Anda di halaman 1dari 5

a subsequent study on 481,712 CD-related hospitalizations reporting 67,751

major surgical procedures [88]. Finally, a prospective cohort study of 72,179


women enrolled in the Nurses Health Study addressed the question if vitamin D
hypovitaminosis may, per se, represent a risk factor for the development of IBD.
Incident cases of CD and UC were recorded over a follow-up period of 22 years. A
25(OH)D3 prediction score based on diet and lifestyle was developed and
validated against effectively measured levels of 25(OH)D3. The authors showed
that higher predicted plasma levels of 25(OH)D3 were associated with a
significant risk reduction for CD but not for UC, suggesting that vitamin D status
may contribute to the pathogenesis of CD [89]. After a series of contradictory
and mostly negative studies on vitamin D levels in IBD patients compared with
HC, more conclusive data have been produced introducing reference values.
However, most of these studies have been aimed to investigate bone and
calcium metabolism. Recent large cohort studies investigating UV exposure or
vitamin D status estimating the risk to develop IBD have pushed forward our
understanding on the potential role of vitamin D in the context of IBD
5. Status Vitamin D dan Hasil Klinis pada Pasien IBD
Beberapa penelitian tentang hubungan antara status vitamin D dan hasil
klinis pada pasien IBD telah dipublikasikan (Tabel 2). Hapir 30 tahun yang lalu,
kadar 25(OH)D3 pada CD aktif lebih rendah dibandingkan kadarnya pada CD
yang pasif. Dua puluh tahun kemudian, penelitian lain menunjukkan bahwa kadar
serum 25(OH)D3 yang rendah berhubungan dengan durasi penyakit dan skor
aktivitas pada CD dan UC. Hubungan terbalik antara aktivitas penyakit dan kadar
serum 25(OH)D3 ini dikonfirmasi dalam sebuah penelitian prospektif pada CD
dan dalam sebuah penelitian retrospektif pada populasi IBD yang leih besar.
Penelitian ini menemukan bahwa kadar serum 25(OH)D3 yang rendah
berhubungan dengan skor aktivitas klinis yang lebih tinggi pada CD dan UC,
namun tidak berhubungan dengan resiko medis atau operatif. Analisis regresi
menemukan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan secara
independen dengan kualitas kehidupan (QoL) pasien CD, namun tidak pada
pasien UC. Penurunan QoL juga dilaporkan oleh penelitian lain, dimana
insufisiensi vitamin berhubungan dengan skor QoL yang jauh lebih rendah. Pada
populasi IBD campuran, ditemukan hubungan terbalik antara kadar 25(OH)D3
dan calprotectin fekal, yang merupakan petanda inflamasi usus. Kadar serum
CRP sebagai petanda inflamasi sistemik tidak berhubungan dengan kadar
25(OH)D3. Sebaliknya, penelitian lain pada pasien CD dan UC tidak menemukan
korelasi antara kadar serumm 25(OH)D3 dengan aktivitas penyakit.
Penelitian lain pada populasi IBD pediatrik tidak menemukan hubungan
antara kadar 25(OH)D3 dengan aktivitas penyakit. Dalam sebuah penelitian
prospektif pada cohort multisenter terbesar yang melibatkan 3.217 pasien, kadar
25(OH)D3 plasma yang rendah (<20 ng/ml) berhubungan dengan peningkatan
resiko perawatan di RS dan operasi pada pasien CD dan UC. Kemungkinan
terjadinya colitis Clostridium difficile (Cl) meningkat pada pasien dengan kadar
25(OH)D3 plasma yang rendah (<20 ng/ml). Peningkatan 25(OH)D3 sebanyak 1
ng/mL disertai dengan penurunan resiko terjadinga colitis CI sebesar 4%.
Kematian akibat colitis CI dapat terjadi pada pasien dengan kadar 25(OH)D3
yang lebih rendah dibanidingkan mereka yang selamat.
Sebuah penelitian terbaru meneliti hubungan antara kadar 25(OH)D3
dengan durasi terapi anti-TNF pada pasien IBD. Menariknya, kadar vitamin D
yang rendah berhubungan dengan hilangnya respons terhadap terapi pada

