ABDELINA
312.145
Dosen Pembimbing
Prof.Dr.H.MAKMUR SYARIF.SH.,M.Ag
JURNA PETRI ROSZI.MA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis curahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga Makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan
dorongan serta bimbingan dari guru pembimbing, serta berbagai bantuan dari
berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
BAB I
PENDAHULUAN
Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan
dalam agama Islam. Namun dilihat dari segi manfaatnya,
pencatatan perkawinan sangat diperlukan. Kita melihat suatu
kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng. Tidak
sedikit terjadi perceraian, yang penyelesaiannya berakhir di
pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan
Agama dan di samping itu juga mendapat akta nikah, maka
untuk
menyelesaikan
kasus
perceraian
itu
lebih
mudah
terjadi
perselisihan
tidak
dapat
diajukan
kepada
pengadilan agama.
Apabila kita melihat fikih semata, maka pernikahan sudah
dipandang sah, sesudah memenuhi syarat dan rukun nikah.
Dampak di belakang hari sekiranya terjadi perselisihan yang
menjurus
kepada
perceraian,
kurang
dipikirkan
dan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam baik dalam al-quran maupun hadits
pencatatan perkawinan tidak diatur secara rinci. Namun karena tuntutan
perkembangan dengan berbagai pertimbangan kemashlahatan, hukum
perdata islam di Indonesia perlu mengaturnya untuk kepentingan kepastian
hukum di masyarakat.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur
melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anakanak dalam kehidupan rumah tangga.
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena
perkawinan merupakan akad suci, ia juga mengandung keperdataan. 1 Ini
dapat dilihat dalam penjelasan umum nomor 2 undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresipir dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia (stbl. 19 Nomor 74)
4. Bagi orang timur asing cina dan warga Negara Indonesia keturunan cina
berlaku ketentuan-ketentuan kitab undang-undang hukum perdata
1 Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers,
2013). Hal : 91
5. Bagi orang timur asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan
timur asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka
6. Bagi orang-orang warga eropa dan warga Negara Indonesia keturunan
eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku kitab undang-undang
hukum perdata.2
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan
umat Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya. UU ini merupakan
kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan, yang bersifat nasional yang
menempatkan hukum islam memiliki eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipir
oleh hukum adat. Amat wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan bahwa UU
perkawinan merupakan ajal teori receptive (istilah hazairin) yang dipelopori oleh
cristian snouck hourgronje. pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2
ayat (2) yang berbunyi, Tiap-tiap perkawinan di catat menurut perundangundangan yang berlaku.3
Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang
memahami ketentuan perkawinan lebih menekan perspektif fiqh. Menurut
pemahamn versi ini, perkawinan dianggap sah apabila syarat dan rukunnya
menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan yang dibuktikan
dengan akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih
ditemukan prkawinan dibawah tangan. Pasal 5 dan 6 KHI mengenai pencatatan
perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:
Pasal 5:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 1946 jo. UU
No.32 Tahun 1954.
Pasal 6:
2 Ibid. Hal : 91-92
3 Zainuddin. Hukum Perdata Islam Di Idonesia. . (Jakarta: Sinar Grafika ,2006).
Hal :27
ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang
dirugikan dapat mengadu dan mengajukan perkaranya kepengadilan.
Selain itu akta nikah berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari
perkawinan
itu.
Sehingga
tanpa
akta
dimaksud,
upaya
hukum
BAB III
KESIMPULAN
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan
dalam
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 2006. Sinar Grafika : Jakarta
Rofik, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 2013. Rajawali Pers : Jakarta