Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Virus Varicella Zoster (VVZ) merupakan family human (alpha) herpes virus.
Virus terdiri atas genom DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein
di bungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu
varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles).1 Infeksi virus varicella-zoster
(VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar air dapat menyerang hampir setiap
individu di seluruh dunia. Setelah sembuh dari varisela, virus menetap laten pada
ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami reaktivasi menjadi herpes zoster (HZ),
atau yang lebih dikenal dengan nama shingles atau dompo. Herpes zoster merupakan
penyakit kulit yang bercirikan timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan
disertai rasa nyeri yang hebat. 2
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi
virus varisela zoster (VVZ) yang laten terutama dalam sel neuronal dan kadang-kadang
di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial,
menyebar

ke dermatom atau jaringan saraf

yang sesuai dengan segmen yang di

persyarafinya. 3
Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah pajanan VVZ
sebelumnya (cacar air, vaksinasi), usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais,
obatobatan imunosupresif, HIV/AIDS, transplantasi sumsum tulang atau organ,
keganasan, terapi steroid jangka panjang, stres psikologis, trauma dan tindakan
pembedahan. 2,3
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul
sepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan dalam

morbiditas antara pria dan wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika Utara,
diperkirakan ada sekitar 1,5-3 per 1000 orang per tahun pada segala usia dan kejadian
meningkat tajam pada usia lebih dari 60 tahun yaitu sekitar 7-11 per 1000 orang per
tahun. Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari
2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. 2
Hampir 90% akan mengalami nyeri. Nyeri akut maupun nyeri kronisnya dapat
mengganggu kualitas hidup. Bahkan berdasarkan pengukuran derajat nyeri dari
literature Katz J & Melzack R, nyeri akut herpes zoster berada pada derajat yang lebih
nyeri daripada nyeri melahirkan. 3
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster
merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi
herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level
kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat
mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga tuntas kecuali pada
perjalanannya timbul komplikasi.4
Berdasarkan uraian di atas, maka laporan kasus ini di buat dimaksudkan untuk
menambah pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa
komplikasi,

mulai

dari

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

diagnosis,

hingga

penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki


informasi yang semakin baik tentang herpes zoster sehingga dalam pelayanan primer di
masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan dalam SKDI dapat sepenuhnya
tercapai.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS
Nama
Umur
Agama
Jenis Kelamin
Tanggal Pemeriksaan
Alamat
Ruangan

: Ny. R
: 61 Tahun
: Kristen
: Perempuan
: 12 Oktober 2016
: Jl. Sultan Badarudin
: Poliklinik Kulit dan Kelamin

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Muncul vesikel berisi air dipinggang kanan disertai nyeri dan
gatal.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Berdasarkan anamnesis dengan pasien di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada tanggal 1 oktober 2016 pada seorang wanita
berusia 61 tahun didapatkan keluhan yang di rasakan pertama berupa muncul nyeri
pada perut bawah sebelah kanan yang di rasakan menjalar sampai ke pinggang sejak
tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul lenting-lenting berkelompok berisi air sejak 1
hari yang lalu yang disertai rasa gatal. Dengan melihat lesi, tampak pada regio
torakal posterior dekstra, terdapat vesikel soliter bergerombol, dengan ukuran
lentikular, terletak di atas kulit dengandasar eritematosa. Pada palpasi teraba kulit
yang hangat, vesikel teraba lunak dengan permukaan yang licin.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien menderita cacar air pada saat masih SD. Asma (-) alergi terhadap obat

maupun makanan (-). Riwayat darah tinggi di sangkal


Riwayat Penyakit Keluarga :
Saat ini tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat penyakit kulit lainnya pada keluarga di sangkal. Asma (-) alergi terhadap
obat maupun makanan (-).

III.

IV.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Tampak Sakit Ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda-tanda vital
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular
Suhu : 36oC
RR : 20 x/menit
Kepala
: Conjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Napas Cuping hidung(-/-),
Bibir Sariawan (+)
Leher
: dalam batas normal
Paru-paru : dalam batas normal
Jantung
: dalam batas normal
Perut
: dalam batas normal
Anggota Gerak : dalam batas normal
STATUS DERMATOLOGIS
Regio

: Torakal Posterior Dekstra

UKK

: Vesikel berisi cairan jernih dengan dasar eritema + soliter + ukuran


lentikular. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak
dengan permukaan yang licin.

