Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia, fakta menunjukkan bahwa: Indonesia termasuk salah satu dari 22 negara di
dunia dengan beban TB terbesar. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8%
(Global Report Tahun 2011) dari total jumlah pasien TB di dunia. Berdasarkan A Short Up
Date Global Tuberculosis Control pada tahun 2009, di Indonesia ditemukan dan diobati
sekitar 483.512 kasus TB dengan kematian sekitar 62.246.(1)
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Sekitar 75% pasien
TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Di
Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan
bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
pertama pada golongan penyakit infeksi.(1) (2) (3)
Sejak tahun 1995, Program Penanggulangan TB mengadopsi Strategi Directly
Observe
Treatment Short Course (DOTS) karena cost efective sehingga dapat mencegah Multiple
Drug Resistant (MDR) dan menurunkan angka insiden dan prevalensi. Tujuan pengobatan
TB paru adalah

untuk

menyembuhkan

pasien,

mencegah

kematian,

mencegah

kekambuhan,
1

memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat
Anti Tuberkulosis (OAT). (DEPKES. 2008).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular, yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman TB biasanya menyerang organ paru, tetapi dapat
juga
menyerang organ tubuh lain. TB menyebar melalui udara, saat penderita infeksi TB aktif
batuk atau bersin. (4)

2.2. Etiologi
Tuberkulosis paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding
Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis

ialah asam mikolat,

lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding
bakteri

sel

yang

kompleks

tersebut

menyebabkan

Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai

akan tetap tahan terhadap upaya dekolorisasi tersebut dengan larutan asam alkohol. (5)

2.3. Patogenesis
1) Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer.(5)
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu akibat sebagai berikut :(5)
a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c) Menyebar dengan cara:

Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya


Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar

sehingga

menimbulkan

obstruksi

pada

saluran

napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan


menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru


sebelahnya atau tertelan

Penyebaran

secara

hematogen

dan

limfogen.

Penyebaran

ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
o Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis) atau
o Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis
primer.
Basil Mycobacterium tuberculosis dapat masuk ke aliran darah dari lesi paru
atau limfonodi dan akan menyebar ke berbagai organ dimana akan terjadi lesi
granulomatosa. Pada pasien dengan infeksi HIV, TB Primer dapat berkembang
menjadi TB milier dan atau meningitis tuberkulosa. (6)
2) Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian menjadi tuberkulosis post primer, hal ini terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, malignansi, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk


tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior
paru-paru. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Dalam
310 minggu sarang ini menjadi granuloma/tuberkuloma yang tersusun atas sel
-sel Histiosit dan sel Datia Langhans (sel besar dengan banyak sel inti) yang
dikelilingi sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (5) (7)
Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: (8)
a) Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
b) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan perkejuan dan menimbulkan kaviti bila jaringan
perkejuan dibatukkan keluar.
c) Sarang

pneumoni

meluas,

membentuk

jaringan

perkejuan

(jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas

memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut


tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh

dengan

membungkus

diri

dan

akhirnya

mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut


sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2.1 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer

dikutip dari (5)


2.4. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:(2)

Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): Basil Tahan Asam (BTA)
positif atau BTA negatif;

Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati;

Status HIV pasien.


Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak dimasukkan

dalam penentuan definisi kasus.(2)

1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena: (2)


a) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus
b) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain
Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (sputum) mikroskopis
Keadaan ini terutama ditujukan pada TB Paru:(2)
a) Tuberkulosis paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)


hasilnya BTA positif.

1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

1 atau lebih spesimen sputum hasilnya positif setelah 3 spesimen sputum SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.

b) Tuberkulosis paru BTA (-)


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus
meliputi:(2)

Paling tidak 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif

Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif.

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai
klasifikasi tipe pasien, yaitu:(2)
a) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau
negatif b) Kasus yang sebelumnya diobati

Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.

Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

c) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya. d) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang

tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,

kembali diobati dengan BTA negative.

