29 Resusitasi Bayi Baru Lahir - Cindy Fe
29 Resusitasi Bayi Baru Lahir - Cindy Fe
Kelompok F9
Cindy Feliciana
102013127
102013484
102012416
Wilko William
102013019
102013073
Handhy Tanara
102013155
Ghereetha
102013158
102013232
Pendahuluan
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan
berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan
faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan
ekstrauterin. Frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi.
Asidosis, gangguan kardiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia
merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini akan sering
berlanjut menjadi sindrom gangguan pernapasan pada hari-hari pertama setelah lahir.1,2
Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisik dan mental bayi di kemudian hari.
Untuk menghandari atau mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu dipikirkan
resusitasi yang cepat dan tepat sesuai dengan perubahan yang mungkin terjadi pada penderita
asfiksia.1
Pembahasan
Skenario 3
Seorang ibu berusia 26 tahun, G1P0A0 kehamilan 38 minggu datang ke IGD diantar
suaminya dengan keluhan keluar cairan ketuban sudah sejak 1 hari yang lalu. Setelah
dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien segera direncanakan untuk emergency
sectio cesaria. Segera setelah anak lahir dilakukan resusitasi.
Anamnesis
Pada anamnesis bayi, anamnesis tanya-jawab dilakukan secara alloanamnesis, yaitu
anamnesis dilakukan terhadap orang tua wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber
lain. Langkah awal anamnesis adalah menanyakan data-data pribadi seperti nama, jenis
kelamin, umur, dan keluhan utama, termasuk riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit
dahulu serta riwayat penyakit keluarga. Hambatan utama yang dijumpai pada anamnesis bayi
atau anak-anak ialah pada umumnya anamnesis terhadap anak secara alloanamnesis sehingga
perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya bias oleh karena data tentang keadaan pasien yang
didapat mungkin berdasarkan asumsi atau persepsi orang tua atau pengantar.3,4
Pada anamnesis bayi, perlu diketahui berat lahir, masa gestasi, usia dalam jam,
riwayat kehamilan dan persalinan ibu dari pasien. Riwayat kehamilan dan persalinan,
penyakit ibu selama hamil, dan pemberian ASI.3,4
Tanda
Frekuensi jantung
Tidak ada
Usaha bernapas
Tidak ada
Menangis keras
Tonus otot
Lumpuh
Gerakan aktif
Refleks
Tidak ada
Menangis,
batuk/bersin
Warna
Biru/pucat
Tubuh kemerahan,
ekstremitas biru
Sumber : Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu kesehatan anak.
Edisi 7. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.h.1072-81
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah analisis gas darah untuk melihat
apakah terjadi asidosis pada darah tali pusat. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan
resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi seperti
darah perifer lengkap, analisis gas darah sesudah lahir, gula darah sewaktu, elektrolit darah,
ureum kreatinin, rontgen, dan lain-lain.1
Hipotesis
Pasien diduga mengalami Sindrom aspirasi mekonium
Diagnosis Kerja
Sindrom aspirasi meconium
Terdiri atas sumbatan jalan napas kecil, terperangkapnya udara, dan pneumonitis
inflamatoris paling sering ditemui adalah BBL dengan asfiksia akibat aspirasi mekonium
Etiologi
Faktor predisposisi distress respirasi yaitu akibat bayi kurang bulan, kehilangan darah dalam
periode perinatal, aspirasi meconium, pneumothoraks akibat resusitasi, hipertensi pulmonal,
bayi dari ibu DM, bayi lahir dengan operasi sesar, dan bayi yang lahir dari ibu yang
menderita demam, ketuban pecah dini atau air ketuban yang berbau busuk, atau dapat pula
terjadi pada bayi dengan kulit berwarna seperti meconium, mungkin mengalami aspirasi
meconium.6
Epidemiologi
Di Indonesia angka kejadian asfiksia di Rumah Sakit propinsi Jawa Barat ialah 25,2%
dan angka kematian karena asfiksia di RS pusat rujukan propinsi di Indonesia sebesar
41,94%. 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas, membutuhkan
bantuan ventilasi dan sedikit yang membutuhkan intubasi dan kompresi dada.6
Patofisiologi
Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoea ('primary apnoe') disertai
dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernapas
('gasping') yang kemudian diikuti oleh pernapasan teratur. Pada penderita asfiksia berat,
usaha bernapas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnoe kedua
('secondary apnoe'). Pada tingkat ini di samping bradikardia ditemukan pula penurunan
tekanan darah.1
Di samping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan
perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan
pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut,
dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik yang berupa glikosis glikogen
tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh, terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya asidosis
metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular.1 (Lihat Gambar 1)
Resusitasi Neonatus
Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan
yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.1
Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan homeostatis
yang timbul makin berat, resusitasi akan lebih sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan
meningkat.
