Anda di halaman 1dari 25

TUGAS

PRAKTIKUM PHARMACEUTICAL CARE


HIPERTENSI
MALARIA

OLEH:
NAMA
NIM
KELAS
HARI

: RAHMA WATI
: 163202104
:B
: SELASA

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016

HIPERTENSI
1.

Pengetian
Hipertensi

dikenal

secara

luas

sebagai

penyakit

kardiovaskular.

Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju.1
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal
maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap
tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke
dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang
(Bakti Husada, 2006).
Pengertian hipertensi secara umum dapat didefinisikan sebagai tekanan
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Palmer,
2007). Tekanan darah manusia secara alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan
darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten.
Tekanan darah tersebut membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai
darah (termasuk jantung dan otak) menjadi tegang (Palmer, 2007).
Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena
alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai silent killer. Tanpa
disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung,
otak ataupun ginjal.
Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan
sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan
darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna.
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi
mereka, dan hanya 31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang
diinginkan dibawah 140/90 mmHg.3 Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan
kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari bahwa dirinya
menderita hipertensi dan yang tidak mematuhi minum obat kemungkinan lebih
besar.

2.

Klasifikasi Tekanan Darah


Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur 18 tahun menurut

JNC 6 dan JNC 7

Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120140 mmHg


tekanan sistolik dan 80 90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan
mengidap hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg. Sedangkan menurut
JNC VII 2003 ( The seventh report of the joint National on Prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure) tekanan darah pada orang
dewasa dengan usia diatas 18 tahun diklasifikasikan menderita hipertensi stadium
I apabila tekanan sistoliknya 140 159 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 99
mmHg. Diklasifikasikan menderita hipertensi stadium II apabila tekanan
sistoliknya lebih 160 mmHg dan diastoliknya lebih dari 100 mmHg sedangakan
hipertensi stadium III apabila tekanan sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan
tekanan diastoliknya lebih dari 116 mmHg (Palmer, 2007).
3.

Jenis Hipertensi
Jenis tekanan darah tinggi terbagi menjadi dua jenis, yaitu (Palmer, 2007):
1. Hipertensi esensial (primer) --- Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus
tekanan darah tinggi, sekitar 95%. Penyebabnya tidak diketahui dengan

jelas, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti


kurang bergerak dan pola makan.
2. Hipertensi sekunder --- Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari
seluruh kasus tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan
oleh kondisi medis lain (misalnya penyakit ginjal) atau reaksi terhadap obatobatan tertentu (misalnya pil KB).
4.

Penyebab hipertensi
Penyebab tekanan darah tinggi sebagian besar tidak diketahui terutama

yang esensial, namun demikian terdapat beberapa faktor resiko terkena darah
tinggi, misalnya kelebihan berat badan, kurang berolahraga, mengkonsumsi
makanan berkadar garam tinggi, kurang mengkonsumsi buah dan sayuran segar
dan terlalu banyak minum alkohol
5.

Gejala Klinis
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah

mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3), tetapi kebanyakan


asimptomatik.
Faktor resiko mayor

Hipertensi
Merokok
Obesitas (BMI 30)
Immobilitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun)

Kerusakan organ target

Jantung : Left ventricular hypertrophy


Angina atau sudah pernah infark miokard
Sudah pernah revaskularisasi koroner
Gagal jantung
Otak : Stroke atau TIA

Penyakit ginjal kronis


Penyakit arteri perifer
Retinopathy
6.

Penatalaksanaan Terapi Hipetensi


Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :

Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.


Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target
(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal)
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan
terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko.

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII:


Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:
1. Terapi nonfarmakologi
2. Terapi farmakologi
Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan
tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII.
Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan
darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;

mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang


kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan
tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi
garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk
menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes
disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan
pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.
Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti
rasionalitas intervensi diet:4
a.

Hipertensi 2 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan
berat badan ideal

b.

Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)

c.

Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan
tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk

d.

Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor


dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe
2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.15

e.

Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.

f.

Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,


kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan
pembatasan natrium.
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan

buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak
jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari.
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk
kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging,
berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah.
Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan.

Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana
yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan
dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok. .
Modifikasi Rekomendasi Kira-kira penurunan tekanan darah, range

Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi*


Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim
konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama (tabel 5). Obat-obat
ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas
pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas
obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium)
mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam
mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa
2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.

Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat untuk


hipertensi ini dapat dilihat pada gambar 3 dimana kombinasi obat yang
dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.

Gambar 3. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk


obatobat Antihipertensi
Pengobatan dengan antihipertensi harus dimulai dengan dosis rendah agar
tekanan darah jangan menurun drastis dengan mendadak. Kemudian tiap 1-2
minggu dosis berangsur-angsur dinaikkan sampai tercapai efek yang diinginkan
(metoda

start low, go slow). Begitu pula penghentian terapi harus secara

berangsur pula. Antihipertensi pada umumnya hanya menghilangkan tekanan


darah tinggi dan tidak penyebabnya. Maka obat pada hakikatnya harus diminum
seumur hidup, tetapi setelah beberapa waktu dosis pemeliharaan dapat diturunkan
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Semua obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih dari 4 tempat
kontrol anatomik dan menghasilkan efeknya dengan mempengaruhi mekanisme
pengaturan tekanan darah yang normal (Katzung, 1995). Berdasarkan tempat
kerjanya obat antihipertensi dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:

1. Diuretik
Obat-obat yang bekerja menurunkan tekanan darah dengan mengeluarkan
natrium tubuh dan mengurangi volume darah. Akibat dari penggunaan obat
diuretik adalah keletihan atau kejang (kram) karena kehilangan kalium, impotensi
dan kemungkinan juga timbul serangan penyakit gout (asam urat), yaitu suatu

kelainan metabolik yang dirasakan seperti rematik atau encok persendian karena
meningkatnya

asam urat darah. Misalnya: tiazid dianggap

sebagai obat

antihipertensi pilihan utama dan seyogyanya digunakan sebagai terapi awal bagi
kebanyakan penderita tekanan

darah tinggi, sebagai obat tunggal atau

dikombinasi dengan antihipertensi golongan

lain, yang meningkatkan

efektivitasnya; furosemid; spironolakton merupakan diuretik hemat kalium, dan


memperkuat tiazid atau diuretik kuat dengan cara mengantagonisasi aldosteron.
2. Angiotensin Converting Enzim (ACE Inhibitor)
Merupakan salah satu kelompok obat vasodilator untuk pengobatan
hipertensi. Obat ini berfungsi menurunkan tekanan darah dengan melebarkan
pembuluh arteri, efektif dalam menghambat ACE dalam pembentukan angiotensin
I dalam bentuk tidak aktif dengan adanya zat renin yang dikeluarkan oleh ginjal
diubah menjadi angiotensin II dalam bentuk aktif.
Angiotensin II dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit sehingga akan
meningkatkan tekanan darah, selain itu juga merangsang pelepasan hormon
aldosteron. Produksi aldosteron yang berlebih akan menyebabkan tekanan darah
tinggi dengan kadar kalium yang menurun dalam darah (Sample, 1995).
3. CCB (Calcium Channel Blocker)
Mekanisme kerja CCB adalah mencegah atau mengeblok kalsium masuk ke
dalam dinding pembuluh darah. Kalsium diperlukan otot untuk melakukan
kontraksi. Jika pemasukan kalsium ke dalam sel-sel diblok, maka obat tersebut
dapat melakukan kontraksi sehingga pembuluh darah akan melebar dan akibatnya
tekanan darah akan menurun. Golongan ini antara lain: verapamil digunakan
untuk pengobatan hipertensi. Obat ini mengurangi curah jantung, memperlambat
laju jantung, dan dapat mengganggu konduksi AV; nifedipin merelaksasi otot
polos vaskuler sehingga mendilatasi arteri koroner dan perifer; diltiazem sediaan
kerja panjangnya dapat digunakan untuk terapi hipertensi, senyawa ini dapat
digunakan untuk pasien yang kontraindikasi dengan beta blocker atau bila
beta blocker tidak efektif. Efek ionotropik negatifnya lebih ringan dibanding
verapamil (jarang terjadi depresi

miokardium yang bermakna). Meskipun

demikian, karena risiko bradikardinya, harus hati-hati bila digunakan bersamasama beta bloker.

