Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

I.

PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi
dalam dua macam yaitu :
a. Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera
primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang
timbul setelah trauma.

II. KLASIFIKASI
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank
berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan,
sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan
perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13-15 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang
dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan
hematoma.
2. Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9-12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3-8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Cedera Kepala Ringan adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak dengan nilai GCS 13
-15 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit
yang tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
Tabel Skala Koma Glasgow
Membuka Mata
Spontan

Terhadap rangsang suara

Terhadap nyeri

Tidak ada
Respon Verbal

Orientasi baik

orientasi terganggu

Kata-kata tidak jelas

Suara Tidak jelas

Tidak ada respon


Respon Motorik

Mampu bergerak

Melokalisasi nyeri

Fleksi menarik

Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak ada respon

III. Jenis - Jenis Cedera Kepala


1. Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu menghilangkan tenaga
benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang ditransmisikan ke dalam jaringan otak.
bentuk fraktur ini : fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian
kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur

tengkorak seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup
serius karena les dapat keluar melalui fraktur ini.
2. Cedera otak dan gegar otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna . Otak tidak dapat
menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan
oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral
membutuhkan suplay darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak
belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir
berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi. Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak
tengah yang menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada
kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi ringan,pusing ganguan
memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia rehogate,dan pasien sembuh cepat.
Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi.
3. Komosio serebral
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio
umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir
selama beberap detik sampai beberapa menit,getaran otak sedikit saja hanya akan
menimbulkan amnesia atau disonentasi.
4. Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan
adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema cerebral 2-3
hari post truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan
mortabilitas (45%).
5. Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi )
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara
tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur hilang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda
diantara

dura

dan

tengkorak

daerah

infestor

menuju

bagian

tipis

temporal.Hemorogi karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.

tulang

6. Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan oleh
truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan
aneusrisma. Hemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat
putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut,
subakut atau kronik.
a) Hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau lasersi
b) Hemotoma subdural subakut adalah suatu kontusio sedikit berat dan dicurigai pada
pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala.
c) Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor terjadi pada
lansia.
7. Hemotuma subaradinoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid dengan
diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka.
Sering kali bersifat kronik.
8. Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih pada
parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur, gerakan
akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.
IV. ETIOLOGI
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kecelakaan lalu lintas.


Benturan pada kepala.
Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.
Menyelam di tempat yang dangkal.
Olahraga yang keras.
Anak dengan ketergantungan.

V.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.

Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang
relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun
kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30
tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal
yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat
dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer.
Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan
jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru
akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan
sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena.
Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah
berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul
juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau
karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi
nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan sarafsaraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil.
Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.

VI. TANDA DAN GEJALA


a. Gangguan kesadaran
b. Konfusi
c. Abnormalitas pupil
d. Awitan tiba-tiba defisit neurologi
e. Perubahan tanda vital
f. Gangguan penglihatan dan pendengaran
g. Disfungsi sensory
h. Kejang otot
i. Sakit kepala
j. Vertigo
k. Gangguan pergerakan
l. Kejang
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT Scan dan Rontgen mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak
b. Angiografi serebral menjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma
c. X-Ray mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
d. Analisa gas darah mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
peningkatan tekanan intracranial.
e. Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intracranial

VIII. PENATALAKSANAAN MEDIS


Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis
(disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia
serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang
lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan
PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang
meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total.
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan
a) Dexamethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
b) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
d) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
4. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apaapa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak

terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan
dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan
diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari
nilai urenitrogennya.
IX. KOMPLIKASI
a. Perdarahan ulang
b.

Kebocoran cairan otak

c.

Infeksi pada luka atau sepsis

d.

Timbulnya edema serebri

e.

Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK

f.

Nyeri kepala setelah penderita sadar

g.

Konvulsi

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I.

Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung seberapa jauh dampak trauma kepala yang di sertai dengan penurunan
tinngkat kesadaran.
a. Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh dari dari
ketinggian dan trauma langsung kekepala. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadarn di hubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsif dan koma.
b. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung anemia, penggunaan obat-obat
anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
c. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM.

II.

Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

III.

