Abstrak: Kajian ini membahas tentang perspektif Wahbah Zuhayli> tentang sihir. Hal ini
dapat diketahui dari interpretasinya terhadap surah al-Baqarah ayat ke-102 yang terdapat
pada kitab tafsirnya yang berjudul Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Syari>ah wa alManh}a>j. Tulisan ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan. Di samping itu, tulisan ini
menggunkan dua metode untuk memperoleh pengetahuan tentang Zuhayli>. Kedua metode
tersebut digunakan secara bersamaan. Pertama, biografis, untuk menjelaskan tentang
kehidupan, lingkungan serta sosio-kultural yang melatar belakangi tokoh tersebut. Kedua,
taksonomis, untuk menjelaskan tentang gagasan dan pemikirannya yang tertuang dalam
Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Syari>ah wa al-Manh}aj mengenai sihir. Secara umum,
Zuhayli> memiliki metode penafsiran ayat ah}ka>m khusunya tentang ayat sihir relatif sama
dengan mufassir-mufassir yang terdahulu. Akan tetapi, Zuhayli> dalam penafsirannya
memiliki karakter tersendiri yang ia sesuaikan dengan keahliannya dan mencoba
menyesuaikan penafsirannya dengan kondisi dan tununan zaman, sehingga tafsirnya
memberikan kontribusi dalam menjawab persoalan umat di era modern ini.
Abstract: this study discusses about witchcraft from a perspective of Wahbah Zuhayli.
This study reveals the interpretation of Surah Al Baqarah verses 102 within the exegesis
book entitled Tafsir al-Munir al-Aqidah wa al-Syariah wa alManh}aj. This research
applies library research. This research also applies two methods in order to obtain
knowledge about Zuhayli. These two methods applied in the same time. The first is
biographic in which this method is applied to explain about the life, environment, and
socio cultural of the actor. The second is taxonomies in order to explain ideas and thought
about witchcraft written in Tafsir al Munir al-Aqidah wa al-Syariah wa al Manh}aj.
Generally, Zuhayli@ has similar method in interpreting the meaning of verses about
witchcraft with other mufassir mufassir before him. However, Zuhayli in his own
interpretation has his own character in which he tries to get his interpretation accustomed
to the condition and situation of the people nowadays, so his interpretation gives
contribution to answer the problem faced by the people.
61
PENDAHULUAN
Sihir bukanlah istilah yang baru di telinga masyarakat, sebab kenyataannya sihir
telah ada sejak zaman para nabi sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Perkembangan
zaman pada saat ini yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat tidak
lantas membuat semua masyarakat meninggalkan praktek sihir. Ada sebagian masyarakat
yang masih meyakini dan mempraktekan hal yang berbau mistis, seperti perdukunan,
klenik, santet dan lain sebagainya. Lalu bagaimana sebenarnya al-Qura>n sendiri dalam
memandangan sihir. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan pemikiran Wahbah
Zuhayli> tentang sihir yang tertuang dalam karyanya Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa alShari>ah wa al-Manhaj.
Tafsir ini, oleh penulisnya diberi nama Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Shari>ah
wa al-Manhaj. Terdiri dari 16 jilid (setiap jilidnya terdiri dari 2 juz) dan dicetak oleh Da>r
al-Fikr. Tafsir ini selesai ditulis pada hari Senin pagi jam 8:00 pada tanggal 27 juni 1988.
Pada saat itu Zuhayli>berumur 56 tahun. Pekerjaan menulis tafsir ini sudah dimulai sejak
tahun 1962 M. di tanah kelahirannya di Damaskus. Menurut Zuhayli> penulisan tafsir ini
memakan waktu yang panjang serta menyita tenaga yang banyak, bahkan ia sempat
menyendiri dari keluarga dan anak-anaknya beberapa tahun.