4. Penghambat adrenergik
Obat golongan ini bekerja dengan cara mencegah pelepasan noradrenalin dari
pasca ganglion saraf adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya dibagi menjadi dua,
yaitu: antagonis adrenoreseptor meliputi alfa blocker contohnya prazosin dan
labetolol, beta blocker contohnya propanolol dan alprenolol. Penghambat saraf
adrenergik yaitu reserpin dan klonidin.
5. Vasodilator
Obat yang menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos vaskular
sehingga mendilatasi pembuluh darah resisten, contohnya hidralazin dan
nifedipin.
Tujuan pengobatan secara keseluruhan adalah menurunkan tekanan darah
serendah mungkin dengan efek samping yang minimal, mengembalikan segala
ketidaknormalan yang terkait dengan hipertensi, memperpanjang masa hidup dan
memelihara mutu kehidupan penderita, sehingga obat harus diketahui untuk
menentukan dan menyesuaikan aturan dosis obat terpilih (Katzung, 1995)
Pedoman terapi JNC VII
Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua
dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis
lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10
mmHg di atas target, dapat dipertimbangkan untuk terapi dengan dua obat.

MALARIA
Malaria merupakan penyakit yang sepenuhnya dapat dicegah dan
ditangani apabila intervensi terkini yang direkomendasikan telah sepenuhnya
diterapkan mulai dari kontrol terhadap vektor sampai penanganan dengan obat
antimalaria yang sesuai (WHO, 2012). Malaria sendiri masih merupakan salah

satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena turut mempengaruhi


angka kesakitan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan Kejadian
Luar Biasa (KLB) (Laihad & Arbani, 2008).

Malaria tanpa komplikasi

didefinisikan sebagai malaria simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa


adanya gambaran klinis atau tanda dari disfungsi organ vital (WHO, 2010).
Menurut WHO, jumlah penderita malaria di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 154-289 juta jiwa pada tahun 2010 dengan jumlah kematian 490.000836.000 jiwa dan mayoritas kasus terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Pada tahun
2010 persentase kabupaten/kota endemis malaria di Indonesia diperkirakan
sebesar 65%, dengan perkiraan 45% penduduk di kabupaten tersebut memiliki
risiko penularan (Dinas Kesehatan RI, 2010). Pada tahun 2011 Indonesia menjadi
penyumbang kasus malaria terbesar ke-3 di wilayah Asia Selatan dan Tenggara, di
bawah India dan Myanmar (WHO, 2012). Sementara itu, 6,1 dari 1.000 penduduk
di Sumatera Utara diperkirakan menderita penyakit malaria pada tahun 2005
(Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2012).
Pada

tahun

mencanangkan

2009

Departemen

Kesehatan

(Depkes)

RI

telah

program eliminasi malaria secara be rtahap untuk mengatasi

berbagai permasalahan yang berkaitan dengan diagnosis dan pengobatan malaria


di tanah air. Di Sumatera, program tersebut diharapkan akan tuntas pada tahun
2020. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui
program tersebut yang kegiatannya mencakup diagnosis dini, pengobatan cepat
dan tepat,

pengawasan, dan pengendalian vektor dalam hal pendidikan

masyarakat dan pengertian tentang kesehatan lingkungan, yang semuanya


ditujukan untuk

memutus mata rantai penularan malaria (Pusat Komunikasi

Publik Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI, 2009). Eliminasi malaria


dapat ditandai dengan pelaporan kasus malaria setahun kurang dari 1 dari 1000
populasi yang berisiko (WHO, 2011). Sesuai dengan anjuran Depkes RI,
diagnosis penyakit malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan gold standard
berupa sediaan darah

tebal dan tipis (thick and thin blood smear) dengan

mikroskop (Dinas Kesehatan RI, 2010).


Penatalaksanaan kasus malaria tanpa komplikasi mempunyai tujuan
mengurangi transmisi misalnya untuk mengurangi Reservoi rinfeksi dan

mencegah penyebaran resistensi (WHO, 2010). Kegagalan dalam pengobatan


dapat menyebabkan infeksi berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya
resistensi. Peningkatan resistensi tersebut akan meningkatkan angka morbiditas
dan meluasnya penyakit infeksi (Harijanto, 2008). Untuk menanggulangi masalah
resistensi tersebut, WHO merekomendasikan pengobatan malaria secara global
dengan penggunaan regimen obat kombinasi berbasis artemisin atau yang disebut
dengan ACT (Artemisinin-based combination therapy). Oleh karena itu, komisi
ahli malaria dari Depkes RI telah menyetujui penggunaan obat ACT sebagai obat
lini pertama di seluruh Indonesia sejak tahun 2004, sebagai pengganti klorokuin
dan sulfadoksin-pirimethamin (Dinas Kesehatan RI, 2010). Dengan kombinasi
obat antimalaria dengan mekanisme kerja berbeda dan pemberian dosis yang
tepat, resistensi dapat dicegah (WHO, 2010).
Sebuah

