Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon.
Tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui
vagina setiap bulan pada seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan
hormonal secara siklik terhadap endometrium.1,2,3,4Amenorea adalah keadaan tidak
haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Ada yang membagi berdasarkan
amenorea fisiologik (prapubertas, hamil, laktasi, pasca menopause) dan amenorea
patologik (amenorea primer, amenorea sekunder) 1, dan ada yang menggolongkan
menjadi amenorea primer, amenorea sekunder dan menopause. Amenorea primer
menunjukkan suatu kelainan medis yang bermakna disebabkan oleh genetik,
anatomik, atau endokrin yang mempunyai prevalensi 1-2 % 2. Hal ini terjadi pada
usia 14 tahun dengan tidak adanya pertumbuhan tanda-tanda kelamin sekunder
(pertumbuhan payudara, rambut pubis dan rambut ketiak) atau pada usia 16 tahun
yang telah tampak tanda-tanda kelamin sekunder, atau tidak haid selama 3 tahun
setelah thelarche.1,2,
Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus,
hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer
umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk
diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak
adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya
pada ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid
(menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5
tahun. Statistik menunjukkan bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan,
keadaan gizi, dan kesehatan umum.5

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi
menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karakteristik seksual
sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan
karakteristik seksual sekunder. Amenorea primer menunjukkan suatu kelainan
medis yang bermakna disebabkan oleh genetik, anatomik, atau endokrin yang
mempunyai prevalensi 1-2 %. 2,5,6
2.2 Etiologi
Amenore primer biasanya disebabkan oleh adanya kelainan genetik atau
anatomi. Penyebab amenore primer termasuk disfungsi hipotalamus atau hipofisis
[misalnya, keterlambatan konstitusional, prolaktinoma, sindrom Kallman (cacat
hormon gonadotropin-releasing [GnRH] produksi dengan amenore primer dan
anosmia)], disgenesis gonad [misalnya, sindrom Turner (45, XO, lymphedema
pada saat lahir, leher berselaput, perawakan pendek, dada lebar perisai spasi
puting susu), 17-hidroksilase defisiensi XX (hipertensi, hipokalemia)], ovarium
gagal (misalnya, paparan terhadap agen virus, racun, radioaktif, atau kemoterapi),
ovarium polikistik sindrom (amenore, oligomenore, hirsutisme, obesitas, jerawat),
anomali kongenital pada vagina (misalnya, Rokitansky sindrom, sindrom
insensitivitas androgen, agenesis serviks, hipoplasia endometrium), kelainan
kongenital pada vagina (misalnya, agenesis, pembentukan septum, himen
imperforata ), disfungsi tiroid, hiperplasia adrenal (misalnya, 21-hidroksilase, 11bhidroksilase, 3b-hydroxycorticosteroid kekurangan dengan menarche tertunda,
oligomenore, dan hirsutisme).5,7
Penyebab amenore primer yang terbanyak adalah hipogonadisme
hipergonadotropik (48,5% dari kasus), hipogonadisme hipogonadotropik (27,8%),
dan eugonadism (keterlambatan pubertas dengan gonadotropin normal, 23,7%).
[16]8. Kategori hipogonadisme hipergonadotropik mencakup pasien dengan
kromosom seks yang abnormal (yaitu, sindrom Turner), yang merupakan 29,7%
2

dari semua kasus amenore primer, dan mereka dengan kromosom seks yang
normal. penyebab yg lain yaitu, Kelompok terakhir mencakup kedua pasien yang
46, XX (15,4%) dan mereka yang 46, XY (3,4%).5
Eugonadism mungkin hasil dari kelainan anatomi atau gangguan
interseks. Termasuk tidak adanya kelainan anatomi kongenital rahim dan vagina
(CAUV; 16,2%) dan serviks atresia (0,4%). Gangguan interseks termasuk
insensitivitas androgen (1,5%), 17-ketoreductase defisiensi (0,4%), dan umpan
balik yang tidak pantas (5,3%).5
Table Primary Amenorrhea: Frequency of Etiologies

Presentation

Frequency (%)

Hypergonadotropic hypogonadism

43

45,X and variants

27

46,XX

14

46,XY

Eugonadism

30

Mllerian agenesis

15

Vaginal septum

Imperforate hymen

AIS

PCOS

CAH

Cushing and thyroid disease

Low FSH without breast development

27

Constitutional delay

14

GnRH deficiency

Other CNS disease

Pituitary disease

Eating disorders, stress

AIS = androgen insensitivity syndrome; CAH = congenital adrenal hyperplasia;


CNS = central nervous system; FSH = follicle-stimulating hormone; GnRH =
gonadotropin-releasing hormone; PCOS = polycystic ovarian syndrome.
A.