Tafsir ini ditulis berdasarkan pada keprihatinan Wahbah Zuhayli> atas pandangan
yang menyudutkan tafsir klasik karena dianggap tidak mampu menawarkan solusi atas
problematika kontemporer. Dan menurut Wahbah Zuhayli>, para mufassir kontemporer
terlalu jauh dari kaidah ilmu tafsir dalam menginterpretasikan al-Qura>n. Atas dasar
itulah, Wahbah Zuhayli> berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya
bahasa kekinian serta metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern
tanpa ada penyimpangan interpretasi. Kemudian lahirlah Tafsi>r al-Muni>r yang
memadukan orisinalitas tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer.1
Sasaran yang paling mendasar dan substansif dari penulisan tafsir ini adalah
mempertemukan seorang Muslim dengan kita>bullah melalui metode akademis dan ilmiyah
yang bertanggung jawab.2 Hal ini dilakukan karena al-Quran adalah undang-undang dasar
kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Itulah sebabnya dalam
tafsir ini, tidak hanya berbicara hukum-hukum fikih dalam arti yang terbatas dan sudut
sempit saja, akan tetapi Zuhayli> mengupayakan agar pembacanya memahami hukumhukum dan aturan yang bias dirangkum dari ayat-ayat al-Quran. Meskipun sebenarnya
yang lebih ditekankan dalam bidang hukum fikih. Hal ini dapat dimaklumi karena latar
belakang keilmuan yang didalami oleh penulis tafsir ini adalah bidang fikih.
Zuhayli> mengharapkan agar tafsir ini dapat dipahami dengan mudah, dijadikan
rujukan bagi para pengkaji Islam, serta dapat dimanfaatkan oleh para dai dalam
menyebarkan ajaran Islam. Mesikipun demikian, besar harapan Zuhayli> agar tafsir ini
1
175.
Saiful Amin Ghofur, profil para mufassir al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008),
62
tetap mempunyai ketajaman ilmiah.3 Kini karya ini menjadi salah satu tafsir modern yang
banyak menjadi rujukan bagi intelektual Muslim. Berdasarkan judul lengkap kitab ini,
banyak aspek yang dapat digali dari Tafsi>r al-Muni>r. Di antaranya terkandung tiga aspek
besar yang sengaja ingin ditampilkan oleh Zuhayli>. Ketiga aspek tersebut adalah aspek
akidah, aspek hukum, dan aspek yang berkaitan dengan pendekatan yang dilakukan oleh
Zuhayli> sehingga karyanya menjadi tuntunan serta petunjuk bagi umat Islam. Berdasarkan
latar belakang pendidikan Zuhayli> dan kegiatan ilmiah yang ia geluti, maka dapat
diasumsikan bahwa Zuhayli> memiliki potensi besar dan kapasitas yang memumpuni
dalam menafsirkan ayat-ayat ah}ka>m.4 lebih khusus lagi ayat-ayat ah}ka>m yang berkaitan
dengan sihir.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research).5 Karena
penelitian ini termasuk ke dalam kajian tokoh dalam hal ini Wahbah Zuhayli>-, maka ada
dua metode penting untuk memperoleh pengetahuan tentang tokoh tersebut. Dimana
kedua metode digunakan secara bersamaan. Pertama, biografis. Menjelaskan penelitian
tentang kehidupan, lingkungan serta sosio-kultural yang melatar belakangi tokoh tersebut.
Kedua, taksonomis. Penelitian tentang gagasan dan pemikirannya yang tertuang dalam
Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Shari>ah wa al-Manhaj.6
Penelitian ini bersifat eksplanatoris-kategoris, yaitu suatu penelitian yang
berupaya memberikan gambaran secara deskriptif-analisis, serta mengeksplorasi secara
detail terhadap penjelasan-penjelasan mengenai aspek yang berkaitan dengan
permasalahan seputar pandangan Zuhayli@ tentang sihir untuk kemudian dianalisis agar
memberikan pemahaman kepada para pembaca.
