Bab I
Bab I
Disusun Oleh:
Imelda Yulianti
(1720333618)
Indah Irawati
(1720333619)
(1720333620)
(1720333621)
Irpan
(1720333622)
Isro Rahayuningtyas
(1720333623)
( 1720333624)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan suatu hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan masalah hubungan atau dapat diartikan sebaagai saling tukar-menukar pendapat serta
dapat
diartikan
hubungan
kontak
antara
manusia
baik
individu
maupun
kelompok. Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan
seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan orang lain.
Komunikasi yang biasa dilakukan pada lansia bukan hanya sebatas tukar-menukar perilaku,
perasaan, pikiran dan pengalaman dan hubungan intim yang terapeutik. Lansia adalah periode
dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah
menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai usia
kemunduran yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan
dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang
berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.
Kelompok lanjut usia ( LANSIA ) adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun
ke atas. Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahanlahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
terjadi. Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan
struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup
dengan episode terminal. Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994)
menjadi tiga kelompok yakni :1. Kelompok lansia dini (55 64 tahun), merupakan kelompok
yang baru memasukilansia. 2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas). 3. Kelompok lansia resiko
tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lansia
Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang
Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih.
Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran
dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif,
dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di
dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem
immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Dengan
bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan kondisi fisik baik berupa
berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi cepat lelah maupun
menurunnya kecepatan reaksi yang mengakibatkan gerak-geriknya menjadi lamban.
Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda.
Penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi
pada pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan
dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti menggunakan obat dengan
indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau menghentikan
penggunaan obat. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu
diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented yang dikenal dengan istilah
Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi apoteker dalam hal
farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien.
Depresi dan penurunan faal kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai dampak
antara berupa tidak akuratnya informasi obat-obat apa yang selama ini dikonsumsi. Di sisi
lain, informasi obat-obat yang dipakai adalah sangat penting dalam rangka menghindarkan
diri dari kecenderungan polifarmasi dan efek interaksi obat. Pada kondisi ini maka kehadiran
pendamping (keluarga atau pelaku rawat) menjadi penting karena bisa menjembatani antara
minimnya informasi dan keperluan data lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang
diperlukan, masalahnya belum selesai, compliance atau kepatuhan minum obat akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat gangguan faal kognitif maupun emosi seseorang. Depresi dan
kepikunan akan mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga efek maksimal yang
diharapkan bisa terganggu.
B. Komunikasi Pada Lansia
Komunikasi
adalah
proses
mentransmisikan,
mengetahui/menyadari,
dan
menginterpretasi informasi baik secara verbal maupun nonverbal. Baik pemberi maupun
penerima informasi harus memiliki beberapa keterampilan.
Verbal
Keterampilan verbal berupa kemampuan untuk mengekspresikan sesuatu melalui arti dan
nuansa bahasa, dan kemampuan untuk menerima dan menginterpretasi arti dan nuansa
dari pesan yang disampaikan dengan tepat.
Penerima juga harus memiliki sistem sensori auditori dan visual yang normal sebagai
tahap pertama dalam menerima pesan secara akurat.
Orang tua yang telah mengalami penurunan dalam pendengaran dan penglihatan akan
sulit dalam menerima pesan verbal secara akurat.
Nonverbal
Jalur-jalur komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, kontak dan tatapan mata,
postur tubuh, jarak fisik, bahasa tubuh, dan sentuhan.
Seperti komunikasi verbal, komunikasi nonverbal yang efektif juga membutuhkan
keterampilan dari pemberi dan penerima.
Beberapa ekspresi wajah adalah natural, bawaan lahir. Kebudayaan juga berpengaruh
terhadap arti sebuah ekspresi wajah.
Demikian juga postur tubuh dan jarak fisik, serta bahasa tubuh, kontak mata, dan
sentuhan yang juga dipengaruhi budaya.
C. Pedoman Pemberian Informasi Dan Edukasi
Tujuan:
Pasien/keluarga memahami penjelasan yang diberikan, memahami pentingnya
mengikuti rejimen pengobatan yang telah ditetapkan sehingga dapat meningkatkan motivasi
untuk berperan aktif dalam menjalani terapi obat.