Gambar 1. Lesi Kulit Pada Pasien


V. DIAGNOSIS
- Herpes Zoster
VI.
TERAPI
- Fuson krim 5gram

VII.

Valaciclovir 3x1000 mg/ hari selama 5 hari


Paracetamol 500 mg 3 x 1
Cetirizine 1x1 malam hari
PROGNOSIS
Ad vitam

: ad bonam

Ad fungtionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 DEFINISI
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisela-zoster (VVZ)
yang menyerang kulit dan mukosa. Herpes zoster merupakan reaktivasi virus yang
terjadi setelah infeksi primer.5,6
III.2 EPIDEMIOLOGI
Penyebarannya sama seperti varisela. Penyakit ini merupakan reaktivasi dari virus
setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela. Terkadang varisela terjadi secara
subklinis.5 Sekitar 4% penderita herpes zoster mengalami episode berulang setelahnya.
Herpes zoster yang berulang hampir khas terjadi pada penderita dengan sistem imun
yang rendah. Sekitar 25% penderita dengan HIV dan 7-9% penderita yang mendapatkan
transplantasi ginjal atau jantung mengalami episode berulang.6
Walaupun reaktivasi herpes zoster dapat terjadi pada usia berapapun, namun
penyakit ini jarang ditemukan pada usia anak-anak, dan lebih sering pada usia dewasa,
biasanya pada orang tua diatas 60 tahun.6,7
Faktor risisko herpes zoster terdapat pada orang-orang yang mengalami
penurunan sistem imun seperti pada individu dengan HIV, sedang menjalani
kemoterapi,

mendapat

transplantasi

sumsum

tulang

dengan

menggunakan

kortikosteroid, penderita kanker dengan terapi imunosupresif, penderita sindrom

inflamasi rekonstitusi imun (IRIS), dan penderita leukimia limpositis akut dan individu
dengan keganasan lain.6,7,8
III.3 ETIOLOGI
Reaktivasi VVZ yang telah menjadi dorman, sering dalam puluhan tahun setelah
infeksi primer dalam bentuk varisela, menjadi herpes zoster. Penyebab pasti timbulnya
reaktivasi tersebut masih belum diketahui, akan tetapi mungkin penyebabnya adalah
salah satu atau kombinasi dari beberpa faktor seperti eksposur eksternal dengan VVZ,
proses penyakit akut atau kronis (Terutama infeksi dan keganasan), beberapa jenis
pengobatan, dan stres emosional.6
Alasan mengapa hanya satu akar ganglion dorsal saja yang mengalami reaktivasi
virus sementara tidak terjadi reaktivasi pada ganglia lain masih belum jelas. Menurunya
imunitas seluler diperkirakan meningkatkan resiko aktivasi kembali, dimana keadaan
tersebut meningkat sesuai dengan usia.6
III.4 PATOGFISIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai
ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau
neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor
seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi
malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang,
atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka
menimbulkan gejala gangguan motorik.5,8