Adapun sumber data primer dalam penelitan ini adalah karya tafsir Wahbah
Zuhayli> yang berjudul Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Shari>ah wa al-Manhaj. Adapun
data sekunder dari penelitian ini yaitu literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan Content Analisis.7
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara objektif dengan
mengkomparasikan pendapat yang satu dengan yang lainnya, sehingga diperoleh konklusi
dari permasalahan penelitian.
3
4
Ibid., 10.
Syafruddin, Penafsiran Ayat Ah}ka>m al-Zuhailiy Dalam Tafsi>r al-Muni>r (Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah), (Jakarta: t. tp, 2008), 8.
5
Maksud dari Kajian pustaka di sini meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan dan
analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi serta data-data yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Lihat Consuselo G. Sevills, Jesus A. Ochave, Pengantar Metode Penelitian (Terj.) (Jakarta: UIPress, 2006), 31.
6
A. Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (eds.),
Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 59.
7
Dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai metode kualitatif. Karena metode
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kulaitatif
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 4.
63
64
Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Dia juga pernah mengajar pada
Universitas Emirat Arab.
Kedalaman Ilmu yang dimiliki Zuhayli> berbanding lurus dengan produktivitasnya
dalam menulis karya Ilmiah. Di antara buku-buku yang telah ditulis oleh Wahbah Zuhayli> adalah:
1. Al-Wasi>t} Us}u>l al-Fiqh , Universitas Damaskus, 1966.
2. Al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuhu, Da>r al-Fikr, Damaskus, 1984.
3. Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqi>dah wa al-Shari>ah wa al-Manhaj, (16 jilid). Da>r al-Fikr,
Damaskus, 1991.
4. Athar al-Harb fi> al-Fiqh al-Isla>miy, Dira>sat Muqa>ranah, Da>r al-Fikr, Damaskus, 1963.
Ibid., 175
Metode tahli>li adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti semua
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat,
maksud dari setiap ungkapan, kaitan antar pemisah ( muna>saba>t) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah
itu (wajh al-muna>saba>t) dengan bantuan asba>b al-nuzu>l, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi
Muhammad, Sahabat, dan tabiin. prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan Mushaf, ayat per ayat,
dan surat per surat. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), 24.
13
Tafsir Maud}u>i adalah menghimpun seluruh ayat al-Quran yang memiiki tujuan dan tema yang
sama. Lihat Ibid., 43.
14
Zuhayli>, Tafsr al-Munr, Jilid 1, 75.
15
Tafsi>r Adabi ijtimai berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qura>n dan mukjizatmukjizatnya, menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya, memperlihatkan aturan-aturan al-Quran
tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat islam secara khusus dan
umat manusia secara umum. Lihat al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, 37.
65
situasi yang berkembang pada masyarakat sekarang ini. Sedikit sekali ia menggunakan
tafsir bi al-ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya
bahwasannya dia akan meng-counter beberapa penyimpangan yang terjadi pada tafsir
kontemporer. 16 Dimata Zuhayli>, para mufassir kontemporer banyak melakukan
penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran denga dalih pembaharuan. Karena
itulah, Zuhayli> berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer
dan metode yang sesuai ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.
Adapun kekhasan yang terkandung pada Tafsi>r al-Muni>r, sejauh teori yang bisa
dibaca dalam pendahuluannya, dapat diringkas secara garis beras sebagai berikut:
a. Pada setiap awal surat, Zuhayli> mengungkapkan keistimewaan, kelebihan, cakupan isi,
dan beberapa topik yang terdapat dalam surat tersebut dengan gambaran secara
umum. Kemudian Zuhayli> juga mengemukakan muna>saba>t antar surat, atau ayat
dengan surat atau ayat sebelumnya.
b. Mengkalsifikasi ayat-ayat al-Quran ke dalam satu kelompok dan topik pembahasan,
dengan memberikan judul yang jelas. Misalnya ketika Zuhayli> menafsirkan surah alBaqarah ayat 8-10, Dia memberi judul gambaran orang munafik.17
c. Sebelum Zuhayli> menafsirkan suatu topik bahasan, Dia selalu memberikan satu sub
judul khusus, yaitu qira>ah yang dimana di dalamnya berisi penjelasan dari beberapa
ulama. Ini membuktikan perhatian Zuhayli> yang sangat besar dalam ilmu tajwid, yang
dimana Tajwi>d adalah salah satu penunjang dalam menafsirkan al-Quran.