studi di Nigeria pada tahun 2012 pernah meneliti tentang

manajemen kasus malaria tanpa komplikasi pada anak di bawah 5 tahun di


berbagai fasilitas kesehatan. Jumlah pemberian dosis terapi ACT yang sesuai
dengan pedoman nasional adalah sebanyak 300 (64,8%), dosis tidak tepat
sebanyak 109 (23,5%), dan kesalahan pemilihan obat sebanyak 41 (8,9%) (Udoh
et al., 2013). Penelitian di Italia yang meneliti regimen pengobatan malaria pada
291 pasien dewasa di bagian bangsal penyakit infeksi menunjukkan bahwa 8,6%
pasien tersebut tidak mendapatkan terapi sesuai dengan pedoman (Antinori et al.,
2011). Sementara itu, studi di India pada tahun 2008 meneliti tentang praktik
peresepan obat golongan artemisin yang dilakukan dengan wawancara terhadap
511 dokter di 196 fasilitas kesehatan, 530 apoteker, dan 1.832 pasien. Monoterapi
artemisin ternyata masih tersedia secara luas di banyak apotik (72,6%) dan
diresepkan oleh dokter untuk kasus malaria tanpa komplikasi di seluruh negara
bagian yang diteliti. Penggunaan monoterapi artemisin masih tergolong banyak
dengan 14,8% pasien yang mendapatkan resep tersebut. Penggunaan ACT yang
direkomendasikan hanya sebanyak 4,9% (Mishra et al., 2011). Penelitian lain di
Uganda menganalisis kepatuhan tenaga medis terhadap pedoman nasional dalam
pemberian terapi antimalaria berupa klorokuin pada anak di bawah 5 tahun. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan hanya 34% dari 463 anak tersebut yang
mendapatkan dosis terapi yang tepat (Nshakira et al., 2002).

DIAGNOSIS MALARIA
Manifestasi klinis malaria dapat berupa malaria tanpa komplikasi dan malaria
berat. Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang laboratorium. Untuk malaria berat diagnosis
ditegakkan berdasarkan kriteria WHO. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan
dengan pemeriksaan SD secara mikroskopis atau RDT.
A. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,


mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal

Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria

Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.

Riwayat tinggal di daerah endemis malaria

Setiap kasus dengan keluhan demam atau riwayat demam harus selalu
ditanyakan riwayat kunjungan ke daerah endemis malaria.
B. Pemeriksaan fisik
a. Suhu tubuh aksiler > 37,5 C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera (mata) ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali) Pedoman Manajemen Malaria 28

C.

Pemeriksaan laboratorium

1)

Pemeriksaan mikroskopis Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis


untuk menentukan:

Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).


Spesies dan stadium plasmodium
Kepadatan parasit
2)

Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/ RDT)


Pemeriksaan dengan RDT tidak untuk evaluasi pengobatan.

MALARIA BERAT
Jika ditemukan P.falciparum atau P.vivax stadium aseksual atau RDT positif
ditambah satu atau beberapa keadaan di bawah ini:
a. Gangguan kesadaran atau koma
b. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan tanpa bantuan)
c. Tidak bisa makan dan minum
d. Kejang berulang lebih dari dua episode dalam 24 jam
e. Sesak napas, Respiratory Distress ( pernafasan asidosis)
f. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mm Hg (pada anak: < 50
mmHg)
g. Ikterus disertai adanya disfungsi organ vital
h. Black Water Fever
i. Perdarahan spontan
j. Edema Paru (secara radiologi)
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI
Pengobatan malaria yang dianjurkan oleh program saat ini adalah dengan
ACT (Artemisinin based Combination Therapy). Pemberian kombinasi ini untuk
meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi
diobati dengan ACT oral. Malaria berat diobati dengan injeksi Artesunat atau
Artemeter kemudian dilanjutkan dengan ACT oral. Disamping itu diberikan
primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal.