Disfungsi hipotalamus (hipogonadisme hipogonadotropik)1


3

Penekanan sekresi GnRH - penyebab paling sering

Hal ini menyebabkan FSH dan LH rendah dan sehingga menyebabkan


estrogen rendah dan tidak terjadi withdrawell bleeding yang menyertai
perubahan progesteron

Sindrom Kallmann

Amenore dengan anosmia


Disebabkan oleh mutasi dari lengan pendek kromosom X yang
mengkode protein yang bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi yang

diperlukan untuk migrasi neuronal


Sel yang memproduksi GnRH berasal di daerah penciuman dan
bermigrasi selama embriogenesis sepanjang saraf tengkorak yang

B.

menghubungkan hidung dan otak depan


frekuensinya 5 sampai 7 kali laki-laki lebih dari perempuan
Mungkin terkait-X, autosom dominan, autosom resesif atau
SSP tumor - hamartomas
Disfungsi hipofisis - hipogonadisme, hipogonadisme, yaitu FSH rendah, LH
dan estrogen rendah.

C.

Kegagalan ovarium (hipogonadisme hipergonadotropik) - peningkatan FSH


dan LH
-

Didefinisikan sebagai kegagalan ovarium pada usia <40 tahun.

Karena penurunan jumlah folikel ovarium

etiologi

autoimun - perlu mengevaluasi untuk gangguan autoimun lain,


terutama tiroid, adrenal

Infeksi - seperti gondok ooforitis

Iradiasi atau kemoterapi

Kastrasi

kel. kromosom

Disgenesis gonad
non androgenic
-

Paling umum penyebab amenore primer

Kariotipe jika usia <30 tahun

45 xo ( s. turner )

Mungkin kariotipe normal (45, X, atau mosaik) atau mungkin yang


normal

46 abnormal x delesi lengan pendek/ panj.

mosaik ( x/xx, x/xx/xxx, x/xy

Jika Y hadir kromosom, bahkan dalam mosaik, gonad perlu dihapus


untuk mencegah pembentukan tumor atau virilisasi

disgenesis gonad terkait dengan kariotipe normal adalah juga terkait


dengan tuli saraf (sindrom Perrault)

46 xx atau 46 xy ( murni gonadal disgenesis )

46 xx dg def. 17 hidrok- silase

androgenik
- 45x/ 46 xy
- 45x/ 46x ( yq )
- 45x (testicular determinant position )
D. Gangguan saluran rahim atau keluar - normal FSH, LH dan prolaktin, tidak ada
perdarahan setelah pemberian progesteron
Miillerii anomali
-

Diskontinuitas oleh gangguan segmental tabung Miillerii, pemusnahan


yaitu lubang vagina, vagina transversal lengkap septa, adanya leher
rahim, selaput dara imperforata

Tidak adanya rahim di normal (46, XX) perempuan - MayerRokinatsky-Kuster-Hauser sindrom

Yang paling umum menyebabkan 2 dari amenore primeR


Pengembangan Miillerii dengan adanya bawaan dari rahim dan /
atau vagina

Anomali Miillerii sering dikaitkan dengan anomali saluran kemih,


termasuk ginjal ektopik, agenesis ginjal, ginjal tapal kuda, dan
duktus pengumpul yang abnormal (. Ingat, sistem genital dan
saluran kencing berkembang di dekat dan waktu selama
embriogenesis) juga Mungkin berhubungan dengan anomali tulang
5

- Tidak adanya rahim pada seorang laki-laki perempuan, tapi genotip fenotip
(46, XY) - disebut testicular feminization - insensitivitas androgen

