Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melanjutkan Studi Pascasarjana Fakultas Pertanian
Jurusan Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Institut Pertanian Bogor (IPB)
Disusun oleh:
Leonard Kristofery
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perubahan tata guna lahan merupakan salah satu fenomena dinamika masyarakat yang
bergerak cepat karena tuntutan kebutuhan dan pengaruh interaksi antar daerah. Semakin
berkembangnya suatu wilayah, maka akan diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan
pada masyarakat yang semakin beraneka ragam. Tata guna lahan ialah pengarahan penggunaan
lahan dengan kebijakan umum (public policy) dan program tata ruang untuk memperoleh
manfaat total sebaik-baiknya secara berkelanjutan dari kemampuan total lahan yang tersediakan
(Notohadiprawiro, 2006).
Perubahan tata guna lahan yang bergerak sangat cepat secara tidak langsung akan
memberikan dampak pada daerah yang mengalami perubahan tersebut maupun daerah
sekitarnya. Misalnya pada pengembangan pemukiman penduduk di daerah resapan hujan, hal
tersebut akan mengakibatkan banjir pada daerah sekitar yang dulunya mengandalkan daerah
resapan sebagai penahan air hujan. Fenomena alih fungsi lahan senantiasa terjadi dalam
pemenuhan aktifitas sosial ekonomi yang menyertai pertumbuhan penduduk kota. Persediaan
lahan yang bersifat tetap sedangkan permintaan yang terus meningkat (Yusran, 2009)
Secara geografis DAS Mamasa terletak pada 119o13-120o21 dan 2o43-3o46LS,
dimana luas total DAS Mamasa yang terbentang dari utara (Kab. Mamasa) menuju ke selatan
(Kab. Pinrang) sebesar 113.690 ha. Ada lima kabupaten yang berada di DAS Mamasa
yaitu Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polman di Sulawesi Barat, dan Kabupaten Pinrang,
Kabupaten Enrekang, serta Kabupaten Tantor di Sulawesi Selatan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamasa merupakan DAS multifungsi yang digunakan
sebagai air baku bagi masyarakat diantaranya, sumber irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) yang saat ini beroperasi di Waduk PLTA Bakaru. Hasil pemantauan terhadap DAS
Mamasa menunjukan sejumlah fakta tentang kerusakan yang terjadi di DAS tersebut. Hasil
analisis tutupan lahan 2002 menunjukkan bahwa bentuk tutupan lahan yang dominan di setiap
segmen adalah hutan campuran, hutan pinus dan kebun campuran. Sedangkan berdasarkan peta
tutupan lahan tahun 2005 menunjukkan bahwa 39,57 % kawasan DAS Mamasa masih berupa
hutan. Persentase luas tutupan lahan berupa hutan ini jika dibandingkan dengan kondisi
kelerengan DAS Mamasa yang sebagian besar memiliki kelerengan > 40, maka luas tutupan
hutan
masih
relatif
kurang
(http://ppesumapapua.menlh.go.id/).
Fenomena
ini
dapat
menyebabkan terganggunya sistem tata air. Kondisi tata air dan lahan pada DAS Mamasa berada
dalam kategori agak buruk (Ditjen RLPS Dephut, 2009).
Kawasan lindung sempadan sungai di DAS Mamasa berdasarkan hasil analisi tutupan
lahan 2002 dan 2005 juga telah mengalami kerusakan. Tutupan lahan yang berupa hutan di
dalam kawasan lindung sempadan sungai berdasarkan peta tutupan lahan 2005 hanya 33 % dari
luas toal kawasan
lindung sempadan
lindung ini
tersebut dapat membuat berkurangnya daerah tangkapan air (DTA) hujan yang juga dapat
menyebabkan terjadinya erosi permukaan. Jika aktifitas ini dibiarkan secara terus-menerus akan
membahayakan kondisi DAS di daerah tersebut. Menyadari akan bahaya atau dampak yang
ditimbulkan oleh erosi maka manusia mulai berusaha untuk mengendalikan erosi dan
menciptakan metode-metode perhitungan erosi seperti USLE (Unversal Soil Loss Equation) dan
SDR (Sediment Delivery Ratio).
Universal Soil Loss Equation (USLE) pertama kali dikembangkan oleh Wischmeir dan
Smith (1978) didaerah pertanian Amerika Utara yang karateristik daerahnya beriklim sedang
(intensitas hujan umumnya rendah) dan topografi tidak terlalu bergunung-gunung. Namun
metode USLE ini masih terdapat beberapa keterbatasannya seperti endapan sedimen di dalam
cekungan tidak diperhitungkan dalam persamaan, dan metode USLE lebih ditekankan
penggunaanya untuk daerah pertanian yang relatif datar dengan intesitas hujan tidak terlalu
tinggi (Asdak 2010).
Penentuan tingkat bahaya erosi dengan menggunakan
Equation (USLE) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di DAS Mamasa, Kabupaten Mamasa
ini sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat bahaya erosi yang terjadi berdasarkan data tahun
2002-2011 sebagai akibat adanya aktifitas masyarakat di DAS Mamasa. Hal ini diperlukan agar
dapat dilakukan penanganan dini pada DAS Mamasa akibat adanya kegiatan di DAS Mamasa
(Ditjen RLPS Dephut, 2009)
1.2.
Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah
terjadinya laju erosi akibat adanya perubahan tata guna lahan di DAS Mamasa sehingga perlu
dilakukan pendugaan dan pemetaan tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Mamasa.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sampai sejauh mana tingkat bahaya erosi di DAS Mamasa
2. Bagaimana upaya pengendalian erosi di DAS Mamasa
1.4.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Mamasa dari tahun 2004-2014 dan
menyajikannya dalam bentuk format data spasial dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis.
2. Untuk menekan laju erosi yang terjadi di DAS Mamasa
1.5.
Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapan dapat berguna:
1. Memberikan gambaran besarnya erosi yang terjadi DAS Mamasa dari tahun 2004-2014.
2. Menyediakan data tingkat bahaya erosi bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam
perencanaan pemanfaatan dan pelestarian hutan dan lahan di daerah bersangkutan.