d. Menjelaskan secara ijma>l dan ringkas isi setiap surat sebelum membahasnya secara
rinci. Sebelum menguraikan dan menafsirkan sebuah surah, Zuhayli> terlebih dahulu
memberikan pengantar pada surah yang akan Dia bahas. Sebagai contoh setiap
Zuhayli> menafsirkan Surah, setelah Dia mencatatkan ayat-ayat yang akan dibahas, dia
mengemukakan uraian dengan judul ma> ishtamalat alaihi al-s}u>rah
e. Menjelaskan aspek bahasa pada bahasan al-mufrada>t al-lughawiyyah. Zuhayli>
menjelaskan makna kata perkata, sebagai pemandu ke penafsiran berikutnya.
f. Zuhayli> menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan dengan asba>b al-nuzu>l, baik yang
terjadi sebelum maupun setelah ayat itu diturunkan.
g. Zuhayli> memberikan penafsiran yang cukup luas dan memberikan urian secara
kontekstual, dalam hal ini, Zuhayli> memberikan sub judul al-Tafsi>r wa al-baya>n.
semtelah itu Zuhayli> memberikan judul bahasan yang mengemukakan hukum yang
dapat disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, disamping itu juga Zuhayli> menjelaskan
dari aspek balaghah, uraian kata perkata sesuai dengan Qawaid al-Lughah, yang
dimana sangat berperan untuk memunculkan perluasan tafsir. Zuhayli> sebisa mungkin
melakukan penafsiran dengan mengikuti metode tematis, yaitu mengemukakan tafsir
16
17
66
Abdul Qadir Shalih, Tafsr wa al-Mufasirn fi As}r al-H{adth (Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), 325.
Zuhayli>, Tafsr al-Munr, Jilid 1, 85.
terhadap ayat yang berbeda, tetapi mengacu pada satu tema, seperti hukum
perkawinan, riba, jihad, khamr, h}udu>d, waris, dan sebagainya.18
h. Dalam setiap penjelasan suatu tema ayat, Zuhayli> memberikan sub judul Fiqh alh}aya>t wa al-ah}ka>m, yang berisi perdebatan para Ulama dalam masalah yang
terkandung dalam ayat tersebut.
i. Zuhayli> mengedepankan pembahasan dengan menggunakan metode maud}ui, cara ini
sebagai upaya memunculkan tafsir yang didukung dengan ayat-ayat al-Qura>n yang
bisa diamati menuju tema yang sama. Tidak heran jika setaiap penafsirannya selalu
dimulai dengan membicarakan munasaba>t ayat.
Sihir dalam Tafsi>r al-Muni>r
Engkau hanyalah makhluk yang dapat makan dan minum.
Ulama berbeda pendapat, bukan hanya tentang definini dari sihir, tetapi hukum
mempelajari dan mengamalkannya. Ibn al-Arabi> memahami sihir sebagai ucapan-ucapan
yang mengandung pengagungan kepada selain Allah yang dipercaya oleh pengamalnya
dapat menghasilkan sesuatu dengan kadar-kadarnya.22 Menurut Quraish Shihab, definisi
sihir yang dikemukakan Ibn al-Arabi> tersebut tidak memberikan peluang sedikitpun
kepada seorang Muslim bahkan umat beragama lainnya untuk membenarkan penggunaan
18
Ibid.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Jilid. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 268.