Infeksi VVZ menyebabkan 2 sindrom yang berbeda. Infeksi primer, varisela,


adalah penyakit demam yang menular biasanya ringan. Setelah infeksi primer selesai,
partikel virus menetap di ganglia saraf perifer dimana virus menjadi dorman untuk
beberapa tahun hingga puluhan tahun. Pada periode tersebut, mekanisme pertahanan
tubuh induk menekan replikasi virus, akan tetapi VVZ teraktivasi kembali saat
mekanisme pertahanan tubuh induk gagal menekan replikasi virus. Kegagalan tersebut
dapat disebabkan oleh banyak keadaan, mulai dari stres hingga imunosupresif berat,
terkadang juga diikuti dengan trauma langsung. Viremia VVZ terjadi saat infeksi
primer, namun dapat juga muncul pada fase reaktivasi dengan jumlah virus yang lebih
sedikit.6
Setelah VVZ teraktivasi kembali, terjadi respon inflamasi di akar ganglion dorsal
yang dapat diikuti dengan nekrosis hemoragik dari sel saraf menyebabkan kehilangan
neuronal atau fibrosis. Frekuensi efek pada kulit berkorelasi dengan distribusi
sentripetal dari lesi varisela. Pola ini menunjukkan latensi mungkin terjadi akibat
penyebaran penularan virus saat varisela dari kulit yang terinfeksi dari darah saat fase
viremik dari varisela, dan frekuensi dermatom yang terkena efek herpes zoster mungkin
merupakan ganglia yang paling sering terkena stimuli reaktivasi.6
Episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes melalui rongga
hidung kemudian virus masuk ke nasofaring yang akan diterima oleh limfonoduli di
nasofaring. Di sini virus akan melakukan replikasi, lalu virus akan keluar lagi ke udara.
Tahap ini disebut viremia 1, penderita akan merasakan gejala prodormal berupa mual,
subfebris, malese.Selanjutnya virus akan masuk ke RES, terjadilah penggabungan virus
dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi bila mencapi ujung
pembuluh darah akan menimbulkan kelainan pada kulit.Tahap ini disebut viremia II
7

yang biasanya disertai febris. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke
ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi hasil reaktivasi
virus varicella yang menetap di ganglion sensori setelah infeksi chickenpox pada masa
anakanak. Sekitar 20% orang yang menderita cacar akan menderita shingles selama
hidupnya dan biasanya hanya terjadi sekali. Pada herpes zoster ophthalmikus virus yang
dorman di ganglioon nervus trigeminus mengalami reaktivasi bergerak ke cabang
pertama nervus trigeminus yaitu nervus ophtalmikus. Seperti perjalanan virus, hal itu
mengarah pada perineural dan intraneural peradangan, yang dapat merusak mata itu
sendiri dan / atau struktur sekitarnya.1,9, 10
III.5 DERMATOM
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis.
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak.
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf
spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara
longitudinal sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti
infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul
sebagai lesi pada dermatom tertentu.11

Gambar 2. Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia


III.6 DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinis 3,5
Gejala Prodromal
Berlangsung 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah
dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang
bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau
sebagai serangan yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari rasa gatal,
kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuktusuk.
Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala
konstitusi berupa malaise, sefalgia, other flu like syndrome yang biasanya

akan menghilang setelah erupsi kulit timbul. Kadang-kadang dapat terjadi


limfadenopati regional
Erupsi kulit
Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
di persarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh

bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis.


Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papulpapul dan dalam waktu 1224 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada
hari ketiga berubah menjadi pustul yang akan mengering menjadi krusta
dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 23 minggu kemudian

mengelupas. Pada saat ini biasanya nyeri segmental juga menghilang.


Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai

hari ketujuh.
Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan macula hiperpigmentasi dan

jaringan parut (pitted scar)


Erupsi umumnya disertai nyeri (60-90% kasus)
B. Pemeriksaan Laboratorium 3
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang
meragukan.

Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel di mana terlihat multi

nucleated sel)
Identifikasi antigen/asam nukleat VVZ dengan metode PCR
III.7 DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks zosteriformis
Dermatitis kontak iritan
Dermatitis venenata
Luka bakar 3,8
III.8 PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan HZ, dikenal strategi 6 A:
1. Attract patient early
- Pasien : untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal, pengobatan sedini
mungkin dalam waktu 72 jam setelah erupsi ulit

10

Dokter : diagnosis dini, anamnesis dan pemeriksaan fisik secara seksama dan

lengkap
2. Asses patient fully
Memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko
komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kemungkinan imunokompromais,
kemungkinan deficit motorik dan kemungkinan terkenanya organ dalam.
3. Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ durasi HZ,
serta nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis, multicenter
randomized doubleblind controlled trial. Masuk dalam kategori high degree of
confidence. Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada :
usia > 50 thn
dengan risiko terjadinya NPH
HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sacral
imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
anak-anak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral
bila disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt,
imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
Pengobatan Antivirus :
-

Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 710hari atau


Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Pengobatan Antivirus pada pasien imunokompromais

Asiklovir dewasa : 45 x 800 mg/hari atau


Asiklovir iv 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highlyimunocompromais, multi

segmental/diseminata
Valasiklovir untuk dewasa : 3 x 1 gram/hari atau
Famsiklovir untuk dewasa : 3 x 500 mg/hari.
Pada kasus yang hebat selain pemberian IV acyclovir ditambahkan
Interferon Alpha 2a

11

Acyclovir resisten diberi Foscarnet


Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala
klinik belum menghilang : berikan acyclovir 2 x 400 mg perhari atau
Valacyclovir 500 mg perhari.

