Anda di halaman 1dari 10

ISOLASI Trichoderma virens DARI PERTANAMAN KAKAO DI ACEH SEBAGAI

BIODEKOMPOSER KULIT KAKAO


Rina Sriwati, Tjut Chamzurni, Bukhari, Anwar Sanjani
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam,
Banda Aceh

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
sedang digalakkan di Indonesia dan kakao sangat berperan penting bagi perekonomian
nasional. Usaha pengembangan kakao sering mengalami berbagai hambatan terutama oleh
serangan hama dan penyakit. Jenis penyakit yang sering menyerang tanaman kakao antara
lain: penyakit busuk buah yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora.
Phytophthora spp. adalah penyebab penyakit penting pada kakao, yang dikenal dengan busuk
buah, kanker batang, hawar daun, hawar bibit, dan layu tunas air. Diantara penyakit tersebut,
busuk buah merupakan penyakit paling dominan karena menyebabkan kerugian yang berkisar
antara 10 sampai 30%.
Kulit buah kakao sampai saat ini belum banyak mendapat perhatian masyarakat,
kulit buah kakao menjadi limbah perkebunan yang mencemari lingkungan dan menjadi
tempat berkembangnya berbagai penyakit terutama jamur Phytopthora sehingga akan terjadi
infeksi pada buah lainnya melalui percikan air hujan dari tanah pada batang dan menyerang
buah, daun dan batang kakao lainnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
pengomposan limbah kakao menjadi kompos dengan aplikasi Jamur Trichoderma sebagai
biodekomposer. Trichoderma merupakan kelompok fungi yang telah diketahui memiliki
kemampuan sebagai biodekomposisi yang baik, mampu memproduksi asam organik. Spesies
Trichoderma tergolong jamur mikroskopik yang hidup bebas yang bermanfaat bagi tanaman
dan secara umum berada di ekosistem tanah dan rhizosfer. Beberapa Trichoderma asal
tanaman kakao yaitu T. virens, T. asperellum dan T. longibrachiatum telah berhasil di isolasi
di pertanaman kakao di Aceh.
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kakao Distric Cocoa Clinic (DCC)
Swisscontact, Gampong Paru Keude, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.
Metode ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan
dan 5 ulangan. Uji yang dilakukan adalah uji organoleptik untuk mengetahui apakah sudah
masuk kriteria kompos matang. Kompos yang telah matang memiliki ciri berbau daun lapuk,
berstektur halus (remah) dan berwarna coklat kehitaman seperti tanah. Hasil yang didapat
adalah perlakuan P1 (Pupuk kandang + Trichoderma sp.) lebih cepat terdekomposisi
dibandingkan dengan perlakuan P2 (Kulit kakao + Trichoderma sp. ), P3 (Kulit kakao +
Pupuk kandang), dan P4 (Kulit kakao + Pupuk kandang + Trichoderma sp). Secara garis
besar keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan pupuk organik adalah
mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologis tanah dan penambahan bahan organik dalam
tanah lebih kuat pengaruhnya kearah perbaikan fisik tanah dan bukan khusus untuk
meningkatkan unsur hara dalam tanah.

