Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Oleh :
Ade Kartika
Diolia Boangmanalu
I Wayan Indra Isnawan

1411021028
1411021033
1411021025

Miftahul Risky

1411021034

Muhammad Fais Alfafa


Rizki Aryawan

1411021018
1411021032

JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
NOVEMBER 2014

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
PRAKATA ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1 Pengertian Filsafat ................................................................................ 3
2.2 Manfaat Mempelajari Filsafat................................................................ 4
2.3 Pengertian Filsafat Pancasila ................................................................ 4
2.4 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ......................................................... 5
2.5 Hakikat Sila-Sila Pancasila ................................................................... 12
BAB II PENUTUP .............................................................................................. 19
3.1 Simpulan ............................................................................................... 19
3.2 Saran ..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii

PRAKATA
Puji Syukur diucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya
sehingga kami mendapat kesempatan menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Pendidikan Pancasila dengan judul Pancasila Sebagai Sistem Filsafat dan
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini ada beberapa kesulitan diantaranya adalah
kurangnya pengetahuan kami mengenai materi sehingga kami harus mencari
referensi dari berbagai sumber guna penyusunan makalah ini dapat berjalan lancar
dan terselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila
yang telah memberi tugas kepada kami yaitu Bapak Kadek Yudiana, S.Pd.,M.Pd.
Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman dan seluruh
pihak yang turut membantu dan mendukung kinerja kelompok kami, kami sadar
sebagai mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran tentunya penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk
pembelajaran yang lebih baik di masa mendatang.

Singaraja, 09 November 2014

Penulis

iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya.
Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Tuhan dan ternyata
merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya,
baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat
pemersatu dalam kehidupan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk
kehidupan manusia Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan
pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan
Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah Satu,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga,
Persatuan

Indonesia.

Empat,

Kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lima, Keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila
itu ialah, Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dapat
dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari
guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik
dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila
berarti dia menentang toleransi.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui
oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan
menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya
pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia
ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat ?
2. Apa manfaat mempelajari filsafat ?
3. Apa pengertian Filsafat Pancasila ?
4. Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai sistem filsafat ?

5. Apa hakikat sila-sila dalam pancasila ?


1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui pengertian tentang Filsafat.


Mengetahui manfaat dalam mempelajari Filsafat.
Mengetahui pengertian tentang Filsafat Pancasila.
Mengetahui Pancasila sebagai sitem Filsafat.
5. Mengetahui hakikat sila-sila dalam pancasila.
6. Bagi penulis, sebagai sarana yang bermanfaat untuk memperoleh
keterampilan

dalam

melakukan

penulisan

dan

pengetahuan tentang pancasila sebagai sistem filsafat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat

perbendaharaan

Pengertian menurut arti katanya, kata filsafat dalam Bahasa Indonesia


berasal dari bahasa Yunani Philosophia terdiri dari kata Phile artinya Cinta dan
Sophia artinya Kebijaksanaan. Filsafat berarti Cinta Kebijaksanaan, cinta artinya
hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh.
Kebijaksanaan artinya Kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya.
Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran
sejati.
Pengertian Filsafat Menurut Tokoh-Tokoh Filsafat
1. Socrates (469-399 s.M.)
Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau
berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikembangkan bahwa manusia akan
menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka mampu dan mau melakukan
peninjauan diri atau refleksi diri sehingga muncul koreksi terhadap diri secara
obyektif.
2.
Plato (472-347 s. M.)
Dalam karya tulisnya Republik Plato menegaskan bahwa para filsuf
adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian
dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak berubah. Dalam
konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau
terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato ini kemudan
digolongkan sebagai filsafat spekulatif.
Ada dua cakupan dari pengertian filsafat, yaitu:
1. Filsafat sebagai Produk mencakup:
- Filsafat sebagai jenis Pengetahuan, ilmu, konsep-konsep, pemikiran-

pemikiran (rasionalisme, materialisme, pragmatisme)


Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai
hasil dari aktivitas berfilsafat. Manusia mencari suatu kebenaran yang

timbul dari suatu persoalan yang bersumber pada akal manusia.