1. Malaria falsiparum dan Malaria vivaks


Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks saat ini menggunakan
ACT di tambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan
malaria vivaks, untuk malaria falsiparum Primakuin hanya diberikan pada hari
pertama saja dengan dosis 0,75 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14
hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria
vivaks adalah sebagai berikut:

ATAU

Pengobatan malaria vivaks yang relaps


Pengobatan kasus malaria vivaks yang relaps (kambuh) diberikan dengan regimen
ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5mg/kgBB/hari.
2. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP atau kombinasi
Artesunat + Amodiakuin. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria
vivaks.
3. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari, dengan
dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.
4. Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivaks/P.ovale
Pada kasus dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin
dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

ATAU

Dosis obat :
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb
Artesunat = 4 mg/kgbb.
Catatan :

a.

Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, apabila


penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat
berdasarkan kelompok umur

b.

Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan

c.

Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal

d.

ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan Primakuin tidak
boleh diberikan pada ibu hamil.

5. PENGOBATAN MALARIA PADA IBU HAMIL


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan
pengobatan pada orang dewasa umumnya, perbedaannya adalah pada pemberian
obat malaria berdasarkan umur kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan
Primakuin.
Tabel 7. Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil :
Dosis klindamisin 10 mg/kgBB diberikan 2 x sehari

PENGOBATAN MALARIA BERAT


Semua kasus malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit (RS) atau di
puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga kurang memadai, maka kasus
harus dirujuk ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap. Prognosis malaria berat
tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.
A. Pengobatan malaria berat di Puskesmas / Klinik non Perawatan

Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien malaria berat
harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum dirujuk berikan
artemeter intramuskular dosis awal (3,2mg/kgbb).
B. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik Perawatan atau RS
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat
diberikan artemeter intramuskular atau kina drip.
Bila kasus sudah dapat minum obat (per-oral), setelah pemberian Artesunat
intravena atau artemeter intramuskular atau kina drip maka pengobatan
dilanjutkan dengan regimen DHP + primakuin selama 3 hari atau Artesunat +
Amodiakuin + primakuin selama 3 hari.
Kina drip bukan merupakan obat pilihan utama untuk malaria berat. Obat
ini diberikan pada daerah yang tidak tersedia artesunat intravena/artemeter
intramuskular dan pada ibu hamil trimester pertama. Dikemas dalam bentuk
ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/ 2 ml. Setelah
pemberian kina drip maka pengobatan dilanjutkan dengan kina tablet per-oral
dengan dosis 10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama
doksisiklin, atau tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil.
Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang
pertama. Catatan
- Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung
dan dapat menimbulkan kematian.
- Dosis kina maksimum untuk dewasa: 2.000 mg/hari.
C. Pengobatan Malaria berat pada ibu hamil
Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan kina
HCl drip intravena pada trimester pertama dan artesunat/artemeter injeksi untuk
trimester 2 dan 3.

TERAPI MALARIA PADA ANAK


1. Jenis-Jenis Obat Antimalaria
Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis
dan stadium parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara
pemakaiannya mudah, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,
mudah diperoleh, efek samping ringan dan toksisitas rendah. Aktivitas antimalaria
biasanya hanya terbatas pada satu atau dua stadium saja dari seluruh daur hidup
parasit sehingga cukup sulit untuk memperoleh obat antimalaria yang ideal
tersebut. Berdasarkan tempat dan cara kerja, obat antimalaria dapat dibagi
menjadi beberapa golongan yaitu :

1.1 Tissue Schizontocide (Skizontosida Jaringan)


1.1.1 Proguanil, dan pirimetamin
Obat ini bekerja pada stadium pre eritrositik di jaringan hepar, sehingga
dapat mencegah terjadinya siklus eritrositik.
1.1.2 Primakuin
Obat ini mempunyai efek yang kuat untuk membunuh bentuk-bentuk
parasit di jaringan (hepatosit) termasuk hipnozoit, oleh karena itu juga dipakai
untuk mencegah kekambuhan pada P.vivax dan P. Ovale.1,