Pengamatan terhadap C/N merupakan salah satu parameter yang sering digunakan
untuk mengetahui kematangan kompos. Kandungan C/N terendah terdapat pada perlakuan PI
(PT) hal ini disebabkan oleh komposisi bahan kompos yang tidak mengunakan kulit kakao
(sebagai sumber karbon) pada perlakuan tersebut sehingga menyebabkan kandungan C/N nya
rendah, sedangkan perlakuan yang menggunakan kulit buah kakao (sebagai sumber karbon)
yaitu P4 (KPT), P2 (KT) dan P3 (KP) (tidak menggunakan Trichoderma) tergolong kedalam
kategori C/N sedang yaitu 10-12 dan telah sesuai dengan C/N kompos matang.
Perlakuan berbagai bahan pengomposan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
koloni mikroba pada media Corn Meal Agar. Terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah
koloni mikroba yang diisolasi dari perlakuan P4 (KPT) dengan yang hanya menggunakan dua
jenis bahan yaitu pada PI (PT), P2 (KT) dan P3 (KP). Jumlah koloni mikroba yang tertinggi
terdapat pada perlakuan P4 (KPT), sementara pada perlakuan P1 (PT), P2 (KT) dan P3 (KP)
terdapat jumlah koloni mikroba yang berada pada tingkat yang hampir sama banyaknya.
Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena jumlah inokulum jamur yang terbawa pada
bahan dasar kompos tidak sama pada setiap perlakuan.
Trichoderma virens yang diaplikasikan kedalam bahan kompos belum mampu
berkembang dengan baik dalam tumpukan bahan kompos. Pada awal ketika dilakukan
inokulasi, T.virens dapat berkembang dan mendekomposisi bahan kompos yang ditandai
dengan perubahan suhu dan mutu organoleptik. Namun mikroba lain yang terbawa dalam
bahan kompos lebih dulu berkembang dan beradaptasi dengan suasana kompos sehingga
seiring dengan berjalannya waktu pengomposan populasi. T.virens semakin tertekan bahkan
mati dalam suasana kompos dan menyebabkan bakteri lain lebih dominan dalam kompos.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah aplikasi Trichoderma virens pada berbagai jenis
bahan yang dikomposkan berpengaruh sangat nyata terhadap warna, bau, tekstur pada
perlakuan P1 (PT), populasi mikroba pada media CornMeal Agar dan C/N kompos.
Penggunaan Trichoderma Virens pada kombinasi bahan kompos meskipun tidak berpengaruh
terhadap warna, tekstur dan bau pada perlakuan P2, P3 dan P4 tetapi berpengaruh terhadap
kematangan kompos yang ditandai dengan ciri-ciri kematangan C/N kompos. Kemudian
analisis hasil kompos menunjukkan bahwa kandungan C/N kompos pada semua perlakuan
telah sesuai dengan standar kematangan kompos sehingga dinilai cukup layak untuk
diaplikasikan pada tanaman.

PENINGKATAN KECEPATAN DEKOMPOSISI LIMBAH KULIT KOPI DENGAN


PENAMBAHAN Trichoderma spp SEBAGAI DEKOMPOSER DAN Pseudomonas sp.
UNTUK PENGKAYAAN KANDUNGAN FOSFAT
Sunjoto, W.D, T.C. Setiawati, S. Winarso
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

Limbah kulit kopi yang dihasilkan pada budidaya kopi memiliki peluang yang sangat
besar untuk dkembangkan menjadi pupuk. Kadar C-organik kulit buah kopi adalah 45,3 %,
kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Pupuk organik yang di hasilkan dari
pengomposan limbah kulit kopi ini di harapkan dapat berperan dalam peningkatan kesuburan
tanah yang merupakan kunci keberhasilan sistem pertanian organik, baik kesuburan fisik,
kimia maupun biologi tanah. Berbagai macam bahan organik yang di jadikan kompos
memiliki kandungan kimia dan biologi yang relatif seragam sehingga tidak memiliki
keunggulan tertentu. Dengan adanya pemanfaatan Trichoderma spp dan Pseudomonas sp
diharapkan kompos yang di hasilkan dari bahan dasar limbah kulit kopi ini memiliki
keunggulan tertentu baik dalam segi kimia maupun biologinya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penambahan Trichoderma spp terhadap kecepatan dekomposisi limbah
kulit kopi dan pengaruh penambahan Pseudomonas sp terhadap peningkatan ketersediaan
unsur P (fosfor).
Trichoderma spp adalah jamur penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran
tanaman lapangan. Trichoderma spp memiliki peran sebagai dekomposer yang dapat
mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang
bermutu. Selain itu, Trichoderma spp dapat juga digunakan sebagai biofungisida, dimana
Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk dapat menghambat pertumbuhan beberapa
jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium
oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, dll.
Selain itu, dengan adanya penambahan jamur Trichoderma sp. juga ditambahkan bakteri
Pseudomonas fluorescent. Pseudomonas fluorescent merupakan salah satu jenis bakteri
pelarut fosfat (pigmen phenazine) dan dekomposer yang mengkonsumsi senyawa carbon
sederhana, seperti eksudat akar dan sisa tanaman. Melalui proses ini bakteri mengkonversi
energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat untuk organisme tanah
lain dalam rantai makanan tanah. Bakteri ini dapat merombak pencemar tanah, dapat menahan
unsur hara di dalam selnya. Penambahan kedua agen antagonis ini di harapkan
mendekomposisi dan memineralisasi bahan organik. Senyawa fosfat yang berada dalam
betuk organik dalam kompos limbah kulit kopi ini dapat di rilis menjadi bentuk anorganik,
sehingga P tersedia dalam tanah akan meningkat. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak,
namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya 0,01 0,2 mg/kg tanah.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan
2 faktor perlakuan yaitu: 1). Isolat yang terdiri dari 4 taraf (K0 =Kontrol, K1= Trichoderma

