Anda di halaman 1dari 3

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: Kemana mau melangkah ?

Oleh: Nurul Firmansyah *)


RUU Desa dan RUU PPMA sebaiknya digabung dalam rangka mendorong pengakuan
masyarakat hukum adat.
Dibaca: 20922 Tanggapan: 2
DPR RI sedang menggodok dua rancangan undang-undang terkait kepentingan hukum
masyarakat hukum adat, yaitu RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat (kemudian disebut RUU PPMA). Dua RUU tersebut sama-sama menggunakan Pasal 18 B
UUD 1945 sebagai perwujudan pengakuan masyarakat hukum adat yang bersifat khusus dan
istimewa.
Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menelaah posisi masyarakat hukum adat dalam hukum
nasional sebagai subjek hukum dan menghubungkannya dengan inisiatif RUU Desa dan RUU
PPMA yang sedang berlangsung di DPR RI saat ini. Dengan pengakuan tersebut, harapannya
memperkuat pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang signifikan terhadap
penguatan hak-haknya, termasuk hak penguasaan atas wilayah (hak ulayat) di depan hukum
nasional.
Masyarakat
Hukum
Adat
:
Antara
Konsep
dan
Realita
Pengertian mendalam tentang masyarakat hukum adat perlu dihayati pada dua faktor, yaitu:
teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan hidup
masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005:6). Contoh masyarakat hukum adat yang terikat pokok
secara territorial (Dorpsgemeenschap) adalah desa di Jawa dan masyarakat hukum adat yang
terikat secara genealogis sekaligus territorial adalah Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat).
Khususnya Nagari terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genealogis
matrilineal. Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari
beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan dari
kaum-kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012: 41). Suku merupakan ikatan pertalian
darah (genealogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial. Himpunan beberapa suku
akan membentuk satu Nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan (territorial),
(Kurniawarman,
2012:42).
Selanjutnya, masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya otonom setelah bersinggungan dengan
negara. Reduksi otonomi masyarakat hukum adat tersebut oleh Kurniawarman dinyatakan
sebagai kondisi Semi-autonomous of social field yang merujuk pada teori Moore dalam
Perspektif hukum dan Perubahan Sosial (Law and Social Change), (Kurniawarman, 2007:4). Hal
tersebut adalah konsekuensi dari upaya membangun negara bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadi
peleburan yang mengakibatkan berkurangnya otonomi masyarakat hukum adat, baik yang terikat
pokok secara territorial seperti di Jawa, terikat secara genelogis dan terikat secara genelogisterritorial
seperti
di
Nagari.
Namun persoalannya adalah, seberapa besar dampak peleburan tersebut identitas masyarakat
hukum adat sebagai subjek hukum yang bersifat khusus dan istemewa tersebut? Pertanyaan
tersebut kemudian beriringan dengan maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat oleh negara, terutama hak ulayat. Hukum Negara yang diciptakan
melahirkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat, seperti hilangnya tanah-tanah ulayat

dalam kawasan hutan akibat UU Kehutanan, perampasan tanah ulayat melalui HGU dan lainlain.
Berbagai persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan lemahnya pengakuan masyarakat hukum
adat sebagai subjek hukum yang mempunyai hak-hak khusus dan istimewa. Oleh sebab itu,
artikel
ini
mencoba
menjawab
persoalan-persoalan
tersebut.
Masyarakat
Hukum
Adat
sebagai
Subjek
Hukum
Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah badan hukum yang bersifat
Gemeenschaap yaitu persekutuan hukum yang terbentuk secara alamiah karena
perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan politikbukan verenigingen yang
terbentuk dengan sengaja untuk kepentingan-kepentingan ekonomi an sich anggota-anggotanya.
Sebagai Badan Hukum, Masyarakat hukum adat mempunyai hak-hak (kewenangan) yang
bersifat
publik.
Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait dengan Pasal 18
UUD 1945. Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa susunan asli masyarakat
hukum adat dalam bentuk desa, Nagari atau nama lain mempunyai kewenangan publik
berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, termasuk kewenangannya terhadap wilayah
dan
sumber
daya
alam
yang
terkandung
di
dalamnya.
Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum masyarakat
hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran negara yang mempunyai hak
asal usul terutama terkait atas kepastian wilayahnya, karena: (1) hanya mengenal pembagian
wilayah negara dalam daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah-daerah
kabupaten dalam asas otonomi daerah dan (2) tidak mengenal lagi wilayah susunan asli
masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asal usul (Saldi Isra, 2012:13). Artinya, perubahan
Pasal 18 berakibat pada pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, namun tidak
dengan wilayahnya, dan pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat melalui rezim
hukum
pemerintah
daerah.
Inisitaif
RUU
Desa
dan
RUU
PPMA
RUU Desa dan RUU PPMA mempunyai pengaruh besar terhadap pengakuan hak-hak
masyarakat hukum adat, terutama sebagai subjek hukum. RUU Desa mempunyai peran penting
integrasi hak-hak publik masyarakat hukum adat sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan
negara. RUU Desa semestinya tidak dikonstruksi sebagai bagian penyelenggaran negara yang
bersifat administratif an sich, namun semestinya sebagai bentuk pengakuan susunan asli seperti
desa, Nagari, marga dan nama-nama lainnya (kemudian disebut desa asal usul) sebagai kesatuan
masyarakat
hukum
adat.
Selanjutnya, Bagaimana hubungannya dengan RUU PPMA? Menurut penulis, RUU PPMA
dirancang dengan semangat pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hal tersebut
sebenarnya mempunyai persamaan semangat dengan RUU Desa yang juga mencoba
mendeklarasikan pengakuan tersebut. Perbedaannya terletak pada RUU Desa merekonstruksi
kesatuan masyarakat hukum adat dalam bentuk desa asal usul dalam penyelengaaraan negara
yang mempunyai hak khusus dan bersifat istimewa terhadap wilayahnya, sedangkan RUU

PPMA merekonstruksi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang bersifat khusus dan
istimewa.
Artinya RUU Desa lebih jelas menukik pada problem pengakuan wilayah masyarakat hukum
adat yang kabur akibat perubahan Pasal 18 UUD 1945. Oleh sebab itu, sangat relevan
masyarakat hukum adat semestinya menolak pengaturan BAB II tentang Penataan Desa dalam
RUU Desa, karena norma-norma tersebut mengatur tentang Pembentukan Desa, Penghapusan
Desa, Penggabungan Desa, Perubahan Status Desa yang tidak perlu diterapkan, karena; Nagari,
marga dan atau desa asal usul lainnya sudah hidup tanpa pembentukan oleh negara.
Selanjutnya, dua RUU ini sebenarnya relevan untuk didorong dalam upaya pengakuan
masyarakat hukum adat, dan apabila memungkinkan, RUU tersebut digabung saja dalam satu
RUU dengan isinya menjelaskan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum,
mempunyai wilayah, mempunyai hak khusus dan istimewa, dan dalam bentuk sinkronisasi dalam
rezim
hukum
pemerintah
daerah.
Dengan hal tersebut di atas, terutama dalam konteks Babaliak Ka Nagari di Sumatera Barat;
Nagari mempunyai landasan hukum yang kuat untuk kembali pada Nagari yang sebenarnya
bukan hanya bagian dari perpanjangan sistem pemerintahan administratif belaka. Artinya, Nagari
bukan lagi sekedar penyebutan unit pemerintahan, namun identitas kesatuan masyarakat hukum
adat yang diakui oleh sistem hukum nasional.

Anda mungkin juga menyukai