Pola fungsi kesehatan (11 pola Gordon)


1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Bila mengalami sakit biasanya klien berobat ke Puskesmas atau bidan. Bila sakit
ringan seperti masuk angin kadang kadang klien membuat jamu sendiri. Klien tidak
pernah berobat ke dukun atau pengobatan alternatif lainnya. Klien mengatakan
kesehatan adalah hal yang penting dan ingin cepat sembuh agar bisa bekerja lagi.
2) Pola Nutrisi/metabolic

Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari, minum 6-8 gelas sehari.Sejak MRS
klien mengatakan tidak bisa makan dan minum karena mual-mual dan muntah. Sejak
kecelakaan sampai sekarang, klien sudah muntah 4 kali berisi sisa makanan, darah
(-). Siang ini klien sempat makan bubur 3 sendok tetapi berhenti karena mual
muntah. Minum dari tadi pagi 100 cc air putih.
3) Pola eliminasi
Sebelum MRS klien biasa BAB 1 kali sehari, BAK 7 8 kali sehari ( 1200-1500
cc). Sejak MRS di Ruang Ratna klien sudah BAK 2 kali dengan jumlah 200 cc
setiap kali BAK menggunakan pispot di atas tempat tidur. Sejak MRS klien belum
BAB.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergantung total.
Makan/minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat tidur
Berpindah
Ambulasi ROM
5) Pola tidur dan istirahat
Sebelum MRS klien biasa tidur 6-7 jam sehari dan tidak biasa tidur siang. Setelah
MRS klien mengatakan sering terbangun karena mual dan sakit kepala serta situasi
rumah sakit yang ramai.
6) Pola kognitif-perseptual
Klien mampu berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi jelas. Klien mengatakan
penglihatan cukup jelas tetapi tidak bisa membuka mata lama-lama karena masih
mengeluh pusingdan mual. Klien mengeluh telinga kiri terasa penuh berisi cairan
sehingga pendengaran agak terganggu. Tampak otore keluar dari telinga kiri. Klien
juga mengeluh sakit kepala seperti berdenyut-denyut terutama di bagian kanan dan
kadang-kadang disertai pusing-pusing. Klien tampak meringis terutama saat
bergerak. Skala nyeri 4-5 (sedang).
7) Pola persepsi diri/konsep diri
Klien mampu menyebutkan identitas diri dan orang di sebelahnya.
8) Pola seksual dan reproduksi
Klien sudah tiga tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak. Menstruasi teratur
setiap 28 -30 hari sekali. Klien tidak memakai alat kontrasepsi.

9) Pola peran-hubungan
Saat ini klien ditunggu oleh suaminya dan hubungan mereka terlihat baik. Keluarga
besar klien ada di Jawa. Di Bali klien punya beberapa famili dan teman-teman yang
sudah datang menjenguk klien tadi pagi.
10) Pola manajemen koping stress
Bila mempunyai masalah klien mengatakan biasa bercerita dan minta pendapat dari
suami dan teman-teman. Suami mengatakan klien cukup terbuka terhadap masalah
yang dialaminya.
11) Pola keyakinan-nilai
Klien dan suami beragama Islam dan biasa sholat setiap hari. Setelah MRS klien
IV.

hanya berdoa dari tempat tidur.


Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Keadaan Umum
Pada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
CKR atau COR dengan GCS 13-15, CKS dengan GCS 9-12, CKB dengan GCS 8.
a) BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya,
bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
b) BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c) BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia

seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada


ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d) BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
e) BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f) BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas
atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau
putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat
pula terjadi penurunan tonus otot.
V.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing
hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

Intervensi :
1) Tinggikan posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
2) Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan intrakranial:
3) Bila akan memiringkan klien, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan)
4) Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
5) Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari
percakapan yang emosional.
6) Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai
program.
7) Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral.
8) Monitor intake dan out put.
9) Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
10) Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
11) Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan klien dan jelaskan hal-hal yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak mengeluh nyeri,
dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1)

Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat

2)
3)
4)
5)
6)

dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya


kesadaran.

Tujuan : Kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi yang ditandai dengan berat badan
stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh
klien bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
1) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum, mengenakan
pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan
perseorangan.
2) Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
3) Perawatan kateter bila terpasang.
4) Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan
BAB.
5) Libatkan keluarga

dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan

demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan klien.


4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit
dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji intake dan out put.
2) Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
3) Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan : klien terbebas dari injuri.
Intervensi :
1)

Kaji status neurologis klien: perubahan kesadaran, kurangnya respon


terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan

menurun, dan kejang.


2)
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
3)
Monitor tanda-tanda vital klien setiap jam.
4)
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.

5)

Berikan analgetik sesuai program.

Anda mungkin juga menyukai