spp (1 x 103 cfu/g) , K2 = Pseudomonas sp (5 x 10 cfu/ml), K3 = Trichoderma spp (1 x 103


cfu/g) + Pseudomonas sp (5 x 10 cfu/ml)). 2). Batuan fosfat yang terdiri dari 2 taraf (P0 =
Kontrol, P1 = Batuan fosfat (10%) dan masingmasing perlakuan diulang 3 kali. Parameter
yang diamati adalah pengamatan fisik limbah kulit kopi (warna, bau, dan penyusutan
volume bahan hasil dekomposisi) dan analisi laboratorium (kadar air, kandungan Corganik, N-Total, C/N ratio,P Total dan K- Total) yang dilakukan pada 10, 20 dan 30 hari
setelah inokulasi.
Analisis laboratorium pada kandungan awal hara kulit kopi kering menunjukkan
bahwa kandungan air sedang yaitu 45,11%, kadar C cukup tinggi yaitu 49,71%, kadar Ntotal kisaran 1,64%, kadar P=total sangat rendah yaitu 0,02% dan kadar K-total 1,02%.
Sedangkan nisbah C/N pada bahan hasil dekomposisi adalah tinggi yaitu 30,34%
Untuk mengetahui kematangan hasil dekomposisi dapat dilakukan dengan
pengamatan fisik. Perubahan fisik yang terjadi pada hasil produksi hasil dekomposisi
limbah kulit kopi setelah diperlakukan meliputi warna, bau, dan volume hasil
dekomposisi pada botol. Hasil dekomposisi yang sudah matang tidak berbau atau berbau
seperti tanah, jika hasil dekomposisi masih berbau seperti bahan mentahnya berarti
hasil dekomposisi belum matang. Kematangan hasil dekomposisi juga dapat dilihat dari
warnanya, warna coklat kehitam-hitaman menandakan bahwa hasil dekomposisi telah
matang, namun apabila hasil dekomposisi masih berwarna seperti bahan mentahnya,
berarti hasil dekomposisi tersebut belum matang.

PEMANFAATAN KOMPOS BERBAHAN BAKU AMPAS TEBU (Saccharum sp.)


DENGAN BIOAKTIVATOR Trichoderma spp. SEBAGAI MEDIA TUMBUH SEMAI
Acacia crassicarpa
Rahimah, M. Mardhiansyah, Defri Yoza
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

Acacia crassicarpa merupakan tanaman tahunan yang banyak digunakan dan


dikembangkan oleh kalangan perusahaan-perusahaan kehutanan di Indonesia sebagai
tanaman penghasil bahan baku industri yaitu bahan baku pulp dan kertas. Tanaman dari
famili Fabaceae dan subfamili Mimosoideae ini rentan akan suatu penyakit, sehingga
membuat produktiviasnya menurun. Jadi perlu adanya berbagi upaya yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir terjadinya serangan penyakit. Beberapa hal yang menjadi penentu
kualitas bibit yang akan ditanam, salah satunya adalah media tanam. Media tanam
merupakan komponen utama yang perlu diperhatikan, terutama keberadaan unsur hara yang
terdapat pada media tanam tersebut.
Limbah dari ampas tebu (bagase) merupakan hasil dari proses pemerahan atau
ekstraksi batang tebu yang biasanya dibuang secara open dumping tanpa pengolahan lebih
lanjut, sehingga akan menimbulkan polusi estetika, gangguan lingkungan dan bau yang
tidak sedap. Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan suatu teknologi untuk mengatasi
limbah ini, yaitu dengan menggunakan teknologi daur ulang limbah padat menjadi
produk kompos yang bernilai guna.
Pengomposan ampas tebu adalah dengan mengkombinasikan antara jamur
Trichoderma spp. dengan bahan organik ampas tebu. Trichoderma spp. merupakan jamur
yang bersifat antagonis bagi tanaman yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Trichoderma spp. mengandung unsur hara makro dan mikro,
memperbaiki struktur fisik dan kimia tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman,
menahan air, meningkatkan aktivitas biologis mikroorganisme tanah, dapat sebagai agen
biokontrol dalam mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) terutama
penyakit tular tanah.
Metode yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5
perlakuan dan 4 kali ulangan. Ampas tebu yang ingin dijadikan kompos dicacah terlebih
dahulu untuk memperkecil ukuran partikel agar pengomposan berlangsung lebih cepat. Hasil
cacahan tersebut kemudian dicampurkan dengan kotoran sapi, urea, TSP, dan kapur pertanian
untuk mencapai nisbah C/N yang optimum. Proses pembuatan kompos ini ditambahkan
bioaktivator untuk mempercepat proses pengomposan, bioaktivator yang digunakan adalah
Trichoderma spp. yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Dosis ampas tebu yang