67
sihir dengan tujuan apapun. Karena Ibn al-Arabi> menilai sihir hanyalah alat setan untuk
memperdaya manusia.23
Menurut al-Qurt}u>bi asal makna sihir adalah mengelabui pandangan dengan cara
menipu, seperti seseorang yang melihat fatamorgana dari kejauhan dan ia mengiranya
seolah-olah itu adalah air. 24 Sedangkan Imam al-Kurma>ni menyebutkan bahwa sihir
adalah perkara atau hal yang menyalahi adat kebiasaan dan bersumber dari jiwa yang
jahat tetapi tidak mustahil untuk dikalahkan. 25 Lain halnya dengan al-Alusy yang
berpendapat bahwa sihir adalah perkara-perkara ganjil yang seakan-akan ia adalah perkara
yang luar biasa tetapi bukanlah luar biasa, karena sihir dapat dipelajari dan diperoleh
melalui taqarrub (mendekatkan diri) kepada setan dengan melakukan kejahatan berupa
ucapan seperti jampi-jampi yang mengandung makna kemusyrikan serta pujian kepada
setan, dan berupa perbuatan seperti beribadah kepada bintang-bintang dan melakukan
jinayah serta kefasikan, dan berupa keyakinan seperti menganggap baik perkara yang
membawa kepada takarrub serta cinta kepada setan.26
Apabila kata sihir digunakan tanpa tambahan sesuatu makna atau kata yang lain,
maka menunjukan pelakunya orang yang tidak baik.27 Oleh karenanya ketika para rasul
dan nabi seperti ketika Nabi Muhammad saw, sering dituduh oleh orang-orang kafir
quraisy dengan sebutan al-sa>hir al-kadhdha>b, sebaliknya, apabila kata sihir digunakan
sebagai tambahan kata-kata yang lain, maka menunjukan sebuah pujian.28 Misalnya hadis
Rasulullah, yang diriwayatkan Ibn Umar: Inna min al-baya>n lasah}iran. (sungguh sebagian
dari keterangan yang jelas dan berseni adalah sihir). Maksud dari hadis tersebut adalah
gaya bahasa dari ucapan atau keterangan para penyair, banyak yag menarik, sehingga
orang yang membaca atau mendengar syair-syair tersebut menjadi terpukau seperti orang
yang terkena sihir.29 Adapun Bentuk sihir sendiri adalah segala sesuatu yang bersumber
dari jiwa yang jahat sehingga seorang tukang sihir mampu memberi pengaruh dengan
sihirnya itu kepada alam materi dengan cara mendekatkan diri dan meminta bantuan
kepada setan seperti dengan menyuguhkan sesaji dan melakukan penyembelihan untuk
mereka atau dengan berbicara kepada roh-roh jahat. Sihir dalam bentuk inilah yang
mempunyai kaitan erat dengan setan. al-Qur'a>n menjelaskan bahwa sihir diajarkan oleh
setan kepada manusia dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. ("...Hanya setan-setan
itulah yang kafir (mengerjakan sihir), mereka mengerjakan sihir kepada manusia..." (Qs.
al- Baqarah [2]: 102).30
23
Ibid.
24
Al-Thabariy, Tafsir Ja>mi al-Baya>n An Tawi>l A<yi al-Qura>n, Jilid. 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995),
31.
25
Al-Biqa>i, Nuz}m al-Durar fi Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar, Jilid I, (Beirut: Da>r, al-Kutub alIlmiyyah, 1995), 207.
26
Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma'a>ni Fi al-Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m Wa al-Sab al-Matha>ni, Jilid I, (Beirut:
Da>r, al-Fikr, t. th.), 534.
27
Ibn Manzhu>r, Lisa>n al-Arab, Jilid 3, 1953.
28
Ibid., 1952.
29
Ibid.
30
Ahmad Sarwat, Kajian Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Jakarta: DU Center, 2009), 136.
68
seseorang pun sebelum mengatakan .Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab
itu janganlah kamu kafir (Qs. Al- Baqarah [2]: 102).33
Selanjutnya Ibnu Munzir mengemukakan apabila seseorang mengakui bahwa dia
telah melakukan perbuatan sihir dengan ucapan yang berupa kekafiran maka wajib
dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga jika terbukti melakukannya dan bukti itu
menyebutkan ucapan yang berupa kekafiran. Jika ucapan yang dipakai untuk menyihir
bukan berupa kekafiran maka dia tidak boleh dibunuh. Dan jika dia menimbulkan bahaya
pada diri orang yang tersihir maka wajib diq}is}a>s. Ia diq}is}a>s} jika sengaja membunuhnya.
