Anda di halaman 1dari 11

BAB III

TERAPI TUBERKULOSIS
3.1 PENGANTAR TERAPI
Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi
penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :
1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi
2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah
memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan
penggunaan obat. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor
risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain
dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota
keluarga,

mengatur

kepadatan

penduduk,

menghindari

meludah

sembarangan,

batuk

sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang. Dengan demikian
salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan. Penyuluhan TB dilakukan berkaitan
dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan TB.
Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk;
1) menyembuhkan penderita sampai sembuh,
2) mencegah kematian,
3) mencegah kekambuhan, dan
4) menurunkan tingkat penularan.
3.2 PRINSIP PENGOBATAN
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, makaprinsipprinsip yang dipakai adalah :

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif
o Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,

pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan


Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid.400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Kuinolon, Obat lain masih dalam penelitian
(makrolid, amoksilin + asam klavulanat), Derivat rifampisin dan Isoniazid

Dosis OAT
a) Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg

BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
b) INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
c) Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2 X
semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
d) Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
Rekomendasi WHO (1999) untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4
tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2
obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman
pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
Farmakologi Isoniazid
Isoniazid disintesis oleh Meyer dan Mally di University of Prague Jerman pada tahun
1912. Pada tahun 1952 secara independen dilakukan rediscovery oleh Bayer Laboratories di
Jerman, Hoffman-La Roche Laboratories di Switzerland / USA, dan Squibb Laboratories di
USA, masing-masing bekerja tanpa sepengetahuan satu sama lain (IUATLD, 2002). Nama
generiknya adalah Isoniazid / Isonicotinic acid hydrazide (INH) / 4-Pyridinecarboxylic acid
hydrazide dengan struktur seperti terlihat pada gambar 2.3 (Becker et al., 2007).
1. Mekanisme kerja dan indikasi terapi
Isoniazid hanya aktif terhadap mikobakteria. Efeknya terutama terhadap M. tuberculosis
complex, dan pada tingkat lebih rendah terhadap beberapa spesies mikobakteria lain misalnya,
M. kansasii. Minimum Inhibition Concentration (MIC) M. tuberculosis adalah 0.025-0.05 mg/L
dalam kaldu dan 0.1-0.2 mg/L dalam piring agar, hal ini menunjukkan ketidakpastian seputar

penentuan MIC. Isoniazid memiliki awal aktivitas bakterisidal yang paling ampuh dibandingkan
semua OAT lain. Menambahkan obat lain tidak akan meningkatkan aktivitas INH tersebut.
Dengan demikian, segera dapat diamati penurunan kemampuan mikobakteria dalam penularan
selama pengobatan tahap intensif, kemungkinan besar ini disebabkan aktivitas bakterisidal dari
isoniazid yang baik tersebut (IUATLD, 2002).
WHO merekomendasikan rentang dosis 4-6 mg/kg, dengan dosis harian maksimum tidak
melebihi 300 mg. Dosis maksimum 300 mg juga digunakan untuk terapi pencegahan pada
populasi dengan resiko tinggi. Pada dosis ini umumnya INH ditoleransi dengan baik (Becker et
al., 2007). Pada proses kinetikanya, INH cepat diserap melalui saluran cerna pada pemberian peroral (Sweetman, 2009; Becker et al., 2007; Teixeira et al., 2013) dan mencapai hati melalui
sistem vena porta. Sebelum mencapai sirkulasi sistemik INH akan mengalami metabolisme lintas
awal (first pass metabolism) dihati dan terjadi pengurangan bioavailabilitasnya. Sekitar 75% 95% dari INH diekskresikan oleh ginjal dalam 24 jam pertama, terutama sebagai metabolit
berbentuk asam asetilisoniazid dan asam isonikotinat (Texeira et al., 2013). Dalam jumlah yang
kecil INH diekskresikan melalui feses, dan terbuang pada proses hemodialisa (Sweetman, 2009).
Rute metabolik utama asetilasi isoniazid menjadi asetilisoniazid oleh enzim N-asetiltransferase 2
(NAT2) ditemukan di hati dan usus halus. Dalam hati, INH dimetabolisme menjadi
asetilisoniazid oleh N-asetiltransferase 2 (NAT2), diikuti oleh proses hidrolisis untuk menjadi
asetilhidrazin dan kemudian dioksidasi oleh sitokrom P4502E1 (CYP2E1) menjadi senyawa
intermediet yang bersifat hepatotoksik. Metabolit ini dapat merusak sel hepatosit, baik dengan
cara mengganggu homeostasis sel atau dengan memicu reaksi imunologis dimana metabolit yang
bersifat reaktif ini terikat pada protein plasma sel hepatosit dan bertindak sebagai hapten. Jalur
metabolisme lain yang berperan untuk menghasilkan metabolit toksik adalah hidrolisis langsung
INH menjadi hidrazin (hepatotoksin yang poten). N-asetiltransferase 2 (NAT2) juga bertanggung
jawab untuk mengkonversi asetilhidrazin menjadi diasetilhidrazin (komponen nontoksik).
Glutation S-transferase (GST) merupakan enzim detoksifikasi penting pada fase II, berperan
protektif sebagai pemungut/pengikat radikal bebas intraseluler, melalui reaksi konjugasi
glutation dengan metabolit toksik yang dihasilkan dari CYP2E1. Konjugasi sulfhidril
memfasilitasi pengeluaran metabolit dari tubuh dan mengurangi efek toksik. Dalam beberapa
tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa polimorfisme genetik pada
gen NAT2, CYP2E1 dan GST berkaitan dengan kerentanan terhadap kejadian hepatotoksisitas