Tatalaksana pemberian informasi dan edukasi:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip
gerontologi dan farmakoterapi geriatri, memiliki rasa empati dan ketrampilan
berkomunikasi secara efektif.
b. Pemberian informasi dan edukasi dilakukan melalui tatap muka dan berjalan secara
interaktif, dimana kegiatan ini bisa dilakukan pada saat pasien dirawat, akan pulang atau
ketika datang kembali untuk berobat.
c. Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk membuat pasien/keluarga merasa nyaman dan
bebas, antara lain:
- Dilakukan dalam ruang khusus atau yang dapat menjamin privacy.
- Ruangan cukup luas bagi pasien dan pendamping pasien untuk kenyamanan mereka.
- Penempatan meja, kursi atau barang-barang lain hendaknya tidak menghambat
komunikasi.
- Suasana tenang, tidak bising dan tidak sering ada interupsi (contoh: apoteker menerima
telepon atau mengerjakan pekerjaan lain)
d. Pada pasien yang mengalami kendala dalam berkomunikasi, maka pemberian informasi
dan edukasi dapat disampaikan kepada keluarga/pendamping pasien.
e. Apoteker perlu membina hubungan yang baik dengan pasien/keluarga agar tercipta rasa
percaya terhadap peran apoteker dalam membantu mereka.
f. Mendapatkan data yang cukup mengenai masalah medis pasien (termasuk adanya
keterbatasan kemampuan fisik maupun mental dalam mematuhi rejimen pengobatan.
g. Mendapatkan data yang akurat tentang obat-obat yang digunakan pasien, termasuk obat
non resep.
h. Mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial budaya, pendidikan dan tingkat
ekonomi pasien/ keluarga.
i. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien/keluarga adalah: nama obat, kegunaan obat,
aturan pakai, teknik penggunaan obat-obat tertentu (contoh: obat tetes, inhaler), cara
penyimpanan, berapa lama obat harus digunakan dan kapan obat harus ditebus lagi, apa
yang harus dilakukan jika terlupa minum atau menggunakan obat, kemungkinan terjadinya
efek samping yang akan dialami dan bagaimana cara mencegah atau meminimalkannya,
meminta pasien/keluarga untuk melaporkan jika ada keluhan yang dirasakan pasien selama
menggunakan obat.
j. Cakupan dan kedalaman informasi, serta bagaimana cara penyampaiannya haruslah
disesuaikan
dengan
mempertimbangkan
tingkat
pengetahuan
dan
pemahaman
pasien/keluarga serta jenis masalah yang dihadapi. Selain mendapatkan informasi dari
pasien/keluarga, masukan dari anggota tim tenaga kesehatan lain juga diperlukan untuk
menentukan informasi dan edukasi apa yang dibutuhkan pasien/ keluarga.
k. Untuk meningkatkan pemahaman, maka pemberian informasi secara lisan sebaiknya
ditunjang oleh informasi tertulis (contoh: brosur) dan peragaan (contoh: bagaimana
menggunakan inhaler secara benar).
l. Selain komunikasi secara verbal, digunakan juga komunikasi secara non verbal (gerakgerik tubuh, ekspresi wajah dan isyarat lain) yang dapat mendukung penyampaian
informasi dan edukasi kepada pasien/keluarga, demikian pula komunikasi non verbal yang
ditunjukkan oleh pasien/keluarga harus diperhatikan untuk menangkap pesan tersembunyi
yang tidak terucap.
m. Pasien/keluarga diberi kesempatan yang cukup untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan
dengan penggunaan obat dan untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi
selama menggunakan obat.
n. Masalah-masalah pasien/keluarga yang berkaitan dengan penggunaan obat harus
diupayakan penyelesaiannya, jika perlu melibatkan anggota tim tenaga kesehatan lain
(contoh: dokter mengubah rejimen obat yang diberikan menjadi lebih sederhana)
o. Sebelum pertemuan diakhiri, harus dipastikan bahwa pasien/keluarga telah memahami
informasi yang diberikan.
p. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya pada formulir yang dibuat
khusus.
Berikut ini beberapa cara untuk memperbaiki komunikasi dengan lansia:
1. Saat menulis sebuah pesan, gunakan tulisan yang tebal dan besar. Juga lebih baik
tulisan ini di print daripada dengan tangan. Pesan juga harus dipersingkat. Hal ini
menguntungkan, karena akan lebih mau dibaca.