Jika termasuk yang tidak dikenakan q}is}a>s} maka dikenakan diyat.34
Adapaun pendapat Ibn Kathi>r mengenai sihir, disandarkan kepada firman Allah:
Sekiranya mereka beriman dan bertakwa (Qs. al-Baqarah [2]:102). Bahwa orang
yang berpendapat mengkafirkan tukang sihir, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad bin
Hanbal dan sekelompok dari ulama salaf. Menurut Ibn Kathi>r pelakunya tidaklah
dihukumi kafir, akan tetapi hukuman baginya adalah dibunuh, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad keduanya berkata; Telah menceritakan
kepada Sofyan Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa ia mendengar Bajlah bin Abdah
berkata:Umar bin Khattab memutuskan agar setiap tukang sihir lelaki ataupun wanita
agar dibunuh. Bajlah berkata, kemudian kami membunuh tiga tukang sihir kemudian Ibn
Kathi>r menjelaskan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang terdapat dalam
kitab sahihnya.35
31
Imam Malik, Al-Muwat}t}a, Jilid I, (Kairo: Da>r al-Ihya> al-Kutu>b al-Arabiyah, t. th.), 628.
Al-Qurt}ubiy, al-Ja>mi li al-Ahka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiyah, t.th.). 248.
33
Ibid.
34
Diyat adalah denda berupa sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukuman qis}a>s} ,
dikarenakan pelaku mendapat ampunan dari keluarga korban.
35
Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m, Jilid I (Beirut: Da>r al-Fikr, t. th.), 144.
32
69
36
Zindi>q merupakan sebutan orang yang menolak loyalitasnya kepada Allah, mendukung
kemusyrikan dan mengingkari hukum Allah Swt. Zindiq juga berarti atheis atau orang yang tidak
mempercayai agama. Lihat Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-As}ri> Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), 1022.
37
Ahmad Sarwat, Kajian Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Jakarta: DU Center, 2009), 144.
38
Muhammad Fuad Abd al-Ba>qi>, Mujam al-Mufahras li Alfa>z al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r alHadi>s, t.th), 346-347.
39
At-Thabariy, Tafsir Ja>miul Baya>n, Jilid I, 624.
70
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman. Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat
di negeri Babilonia yaitu harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan
sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanyalah
cobaan (bagimu), sebab itu janganlah menjadi kafir." Maka mereka mempelajari
dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami)
dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya
kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan
tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu,
barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat
keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang
menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 102).
Dalam menafsirkan ayat ini, Zuhayli> berpendapat bahwa orang Yahudi telah
melanggar apa yang terdapat dalam kita>bullah, dan mereka mengikuti perkataan sesepuh
mereka yang juga mengacuhkan kita>bullah. Mereka melakukan perbuatan sihir dan tipu
daya pada zaman kerajaan nabi Sulaiman, karena pada waktu itu syaitan mencuri kabar
dari langit, dan menyelipkan kebohongan-kebohongan didalamnya, kemudian kabar
tersebut diberi tahukan kepada para penyihir, dan para penyihir itu menyebarkannya
kepada halayak manusia, kemudian para penyihir tersebut berkata: Sesungguhnya ini
adalah ilmu dari Sulaiman, dan ini terjadi pada masa kerajaan Sulaiman, maka Allah
mewajibkan manusia untuk mengerjakan hal ini!. Dan sesungguhnya Sulaiman tidak