Obat ini tidak

diberikan pada bayi, ibu hamil dan penderita defisiensi G-6PD. Efek samping
yang pernah dilaporkan yaitu gangguan saluran pencernaan (mual, muntah dan
sakit

perut),

gangguan

sistem

hemopoietik

(anemia,

leukopenia,

dan

methemoglobinemia). Sampai saat ini belum ada cara dan penelitian untuk
mengetahui Plasmodium resisten terhadap primakuin.1
1.2 Blood Schizontocide (Skizontosida Darah)
Obat ini paling banyak digunakan untuk malaria, obat ini bekerja pada
stadium eritrositik, tidak hanya pada skizon tetapi juga stadium aseksual yang lain
seperti bentuk cincin, trofozoit stadium lanjut. Contoh obat ini yaitu :
1.2.1 Klorokuin
Penggunaannya cukup luas karena efektif, murah dan aman, hanya saja
kasus resistensi terhadap klorokuin telah dilaporkan terjadi hampir diseluruh
dunia, khususnya di Asia tenggara termasuk Indonesia. Bahkan di Thailand,
resistensi terhadap klorokuin telah mencapai 100%, sehingga tidak efektif lagi.1,2
Efek samping klorokuin yang pernah dilaporkan yaitu pusing, vertigo,
pandangan kabur, mual, muntah, sakit perut, dan pruritus. Keracunan dapat terjadi
pada anak-anak karena kecelakaan (tertelan) dan pada orang dewasa pada
percobaan bunuh diri, gangguan yang terjadi dapat merupakan gangguan
neurologis (kelemahan otot, pusing, kejang-kejang, dll), saluran pencernaan
(mual, muntah, dan diare), saluran nafas (nafas pendek dan dangkal, pernafasan
lumpuh), kardiovaskular (hipotensi, blokade atrioventrikular, aritmia dan jantung
lumpuh).

1.2.2 Sulfadoksin-Pirimetamin

Mulai dipakai sebagai obat alternatif sejak tahun 1990 dengan angka
kesembuhan 90%. Tetapi timbulnya resistensi terhadap pirimetamin dan
kombinasinya telah dilaporkan sejak tahun 1975 dan ada kecenderungan
meningkat. Di Thailand, pemakaian fansidar sudah dihentikan, dan sejak tahun
1985 digunakan obat kombinasi lain yaitu MSP (Meflokuin-SulfadoksinPirimetamin).
Obat ini tidak diberikan untuk bayi. Efek samping yang pernah dilaporkan
yaitu timbul bercak kulit kemerahan disertai rasa gatal, dan sindroma steven
jhonson.
1.2.3 Kuinin atau kina
Obat ini masih merupakan obat yang efektif bagi malaria, meskipun
sempat bergeser penggunaannya oleh pemakaian klorokuin. Sejak meningkatnya
angka resistensi terhadap klorokuin hampir diseluruh bagian dunia, maka seja
tahun 1960 kuinin mulai dipertimbangkan lagi penggunaannya dan ternyata masih
tetap unggul sampai sekarang. Kombinasi kuinin dengan tetrasiklin dipakai
sebagai terapi standard terhadap P.falciparum yang resisten bahkan dapat
meningkatkan angka kesembuhan dari 75% menjadi lebih dari 95%.1,2 Pada
pengobatan kina parenteral dapat terjadi hipoglikemia, dan efek samping lain yang
sering dilaporkan yaitu pusing, tinnitus, dan mual.
1.2.4 Kuinidin
Kuinidin adalah obat jantung yang diperkenalkan sebagai pengganti
kuinin. Efek antimalaria kuinidin lebih kuat dibandingkan dengan kuinin untuk
malaria falsiparum. Berdasarkan penelitian di Bangkok Hospital for Tropical
Disease pada tahun 1982, angka kesembuhan kuinidin untuk malaria bisa
mencapai 100%. Walaupun demikian penggunaan kuinin tidak terlampau luas
karena efek sampingnya terhadap sistem kardiovaskular.
1.2.5 Meflokuin
Obat ini mulai diperkenalkan tahun 1980-an. Dengan dosis 15mg/kgBB
dosis tunggal oral tingkat kesembuhannya mencapai 95%. Tetap pada tahun 1982
telah ada laporan timbulnya resistensi terhadap obat ini. Kombinasi dengan
sulfadoksin-pirimetamin (MSP) telah dicoba untuk mengatasi keadaan ini.
Berdasarkan hal tersebut perlu diadakan upaya antisipasi timbulnya resistensi

