Anda di halaman 1dari 5

Eksportir Rumput Laut Keluhkan Birokrasi

Rumit
JAKARTA - Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengeluhkan biaya ekspor yang
semakin tinggi dengan panjangnya proses dari mulai perizinan sampai pada pengiriman
rumput laut ke negara tujuan ekspor.
Ketua ARLI Safari Azis memaparkan bahwa pihaknya keberatan dengan proses pengurusan
Certificate of Legal Origin (CoLO), yakni sertifikat yang menjamin tentang asal usul rumput
laut tersebut dari hasil budi daya atau panenan dari alam yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Setiap proses perizinan membutuhkan biaya. Dengan adanya persyaratan tambahan CoLO
ini semakin mempertinggi beban pengusaha rumput laut untuk melakukan ekspor ke negara
tujuan," ujar Safari melalui keterangan tertulisnya kepada okezone, Kamis, (15/3/2012).
Safari memaparkan, untuk mendapatkan CoLO eksportir diwajibkan memiliki tiga dokumen
persayratan antara lain Izin Usaha Perikanan (IUP), Health Certificate (HC) dan Surat
Kelayakan Pengolahan (SKP).
"Yang terjadi di lapangan dengan adanya permintaan CoLO dari negara tujuan seolah-olah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengeluarkan perizinan untuk memperpanjang rantai
birokrasi dengan biaya-biayanya," ungkapnya.
ARLI menilai, saat ini birokrasi untuk ekspor dan impor rumput laut belum terintegrasi
dengan baik dan mempersulit pelaku usaha. Safari mencontohkan, pengusaha yang mengolah
rumput laut sudah memiliki izin usaha perindustrian, akan tetapi mereka tetap harus pula
memiliki SKP yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"SKP ini tumpang tindih dengan Izin Usaha Perindustrian yang telah dimiliki oleh prosesor.
Sehingga penerbitan izin yang sama dari dua Kementerian yakni KKP dan Perindustrian
membuat bingung para prosesor rumput laut," ujarnya.

ARLI mengusulkan pemerintah untuk mempertimbangkan agar SKP ini ditinjau kembali
dengan kondisi yang sebenarnya atau dihapuskan sekaligus.
Jika ada negara tujuan ekspor yang mempersyaratkan CoLO seperti Chile, maka pemerintah
seyogianya membuat CoLO tersebut tanpa harus memperpanjang rentetan persyaratan
lainnya, kata Safari.
Menurut Edaran yang dikeluarkan KKP, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
menginformasikan bahwa hingga saat ini kewenangan penerbitan sertifikat CoLO belum
diatur oleh KKP dengan alasan akan segera didukung dengan penerbitan Peraturan Menteri
KKP. Namun, sebelum kewenangan penerbitan CoLO ditetapkan, untuk sementara CoLO
diterbitkan oleh LPPMHP untuk produk olahan rumput laut yang diperuntukkan bagi
konsumsi manusia, dan oleh Balai Karantina ikan produk rumput laut kering sebagai bahan
baku.
Di lapangan, petugas birokrasi KKP tidak paham betul dengan tata aturan penerbitannya,
bahkan tidak ada pedoman atau rujukannya. Jika pemerintah tidak siap, lebih baik CoLO
tidak diberlakukan lagi karena asumsinya perizinan baru berarti biaya bertambah, ungkap
Safari.
ARLI melalui Kadin Indonesia meminta Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri mensinergikan aturannya. Jika kondisi ini terus
berlangsung, maka pihaknya akan menghentikan ekspor untuk tujuan Chile.
Kami harapkan Kementerian Luar Negeri dan Kemendag melakukan negosiasi bilateral
dengan pemerintah Chile, bila perlu dihapuskan dari syarat ekspor.
Selain menyulitkan dalam perizinan, biaya untuk mendapatkan CoLO dinilai tinggi jika
dihitung berdasarkan jumlah volume barang mencapai Rp1 juta-Rp1,5 juta per kontainer.
Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya Certificate of Origin (COO)
yang dikeluarkan oleh Kemendag atau Kadin yang hanya Rp200 ribu untuk sekali pengiriman
ekspor berapa pun jumlah kontainer yang dikirim.
Seharusnya, kata Safari, pemerintah Indonesia tidak mempersulit para eksportir Indonesia.
Ironisnya, pemerintah China atau negara pesaing lainnya berupaya membantu pelaku usaha