yang diinduksi obat (drug-induced hepatotoxicity) selama pengobatan TB (Gambar 3 a & b)


(Teixeira et al., 2013).

Gambar.1 Alur metabolisme INH dan enzim enzim utama yang terlibat (terdapat didalam
tanda kotak) (Teixeira et al., 2013).

Gambar.2 Alur metabolisme INH (Preziosi, 2007).

Isoniazid masuk ke dalam sel M. tuberculosis secara difusi pasif. Isoniazid merupakan
prodrug yang diaktivasi oleh enzim katalase-peroksidase (KatG) yang berada didalam sel M.
tuberculosis. Enzim KatG memasangkan isonicotinic acyl (bentuk aktif INH) dengan NADH
untuk membentuk isonicotinic acyl-NAD complex. Kompleks ini berikatan erat pada enoylacylacyl carrier protein (ACP) reductase yang dikenal sebagai InhA sehingga memblokade substrat
alaminya (enoyl-AcpM) untuk dapat berikatan dan memblokade aktivitas sintesis asam lemak.
Proses ini menghambat sintesis asam mikolat yang diperlukan untuk dinding sel mikobakteria
(gambar 2.5 a & b) (FAD, 2013). Kompleks AcpM-KasA yang terlibat dalam sintesis asam
mikolat berikatan dengan INH aktif (Wang et al, 1997). Mekanisme kerja isoniazid secara detail
masih tetap sulit untuk dipahami, hanya mekanisme kerjanya secara umum yang telah dipahami
dengan baik (IUATLD, 2002).

Gambar. 3a Inhibisi sintesis asam mikolat oleh isoniazid (INH) (Wright, 2012).

Gambar.3b Potensi keterlibatan superoksida dalam aktivitas INH . INH sebagai prodrug yang
diaktifkan oleh protein KatG (katalase - peroksidase) atau oleh Mn2+. Di sebelah kiri gambar
adalah skema yang menunjukkan bentuk KatG non-aktif (FeIII KatG) yang diubah menjadi
bentuk aktif oleh dua jalur, salah satunya (a) membutuhkan superoksida (O2-). Di sebelah kanan
adalah skema yang menunjukkan aktivasi INH oleh jalur dependen Mn2+ yang juga melibatkan
superoksida (b), jalur ini dapat dihambat oleh superoksida dismutase (SOD). Jalur ini
ditunjukkan dengan garis putus-putus karena mungkin tidak signifikan secara in vivo. INH aktif
(INH*) menghambat sintesis asam mikolat dengan cara menonaktifkan InhA dan ACPM - KasA.
Spesies oksigen reaktif (ROS) timbul selama aktivasi INH atau akibat kehadiran superoksida (c).
Protein AhpC muncul untuk membatasi akumulasi kerusakan oksidatif makromolekul yang
diharapkan timbul dari aktivasi INH atau adanya superoksida. Garis bergelombang menunjukkan
penghambatan jalur, dan jalur dengan bar tegak lurus menunjukkan penghambatan enzim (Wang
et al., 1997).
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
- Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
- Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE

Paduan ini dianjurkan untuk:


a) TB paru BTA (+), kasus baru
b) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
c) TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
a) TB dengan lesi luas
b) Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi
kortikosteroid)
c) TB kasus berat (milier, dll)
2. TB Paru (kasus baru), BTA negative
- Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
- Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a) TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b) TB di luar paru kasus ringan
3. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan
obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
4. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4
-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan).
Dengan lama pengobatan minimal selama 1 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
-

Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, mak alternatif diberikan paduan obat : 2

RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)


Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

5. TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
-Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadual
-Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
a) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT
diberhentikan.
b) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
c) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
d) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologic positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
e) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.
6. TB Paru kasus kronik
-Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah
ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT
yang masih sensitive dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
-Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
-Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
-Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
C. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang
perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a) Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

c) Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.
2. Penderita rawat inap
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a) Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
b) Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c) Penderita dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a) Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b) Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c) Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)Bronkoskopi
-Punksi pleura
-Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh
-BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
-Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
-Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai