PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia, fakta menunjukkan bahwa: Indonesia termasuk salah satu dari 22 negara di
dunia dengan beban TB terbesar. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8%
(Global Report Tahun 2011) dari total jumlah pasien TB di dunia. Berdasarkan A Short Up
Date Global Tuberculosis Control pada tahun 2009, di Indonesia ditemukan dan diobati
sekitar 483.512 kasus TB dengan kematian sekitar 62.246.(1)
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Sekitar 75% pasien
TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Di
Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan
bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
pertama pada golongan penyakit infeksi.(1) (2) (3)
Sejak tahun 1995, Program Penanggulangan TB mengadopsi Strategi Directly
Observe
Treatment Short Course (DOTS) karena cost efective sehingga dapat mencegah Multiple
Drug Resistant (MDR) dan menurunkan angka insiden dan prevalensi. Tujuan pengobatan
TB paru adalah
untuk
menyembuhkan
pasien,
mencegah
kematian,
mencegah
kekambuhan,
1
memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat
Anti Tuberkulosis (OAT). (DEPKES. 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular, yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman TB biasanya menyerang organ paru, tetapi dapat
juga
menyerang organ tubuh lain. TB menyebar melalui udara, saat penderita infeksi TB aktif
batuk atau bersin. (4)
2.2. Etiologi
Tuberkulosis paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding
Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding
bakteri
sel
yang
kompleks
tersebut
menyebabkan
akan tetap tahan terhadap upaya dekolorisasi tersebut dengan larutan asam alkohol. (5)
2.3. Patogenesis
1) Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer.(5)
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu akibat sebagai berikut :(5)
a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c) Menyebar dengan cara:
sehingga
menimbulkan
obstruksi
pada
saluran
napas
Penyebaran
secara
hematogen
dan
limfogen.
Penyebaran
ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
o Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis) atau
o Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis
primer.
Basil Mycobacterium tuberculosis dapat masuk ke aliran darah dari lesi paru
atau limfonodi dan akan menyebar ke berbagai organ dimana akan terjadi lesi
granulomatosa. Pada pasien dengan infeksi HIV, TB Primer dapat berkembang
menjadi TB milier dan atau meningitis tuberkulosa. (6)
2) Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian menjadi tuberkulosis post primer, hal ini terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, malignansi, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
pneumoni
meluas,
membentuk
jaringan
perkejuan
(jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas
dengan
membungkus
diri
dan
akhirnya
mengecil.
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): Basil Tahan Asam (BTA)
positif atau BTA negatif;
1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen sputum hasilnya positif setelah 3 spesimen sputum SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif.
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
2.5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya. (9)
1) Gejala Klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. (9)
a) Gejala Respiratorik: (9)
batuk 3
minggu
batuk
darah
sesak
napas
nyeri
dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang sputum ke
luar. (9)
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. (9)
b) Gejala Sistemik: (9)
Demam
2) Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit
sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks
lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial,
3) Pemeriksaan Bakteriologik
a) Bahan Pemeriksaan
Pemeriksaan
bakteriologik
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis
cerebrospinal,
bilasan
bronkus,
bilasan
lambung,
kurasan
Selanjutnya
bahan
tersebut
ditampung dalam
pot
bermulut
lebar
berpenampang 6 cm dengan tutup ulir yang kuat dan tidak mudah pecah, lalu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis menggunakan metode pewarnaan ZiehlNeelsen. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD).(8)
Pencatatan hasil pembacaan berdasarkan skala IUATLD tahun 2000 adalah
sebagai berikut : (9)
4) Pemeriksaan Radiologi
Kecurigaan awal adanya TB paru sering didasarkan adanya abnormalitas
pemeriksaan radiologi toraks pada pasien dengan gejala-gejala respirasi. Sejumlah
studi menunjukkan bahwa angka kesalahan pembacaan rontgen toraks oleh ahli
mencapai 20%, misalnya sering sulit dibedakan lesi sikatrik dengan TB aktif, karena
itu interpretasi rontgen toraks harus disesuaikan dengan gambaran klinik dan
riwayat penyakit pasien.(11)
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atau indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).(9)
a) Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:(9)
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Fibrotik
Kalsifikasi
Pemeriksaan sendi dan tulang sangat penting untuk melihat sejauh mana
kerusakan yang ditimbulkan TB pada sendi dan tulang, karena sering didapatkan