Pria pseudohermafrodit

3 penyebab paling umum dari amenore primer

terkait-X gangguan resesif dari gen yang bertanggung jawab untuk


reseptor androgen intrasel, karena itu, meskipun tingkat testosteron
laki-laki normal, ada kurangnya tindakan testosteron

Pasien muncul wanita normal pada saat lahir kecuali kemungkinan


adanya hernia inguinalis. Pertumbuhan dan perkembangan normal,
kecuali cenderung eunuchoid (lengan panjang, tangan yang besar
dan kaki) dan tinggi. (Biasanya Mei menjadi aktris!) Payudara
besar dengan sedikit jaringan kelenjar. Absen uteri, dan vagina
adalah kanal buta dan biasanya pendek. Testis perut atau hernia
inguinalis

Ini adalah satu kekecualian untuk menghapus X, Y gonad dalam


wanita fenotipik sesegera didiagnosis. Pasien-pasien ini harus
memiliki gonad dihapus setelah pubertas, karena memungkinkan
untuk pengembangan lebih normal pubertas, dan tumor testis pada
pasien ini belum ditemui sebelum pubertas1

2.3 Diagnosis
Evaluasi Amenorea
Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguangangguan yang bermacam-macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat
berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang
beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas kesehatan mampu
melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenisjenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga
yang dapat ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana.
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus
diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu
diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat

menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut


atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.4
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama;
keadaan tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang
berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi, apakah ciri-ciri kelamin
sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua
ini penting untuk pembuatan diagnosis.

Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya


berbagai jenis ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri,
adanya tumor, ovarium dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik,
banyak kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik
tidak memberi gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan.
pemeriksaan yg biasanya dilakukan7
1. Amenore Primer Rahim (+), Payudara (-): folikel stimulating hormone
serum (FSH) diperiksa. Jika FSH adalah tinggi, diagnosis disgenesis
gonad.

Jika

tingkat

FSH

rendah,

diagnosis

gangguan

hipotalamus/hipofisis.
2. Amenore primer - Rahim (+), Pengembangan Payudara Normal: Sebuah
kariotipe dilakukan. Jika kariotipe adalah XY, diagnosis sindrom
insensitivitas androgen (misalnya, testis feminisasi). Jika kariotipe adalah
XX, diagnosis adanya bawaan rahim.
3. Amenore primer Rahim (+), Pengembangan Payudara Normal: Tingkat
prolaktin serum ditentukan. Jika tingkat tinggi, lesi hipofisis (misalnya,
prolaktinoma) dicurigai dan kepala dihitung tomografi (CT) scan atau
pencitraan resonansi magnetik (MRI) scan diindikasikan. Jika tingkat
prolaktin adalah normal, perlu dilakukan pengujian progesteron :
-

Jika perdarahan terjadi pada pemberian progresterone dan


luteinizing hormone (LH) meninggkat tinggi, diagnosis sindrom
ovarium polikistik

jika perdarahan terjadi pada pemberian progesteron dan tingkat LH


normal, gangguan hipotalamus

jika tidak terjadi pendarahan pada tantangan progesteron dan


tingkat FSH adalah tinggi, diagnosis kegagalan ovarium

jika perdarahan tidak terjadi pada tantangan progesteron dan FSH


yang adalah normal untuk tingkat rendah, diagnosis gangguan
hipotalamus / hipofisis.

4. Amenore primer - Rahim (-), Tidak Pengembangan Payudara:


kariotipe adalah XY. Pasien telah baik defisiensi 17-hidroksilase atau
agonadism (17,20-desmolase defisiensi).
Clinical State, Serum FSH, Serum LH1
Clinical State