sudah dicampur bioaktivator Trichoderma sp. yang digunakan adalah 0 g/polibag, 25


g/polibag, 50 g/polibag, 75 g/polibag, dan 100 g/polibag. Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah persen hidup semai, pertambahan tinggi semai, berat kering tanaman,
dan rasio tajuk akar.
Parameter yang pertama diamati adalah persen hidup semai yaitu jumlah semai yang
mampu hidup dengan jumlah total seluruh semai yang ditanam dan dinyatakan dalam satuan
persen (%). Hasil dari parameter ini adalah semai 100% hidup semua atas lima perlakuan
yang diujikan. Untuk parameter selanjutnya adalah pertambahan tinggi semai. Caranya
dengan mengukur semai dari pangkal batang sampai batas daun tertinggi secara vertikal.
Hasilnya tertinggi ada pada tanaman dengan dosis 100 g/polibag, sedangkan yang terendah
terdapat pada dosis 0 g/polibag.
Sedangkan untuk parameter diameter batang tanaman dilakukan dengan mengukur
bagian leher batang semai menggunakan caliper dengan satuan millimeter (mm) dan hasilnya
juga pada dosis 100 g/polibag. Pengukuran berat kering tanaman dilakukan dengan
mengambil 3 (tiga) sampel pada setiap perlakukan. Semai dibersihkan dari tanah dan
kotoran kemudian dikering anginkan selama 2 (dua) jam. Sampel dipotong menjadi 2
(dua). Masing-masing bagian dimasukkan ke dalam amplop dan dikeringkan
menggunakan
oven dengan temperatur 70 sampai beratnya konstan (tidak ada lagi
penurunan berat). Dan hasilnya adalah berat kering terbesar ada pada dosis 100 g/polibag.
Untuk rasio tajuk akar pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan antara
berat kering tajuk dan berat kering akar seluruh perlakuan sehingga menghasilkan rasio akar
yang sama. Jadi kesimpulan dari penelitian ini adalah kompos ampas tebu terformulasi
dengan bioaktivator Trichoderma sp. mampu meningkatkan pertumbuhan semai Acacia
crassicarpa dan kompos ampas tebu terformulasi dengan dosis 100 g/polybag, yang
diberikan pada medium tanam dengan volume media 2 kg, menunjukkan peningkatan
pertumbuhan semai Acacia crassicarpa terbaik.

EVALUASI KOMBINASI ISOLAT Trichoderma MIKOPARASIT DALAM


MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR PUTIH PADA BIBIT KARET
Suwandi
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya

Rigidoporus lignosus (Klo tzsch) Imazeh sinonim R. microporus (S w.) Overeem


dikenal sebagai jamur akar putih (JAP) merupakan jamur Polyporaceae penyebab penyakit
akar putih pada tanaman industri, terutama karet, kopi, lada dan ubikayu. Jamur ini
menimbulkan lapuk pada akar dan leher akar sehingga menyebabkan kematian tanaman. JAP
diperkirakan menyebabkan kematian 3% pada perkebunan besar dan 5% pada perkebunan
karet rakyat di Indonesia dengan taksiran nilai kerugian mencapai Rp.300 miliar setiap
tahunnya. Pengelolaan penyakit akar putih yang selama ini dikembangkan di Indonesia dan
kawasan tropika lainnya belum didasarkan atas genetika populasi fungi patogen.
Jamur antagonis dengan modus aksi mikoparasitisme berpotensi dikembangkan
sebagai biofungisida karena mampu mengendalikan struktur istirahat patogen yang tidak
dapat dilakukan oleh jamur antagonis dengan modus aksi lainnya. Ketidakmantapan
kemanjuran agensia hayati di lapangan merupakan kendala utama pengendalian hayati.
Ketidakmantapan kemanj uran ini dapat disebabkan oleh perbedaan kepekaan strain patogen
terhadap agensia hayati. Keanekaragaman jamur mikoparasit diberdayakan melalui
pendekatan kombinasi isolat yang sinergis sehingga dihasilkan agensia biokontrol yang lebih
efektif dan mapan terhadap populasi patogen yang beragam genetiknya. Penelitian bertujuan
untuk mengevaluasi kemanjuran kombinasi dari 8 isolat Trichoderma mikoparasit dalam
menekan penyakit akar putih yang diinokulasi dengan isolat JAP yang berbeda genetiknya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan bahwa secara in planta kemanjuran penekanan
penyakit oleh Trichoderma mikoparasit tidak dipengaruhi oleh isolat patogen sasaran. Hasil
penelitian ini membuktikan kombinasi 4 isolat Trichoderma mikoparasit lebih unggul dalam
menekan penyakit dan mengurangi inokulum (miselium) dalam potongan kayu dengan
penekanan relatif sebesar 91% dibandingkan penggunaan kombinasi 2 isolat dan isolat
tunggal yaitu kombinasi isolat Tl+T4+T9+T11. Jika diaplikasikan sebagai isolat tunggal,
masing-masing isolat tersebut dapat mematikan miselium pada akar tunggang, tetapi kurang
efektif terhadap miselium dalam potongan kayu.
Jamur antagonis ini telah dikenal sejak lama sebagai sebagai agensia biokontrol yang
beraksi melalui poduksi antibiotik gliovirin dan gliotoksin, pemarasit dengan memproduksi
enzim hidrolisis seperti 1,6-P glukanase, kompetisi terhadap hara Fe dengan mensekresi
siderofor serta pengimbasan ketahanan. Pengkolonian pada miselium oleh Trichoderma sp.
dengan cepat yang diikuti dengan lisis, dapat merupakan petunjuk parasitisme lebih dominan

bekerja dalam mekanisme penekanan penyakit oleh isolat Trichoderma. Dengan demikian,
semakin banyak gabungan isolat Trichoderma yang digunakan, maka biokontrol fungi
produksi enzim hidrolisis akan menjadi lebih beragam. Keragaman enzim penghancur
dinding sel ini dapat berguna dalam mengatasi keragaman komposisi dinding sel patogen
yang pada akhirya dapat meningkatkan kemanjuran penekanan penyakit. Penekanan penyakit
oleh suatu kombinasi isolat menjadi beragam dan tidak berhubungan dengan kemampuan
individu isolat. Kesesuaian isolat diduga berperanan penting dalam peningkatan kemanjuran.
Dengan demikian, faktor kesesuaian isolat merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan
dalam pemilihan awal kombinasi isolat unggul Trichoderma.

PENGARUH WAKTU APLIKASI DAN JENIS Trichoderma TERHADAP PENYAKIT


JAMUR AKAR PUTIH PADA BIBIT TANAMAN KARET
Widi Amaria dan Edi Wardiana
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Sukabumi Indonesia