terhadap berbagai macam obat.1,2 Efek samping yang pernah dilaporkan yaitu
gangguan neuropsikiatri (cemas, halusinasi, sulit tidur, psikosis, ensefalopati, dan
kejang-kejang), pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, dan gangguan
kardiovaskular (bradikardia dan sinus aritmia).
1.3 Gametocide (Gametosit)
Primakuin adalah contoh obat yang membunuh stadium seksual gametosit
dalam darah manusia terutama terhadap P. falciparum.
1.4 Sporontosida (Sporontocide)
Primakuin, proguanil, dan pirimetamin dikenal sebagai obat yang dapat
menghambat pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk. Bila diberikan kepada
Gametocyte carrier akan mencegah terjadinya penularan.
1.5 Anti Relaps
Primakuin digunakan untuk mencegah relaps/rekurensi pada infeksi P.
Vivax dan P. Ovale, biasanya diberikan setelah pemberian obat skozontosida
darah.
1.6 Obat-obat antimalaria baru
1.6.1 Halofantrin
Obat baru untuk stadium aseksual pada malaria falsiparum yang resisten
terhadap berbagai macam obat (multidrug resistance). Obat ini tidak mempunyai
efek terhadap stadium hipnozoit maupun gametosit.1,2 obat ini tidak diberikan
pada anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, ibu hamil dan menyusui. Obat
ini dapat membentuk kompleks dengan feriprotoporfirin IX yang terbentuk waktu
plasmodium mencerna hemoglobin, sehingga kompleks yang terbentuk bersifat
toksik dan dapat mematikan schizont. Efek samping yang pernah dilaporkan yaitu
gangguan saluran pencernaan (mual, sakit perut, dan diare), pruritus, bercak
merah

pada

kulit,

disritmia

ventrikuler,

kejang-kejang,

dan

hemolisis

intravaskuler.
1.6.2 Derivat Artemisin (Artesunat, Artemeter, dan Dihidroartemisinin)
1.6.2.1 Artesunat
Merupakan obat dari golongan sequiterpenelactone, hasil ekstraksi
tumbuhan dari China yaitu Qing-Hao-Su. Obat ini sangat efektif terhadap stadium
aseksual P. falciparum yang resisten terhadap berbagai macam obat, juga P.vivax.

Obat ini juga mengurangi parasit 95% dalam 24 jam, tetapi tidak dapat membunuh
hipnozoit dan hanya sedikit berpengaruh terhadap gametosit. Pemberian harus
dilakukan dengan dosis awal yang lebih tinggi dari dosis berikutnya.
1.6.2.2 Artemeter
Dari hasil uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah
resisten klorokuin (Irian Jaya), artemeter 450mg/5 ahri per oral menunjukkkan
efikasi yang baik dan aman. Demikian pula hasil uji coba pengobatan malaria
berat atau dengan komplikasi di daerah yang resisten multidrug (Kalimatan
Timur) menunjukkan hasil yang cukup baik dan aman. Efek samping yang pernah
dilaporkan yaitu gangguan saluran cerna, demam, dan retikulositemia.
1.6.2.3 Dihidroartemisin
Obat ini belum pernah di uji coba di indonesia. Di Cina, uji pengobatan
malaria dengan dosis 248 mg/3 hari, 360 mg/ 5 hari, dan 480 mg/ 7 hari
menunjukkan efikasi yang baik pada kelompok yang diobati dengan dosis 360
mg/5 hari dan 480 mg/7 hari. Efek samping yang pernah ditimbulkan yaitu bercak
merah di kulit dan retikulositemia.
1.6.3 Atovakon
Obat ini bekerja sebagai skizontocid, namun obat ini memiliki mekanisme
kerja yang berbeda dengan obat antimalaria skizontocid lainnya, sehingga
diperkirakan tidak terjadi resistensi silang dengan obat-bat tersebut. Atovakon
bekerja dengan mengganggu pembentukan asam nukleat parasit. Pada penelitian
in-vitro ditemukan ada interaksi antagonis dengan obat antimalaria golongan
kuinolon (klorokuin, kina, meflokuin), halofantrin, dan artesunik acid; sedangkan
dengan tetrasiklin, dan proguanil berinteraksi sinergistik. Apabila obat ini
digunakan tanpa kombinasi ternyata kurang efektif karena lebih dari 30% akan
berkembang menjadi kasus rekrudesen.

REFERENSI

Bakti Husada. 2014. Pedoman Manajemen Malaria. Jakarta.


Bakti Husada. 2006. Pharmaceutical untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
JNC 7 Express. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.
NIH Publication.
Reza Fahlevi. 2009. https://usebrains.wordpress.com/2009/09/28/terapi-malariapada-anak/.

Anda mungkin juga menyukai