2. Gunakan warna yang kontras saat akan menulis pesan. Tulisan biru pada kertas
berwarna kuning pucat terbukti efektif. Tulisan hitam juga efektif asalkan kekontrasan
warnanya kuat.
3. Saat berbicara dengan pasien, tatap wajahnya dan pertahankan kontak mata. Hal ini
dapat mengizinkan orang tua yang pendengarannya buruk untuk membaca gerak bibir
jika mereka mampu dan membuang suara-suara lain di luar percakapannya. Juga
cukup membantu dalam mengarahkan orang dengan fungsi visual yang buruk.
4. Berdiri lebih dekat dengan pasien tua daripada pasien muda, juga dapat membantu
penerimaan informasi baik lewat mata maupun telinga. Tetapi, juga harus peka
terhadap reaksi negatif pasien.
5. Sentuhan juga merupakan unsur penting dari komunikasi dengan lansia secara umum,
dan terutama bagi mereka yang penglihatan dan pendengarannya turun secara
signifikan. Hal ini dapat mengurangi barier interpersonal dan meningkatkan empati
antara pembicara dan pendengar. Seperti jarak yang dekat, sentuhan juga dapat
menimbulkan ketidaknyamanan pada beberapa pasien. Sejauh pasien nyaman,
sentuhan dapat menjadi alat komunikasi yang sempurna.
6. Pola dan volume bicara kita juga harus dipertimbangkan. Pasien akan lebih mengerti,
apabila apoteker dan asistennya berbicara lebih pelan dan jelas, tetapi tanpa perlu
menekankan tiap suku kata secara berlebihan. Bicara lebih jelas dapat mengurangi
kemungkinan hilangnya beberapa bagian pembicaraan, atau fonem konsonan yang
membingungkan seperti z, s, sh, t, th, f, p, dan k. Meninggikan sedikit suara dapat
membantu, tetapi jangan berteriak.
7. Pada orang tua yang pendengarannya sangat buruk (tidak tuli), jika beliau memiliki
alat bantu pendengaran dapat diminta untuk mengenakan alat tersebut terlebih dahulu
agar komunikasi dapat berjalan lancar.
8. Diskusi dengan pasien lansia harus dalam lingkungan yang sepi dan tidak tergesagesa. Misalnya, diruang konseling, merupakan lingkungan yang lebih baik untuk
mendengarkan sejarah kesehatan pasien, keluhan penyakit pasien, dan mendiskusikan
mengenai penyakit dan pengobatannya, daripada di ruang tunggu apotek yang ramai.
Biasanya, ruang tunggu apotek memiliki kebisingan yang dapat memecah perhatian
pasien yang lebih sedikit, dan memberi privacy yang lebih besar untuk pasien
menyatakan pendapatnya.
9. Jangan ada penghalang fisik seperti meja antara pasien dan apoteker. Halangan ini
akan meningkatkan jarak fisik, dan juga menciptakan barier psikologis, yang akan
menyulitkan orang tua yang tidak terbiasa dengan lingkungan untuk menyatakan
keluhan dan pertanyaannya.
10.
Menstruktur
pesan
yang
disampaikan.
Sangatlah
penting
untuk
mengorganisasikan informasi pada pasien tua. Prosedur untuk penggunaan atau aruran
pakai harus dijelaskan secara step-by-step. Misalnya: Obat A untuk pusing, diminum
3 kali sehari bila merasa pusing. Dapat menggunakan warna Obat dengan tanda
merah untuk pusing, diminum 3 kali sehari bila merasa pusing.
2.
Jangan memberikan informasi terlalu banyak dalam satu waktu. Untuk mereduksi
informasi yang terlalu banyak ini, apoteker harus menghindari memberikan seluruh
instruksi yang sangat panjang dan bertele-tele. Lansia memiliki peluang menyimpan
informasi yang lebih besar dalam ingatan sekunder apabila teknik successive
approximation digunakan. Dengan pendekatan ini, kita dapat menjelaskan prosedur
cara penggunaan obat dan aturan pakai serta apa saja yang perlu dilakukan untuk
menunjang proses penyembuhan.
3.
4.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman Pelayanan
Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri. Jakarta : Departemen
Kesehatan
Kiyak, H. Asuman. Communication in the Practitioner-Aged Patient Relationship. In: HolmPedersen P and Le H, Geriatric Dentistry, 1986, Copenhagen: Munksgaard.