Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Serangan jantung mendadak yang terjadi pada pre hospital adalah salah satu
penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas kematian di era perkembangan ini. Setiap
tahun tiap 100 ribu populasi, 66 orang diantaranya pernah mengalami resusitasi dan lebih
dari 50 % mengalami kerusakan neurological permanen dari yang dapat bertahan hidup
dan pulang dari rumah sakit. Antara 35,7 sampai 128,3 kasus per 100.000 dengan rata-rata
62 kasus pertahun (Lyon, Robertson,& Clegg, 2010).
Setiap tahun, rata-rata 310.000 orang di Amerika baik yang di departemen gawat
darurat maupun yang terjadi pada pre hospital mengalami sudden cardiac death. Sekitar
375.000-750.000 orang telah diresusitasi setiap tahun dan sekitar 40% dari yang telah
diresusitasi akan mengalami sirkulasi spontan. Walaupun mereka bertahan hidup dari
cardiac arrest, beberapa diantaranya masih memiliki perbaikan minimal dari cardiac arrest
(Koran, 2008). Untuk kejadian serangan cardiac arrest mendadak yang terjadi pada pre
hospital meningkat sekitar 166.200 pasien yang terserang setiap tahunnya, angka bertahan
hidup setelah dilakukan resusitasi juga masih rendah dan mayoritas yang masih bisa
bertahan hidup memiliki hasil neurologis yang buruk (Kustad, Abrahamsen,& Lovell, 2010).
Sedangkan di Amerika Utara 330.000 orang meninggal disebabkan oleh cardiac arrest
(Erb, Hravnak,& Rittenberger, 2012). Tidak ada data statistik mengenai kepastian jumlah
kejadian cardiac arrest tiap tahunnya di Indonesia, tetapi diperkirakan adalah 10 ribu
warga, yang berarti 30 orang per hari. Kejadian terbanyak dialami oleh penderita jantung
coroner (Romdoni, 2010). Di Jakarta sendiri, berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional
1999 terdapat 1.114 pasien meninggal karena penyakit kardiovaskuler (Diklat Yayasan
Ambulans Gawat Darurat 118, 2010).
Sedikit sekali angka kehidupan dengan pemulihan neurological yang baik setelah
mengalami cardiac arrest dari seluruh insiden cardiac arrest pada pre hospital. Jika
dukungan resusitasi gagal memperbaiki aliran darah ke otak dalam beberapa menit, maka
kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi. Secondary brain injury juga dapat terjadi jika

terdapat serebral edema akibat kerusakan langsung cedera jaringan lunak, walaupun aliran
darah telah kembali baik (Erb et al, 2012).
Umumnya setelah cardiac arrest, kematian otak yang disebabkan brain injury akan
terjadi. Akan tetapi akan berbeda hasilnya apabila pasien tersebut didinginkan suhu
tubuhnya (Terapi Hipotermi) sampai mencapai core temperature/temperatur inti antara 84,6
F (32oC) sampai 93,2 F (34oC) mulai dari awal sebelum tiba di rumah sakit. Bukti yang
paling penting dalam kemajuan ilmu resusitasi adalah dipilihnya terapi hipotermi pada
penanganan pasien serangan jantung maupun post syok. Terapi hipotermi yang dilakukan
post cardiac arrest meliputi 3 tahap, antara lain; induksi, maintenance dan rewarming.
Induksi bisa diartikan invasive dan non invasive teknik. Non invasive teknik dengan
menurunkan suhu ruangan, memberikan permukaan kulit sesuatu yang dingin seperti ice
packs atau selimut dingin. Invasive teknik dengan memasukkan cairan saline yang telah
didinginkan dengan suhu 39,2F (4oC) melalui IV line ke vena yang besar (Erb et al, 2012).
Periode selama pasien menjalankan terapi hipotermi suhunya dipertahankan 89,6F (32 o C)
sampai 93,2F (34o C) dalam rentang waktu 12-24 jam disebut maintenance. Sedangkan
rewarming mungkin secara passive dengan mematikan alat pendingin atau pemanasan
secara invasif dengan setting target 0,32F sampai 0,33 F per jam (0,2-0,3o C per jam).
Terapi hipotermi memiliki dampak besar terhadap keutuhan neurogical dari pasien
yang dapat bertahan hidup post resusitasi setelah mengalami syok maupun cardiac arrest.
Terapi hipotermi dapat meningkatkan stabilitas membran seluler seperti blood brain barrier
dan dinding pembuluh darah, menekan pelepasan radikal bebas sitotoksik, sehingga
mengurangi peradangan dan kematian sel, dan menstabilkan neuron dalam otak dengan
meningkatkan ion homeostasis (Erb et al, 2012).
Terapi hipotermi di Indonesia belum banyak diketahui dan diaplikasikan dalam
ranah critical care ataupun emergency departement. Menurut penelitian dari Varon, Cruz,
Acosta, Huerta-Alardin, dan Fromm (2007) tentang penerapan dan pemahaman terapi
hipotermi di unit gawat darurat negara berkembang (Indonesia dan Mexico) ditemukan
bahwa 15,54% responden telah menggunakan terapi hipotermi dimana 37,85% telah
digunakan oleh perawat dan 31,58% oleh dokter.
Berdasarkan hal tersebut, kami tertarik untuk membahas lebih lanjut terkait
efektifitas pemberian terapi hipotermi lebih awal mulai dari pre hospital dengan infus

normalsalin yang didinginkan selama CPR dapat meningkatkan hasil perbaikan pada
pasien post cardiac arrest.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana manfaat ketepatan penanganan cardiac arrest?
1.2.2 Bagaimana kelebihan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac arrest?
1.2.3 Bagaimana kekurangan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac
arrest?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui keefektifan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac arrest
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui manfaat ketepatan penanganan cardiac arrest
2. Mengetahui kelebihan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac
3. Mengetahui kekurangan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac
arrest
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Akademis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
tentang penggunaan terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac arrest
1.4.2

Bagi Praktisi
Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu praktisi dalam menerapkan
terapi hipotermi pada penanganan pre hospital cardiac arrest

Anda mungkin juga menyukai