelo mendadak
: disangkal
: disangkal
: (-)
Riwayat Mondok
: (-)
: disangkal
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
: disangkal
1
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: (+)
: disangkal
Riwayat Olahraga
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
Vital Sign
Kulit
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
: Mesocephal
: Hitam sebagian putih, tidak mudah dicabut
: Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
langsung dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm),
Telinga
Hidung
Leher
Thoraks
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Paru (anterior )
Inspeksi statis
Inspeksi dinamis
Palpasi
Perkusi
: Sonor/sonor
Auskultasi
Paru (posterior)
Inspeksi statis
Inspeksi dinamis
Palpasi
Perkusi
: Sonor/sonor
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: Tympani
Palpasi
Ekstremitas
Oedem _
Akral dingin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah tanggal 11 Januari 2016
Hb
: 15,7 gr/dl
(12.0-16.0)
Ht
: 45 %
(37-47)
Antal Leukosit
: 7940/uL
(4.800-10.800)
Antal Trombosit
: 351.000/uL
(150.000-450.000)
GDS
: 120 mg/dl
(60-140)
Ureum
: 18 mg/dl
(10-50)
Creatinin
: 0.82 mg/dl
(0.6-1.1)
SGOT
: 21 U/L
(<31)
SGPT
: 18 U/L
(<31)
HbsAG
: Non Reaktif
Foto EKG
DIAGNOSIS
Hemiparesis dekstra DD SNH, SH
Hipertensi Emergency
TERAPI
Oksigen 3 liter/menit
Inf. Asering 20 tpm
Inj. Citicholin 500 mg/6 jam
Nimotop 3x2
Neurodex 1x1 pagi
Clopidogrel 1x1 siang
Aspirin 100 mg 1x1 sore
Fluoxetin 1x1 sore
MRS Saraf
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,2,4
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.1 Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan
suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.5
B. Epidemiologi
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan
relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini.1,2
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik
(debu, sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan
baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta,
sebagainya diperkirakan mencapai 19%.2
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan
kontribusi 1 3% pada pasien PPOK.1,2 Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif
jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.
7
Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.1
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang : Infeksi saluran napas akut adalah
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita
anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan
terjadinya PPOK.2,3
D. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas
keperifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama.
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah.
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.3,4
Sumber : http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf
Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi
destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru.
Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum
interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling
jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama
yang
menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan
daya elastisitas dan kekuatan tensil paru. Destruksi serat elastin merupakan
penyebab timbulnya hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi
deposisi dan bentuk remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada
emfisema.3
E. Diagnosis dan Klasifikasi (derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain).
Diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan
diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)
1. Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :
a. Anamnesis :
1) Ada faktor risiko
o Usia (pertengahan)
o Riwayat pajanan
Asap rokok
Polusi udara
10
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi
Ekspirasi memanjang
11
Ronki
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
o Radiologi (foto toraks)
Diafragma mendatar
Bulla
Jantung pendulum
diagnosis,
melihat
perkembangan
penyakit,
dan
Paksa 1 detik (VEP1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus
dilakukan (VEP1/KVP).4
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari
VEP1 dan KVP. Adanya nilai VEP1/KVP < 70% disertai dengan hasil
tes bronkodilator yang menghasilkan nilai VEP1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
12
penyakit. VEP1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan
sebagai persentase dari nilai prediksi normal.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK
dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
Stage I : Ringan
Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian
bronkodilator menunjukan hasil rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai
VEP1 diperkirakan 80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan
atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas
derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
Stage II : Sedang
Pada stage II, hasil rasio VEP1/KVP < 70% dengan perkiraan nilai
VEP1 diantara 50-80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan atau
tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas derajat
2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
nilai
dibutuhkan
untuk
diagnosis
klinis
PPOK
adanya
disingkirkan
14
F. Diagnosis Banding
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
3. Pneumothoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena
terapi dan prognosisnya berbeda.
Tabel 2. Perbedaan asma, PPOK, dan SOPT
G. TATALAKSANA
1. Non Farmakologis
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi
riwayat dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk
berhenti merokok.4,5
Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti
merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti
merokok hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin,
15
inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan
varenicline,
bupropion
atau
nortriptyline
dengan
baik
meningkatkan
penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada
placebo.4
Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan
membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan
berulang. Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus
didorong untuk tetap aktif.4
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan
mengeleminasi atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari
atau mengurangi polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan
pemanasan atau memasak diruangan yang ventilasinya buruk, sarankan pasien
untuk memperhatikan pengumuman publik tentang tingkat polusi udara. Semua
pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan disarankan
untuk selalu aktif.4,5
2. Terapi farmakoligis pada PPOK 1,4,5
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi
keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan
harus spesifik terhadap setiap pasien, karena
16
memperkuat
efek
itu
penggunaan
obat
kombinasi
lebih
sederhana
dan
mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Tabel 3. Pengguanaan bronkodilator sesuai dengan gejala
17
b. Anti inflamasi
Kortikosteroid
inhalasi
dipilih
jangka
18
Lini II :
Amoksisilin
Makrolid
Amoksisilin dan asam klanuvalat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen 1,4,5
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya
Indikasi
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90%.
DAFTAR PUSTAKA
1. KEMENKES RI NO 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman
Pengendalian
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronik
http://www.btklsby.go.id/wp-content/uploads/2010/07/kepmenkes-1022-thn2008-ttg-pedoman-pengendalian-ppok.pdf.
20
Sebelas
Maret
http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf.
4. Putra, Wijaya I P., Artika, Made I D., 2011., Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronis.,
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4872/3658.
5. PDPI., 2003., Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok ) Pedoman
Diagnosis
Dan
Penatalaksanaan
Di
Indonesia.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
21