2. Filsafat sebagai suatu Proses mencakup:
- Filsafat sebagai suatu proses, dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk
suatu aktivitas berfilsafat dalam proses pemecahan suatu permasalahan
dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan
objeknya.

Filsafat secara umum dapat diberi pengertian sebagai ilmu pengetahuan


yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran hakiki,
karena filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama tentu
dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya ruang, waktu, keadaan dan
orangnya. Itulah sebabnya maka timbul berbagai pendapat mengenai
pengertian filsafat yang mempunyai kekhususannya masing-masing, antara
lain:
Berfilsafat Rationalisme mengagungkan akal
Berfilsafat Materialisme mengagungkan materi
Berfilsafat Individualisme mengagungkan individualitas
Berfilsafat Hedonisme mengagungkan kesenangan
2.2 Manfaat Mempelajari Filsafat
1. Memperoleh kebenaran yang hakiki,
2. Melatih kemampuan berfikir logis,
3. Melatih berpikir dan bertindak bijaksana,
4. Melatih berpikir rasional dan komprehensif,
5. Menyeimbangkan antara pertimbangan dan tindakan sehingga diperoleh
keselarasan hidup,
6. Menghasilkan tindakan yang bijaksana.
2.3 Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran
yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat
Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan
rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya
bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang
mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena
Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan
oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem (Ruslan
Abdul Gani). Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah
yaitu tentang hakikat dari Pancasila (Notonagoro).
2.4 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pengertian Sistem
Sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Suatu kesatuan bagian-bagian/unsur/elemen/komponen,
2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
3) Saling berhubungan dan saling ketergantungan,

4) Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu (tujuan


sistem),
5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore & Voich, 1974).
Pancasila sebagai suatu SISTEM:
- Pancasila merupakan kesatuan bagian-bagian (yaitu sila-sila pancasila),
- Tiap sila pancasila mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
- Tiap sila pancasila tidak dapat berdiri sendiri dan tidak saling
bertentangan,
- Keseluruhan sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang sistematis
(majemuk tunggal).
Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh.
Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila
lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai
sila 3, 4 dan 5;
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan
menjiwai sila 4, 5;
Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan
menjiwai sila 5;
Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi:
Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.
Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.
Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan
Royong.
Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain
yang menjadi haknya.
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsepkonsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa
Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat
meliputi bidang atau aspek penyelidikan Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan.
8

1. Landasan Ontologis Pancasila


Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang menyelidiki
hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan
disamakan artinya dengan metafisika. Masalah ontologis antara lain:
Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang tampak ini merupakan
suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di
balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? dan
seterusnya. Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada
(eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi),
metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asas yang berdiri sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologis.
Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang berketuhan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bersatu, yang
berkerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial, yang pada


hakikatnya adalah manusia. Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu
terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta
sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara
hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya
(Notonagoro, 1975: 53).
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,
susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti
sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan
validitas ilmu pengetahuan.

Epistemologi adalah ilmu tentang teori

terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20) terdapat


tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:

1. Tentang sumber pengetahuan manusia;


2. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
3. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga
merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu
belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu
Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya
sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya, sehingga dasar epistemologis
Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat
manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya
meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
- Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami
bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
- Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti
susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan
berbentuk piramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan
Pancasila, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat
sila lainnya, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai
sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila
pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan
kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga,
serta mendasari dan menjiwai sila kelima, sila kelima didasari dan dijiwai
sila pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dengan demikian susunan
Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun
kuantitasnya.
10

Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:


1. Isi arti Pancasila yang Umum Universal, yaitu hakikat sila-sila
Pancasila yang merupakan intisari Pancasila sehingga merupakan
pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib
hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang
kehidupan yang konkrit.
2. Isi arti Pancasila yang Umum Kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai
pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib
hukum Indonesia.
3. Isi arti Pancasila yang bersifat Khusus dan Konkrit, yaitu isi arti
Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan
sehingga memiliki sifat khusus konkrit serta dinamis (Notonagoro,
1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu
hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri
atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis,
vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak
yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang
melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris,
reseptif, kritis dan kreatif.
Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan
pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi,
imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham. Dasardasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya,
juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikat
kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga
mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat
kebenaran yang tinggi. Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan
manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi

11

kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk


mendapatkan kebenaran yang tinggi.
Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka
epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam
kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila
mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan
suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

3. Landasan Aksiologis Pancasila


Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas
tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani
axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau
teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai
atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai,
dan kedudukan metafisika suatu nilai. Nilai (value dalam bahasa Inggris)
berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam
kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).
Nilai itu sesuatu yang berguna, nilai juga mengandung harapan akan
sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai
yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of
sosiology a related science), nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat
pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai yaitu:
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya dan dapat
dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:

12

1) Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang


mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan
orang senang atau menderita.
2) Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang
penting dalam kehidupan seperti kesejahteraan, keadilan, dan
kesegaran.
3) Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan
(geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan
jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya,
keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam
filsafat.
4) Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang
suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai
pribadi (Driyarkara, 1978).
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan
kelompok yaitu:
1) Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi
semua benda yang dapat dibeli.
2) Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan
keindahan dari kehidupan badan.
3) Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang
dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
4) Nilai-nilai sosial: bermula dari berbagai bentuk perserikatan
manusia.
5) Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial
yang diinginkan.
6) Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
7) Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran
kebenaran.
8) Nilai-nilai keagamaan.
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam yaitu:

13

1) Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.


2) Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang
dapat dibedakan menjadi empat macam:
a.

Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta)

b.

manusia.
Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur

c.

perasaan manusia.
Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur

d.

kehendak manusia.
Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan
mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau
keyakinan manusia.

Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu


nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang
bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu
dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan
nilai keadilan.
2. Nilai instrumental adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan
norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan
dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam
kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai
instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral
merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya
mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilainilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang

14

berketuhanan,

yang

berkemanusiaan,

berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

yang

berpersatuan,

yang

Pengakuan, penerimaan dan

penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah


laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas
sebagai Manusia Indonesia.
2.5 Hakikat Sila-Sila Pancasila
1. Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah pencipta segala yang ada dan
semua makhluk. Yang Maha Esa berarti yang Maha tunggal, tiada sekutu, Esa
dalam zatNya, Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam Perbuatan-Nya, artinya bahwa zat
Tuhan tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa sifat Tuhan
adalah sempurna, bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat disamai oleh siapapun. Jadi
ke-Tuhanan yang maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan
yang maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Keyakinan adanya Tuhan
yang maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang
berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui
kaidah-kaidah logika.
Atas keyakinan yang demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa, dan Negara memberi jaminan kebebasan kepada setiap
penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya. Bagi dan didalam Negara Indonesia
tidak boleh ada pertentangan dalam hal ketuhanan yang Maha Esa, tidak boleh ada
sikap dan perbuatan yang anti ketuhanan yang Maha Esa, dan anti keagamaan
serta tidak boleh ada paksaan agama dengan kata lain dinegara Indonesia tidak
ada paham yang meniadakan Tuhan yang Maha Esa (atheisme). Sebagai sila
pertama Pancasila ketuhanan yang Maha Esa menjadi sumber pokok kehidupan
bangsa