pernah melakukan itu, akan tetapi itu adalah ilmu dari syaitan, mereka telah kafir karena
melakukan perbuatan sihir serta mengajarkannya kepada manusia. Kemudian mereka
menisbatkan perbuatan itu kepada Sulaiman. Dan mereka mengajarkan sihir kepada dua
malaikat di Babilonia, yaitu, Harut dan Marut, mereka berdua adalah manusia yang salih
71
dan taat. Manusia menyebut mereka malaikat sebagai ungkapan. 40 Kedua malaikat ini
mengajarkan manusia sihir yang dimana ilmu ini masih asing bagi manusia pada zaman
itu, untuk memungkinkan mereka membedakan antara sihir dengan mukjizat. Agar ketika
ada orang yang mengaku Nabi dan menunjukan sihir, mereka tahu itu bukanlah mukjizat,
tapi sihir, dan dia bukanlah Nabi.41
Harut dan Marut mengajarkan sihir kepada manusia supaya mereka waspada dan
hati-hati. Mareka tidak akan mengajarkan seseorang sebelum mereka mengatakan:
sesungguhnya kami adalah cobaan dan ujian dari Allah swt. Dan janganlah kalian
mempraktekan sihir ini dan mempercayai dampaknya, jika kalian melakukannya maka
kalian telah kafir, akan tetapi kalian hanya ingin mengetahuinya saja tanpa mempercayai
kebenarannya, dan dampak dari sihir ini dan tidak membahayakan orang lain.42 Manusia
belajar dari Harut dan Marut apa yang dapat memisahkan antara seorang suami dengan
istrinya, dan apa yang bisa mengkaburkan pandangan seseorang, menghipnotis orang, dan
sebaginya yang bisa memecah belah suatu kaum.
Dalam pandangan Zuhayli>, sihir pada dasarnya tidak dapat memberikan dampak
dengan sendirinya, dan tidak memiliki kekuatan di dalamnya, dan tidak dapat
menimbulkan bahaya kepada orang lain kecuali dengan kehendak Allah, sihir hanyalah
sebuah sebab saja. Jika ada seseorang yang terkena keburukan dari sihir, maka itu terjadi
karena izin Allah swt. Sesungguhnya Allah lah yang menciptakan sebab-sebabnya
tersebut, dan suatu sebab tidak akan terjadi jika tidak ada yang membuat penyebabnya.
Barang siapa yang mempelajari dan mempraktekan sihir itu, sesungguhnya ia mempelajari
hal yang dapat mencelakakan dirinya dan tidak menimbulkan manfaat baginya, karena
dari mempelajari sihir bisa menjadi sebab untuk mencelakakan manusia, dan dapat
menimbulkan keburukan. Dan Allah akan menghukumnya di akhirat kelak karena telah
mencelakakan manusia. Karena setiap perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya.43
Zuhayli> menuturkan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi yang
meninggalkan Kitabullah dan mengacuhkan Syariat agamanya, dan menggantinya
dengan kitab sihir harus dijadikan pelajaran bagi kaum Muslimin. Dari perbuatan itu,
mereka mendapatkan azab yang sangat pedih, karena telah melanggar hukum dalam
Taurat yang melarang untuk mempelajari sihir, dan memberi hukuman kepada pengikut
jin dan syaitan, penyihir seperti hukuman yang diberikan seorang penyembah berhala.
Mereka membiarkan apa yang mereka perbuat tersebut dengan mengganti kedudukan
taurat dengan sihir, hal tersebut didasarkan atas ketidak tahuan mereka terhadap
keharaman sihir dalam Aqidah, karena mereka hanya puas dengan pengetahuan mereka
yang sempit dan tidak memberikan manfaat dalam diri. 44
40
41
Ibid.
Ibid., 245
43
Ibid.
44
Ibid., 246.
42
72
45
Ibid.
Ibid., 247.
47
Ibid., 247-248.
46
73
orang dan bisa dikehendaki untuk melakukannya, sedangkan mukjizat hanya bisa
dilakukan atas kehendak Allah semata.48 Zuhayli> memberikan poin penting tentang sihir, yaitu:
1. Sihir adalah sesuatu yang tidak kasat mata atau tersembunyi.
2. Sihir, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran adalah tipu daya dan
memalingkan pandangan mata.