2.5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya. (9)
1) Gejala Klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. (9)
a) Gejala Respiratorik: (9)

batuk 3
minggu

batuk
darah

sesak
napas

nyeri
dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang sputum ke
luar. (9)
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. (9)
b) Gejala Sistemik: (9)

Demam

Malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun

2) Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit
sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks

lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,


diafragma dan mediastinum. (9)

3) Pemeriksaan Bakteriologik
a) Bahan Pemeriksaan
Pemeriksaan

bakteriologik

untuk

menemukan

kuman

tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan


untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari sputum, cairan pleura,
liquor

cerebrospinal,

bilasan

bronkus,

bilasan

lambung,

kurasan

bronkoalveolar dan jaringan biopsi.(8)


b) Cara Pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan sputum 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau
dengan cara: (8)

Sewaktu/spot (sputum sewaktu saat kunjungan)

Sputum pagi (keesokan harinya)

Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Selanjutnya

bahan

tersebut

ditampung dalam

pot

bermulut

lebar

berpenampang 6 cm dengan tutup ulir yang kuat dan tidak mudah pecah, lalu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis menggunakan metode pewarnaan ZiehlNeelsen. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD).(8)
Pencatatan hasil pembacaan berdasarkan skala IUATLD tahun 2000 adalah
sebagai berikut : (9)

a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif


b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang hasilnya meragukan
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ atau (2+)
e) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ atau (3+)
Jumlah kuman yang ditemukan merupakan informasi yang sangat penting karena
berhubungan dengan derajat penularan penderita maupun dengan beratnya penyakit.
Sebagian di negara-negara berkembang, pemeriksaan dahak secara mikroskopik
merupakan satu-satunya cara dimana diagnosis TB Paru dapat dipastikan.(10)

4) Pemeriksaan Radiologi
Kecurigaan awal adanya TB paru sering didasarkan adanya abnormalitas
pemeriksaan radiologi toraks pada pasien dengan gejala-gejala respirasi. Sejumlah
studi menunjukkan bahwa angka kesalahan pembacaan rontgen toraks oleh ahli
mencapai 20%, misalnya sering sulit dibedakan lesi sikatrik dengan TB aktif, karena
itu interpretasi rontgen toraks harus disesuaikan dengan gambaran klinik dan
riwayat penyakit pasien.(11)
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atau indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).(9)
a) Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:(9)
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen lobus bawah

Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

b) Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif : (9)

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura

Pemeriksaan sendi dan tulang sangat penting untuk melihat sejauh mana
kerusakan yang ditimbulkan TB pada sendi dan tulang, karena sering didapatkan
ketidaksesuaian antara beratnya keluhan dengan derajat kerusakan. (9)

5) Pemeriksaan penunjang lain


a) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M. Tuberculosis.(9)
b) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) penting sebagai indikator
kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan. (9)
c) Pemeriksaan Serologi
Dapat dilakukan dengan metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA),
Myocodot, Immunochromatograpic (ICT), Peroksidase Anti Peroksidase (PAP),

dan IgG/IgM TB. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis. (9)
d) Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M. Tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem
ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis.(9)
e) Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
prevalensi tuberkulosis rendah. (9)

Bagan 2.1 Alur diagnosis TB Paru

dikutip dari (9)


2.6. Pengobatan Tuberkulosis
1) Tujuan, dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).(2)

Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel
dibawah ini:(2)
Tabel 2.1 Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis

Obat

Golongan-1 Obat Lini


Pertama

Isoniazid (H)
Eyhambutol (E)

Golongan-2 / Obat Suntik/


Suntikan Lini kedua

Kanamycin (Km)

Golongan-3 / Obat
Floroquinolone

Ofloxacin (Ofx)
Levofloxacin (Lfx)

Moxifloxacin (Mfx)

Golongan-4 / Obat
bakteriostatik lini kedua

Para amino salisilat


(PAS)
Terizidone (Trd)
Thiocetazone (Thz)
Clarithomycin (Clr)
Imipenem (Ipm)

Golongan-5 / Obat yang


belum terbukti efikasinya
dan tidak direkomendasikan
oleh WHO

Ethionamide (Eto)
Prothionamide (Pto)
Cycloserine (Cs)
Clofazimine (Cfz)
Linezolid (Lzd)
Amoxilin-Clavunalate
(Amx-Clv)

Pyrazinamid (Z)
Rimfapicin (R)
Streptomycin (S)
Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)

dikutip dari (2)

Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama


Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H)

Bakterisid

Rimfapicin (R)

Bakterisid

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

Streptomycin (S)

Bakterisid

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)


Harian

3x seminggu

5
(4-6)
10
(8-12)
25
(20-30)
15
(12-18)
15
(15-20)

10
(8-12)
10
(8-12)
35 (3040)
15
(12-18)
30
(20-35)

dikutip dari (2)


Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: (2)
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Awal (intensif)


o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi)dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

2.7. Paduan OAT dan Peruntukannya


1) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia: (2)

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di


Indonesia

terdiri

dari

OAT

lini

ke-2

yaitu

Kanamycin,

Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS,


serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan


dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien. (2)
c) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT
ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. (2)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan. (2)
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
(2)

a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin


efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
2) Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: (2)

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

Tahap Intensif
Tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 2 KDT

(dikutip dari 2)
Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap
Pengobatan

Lama
Pengoba
tan

Tablet
Isoniazid

Dosis per hari / kali


Kaplet
Tablet
Rifampisin Pirazinamid

Tablet
Etambutol

Jumlah
hari/kali
menelan

Intensif
Lanjutan

2 Bulan
4 Bulan

@300 mgr

@450 mgr

@500 mgr

@250 mgr

obat

1
2

1
1

3
-

3
-

56
48

(dikutip dari 2)
2) Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya: (2)

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Berat
Badan

Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
Tiap hari
3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
2 tab 4 KDT
2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
+ 2 tab Etambutol
3 tab 4 KDT
3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
+ 3 tab Etambutol
4 tab 4 KDT
4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
+ 4 tab Etambutol
5 tab 4 KDT
5 tab 4 KDT
5 tab 2 KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
+ 5 tab Etambutol

30-37 kg
38-54 kg
55 -70 kg
71 kg

dikutip dari (2)


Tabel 2.6 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Tahap
Pengobatan

Lama
Pengo
-batan

Tablet
Isoniazid
@ 300
mgr

Kaplet
Rifampicin
@ 450 mgr

Tablet
Pirazin
a-mid
@ 500
mg r

Tahap
Intensif
(dosis
harian)

2bulan
1bulan

1
1

1
1

3
3

3
3

Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

4bulan

Etambutol
Tablet
Tablet
@ 250
@ 400
mgr
mgr

Stre
ptom
isin
inj.

Jumlah
hari/kali
menelan
obat

0,75
-

56
28

60

dikutip dari (2)


Catatan: (2)

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan


aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). (2)
Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
2 tab 4 KDT
3 tab 4 KDT
4 tab 4 KDT
5 tab 4 KDT

30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

dikutip dari (2)


Tabel 2.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tahap
Pengobata
n

Lama
Pengoba
-tan

Tablet
Isoniazid
@ 300
mg r

Kaplet
Ripamfisin
@ 450 mgr

Tahp
intensif
(dosis
harian)

1 bulan

Tablet
Tablet
Jumlah
Pirazina- Etambu hari/kali
mid @
-tol @
menelan
500 mgr
250 mgr
obat
3

28

dikutip dari (2)


Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa
indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini
pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT
lini kedua. (2)

2.8. Pemantauan Kemajuan Pengobatan


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif. (2)
Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 2.9 Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Mikroskopis
Tipe Pasien

Tahap

Hasil

TB

Pengobatan

Pemeriksaan

Tindak Lanjut

Dahak
Pasien baru
dengan

Akhir Tahap

Negatif

Tahap lanjutan dimulai.

Intensif

Positif

Dilanjutkan dengan OAT sisipan

pengobatan

selama 1 bulan. Jika setelah sisipan

kategori 1

masih tetap positif: tahap lanjutan


tetap

diberikan.

jika

memungkinkan, lakukan biakan, tes


resistensi atau rujuk ke layanan TBMDR
Pada bulan

Negatif

Pengobatan dilanjutkan

ke-5

Positif

Pengobatan diganti dengan OAT

pengobatan

Kategori 2 mulai dari awal. Jika


memungkinkan, lakukan biakan, tes

resistensi atau rujuk ke layanan TBMDR


Akhir

Negatif

Pengobatan dilanjutkan

pengobatan

Positif

Pengobatan diganti dengan OAT

(AP)

Kategori 2 mulai dari awal. Jika


memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TBMDR

Pasien paru

Akhir Tahap

BTA positif

Intensif

dengan

Negatif

Teruskan pengobatan dengan tahap


lanjutan.

