Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai abses kelenjar bartolini,
Bartholinitis merupakan infeksi kelenjar bartholini yang letaknya bilateral pada
bagian dasar labia minor . Pada kasus ini pasien berusia 22 tahun mengeluhkan
benjolan yang membesar dan sangat nyeri di labia minora dextra serta mengganggu
aktivitas, Pasien juga mengeluh mengalami leukorhea, kekuning-kuningan, banyak
dan berbau dalam beberapa bulan terakhir. Terdapat riwayat febris 3 hari sebelum
masuk rumah sakit namun membaik dengan obat antipiretik. Pada pemeriksaan
genitalia tampak massa berfluktuasi di labia minora dextra, hiperemis, teraba hangat
dibanding daerah lainnya konsistensi kenyal dengan ukuran 5 x 3cm dan nyeri tekan
(+).
Epidemiologi kista bartholini kebanyakan terjadi pada wanita usia reproduktif,
antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada
wanita yang lebih tua atau lebih muda. Pada pasien ini, pasien berumur 22 tahun dan
termasuk dari usia reproduktif, sehingga dari segi epidemiologi sudah sesuai, selain
itu dari riwayat higienitas pasien termasuk memiliki status higienitas yang buruk
terbukti dari riwayat keputihan yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.
Keadaan ini dapat menjadi media yang baik bagi mikrobakteri untuk hidup sehingga
menimbulkan sumbatan dan infeksi pada kelenjar bartolini.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh telah sesuai
dengan teori tanda dan gejala kelenjar bartholini yang telah terinfeksi. Keluhan
pasien pada umumnya adalah adanya benjolan, nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas
fisik, atau berhubungan seksual, dapat terjadi ruptur spontan, teraba massa unilateral
pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi, atau terkadang tegang
dan keras, umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan
mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan

24

adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal, biasanya ada sekret di vagina, kira-kira
4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh
bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual. Pada pasien ini terdapat riwayat
febris dan rupture spontan namun riwayat hubungan seksual disangkal oleh pasien.
Febris merupakan salah satu respon tubuh terhadap suatu kondisi infeksi, kondisi
infeksi ini juga diperkuat dengan hasil pemeriksaan penunjang berupa peningkatan
jumlah leukosit diatas normal yakni sebesar 15,1 x103/L.
Pada bartholinitis akut, kelenjar membesar, merah, nyeri dan lebih panas dari
daerah sekitarnya.. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya,
atau jika duktus tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadangkadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa
diatasi dengan antibiotik, jika sudah bernanah akan mencari jalan sendiri atau harus
dikeluarkan dengan sayatan. Radang pada kelenjar bartholin dapat terjadi berulangulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista bartholin.
Tatalaksana operatif yang dilakukan pada pasien ini adalah tindakan insisi
abses dan marsupialisasi. Menurut teori abses bartholin memerlukan drainage kecuali
kalau terjadi rupture spontan. Pada pasien ini telah terjadi ruptur spontan namun
hanya pada sebagian kecil bagian lesi sehingga insisi tetap dilakukan sepanjang lesi
tersebut. Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi hanya digunakan
pada kista bartholin. Namun sekarang digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin
karena memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik
membuat muara saluran kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari
pemasangan word kateter. Keuntungan dari marsupialisasi adalah komplikasi lebih
kecil dari ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Komplikasi berupa
dispareuni, hematoma, infeksi.
Pemberian antibiotik seharusnya disesuaikan dengan bakteri penyebab yang
dapat diketahui secara pasti dari hasil pengecatan gram maupun kultur pus dari abses

25

kelenjar bartholin. Namun pada pasien ini pemeriksaan tersebut tidak dilakukan.
Namun terapi yang diberikan untuk mengobati infeksi dan gejala pada pasien ini
sesuai dengan teori bahwa antibiotik yang bisa digunakan adalah antibiotik yang
berspektrum luas dan diberikan antinyeri untuk mengurangi keluhan nyeri pada
pasien ini. Diberikan terapi sebelum operasi antibiotik Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV
dan antinyeri berupa Ketorolac 1 Ampul/8jam/IV. Ceftriaxone adalah sefalosporin
generasi ketiga dengan efisiensi spektrum luas terhadap bakteri gram-negatif, efficacy
yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi
terhadap bakteri resisten. Setelah operasi obat antibiotik yang diberikan Cefadroxil 2
x 1, serta obat antinyeri asam mefenamat 3 x 500mg dan sangobiat sebagai vitamin.
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien sebelum pulang dapat berupa edukasi
untuk melakukan perawatan luka dengan baik dan menjaga higienitas diri terutama
daerah genital. Menurut teori jika abses dengan didrainase dengan baik dan
kekambuhan dicegah, prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan
kurang dari 20%.

26

Anda mungkin juga menyukai