ekspornya agar dapat bersaing di pasar internasional, sementara pemerintah Indonesia malah
menciptakan birokrasi baru dengan biaya yang tidak probisnis.
http://economy.okezone.com/read/2012/03/15/320/594073/eksportir-rumput-laut-keluhkanbirokrasi-rumit

Artikel diatas merupakan salah satu contoh kasus hambatan perdagangan internasional yang
tengah dialami Indonesia, dimana dalam kegiatan ekspor-impor produk rumput laut tengah
mengalami kendala berupa hambatan non tarif. Hambatan tersebut dapat dilihat dari beberapa
kategori berikut:
1. Rumitnya prosedur dengan panjangnya proses dari mulai perizinan sampai pada
pengiriman rumput laut ke negara tujuan ekspor. Selain itu adanya persyaratan tambahan
dalam pengurusan Certificate of Legal Origin (CoLO), yakni sertifikat yang menjamin
tentang asal usul rumput laut tersebut dari hasil budi daya atau panenan dari alam yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
2. Selain itu prosedur masuk administrasi semakin sulit dimana untuk mendapatkan CoLO
eksportir diwajibkan memiliki tiga dokumen persyaratan antara lain Izin Usaha Perikanan
(IUP), Health Certificate (HC) dan Surat Kelayakan Pengolahan (SKP).
3. Tetapi dalam rumitnya prosedur yang ada seharusnya pemerintah Indonesia tidak
mempersulit para eksportir Indonesia. Ironisnya, pemerintah China atau negara pesaing
lainnya berupaya membantu pelaku usaha ekspornya agar dapat bersaing di pasar
internasional, sementara pemerintah Indonesia malah menciptakan birokrasi baru dengan
biaya yang tidak probisnis.
4. Disamping itu selain menyulitkan dalam perizinan, biaya untuk mendapatkan CoLO dinilai
tinggi jika dihitung berdasarkan jumlah volume barang mencapai Rp1 juta-Rp1,5 juta per
kontainer. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya Certificate of Origin
(COO) yang dikeluarkan oleh Kemendag atau Kadin yang hanya Rp200 ribu untuk sekali
pengiriman ekspor berapa pun jumlah kontainer yang dikirim.

DAMPAK
1. Karena Rumitnya prosedur, proses, perizinan,dan pengiriman rumput laut ke negara
tujuan ekspor, pengusaha rumput laut di indonesia mengalami kesulitan dalam
mengembangkan usaha nya di luar negeri
2. Karena dalam prosedur baru para pengusaha eksportir diwajibkan meiliki dokumen
Certificate of Legal Origin (CoLO) dimana dokumen tersebut hanya bisa didapat
apabila pengusaha melengkapi tiga dokumen persyaratan yaitu Izin Usaha Perikanan
(IUP), Health Certificate (HC) dan Surat Kelayakan Pengolahan (SKP), untuk
memiliki dokumen tersebut pengusaha harus mengeluarkan biaya sangat besar.
3. Karena pemerintah Indonesia mempersulit para pengusaha rumput laut untuk bersaing
di luar negeri maka petani rumput laut banyak yang mengurungkan niatnya untung
bersaing di kanca internasional dengan adanya kesulitan birokrasi yang dibuat oleh
pemerintah indionesia.
4. Kembali lagi pada kendala biaya yang telah dibuat, terlalu banyak uang yang keluar
jika mengirim barang keluar negeri,hal ini memamng terlihatnya selain sulitnya
perizinan yang pastinya membuat banyaknya keluar uang,jadi bisa disimpulkan kebali
lagi memang terlalu sulit untuk mengirim barang selain karna uang yang dikeluarkan
lebih banyak keluar juga persyaratan yang harus dipenuhi terlalu banyak.

Anda mungkin juga menyukai