Indonesia,

menjiwai

mendasari

serta

membimbing

perwujudan

kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah
membentuk Negara republic Indonesia yang berdailat penuh, bersipat kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakekat
pengertian itu sesuai dengan:
15

a. Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi antara lain atas berkat rahmat Allah
yang maha kuasa.
b. Pasal 29 UUD 1945:
1. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Inti sila ketuhanan yang maha esa adalah kesesuaian sifat-sifat dan hakikat
Negara dengan hakikat Tuhan. Kesesuaian itu dalam arti kesesuaian sebab-akibat.
Maka dalam segala aspek penyelenggaraan Negara Indonesia harus sesuai dengan
hakikat nila-nilai yang berasal dari tuhan, yaitu nila-nilai agama. Telah dijelaskan
di muka bahwa pendukung pokok dalam penyelenggaraan Negara adalah
manusia, sedangkan hakikat kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk
berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan. Dalam pengertian ini hubungan antara
manusia dengan tuhan juga memiliki hubungan sebab-akibat. Tuhan adalah
sebagai sebab yang pertama atau kausa prima, maka segala sesuatu termasuk
manusia adalah merupakan ciptaan tuhan (Notonagoro)
Hubungan manusia dengan tuhan, yang menyangkut segala sesuatu yang
berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan terkandung dalam
nilai-nilai agama. Maka menjadi suatu kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan,
untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang hakikatnya berupa nila-nilai
kebaikan, kebenaran dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disis lain Negara adalah suatu lembaga kemanusiaan suatu lembaga
kemasyarakatan yang anggota-anggotanya terdiri atas manusia, diadakan oleh
manusia untuk manusia, bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan
manusia sebagai warganya. Maka Negara berkewajiban untuk merealisasikan
kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keadilan perdamaian untuk seluruh warganya.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa Negara adalah sebagai akibat dari
manusia, karena Negara adalah lembaga masyarakat dan masyarakat adalah terdiri
atas manusia-manusia, adapun keberadaan nilai-nilai yang berasal dari tuhan. Jadi
hubungan Negara dengan tuhan memiliki hubungan kesesuaian dalam arti sebab
akibat yang tidak langsung, yaitu Negara sebagai akibat langsung dari manusia

16

dan manusia sebagai akibat adanya tuhan. Maka sudah menjadi suatu keharusan
bagi Negara untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang berasal dari tuhan.
Jadi hubungan antara Negara dengan landasan sila pertama, yaitu ini sila
ketuhanan yang maha esa adalah berupa hubungan yang bersifat mutlak dan tidak
langsung. Hal ini sesuai dengan asal mula bahan pancasila yaitu berupa nilai-nilai
agama , nilai-nilai kebudayaan, yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu kala yang konsekuensinya harus direalisasikan dalam setiap aspek
penyelenggaraan Negara.
2. Sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu mahluk berbudi yang
mempunyai potensi , rasa, karsa, dan cipta karena potensi inilah manusia
menduduki martabat yang tinggi dengan akal budinya manusia menjadi
berkebudayaan, dengan budi nuraninya manusia meyadari nilai-nilai dan normanorma. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan
atas norma-norma yang obyektif tidak subyektif apalagi sewenang-wenang.
Beradab berasal dari kata adab, yang berarti budaya. Mengandung arti
bahwa sikap hidup, keputusan dan tindakan selalu berdasarkan nilai budaya,
terutama norma sosial dan kesusilaan. Adab mengandung pengertian tata
kesopanan kesusilaan atau moral. Jadi: kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya
baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan hewan. Di
dalam sila kedua kemanusiaan yang adil yang beradab telah tersimpul cita-cita
kemanusiaan yang lengkap yang adil dan beradab memenuhi seluruh hakekat
mahluk manusia. Sila dua ini diliputi dan dijiwai sila satu hal ini berarti bahwa
kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber dari ajaran
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kodrat manusia sebagai ciptaa-Nya. Hakekat
pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alenia yang pertama dan
pasal-pasal 27,28,29,30 UUD 1945.
Inti sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah landasan manusia.
Maka konsekuensinya dalam setiap aspek penyelengaraan Negara antara lain
hakikat Negara, bentuk Negara, tujuan Negara , kekuasaan Negara, moral Negara