3. Trik sulap, ilmu hitam yg dipelalajari sekelompok orang, pengkeramatan arwah,
hipnotisme adalah termasuk kedalam sihir.
4. Hikayah al-Qura>n
bukanlah sebuah dalil bahwa penyebabnya
adalah karena sihir, akan tetapi itu adalah sebuah hikayah yang diketahui diantara
mereka.
5. Sihir tidak dapat memberikan pengaruh kepada siapapun, akan tetapi sihir hanyalah
sebuah sebab, sebagaimana firman Allah
6. Kalangan mazhab Hanafiyah dan Maliki mengatakan bahwa perbuatan sihir dapat
dihukumi kafir. Hal ini disandarkan pada firman Allah:
menurut mereka yang dimaksud di sini adalah sihir. Kemudian yang dimaksud dengan
firman Allah adalah dengan melakukan perbuatan sihir. Dan maksud dari
adalah termasuk dalam golongan tersebut dikarenakan mereka
74
Ibid., 251-253.
dibunuh, baik penyihir Muslim atau non Muslim; karena penyihir dihukumi kafir
disebabkan oleh perbuatan fasa>d-nya.
8. Dalam kitab Wahb ibn Munayyib dikatakan bahwa jika sihir dilakukan dengan cara
rukyah, minyak atau obat, lantas meyakini bahwa Allah swt, yang menciptakan sebabsebabnya, sedangkan alat-alat yang digunakan tadi merupakan salah satu sebabnya,
maka sihir yang seperti ini tidak dihukumi kafir, dan diperbolehkan.
9. Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan apakah Harut dan Marut seorang
malaikat atau bukan. Jumhur ulama berpandapat bahwa mereka berdua adalah
malaikat yang diutus Allah untuk memberikan penjelasan kepada manusia tentang
kekeliruan dari hal yang semstinya. Mereka mengungkapkan kepada manusia perihal
sihir yang dapat memperdaya manusia, dan melarang manusia untuk melakukannya,
mereka berkata: Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
menjadi kafir. Kedua malaikat tersebut menyeru manusia untuk meninggalkan sihir
buakan untuk melakukannya, karena malaikat adalah yang mengawasi wahyu Allah
dan menyampaikannya kepada Rasul-Nya.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, secara umum Zuhayli> memiliki metode
penafsiran ayat ah}ka>m khusunya tentang sihir relatif sama dengan mufassir-mufassir
terdahulu. Akan tetapi, penafsirannya memiliki karakter tersendiri yang yang ia sesuaikan
dengan keahliannya dan mencoba menyesuaikan penafsirannya dengan kondisi dan
tununan zaman, sehingga tafsirnya memberikan kontribusi dalam menjawab persoalan
umat di era modern ini.
Adapun perpspektifnya mengenai sihir adalah Sihir adalah tipu daya dengan
memalingkan pandangan mata manusia dari pandangan yang sebenarnya. Dan orang yang
melakukan sihir dapat dihukumi kafir. Pendapatnya tersebut didasarkan pada pendapat
Uma>r ibn Khat}t}a>b, Uthma>n ibn Affa>n, Ibn Umma>r, H{afs}ah, Abi> Mu>sa> al-Ashari> dan
Qays ibn Saad yang mengatakan bahwa sihir mengandung pengagungan terhadap sesuatu
selain Allah, sebagaimana yang dilakukan penyihir Babilonia yang mengagungkan
bintang-bintang. Mereka dihukumi kafir karena pengagungannya terhadap bintangbintang. Dan hukum tersebut berlaku pula kepada orang yang percaya bahwa para
penyihir mampu melakukan sesuatu diluar kemampuan manusia, dan mempercayai bahwa
mereka mampu melakukan mujizat seperti yang dilakukan oleh para Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya
Ali, Atabik, Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus al-As}ri> Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi
Karya Grafika, 1996.
Ali, A. Mukti. Metodologi Ilmu Agama dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (eds.),
Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
75
76