Positif

Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah

pengobatan

sisipan masih tetap positif, teruskan

ulang

pengobatan tahap lanjutan. Jika

kategori 2

setelah sisipan masih tetap positif:


-

tahap lanjutan tetap diberikan

jika memungkinkan, lakukan


biakan, tes resistensi atau rujuk
ke layanan TB-MDR

Pada bulan

Negatif

Pengobatan diselesaikan

ke-5

Positif

Pengobatan dihentikan , rujuk ke

pengobatan

layanan TB-MDR

Akhir

Negatif

Pengobatan diselesaikan

pengobatan

Positif

Pengobatan dihentikan , rujuk ke

(AP)

layanan

TB-MDR

Pengobatan

dihentikan , rujuk ke layanan TBMDR Pengobatan dihentikan, rujuk


ke layanan TB-MDR

dikutip dari (2)

2.9. Hasil Pengobatan


Hasil pengobatan pasien TB paru dengan BTA positif dapat dikategorikan
sebagai berikut:(2)
1) Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya
2) Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
3) Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4) Putus berobat (Default)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
5) Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
6) Pindah (Transfer out)
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
7) Keberhasilan pengobatan (treatment success)
Jumlah yang sembuh dan pengobatan

2.10.

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek

samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat: (19)


1) Evaluasi klinik

Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan


selanjutnya setiap 1 bulan

Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit

Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

2) Evaluasi bakteriologi ( 0 - 2 6/8 bulan pengobatan )

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi sputum

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik


o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
o Pada akhir pengobatan

Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

3) Evaluasi radiologi (0 - 2 6/9 bulan pengobatan).


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :

Sebelum pengobatan

Setelah 2 bulan pengobatan

Pada akhir pengobatan.

4) Evaluasi efek samping secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap

Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin, dan
gula darah, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan

Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol

Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan


audiometri

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut.

5) Evaluasi keteraturan berobat

Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka
sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan
lingkungan

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah


resistensi.
6) Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA sputum dan foto toraks. Mikroskopik BTA

dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
2.11.

Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat
penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana
pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang
baku. (2)
Pencatatan dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
formulir yaitu : (2)
1) Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06)
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05)
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
4) Kartu indentitas pasien TB (TB.02)
5) Register TB fasyankes (TB.03 fasilitas kesehatan)
6) Formulir rujukan/ pindah pasien (TB.09)
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien Tb pindahan (TB.10)
8) Register Laboratoriun TB (TB.04)

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. (2012). Panduan Tata Laksana Tuberkulosis Sesuai ISTC.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2. Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan TBC. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
3. Pekumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. (2012) Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Jakarta: Pekumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
4. Danusantoso H. Tuberkulosis Paru. In: Suyono J, editor. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.
2nd ed. Jakarta: EGC; 2010.p. 95-153.
5. Persatuan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia.
6.

Nemery B, Yew WW. Albert R, et al. (2005). Tuberculosis, nontuberculous lung


infection, pleuraldisorders, pulmonary function, respiratory muscles, occupational lung
disease, pulmonary infections, and social issues in AJRCCM in 2004. Am. J. Respir.
Crit. Care Med. 171 (6): 554-62.

7. Palomino L & Ritacco. Tuberculosis 2007. From basic science to patient care, available at
www.TuberculosisTextbook.com
8. Tim DOTS TB RSUP Dr. Kariadi. (2013). Kumpulan Naskah Simposium Tuberkulosis
Holistic Approach of TB Management. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenegoro.
9. Persatuan Dokter Paru Indonesia. (2011). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia.

10. Isemen MD. A Clinicians Guide to Tuberculosis. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, (2007).
11. Aditama TY. Tuberkulosis, Diagnosa, Terapi dan Masalahnya.4th ed. Jakarta: Yayasan
Ikatan Dokter Indonesia; (2002). p.12-95.

Anda mungkin juga menyukai