Penyakit jamur akar putih (JAP) pada tanaman karet yang disebabkan oleh jamur
Rigidoporus microporus dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 3% di perkebunan
rakyat dan 5% di perkebunan besar dengan taksiran kerugian mencapai 300 milyar setiap
tahunnya. JAP merupakan penyakit tular tanah (soil borne disease) yang dapat bertahan
sebagai sumber infeksi selama bertahun-tahun sehingga tidak mudah dalam pengendaliannya.
Infeksi JAP dimulai sejak di pembibitan sampai tanaman menghasilkan sehingga upaya
pengendalian maupun pencegahan terhadap patogen dan sumber infeksi dapat dilakukan
sejak awal.
Pemanfaatan agens hayati berupa jamur antagonis Trichoderma mempunyai peluang
dalam mencegah maupun menekan serangan jamur akar putih (JAP) pada bibit tanaman
karet. Agen hayati Trichoderma ini banyak dipilih karena berpotensi dalam mencegah
maupun menekan perkembangan penyakit, terutama penyakit tular tanah, di samping itu
dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit tertentu. Mekanisme Trichoderma
sebagai agens pengendali patogen tular tanah dapat melalui mekanisme parasitisme,
kompetisi ruang dan nutrisi, membentuk lingkungan yang cocok, membentuk zat pemicu
pertumbuhan, serta antibiosis dan induksi ketahanan tanaman.
Penggunaan agens hayati Trichoderma virens yang bersifat mikoparasit terbukti dapat
menekan intensitas serangan penyakit JAP pada bibit tanamankaret. Demikian juga halnya
dengan T. harzianum bahkan T. harzianum dan T. hamatum dapat menghambat
perkembangan patogen R. microporus lebih dari 50%. Hal yang sama juga telah dilaporkan
bahwa T. virens, T. amazonicum, T. hamatum, dan T. atroviride secara in vitro memiliki
potensi dalam menekan perkembangan patogen R. microporus lebih dari 80%. Sehingga
pemanfaatan agens hayati berupa jamur antagonis Trichoderma mempunyai peluang dalam
mencegah maupun menekan serangan jamur akar putih (JAP) pada bibit tanaman karet.
Rancangan percobaan menggunakan acak kelompok faktorial dua faktor dengan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah dua waktu aplikasi Trichoderma (sebelum dan setelah infeksi
patogen), faktor kedua adalah empat jenis Trichoderma (Trichoderma virens, Trichoderma
hamatum, Trichoderma amazonicum, dan Trichoderma atroviride). Peubah yang diamati
meliputi gejala penyakit JAP, masa inkubasi patogen, dan intensitas serangan JAP.
Hasil pengamatan terhadap perkembangan gejala JAP diawali dengan munculnya
miselium berwarna putih pada bagian perakaran, baik akar lateral (akar cabang dan akar
rambut), dan tampak jelas pada permukaan akar tunggang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

mekanisme infeksi penyakit JAP melalui 3 tahap, yaitu penetrasi, kolonisasi, dan degradasi.
Patogen R. microporus menginfeksi tanaman dengan cara penetrasi pada bagian perakaran
tanaman inang (akar tunggang) di dalam tanah, hifa berkembang, dan mengeluarkan enzim
ekstraseluler. Proses selanjutnya kolonisasi jaringan akar, dan meluas ke bagian lain di daerah
perakaran sehingga menyebabkan enzim ekstraseluler dari patogen mendegradasi lignin
dinding sel akar inang. Hal inilah yang mengakibatkan akar tanaman berubah warna menjadi
kecokelatan dan membusuk. Proses penetrasi dapat berlangsung dengan bantuan enzim
pendegradasi atau secara mekanik melalui luka alami.
Pada parameter waktu aplikasi ini pengujian dilakukan untuk mengetahui keefektifan
penggunaan Trichodema. Di samping dapat bertindak sebagai pencegah penyakit,
Trichoderma juga dapat bertindak dalam mengendalikan serangan penyakit JAP pada bibit
karet yang telah tertular patogen. Walaupun keefektifannya masih lebih rendah bila
dibandingkan aplikasi sebelum infeksi patogen, aplikasi Trichoderma setelah ada infeksi
patogen masih lebih baik bila dibandingkan tanpa Trichoderma. Berdasarkan hasil analisis,
dapat diketahui bahwa dimulai sejak 60 HSI penggunaan Trichodema (yang diaplikasikan
satu minggu sebelum maupun setelah infeksi patogen) telah berhasil secara efektif dalam
memperpanjang masa inkubasi patogen R. microporus dan menghambat serangan JAP.
Trichodema yang diaplikasikan sebelum ada infeksi patogen secara nyata dapat
memperpanjang masa inkubasi patogen selama 60,49 hari dibandingkan kontrol, maka dapat
diketahui besarnya penurunan serangan JAP, yaitu mencapai 78,36%. Trichodema yang
diaplikasikan setelah ada infeksi patogen tidak berbeda nyata dengan kontrol dalam hal masa
inkubasi patogen, sedangkan terhadap intensitas serangan JAP hanya dapat menekan
serangan sebesar 25%.
Berdasarkan pada hasil penelitian ini maka terdapat indikasi meningkatnya ketahanan
tanaman karet yang telah diinokulasi oleh T. virens dan T. amazonicum. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa T. virens salah satu keunggulannya
memiliki kemampuan dalam mendukung ketahanan tanaman secara sistemik. Implikasi
yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah pada proses pembibitan tanaman karet
sebaiknya dilakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi infeksi penyakit JAP, yaitu
dengan aplikasi agens hayati T. virens dan T. amazonicum. Namun, apabila bibit telah
terinfeksi JAP maka selain aplikasi kedua jenis Trichoderma tersebut di atas dapat juga
menggunakan T. atroviride.

Anda mungkin juga menyukai