Serum FSH

Normal adult female

5-20 IU/L, with the 5-20 IU/L, with the


ovulatory

Serum LH

midcycle ovulatory

midcycle

peak about 2 times

peak about 3 times

the base level

the base level

Hypogonadotropic Less than 5 IU/L

Less Than 5 IU/L

state:
Prepubertal,
hypothalamic, or
pituitary dysfunction
Hypergonadotropic

Greater than 20 IU/L

Greater than 40 IU/L

state:
Postmenopausal,
Castrate,or
Ovarian failure
Speroff L, Glass RH, Kase NG

Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih


informasi yang diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu
8

tersebut, dijabarkan dari latar belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar
endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak
digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap.
Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali
terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu
dilakukan investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari
pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin,
dan tes provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa
melupakan riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran
prolaktin serta perlu ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada
sella tursika.1
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita
hipotiroid yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan
melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan
hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah
dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea,
pengukuran TSH dianjurkan.1
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan
menyebabkan hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen
menggambarkan tumor dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella
tursika). Penderita dengan hipotiroid primer dan hiperprolaktinemia dapat
muncul dengan amenorea primer maupun amenorea sekunder.1
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen
endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang
dilakukan oleh Davajan dkk adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron
dalam larutan minyak atau medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral
selama tiga hari. Respon pemberian progesteron dinilai 214 hari setelah
pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH serum. Speroff melakukan uji
progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian progesteron secara parenteral

dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan medroksiprogesteron
asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.1
Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan
terjadi perdarahan. Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada
dalam batas normal dan adanya uterus yang endometriumnya reaktif terhadap
estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi
yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat. Dengan tidak
adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH yang
normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.1
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif
walaupun terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi,
endometrium mengalami reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi
pelepasan mengikuti penghentian secara tiba-tiba dari pemberian progesteron
eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi desidua dari endometrium
sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada keadaan kedua
merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami reaksi
desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan
kekurangan enzim adrenal spesifik.1
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang
dari 20 pg/ml), evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika
prolaktin meningkat, evaluasi dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam
kerangka ini, pernyataan berikut dapat dijadikan petunjuk praktis klinik:
pendarahan positif membutuhkan pengobatan progesteron, dan tanpa adanya
galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat dijadikan petunjuk bahwa
kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.1Kenaikan sekresi prolaktin
menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis. Untuk menjadi
pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan sekresi
ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma selsel renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan
hiperprolaktinemia serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding
kista dermoid ovarium.1
B. Langkah 2
10

Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti


pada langkah di atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau
perkembangan estrogen dari endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain
untuk membuat klarifikasi terhadap situasi ini. Pemberian estrogen oral,
estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara kwantitatif maupun
durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang aktif dari
uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg
estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah
progesteron yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap
hari selama 5 hari terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.1,3
Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita
dengan amenorea tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi,
diagnosis dari kerusakan pada kompartemen I (endometrium, aliran
pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan terjadi, bisa diasumsikan bahwa
kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang normal jika mendapat
rangsangan esterogen.1
Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan
eksterna yang normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan
tanpa adanya latar belakang infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak
didapatkannya ketidaknormalan dari aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya.
Masalah aliran pengeluaran termasuk kerusakan endometrium, secara umum
sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau akibat dari infeksi, atau
akibat amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas pada duktus
Mulleri.1
C. Langkah 3
Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang
memadai. Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal
dan hormon hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan.
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting
(gonadotropin atau aktifitas folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1
Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada
pasien. Karena langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar
11

gonadotropin endogen mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2


minggu setelah langkah 2 mesti dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3,
pengujian gonadotropin.1
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen
menyebabkan kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis
syaraf pusat-hipofisis (kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin
pada wanita amenorea yang tidak mengalami pendarahan setelah pemberian
pemicu progestagen akan menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang
tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang normal.1
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu
sistem yang memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi
yang normal tergantung. Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik
yang memilah penyebab amenorea dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).
2.4 Macam-Macam Kelainan pada Amenorea Primer
1. Gangguan Pada Kompartemen I
A. Anomali duktus Mulleri
Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan
segmental dari tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung
dapat menentukan ada tidaknya himen imperforata, obliterasi
orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis vaginalis. Keadaan
lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa
terbentuknya

kavum

uteri,

atau

terdapat

kavum

uteri

tetapi

endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan


kongenital yang disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang
didasarkan pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri
yang

disertai

distensi

dari

hematokolpos,

hematometra,

atau

hematoperitoneum.

12

Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan


pada keadaan yang disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus
Mulleri biasanya dapat dicapai dengan pembedahan. Sayangnya dapat
terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi operatif terhadap massa yang
nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung kencing, ureter, dan
rektum.1,3,4,8
Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum
koreksi bedah dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat
dilakukan untuk mengetahui abnormalitas anatomik yang akurat.
Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi
bedah.1
B. Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-RokitanskyKuster-Hauser syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan
keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini
relatif sering sebagai penyebab amenorea primer, lebih sering dari pada
insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan
disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau
adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak
mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga
uterusnya rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity,
penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena
adanya kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria,
diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal
perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal
tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan
penderita normal.1,4
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan
ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya
struktur uterus tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak
jelas,

merupakan

indikasi

untuk

dilakukan

pemeriksaan

MRI.

Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih


13

akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak


invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri
tidak

diperlukan

kecuali

kalau

menimbulkan

masalah

seperti

berkembangnya uterine fibroid, hematometra, endometriosis, atau


herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.1,9
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan,
maka bila memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk
melakukan konstruksi bedah dengan membuat vagina artifisial.
Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan dilatasi yang progresif
seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh
Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah
2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator
vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari. Dengan menggunakan
dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang fungsional dapat
terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif ditujukan bagi
penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank,
atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas
masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat
diidentifikasi dengan adanya simptom retained menstruation. Ada juga
yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial yang
gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia,
uterus harus diangkat.1,2
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan
kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan
frekuensi urin. Septum transversalis dapat dibedakan dari himen
imperforata dengan kurang-nya distensi introitus pada manuver
Valsava.1,2
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal
merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan
emergensi. Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi
infertilitas sebagai akibat perubahan peradangan dan endometriosis.
Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik
14

dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat


menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.1
C. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)
Insensitifitas

androgen

komplit

(sindroma

feminisasi

testikuler)

merupakan diagnosis yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis


vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan ini merupakan
penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan
agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan
pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada gonad yang
dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY.
Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan
jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi
dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan
ketiak.1,2,3,4,7
Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria
dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat
meliputi suatu spektrum dengan bentuk insensitifitas androgen yang
inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-linked recessive gene yang
bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler.1 Diagnosis
klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut: 4
- anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali
mengalami parsial descensus
- penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
- penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya
hernia inguinal, dan penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia
pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal. Payudara abnormal
dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan
areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia
minora biasanya kurang berkembang, dan blind vagina kurang dalam

15

daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan


fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel.1
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita,
maka kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang
berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan karena
10% dari kasus dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila
telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan
pengobatan substitusi hormon.3,4
2. Gangguan Pada Kompartemen II
A. Sindroma Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan
sindroma yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck,
dan kubitus valgus. Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna
wanita dengan klitoris agak membesar pada beberapa kasus, sehingga
mereka dibesarkan sebagai wanita.1,3,4
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif.
Pola kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian
dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara
10.000 kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa
jaringan parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang
dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa,
berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen.1,3,4
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat
dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai
dengan puting susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut
ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis
aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki
pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan
hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi,
estrogen hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batasbatas normal atau rendah.4
16

Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik


berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada
kasus-kasus yang meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang
penting yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga sindrom
Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan pertumbuhan tandatanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.4
Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan
substitusi yang bertujuan untuk: 4
1. Merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama
pertumbuhan payudaran.
2. Menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus
sudah berkembang
3. Mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak
mungkin untuk mendapat keturunan
4. Alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.
Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan
progestagen secara siklis sampai masa menopause atau pascamenopause.
Berhubung

dengan

kemungkinan

bahwa

pemberian

estrogen

mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur sehingga


menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis
epifisis sudah terjadi.1,4
B. Disgenesis gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri
yang

teraba,

kadar

testoteron

wanita

normal

dan

kurangnya

perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer. Terdapat


vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas gagal terjadi
perkembangan mammae

dan

amenorea

primer. Gonad hampir

seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat


kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad
primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi
testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad
17

mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi


sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas.
Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor
pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal
streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa
memandang usia.1

C. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad
pada keadaan agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis
gonad XY atau sindroma regresi testis embrionik. Pada sindroma yang
langka ini, genitalis eksterna sedikit meragukan, namun hampir
menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia, derajat tertentu
fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada
perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia
pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin
meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi
ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga
mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel
leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan
saja apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad
tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh
pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa
hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali.
Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk
menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.
D. Sindroma ovarium resisten

18

Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan
gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang
dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium
hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum
seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya
gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat
proses autoimun.3,10
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin
ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan
histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang
terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea,
sedangkan

secara

laboratoris

dijumpai

hipergonadotropin

dan

hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur


jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih
utuh.3
Jarang

terjadi

penderita

amenorea

disertai

peningkatan

kadar

gonadotropin walaupun terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak


ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk sampai pada
diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi histologis ovarium
yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikelfolikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun.
Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat
hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi,
Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan
laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea,
gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.1
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka
pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan
pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron. 3
E. Premature ovarian failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium
yang terjadi lebih awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan
19

mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun, dan pada wanita


dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara 10%-28%. Etiologi
POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan merupakan
akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel.
Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi.
Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh
mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang spesifik.
Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF
dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel
oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.1,11
Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada
jumlah folikel yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat,
akan terjadi amenorea primer dan terhambatnya perkembangan seksual.
Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah pubertas, kemudian
berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset terjadinya
amenorea sekunder akan sesuai.1
Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi
mulai laginya fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa
penderita-penderita ini akan steril selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan
biopsi ovarium full thickness tidak diperlukan pada semua pasien ini.
Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan survey
untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode
klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium
failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.1
3. Gangguan Pada Kompartemen III
A. Gangguan hipofisis anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita
harus tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya
amenorea, penderita dengan perkembangan tumor hipofisis yang perlahan
dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat
dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak
dijumpai. Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang
20

dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan


problem sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun
jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi
optici yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor
yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.1,4
Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan
deposit lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan
menyebabkan amenorea hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella
tursika seperti aneurisma arteri karotis, obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat
juga menyebabkan amenorea.1
VII. Gangguan pada kompartemen IV
A. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann
Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma
hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan
anosmia atau hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk
mempermudah mengingat gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai
sindroma amenorea dan anosmia. Pada wanita, gejala yang muncul berupa
amenorea primer, perkembangan seksual infantil, kadar gonadotropin
rendah, kariotipe wanita normal, dan ketidakmampuan untuk
mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak menyadari adanya
gangguan penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon
terhadap

gonadotropin;

dengan

demikian

induksi

ovulasi

dengan

gonadotropin eksogen bisa berhasil.1,2,6,7


Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik.
Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan
bahwa terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di
rhinencephalon. Defek ini mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan
GnRH neuronal bermigrasi dari placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang
memproduksi GnRH berasal dari area olfaktorius dan bermigrasi selama
embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang menghubungkan hidung dan
forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat mutasi yang melibatkan
gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi kode
21

pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi


neuronal.1,6,7

BAB III
Penutup
3.1 Ringkasan
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi
pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder
normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual
sekunder. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada
uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada
hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang
terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan
pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka
pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu
bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan
anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu
dimungkinkan.
Daftar Pustaka

1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and


infertility. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994: 401-456
2. Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY,
Hillard PA. Novaks gynecology. 12th edition. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1996: 820-832
22

3. Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam:


Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi.
Edisi pertama. Jakarta: Kelompok studi endokrinologi reproduksi
Indonesia bekerjasama dengan Media Aesculapius, 1993: 61-70
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
5. Lobo RA. Primary and secondary amenorrhea and precocious puberty:
Etiology, diagnostic evaluation, management. In: Katz VL, Lentz GM,
Lobo RA, Gershenson DM, eds. Comprehensive Gynecology. 5th ed.
Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier; 2007:chap 38.
6. Popat Vaishali. amenorhea.2011 diakses dari www.medscape.com
7. Ahmad, Primary Amenorrhea.com diakses dari www. medica culture.com
8. Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4 th edition. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1967: 101-136
9. Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of
mullerian remnants in a woman with congenital absence of the vagina.
Fertil Steril 1992, 57: 218-220
10. Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic
studies in a patient with resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42:
741-744
11. Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655

23

Anda mungkin juga menyukai