17

dan para penyelenggara Negara dan lain-lainnya harus sesuai dengan sifat-sifat
dan hakikat manusia. Hal ini dapat dipahami karena Negara adalah lembaga
masyarakat yang terdiri atas manusia-manusia, dibentuk oleh anusia untuk
memanusia dan mempunyai suatu tujuan bersama untuk manusia pula. Maka
segala aspek penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan hakikat dan sifat-sifat
manusia Indonesia yang monopluralis , terutama dalam pengertian yang lebih
sentral pendukung pokok Negara berdasarkan sifat kodrat manusia monodualis
yaitu manusia sebagai individu dan makhluk social.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hakikat Negara harus sesuai
dengan hakikat sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk
social. Maka bentuk dan sifat Negara Indonesia bukanlah Negara individualis
yang hanya menekankan sifat makhluk individu, namaun juga bukan Negara klass
yang hanya menekankan sifat mahluk social , yang berarti manusia hanya berarti
bila ia dalam masyarakat secara keseluruhan .
Maka sifat dan hakikat Negara Indonesia adalah monodualis yaitu baik
sifat kodrat individu maupun makhluk social secara serasi, harmonis dan
seimbang. Selain itu hakikat dan sifat Negara Indonesia bukan hanya menekan
kan segi kerja jasmani belaka, atau juga bukan hanya menekankan segi rohani nya
saja, namun sifat Negara harus sesuai dengan kedua sifat tersebut yaitu baik kerja
jasmani maupun kejiwaan secara serasi dan seimbang, karena dalam praktek
pelaksanaannya hakikat dan sifat Negara harus sesuai dengan hakikat kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk berdiri seniri dan makhluk tuhan.
3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh tidak terpecah belah
persatuan berarti bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Indonesia mengandung dua makna yaitu makna geograpis dan makna
bangsa dalam arti politis. Jadi persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang
mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia bersatu
karena didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah Negara
yang merdeka dan berdaulat, persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis
dalam kehidupan bangsa Indonesia bertujuan memajukan kesejahteraan umum

18

dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan perdamaian dunia yang


abadi.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia
yang dijiwai oleh sila I dan II. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham
golongan, suku bangsa, sebaliknya membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan
sebagai satu bangsa yang padu tidak terpecah belah oleh sebab apapun. Hakekat
pengertian itu sesuai dengan pembukaan UUD1945 alenia ke empat dan pasalpasal 1,32,35,dan 36 UUD 1945
4. Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang berarti sekelompok manusia
dalam suatu wilayah tertentu kerakyatan dalam hubungan dengan sila IV bahwa
kekuasaan yang tertinggi berada ditangan rakyat. Hikmat kebijaksanaan berarti
penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan
persatuan dan kesatuan bangsa kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar,
jujur dan bertanggung jawab. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat hingga mencapai keputusan yang berdasarkan
kebulatan pendapat atau mupakat. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata
cara (prosedura) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam
kehidupan bernegara melalui badan-badan perwakilan.
Jadi sila ke IV adalah bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui
sistem perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan musawarah
dengan pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab baik kepada Tuhan yang
maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya. Hakekat pengertian itu sesuai
dengan pembukaan UUD alenia empat dan pasal-pasal 1,2,3,28 dan 37 UUD
1945.
5. Sila ke V: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan social berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala
bidabg kehidupan, baik materi maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia, baik yang berdiam di wilayah
kekuasaan Republik Indonesia maupun warga Negara Indonesia yang berada di
luar negeri. Jadi sila ke V berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat

19

perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, social, ekonomi dan
kebudayaan.
Sila Keadilan sosial adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya,
merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah
tata masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila. Hakekat pengertian itu sesuai
dengan pembukaan UUD 1945 alinea kedua dan pasal-pasal 23, 27, 28, 29, 31 dan
34 UUD 1945.
Inti sila kelima yaitu keadilan yang mengandung makna sifat-sifat dan
keadaan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat adil, yaitu pemenuhan hak
dan wajib pada kodrat manusia hakikat keadilan ini berkaitan dengan hidup
manusia , yaitu hubungan keadilan antara manusia satu dengan lainnya, dalam
hubungan hidup manusia dengan tuhannya, dan dalam hubungan hidup manusia
dengan dirinya sendiri (notonegoro). Keadilan ini sesuai dengan makna yang
terkandung dalam pengertian sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selanjutnya hakikat adil sebagaimana yang terkandung dalam sila kedua ini
terjelma dalam sila kelima, yaitu memberikan kepada siapapun juga apa yang
telah menjadi haknya oleh karena itu inti sila keadilan social adalah memenuhi
hakikat adil.
Realisasi keadilan dalam praktek kenegaraan secara kongkrit keadilan
social ini mengandung cita-cita kefilsafatan yang bersumber pada sifat kodrat
manusia monodualis , yaitu sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk
social. Hal ini menyangkut realisasi keadilan dalam kaitannya dengan Negara
Indonesia sendiri (dalam lingkup nasional) maupun dalam hubungan Negara
Indonesia dengan Negara lain (lingkup internasional)
Dalam lingkup nasional realisasi keadilan diwujudkan dalam tiga segi
(keadilan segitiga) yaitu:
1. Keadilan distributive, yaitu hubungan keadilan antara Negara dengan warganya. Negara wajib memenuhi keadilan terhadap warganya yaitu wajib
membagi-bagikan terhadap warganya apa yang telah menjadi haknya.
2. Keadilan bertaat (legal), yaitu hubungan keadilan antara warga Negara terhadap
Negara. Jadi dalam pengertian keadilan legal ini negaralah yang wajib
memenuhi keadilan terhadap negaranya.
20

3. Keadilan komulatif, yaitu keadilan antara warga Negara yang satu dengan yang
lainnya, atau dengan perkataan lain hubungan keadilan antara warga Negara.
Selain itu secara kejiwaan cita-cita keadilan tersebut juga meliputi seluruh
unsur manusia, jadi juga bersifat monopluralis . sudah menjadi bawaan hakikatnya
hakikat mutlak manusia untuk memenuhi kepentingan hidupnya baik yang
ketubuhan maupun yang kejiwaan, baik dari dirinya sendiri-sendiri maupun dari
orang lain, semua itu dalam realisasi hubungan kemanusiaan selengkapnya yaitu
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lainnya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila
sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerjasama antara sila yang satu dengan sila yang lain
untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang
utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.
3.2 Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada
pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana kita mempelajari
tentang filsafat, filsafat pancasila, dan pancasila sebagai sistem filsafat.
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu
pengetahuan.

21

DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro. 1975. Pancasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
K.Wantjik, Saleh. 1978. Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI, Jakarta: PT.
Gramedia.
Kartohadiprojo, Soediman. 1970. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung.
Alumni.
Darmodiharjo, Darji. 1978. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia.
Driyarkara, SJN., 1978, Percikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan.
Frondizi, Risieri. 1963. What Is Value?. New York: Open Court Publising
Company.
Kaelan. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa. Yogyakarta:
Paradigma.
Kodhi, S.A., dan Soejadi, R. 1994. Filsafat, Ideologi,dan Wawasan Bangsa
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
Nasution, Harun. 1970. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang 137.
Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Filsafat Negara. Jakarta: Cetakan Ke-4,
Pantjuran Tudjuh.
Poespowardoyo, Soenaryo. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia
Sumargono, Suyono, Tanpa Tahun. Ideologi Pancasila sebagai penjelmaan
Filsafat Pancasila dan Pelaksanaannya dalam Masyarakat Kita Dewasa
Ini, Makalah Seminar di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Rowland. (2012). Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. (Online). Tersedia: https://
rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2012/10/bab-03-pancasila-sebagai-sist
em-filsafat.pdf (9 November 2014).

22

Anda mungkin juga menyukai