2.
Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki,
tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia pascanatal harus dicegah dan
diatasi.
3.
Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor
penyebab terjadinya depresi pernapasan pada bayi baru lahir.
4.
Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan
ditentukan secara adekuat.
Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu
tubuh. Penurunan suhu tubuh ini akan mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga
kebutuhan oksigen meningkat. Hal ini akan mempersulit keadaan bayi, apalagi bila bayi
menderita asfiksia berat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang baik segera
setelah lahir. Harus dicegah/dikurangi kehilangan panas dari kulit. Pemakaian sinar lampu
yang cukup kuat untuk pemanasan luar dapat dianjurkan dan pengeringan tubuh bayi perlu
dikerjakan untuk mengurangi evaporasi.1
7
2.
3.
Blok A (Airway). Berikut ini adalah langkah awal untuk membebaskan jalan napas
dan memulai resusitasi bayi baru lahir. Pertama berikan kehangatan dengan menyelimuti bayi
dengan handuk dan menempelkan bayi ke kulit ibunya (kontak kulit ke kulit). Kedua
posisikan kepala bayi untuk membuka jalan napas. Bebaskan jalan napas bila diperlukan.
Pembebasan jalan napas mungkin memerlukan penghisapan trakea untukmenyingkirkan
mekonium. Ketiga keringkan kulit bayi, rangsang bayi untuk bernapas dan reposisikan kepala
untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Lakukan evaluasi keberhasilan Blok A.
Evaluasi bayi selama dan segera setelah interval pertama, yang biasanya memerlukan waktu
sekitar 30 detik. Bila bayi tidak bernapas (apnu atau megap-megap) atau memiliki frekuensi
jantung di bawah 100 denyut per menit dan jika bayi bisa bernapas tapi ada kesulitan atau
tampak sianosis maka dilanjutkan dengan blok B.12
Blok B (Breathing). Bila bayi mengalami apnu atau frekuensi jantung di bawah 100
dpm, segera bantu pernapasan bayi dengan memberikan VTP (ventilasi tekanan positif). Jika
bayi bisa bernapas tapi ada kesulitan atau tampak sianosis maka beri tambahan O2 dan pantau
hasil pemberian O2. Lakukan evaluasi keberhasilan
pemberian pemberian oksigen secara efektif selama 30 detik, pastikan ventilasinya telah
adekuat. Jika ventilasi efektif, frekuensi jantung di atas 100 dpm, dan beyi tampah
kemerahan, lakukan perawatan pasca resusitasi. Namun jika ventilasi tidak efektif dan
frekuensi jantung di bawah 60 dpm, lanjutkan dengan blok C.12
Blok C (Circulation). Pada tahap ini selain meneruskan pemberian VTP, berikan
bantuan
sirkulasi
dengan
memulai
kompresi
dada.
Intubasi
endotrakeal
sangat
direkomendasikan pada titik ini, bila belum dilakukan sebelumnya, untuk membantu
memfasilitasi dan koordinasi kompresi dada dan VTP yang efektif. Lakukan evaluasi
keberhasilan Blok C. Setelah kompresi dada dan VTP dilakukan, kembali lakukan penilaian
bayi. Bila frekuensi jantung di atas 60 dpm, maka hentikan kompresi dada dan berikan VTP
hingga frekuensi jantung mencapai lebih dari 100 dpm dan bayi mulai bernapas. Namun jika
ventilasi dan kompresi dada sudah dilakukan dan frekuensi jantung masih di bawah 60 dpm,
lanjutkan dengan Blok D.12
Blok D (Drug). Berikan epinefrin sambil melanjutkan VTP dan kompresi dada.