4. Analgetik
- Nyeri ringan: parasetamol/NSAID
- Nyeri sedang sampai berat: kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)
5. Antidepressant/antikonvulsant
6. Allay anxietas-counselling
a. Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan serta
ketidak-pahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya
b. Mempertahankan kondisi mental dan aktivitas fisik agar tetap optimal
c. Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya. 3
III.9 KOMPLIKASI
Postherpetic Neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering
terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak
saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic
neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri
akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat
penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri
neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes
zoster menghilang.5
Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul
oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami
lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum
timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan
pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit

12

berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan
obat immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen
penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30
hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa
sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit). 10
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes
zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama
masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut
syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau
impuls abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor
hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke
medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.
Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang
kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung
dan tepi hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel
pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi
adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik,
ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut.

13

3,5

III.10
PROGNOSIS
Pada lesi yang menyerang organ viseral terutama pada kemoterapi, mortalitas
mencapai 30 %. Apalagi kalau jumlah limfosit menurun menjadi < 500/mikroliter.
Varisela pneumoni dapat muncul 37 hari setelah serangan infeksi kulit,
berlangsung 2 4 minggu.
III.11
PENCEGAHAN
Pada anak dengan imunokompeten yang pernah menderita varisela maka tidak
diperlukan tindakan pencegahan. Pencegahan diberikan kepada mereka yang memiliki
resiko tinggi menderita varisela yang fatal seperti pada neonatus, pubertas, dan dewasa
dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala varisela. Biasanya pencegahan
diberikan melalui vaksin.3
1) Imunisasi Pasif

Menggunakan VZIG (varicella zoster immnuglobulin)

Pemberian dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajan VVZ,
pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah varicella sedangkan pada
anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan gejala varicella

VZIG dapat diberikan pada yaitu :


-

Anak-anak yang berusia < 15 tahun yang belum pernah menderita varicella
atau herpes zoster

Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella atau
herpes oster dan tiak mempunyai antidbodi terhadap VVZ

Bayi yang baru lahir, di mana ibunya menderita varicella dalam kurun
waktu 5 hari atau sebelum 48 jam stelah melahirkan

Bayi prematur dan bayi usia < 14 hari yang ibunya belum pernah
menderita varicella atau herpes zoster

Dosis 125 U/10Kg BB


14

dosis minimum : 125 U dan dosis maksimum 625 U


-

Pemberian secara IM tidak diberikan IV

Perlindungan yang didapat bersifat sementara

2) Imunisasi Aktif

Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus dan kekebalan yang

didapat bertahan hingga 10 tahun


Di gunakan di Amerika sejak tahun 1995
Daya proteksi melawan varicella berkisar antara 71 100 %
Vaksin efektif jika diberikan pada umur 1 tahun dan direkomendasikan

diberikan pada usia 12-18 bulan


Anak yang berusia 13 tahun yang tidak menderita varicella
direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan

dalam 2 dosis dengan jarak 4-8 minggu


Pemberian secara subcutan
Efek samping : kadang-kadang dapat timbul demam ataupun reaksi lokal
seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3-5% anak-anak dan

timbul 10-21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan


Vaksin varicella : varivax
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat menyebabkan
terjadinya congenital varicella.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini dilaporkan seorang perempuan berumur 61 tahun dengan Herpes
zoster torakalis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan anamnesis dengan pasien di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada tanggal 1 oktober 2016 Seorang wanita berusia 61
15