ketidaksesuaian antara beratnya keluhan dengan derajat kerusakan. (9)
dan IgG/IgM TB. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis. (9)
d) Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M. Tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem
ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis.(9)
e) Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
prevalensi tuberkulosis rendah. (9)
Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel
dibawah ini:(2)
Tabel 2.1 Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis
Obat
Isoniazid (H)
Eyhambutol (E)
Kanamycin (Km)
Golongan-3 / Obat
Floroquinolone
Ofloxacin (Ofx)
Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Golongan-4 / Obat
bakteriostatik lini kedua
Ethionamide (Eto)
Prothionamide (Pto)
Cycloserine (Cs)
Clofazimine (Cfz)
Linezolid (Lzd)
Amoxilin-Clavunalate
(Amx-Clv)
Pyrazinamid (Z)
Rimfapicin (R)
Streptomycin (S)
Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)
Sifat
Isoniazid (H)
Bakterisid
Rimfapicin (R)
Bakterisid
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
Streptomycin (S)
Bakterisid
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
3x seminggu
5
(4-6)
10
(8-12)
25
(20-30)
15
(12-18)
15
(15-20)
10
(8-12)
10
(8-12)
35 (3040)
15
(12-18)
30
(20-35)
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
terdiri
dari
OAT
lini
ke-2
yaitu
Kanamycin,
Tahap Intensif
Tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 2 KDT
(dikutip dari 2)
Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengoba
tan
Tablet
Isoniazid
Tablet
Etambutol
Jumlah
hari/kali
menelan
Intensif
Lanjutan
2 Bulan
4 Bulan
@300 mgr
@450 mgr
@500 mgr
@250 mgr
obat
1
2
1
1
3
-
3
-
56
48
(dikutip dari 2)
2) Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya: (2)
Pasien kambuh
Pasien gagal
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
Tiap hari
3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
2 tab 4 KDT
2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
+ 2 tab Etambutol
3 tab 4 KDT
3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
+ 3 tab Etambutol
4 tab 4 KDT
4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
+ 4 tab Etambutol
5 tab 4 KDT
5 tab 4 KDT
5 tab 2 KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
+ 5 tab Etambutol
30-37 kg
38-54 kg
55 -70 kg
71 kg
Lama
Pengo
-batan
Tablet
Isoniazid
@ 300
mgr
Kaplet
Rifampicin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazin
a-mid
@ 500
mg r
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2bulan
1bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
4bulan
Etambutol
Tablet
Tablet
@ 250
@ 400
mgr
mgr
Stre
ptom
isin
inj.
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
0,75
-
56
28
60
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg
Lama
Pengoba
-tan
Tablet
Isoniazid
@ 300
mg r
Kaplet
Ripamfisin
@ 450 mgr
Tahp
intensif
(dosis
harian)
1 bulan
Tablet
Tablet
Jumlah
Pirazina- Etambu hari/kali
mid @
-tol @
menelan
500 mgr
250 mgr
obat
3
28
Tahap
Hasil
TB
Pengobatan
Pemeriksaan
Tindak Lanjut
Dahak
Pasien baru
dengan
Akhir Tahap
Negatif
Intensif
Positif
pengobatan
kategori 1
diberikan.
jika
Negatif
Pengobatan dilanjutkan
ke-5
Positif
pengobatan
Negatif
Pengobatan dilanjutkan
pengobatan
Positif
(AP)
Pasien paru
Akhir Tahap
BTA positif
Intensif
dengan
Negatif
Positif
pengobatan
ulang
kategori 2
Pada bulan
Negatif
Pengobatan diselesaikan
ke-5
Positif
pengobatan
layanan TB-MDR
Akhir
Negatif
Pengobatan diselesaikan
pengobatan
Positif
(AP)
layanan
TB-MDR
Pengobatan
2.10.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
Sebelum pengobatan
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan
gula darah, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut.
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka
sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan
lingkungan
dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
2.11.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. (2012). Panduan Tata Laksana Tuberkulosis Sesuai ISTC.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2. Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan TBC. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
3. Pekumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. (2012) Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Jakarta: Pekumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
4. Danusantoso H. Tuberkulosis Paru. In: Suyono J, editor. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.
2nd ed. Jakarta: EGC; 2010.p. 95-153.
5. Persatuan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia.
6.
7. Palomino L & Ritacco. Tuberculosis 2007. From basic science to patient care, available at
www.TuberculosisTextbook.com
8. Tim DOTS TB RSUP Dr. Kariadi. (2013). Kumpulan Naskah Simposium Tuberkulosis
Holistic Approach of TB Management. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenegoro.
9. Persatuan Dokter Paru Indonesia. (2011). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia.
10. Isemen MD. A Clinicians Guide to Tuberculosis. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, (2007).
11. Aditama TY. Tuberkulosis, Diagnosa, Terapi dan Masalahnya.4th ed. Jakarta: Yayasan
Ikatan Dokter Indonesia; (2002). p.12-95.