Lakukan evaluasi keberhasilan blok D. bila frekuensi jantung masih di bawah 60 dpm, semua
tindakan yang dilakukan di blok C dan D dilanjutkan dan diulangi lagi.12
Tindakan Khusus
Bila tindakan umum tidak memperoleh hasil yang memuaskan, barulah dilakukan
tindakan khusus. Cara yang dikerjakan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul
pada bayi yang dimanifestasikan oleh tinggi rendahnya skor Apgar.
Asfiksia berat (skor Apgar 0-3). Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dikerjakan.
Langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O 2 dengan tekanan dan
intermiten. Cara yang terbaik ialah dengan melakukan intubasi endotrakeal. O 2 diberikan
dengan tekanan tidak lebih dari 30 cm H 2O untuk mencegah kemungkinan terjadinya inflasi
paru berlebihan sehingga dapat terjadi rupture alveoli. Bila diragukan akan timbul infeksi
terhadap bayi, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Keadaan asfiksia berat ini hampir selalu
disertai asidosis yang membutuhkan koreksi segera, karena itu bikarbonat natrikus diberikan
10
dengan 2-4 mEq/kgbb. Di samping itu diberikan pula glukosa 15-20% dengan dosis 2-4
ml/kgbb. Kedua obat ini disuntikkan secara intravena dengan perlahan-lahan melalui vena
umbilikalis. Perlu diperhatikan bahwa reaksi optimal obat-obatan ini akan tampak jelas
apabila pertukaran gas (ventilasi) paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan
(gasping) biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali. Bila setelah 3
kali inlasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, masase jantung
eksternal harus segera dilakukan dengan frekuensi 80-100 kali/menit. Tindakan ini dilakukan
dengan diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1 : 3, yaitu setiap 1 kali vebtilasi
tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks. Bila tindakan ini dilakukan bersamaan
mungkin akan terjadi komplikasi berupa pneumotoraks atau pneumomediastium. Bila
tindakan ini tidak memberikan hasil yang diharapkan, bayi harus dinilai kembali, yaitu karena
hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam basa yang belum dikoreksi
dengan baik atau adanya kemungkinan gangguan organik seperti hernia diafragmatika, atresia
atau stenosis jalan napas dan lain-lain.1
Asfiksia sedang (skor Apgar 4-6). Dalam hal ini dapat dicoba melakukan stimulasi
agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan
spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Agar saluran napas bebas, bayi diletakkan dalam
posisi dorsofleksi kepala. Ventilasi ini dihentikan bila setelah 1-2 menit tidak dicapai hasil
yang diharapkan. Dalam hal ini segera dilakukan ventilasi paru dengan tekanan positif secara
tidak langsung. Bikarbonas natrikus dan glukosa dapat diberikan pada bayi, apabila 3 menit
setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, walaupun ventilasi telah dilakukan
dengan adekuat. Cara dan dosis obat yang diberikan sesuai dengan cara yang dilakukan
terhadap penderita asfiksia berat.1
Prognosis
Bonam. Apabila dilakukan resusitasi dengan cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan
yang terlatih.
Kesimpulan
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bayi baru lahir tersebut menderita sindrom aspirasi
meconium. Apabila penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat maka baik dapat bernafas
dengan normal kembali. Hipotesis diterima.
11
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
kesehatan anak. Edisi 7. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.h.1072-81.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan medik pedoman penatalaksanaan praktis. Edisi
1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.240-4.
3. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisis pada anak. Edisi 3. Jakarta:
CV Sagung Seto; 2003.h.1-19.
4. Morton PG. Paduan pemeriksaan kesehatan. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2003.h.56.
5. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi 8. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.650-1.
6. Usman A. Buku ajar neonatologi edisi I.Jakarta:IDAI;2008.h.103,132.
12