tahun didapatkan keluhan muncul nyeri perut kanan bawah yang menjalar sampai ke
pinggang yang di rasakan sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul lenting-lenting
berkelompok berisi air sejak 1 hari yang lalu yang disertai rasa nyeri dan gatal. Dengan
melihat lesi, tampak pada regio torakalis posterior dekstra, terdapat vesikel soliter
bergerombol, dengan ukuran lentikular, terletak di atas kulit dengan dasar eritematosa.
Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak dengan permukaan yang
licin.
Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul
gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan nyeri yang
dirasakan. Lesi yang timbul juga khas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar
kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala
subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini
memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1
minggu berikutnya, kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu
berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah T10-T12.
Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal
berupa demam disangkal, pasien hanya mengeluhkan badan terasa meriang sejak
muncul keluhan nyeri perut. Gejala prodromal lainnya berupa pusing dan malaise juga
dikeluhkan oleh pasien.
Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang
bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar
air pada saat berusia sekolah SD. Dengan demikian bahwa infeksi primer pada pasien
ini telah terjadi. Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan
mengapa terjadi reaktivasi. Pada literatur dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya

16

pemicu reaktivasi, namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem
imun, seperti yang ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Seperti halnya pada
kasus ini di temui pada seorang ibu dengan usia 61 tahun.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosa seharusnya
dilakukan pemeriksaan penunjang pemeriksaan sitologi (tzanck smear). Namun karena
keterbatasan sarana dan prasarana, pada pasien ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan
tersebut. Pada pemeriksaan sitologi pada herpes zoster oftalmikus, diharapkan terdapat
gambaran sel datia (se raksasa) yang berinti banyak.

Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa.


Lenting yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien
perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi
penyebaran virus VVZ ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang
lain. Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak
ataupun orang yang belum pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau
berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa pemberian antivirus dapat
mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan akan lebih singkat. Obat
17

antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi. 11
Terapi dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul,
yang pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-2). Golongan antivirus yang dapat
diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan famasiklovir seperti yang diberikan pada
pasien ini adalah derivatnya siklovir yaitu vanasiklovir 3 x 1000 mg / hari di berikan
selama 5 hari. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jamjamnya. Dengan demikian perlu digunakan alarm jika diperlukan untuk membangunkan
pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat. Valasiklovir diberikan
selama 7 hari. Terapi topikal yang diberikan pada pasien ini adalah zalp antibiotik
berupa Asam Fusidat yang terbukti lebih bermakna daripada pengunaan antivirus zalp.
Untuk mengatasi gatal pasien ini diberikan citirizin 1x1 pada malam hari, serta
diberikan Vitamin neurotropik digunakan sebagai vitamin untuk saraf.
Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan paracetamol 3x500 mg/hari
sebagai analgesik. Pilihan ini diberikan berdasarkan keadaan pasien yang memiliki
riawayat maag dan pasien mengatakan tidak mampu untuk konsumsi asam mefenamat.
Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter, untuk
melihat perbaikan pada pasien.

18

BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus Herpes Zoster Torakalis pada seorang perempuan
berumur 61 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa berupa munculnya
vesikel berisi cairan pada daerah pinggang kanan dan pada pemeriksaan fisik
didapatkan vesikel bergerombol dengan dasar eritematosa. Sementara kulit di sekitar

19

gerombolan tampak normal. didapatkan gambaran vesikel yang masih belum ada yang
pecah bentuk lentikular.
Pemeriksaan penunjang seperti sitologi dan kultur virus tidak dilakukan karena
keterbatasan sarana. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi sistemik dan topikal.
Terapi sistemik diberikan valasiklovir 1000 mg 3 kali 1 tablet sehari, paracetamol 500
mg 2 kali sehari, serta cetirizin 1 kali sehari. Untuk terapi topikal, diberikan zalp
antibiotik berupa Fuson zalp. Untuk mengatasi gatal pasien ini diberikan citirizin 1x1
pada malam hari, serta diberikan Vitamin neurotropik digunakan sebagai vitamin untuk
saraf. Prognosis pada pasien ini cenderung baik, karena cepat datang berobat sebelum
vesikel muncul lebih banyak dan menjadi infeksi sekunder.

20

Anda mungkin juga menyukai