pasien CD, sedangkan kadar 25(OH)D3 serum meningkat dengan pemberian


terapi anti-TNF. Satu-satunya penelitian yang meneliti kadar 1,25(OH)2D3 plasma
menemukan tidak adanya hubungan antara kadar 1,25(OH)2D3 dengan CDAI
atau CAI pada pasien di Jepang. Hal ini mencerminkan bahwa vitamin D yang
rendah berhubungan terbalik dengan aktivitas penyakit, yang dinilai dari skor
klinis dan petanda inflamasi, seperti CRP, dan calprotectin fekal. Kadar yang
rendah juga berhubungan dengan hasil klinis, yang meliputi operasi, respons
terhadap terapi anti TNF, superinfeksi CI, dan kematian.
Inflamasi terbukti dapat meningkatkan konversi 25(OH)D3 menjadi
1,25(OH)2D3, yang dapat menurunkan ketersediaan 25(OH)D3. Dua penelitian
terbaru menunjukkan penurunan kadar 25(OH)D3 akut setelah terjadinya
respons inflamasi sistemik yang diinduksi oleh operasi. Hal ini menunjukkan
bahwa 25(OH)D3 adalah reaktan fase akut negatif.

6. Penelitian Terapeutik secara In Vitro dan pada Hewan Coba


Vitamin D dapat digunakan sebagai terapi untuk IBD. Beberapa penelitian
eksperimental, pada hewan dan pasien IBD, telah dilakukan (Tabel 3). Pada kasus
colitis spontan, tikus tanpa IL-10 dengan diet defisiensi vitamin D mengalami
retardasi pertumbuhan dan penurunan berat badan, serta tingkat mortalitas
yang tinggi (58% pada minggu ke-9) dibandingkan tikus dengan diet cukup
vitamin D. Suplementasi 1,25(OH)2D3 (0.005 g/hari) mulai minggu ke-2 dapat
mengurangi penurunan berat badan dan memperbaiki skor histologi, namun
suplementasi vitamin D setelah onset gejala pada minggu ke-7 (1,25(OH)2D3,
0.2 g/hari) tidak memberikan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan
hewan yang tidak diterapi, kecuali dalam hal berat usus. Hal ini menunjukkan
berkurangnya inflamasi pada hewan yang diterapi.
Dalam sebuah penelitian lain, efektivitas analog vitamin D kalsemik
rendah (22-ene-25-oxa-vitamin D (ZK156979)) diteliti pada colitis 2,4,6trinitrobenzene sulfonic acid (TNBS). Terapi 1,25(OH)2D3 (0.2 g/kg) versus
ZK156979 (0.12.0 g/kg) secara intraperitoneal (i.p) sebelum atau setelah
induksi colitis. Penilaian inflamasi dan tingkat keparahan colitis ditentukan
dengan skorcolitis, analisis makroskopis, analisis histologis, pengukuran kadar
sitokin dan aktivitas myeloperoksidase (MPO). Peneliti menemukan bahwa
ZK156978 menurunkan tingkat keparahan coolitis yang diinduksi oleh TNBS
dengan potensi yang hampir sama dengan1,25(OH)2D3, yang menurunkan
aktivitas MPO, tumor necrosis factor- (TNF-), kadar interferon- (IFN-) dalam
jaringan, serta ekspresi faktor transkripsi T-box (T-bet), disertai dengan
peningkatan kadar IL-10 dan IL-4 dalam jaringan tanpa efek kalsemik. Laverny et
al meneliti efek pemberian agonis reseptor vitamin D intrarektal (1,25(OH)2-16ene-20-cyclopropyl-vitamin D3; BXL-62) pada tikus C57Bl/6 dengan colitis yang
diinduksi oleh dextran-sodium sulfate- (DSS-) (3%). Terapi BXL-62 (1 g/kg) lebih
superior dibandingkan 1,25(OH)2D3 (0.3 g/kg) dalam mencegah penurunan
berat badan dan darah fekal, disertai dengan perbaikan konsistensi feses dan
skor histologis tanpa menginduksi hiperkalsemia.
Agonis vitamin D sintetik yang lain 1,25(OH)2-19-nor-14,20-bisepi- 23yne-vitamin D3 (TX527), terbukti memperlambat inflamasi pada colitis DSS
dengan menurunkan IL-1, IL-6, IFN-, TNF-, serta glutathione peroxidase 2.
Terdapat 3 penelitian yang menghubungkan vitamin D atau reseptornya dengan
mikrobiota usus. Yang pertama, pada tikus Cyp27b1-KO, tikus tidak dapat

1,25(OH)2D3 dan terjadi peningkatan kerentanan terhadap coitis DSS.


Suplementasi vitamin oral mengurangi penurunan berat badan, sedangkan
terapi antibiotik mencegah terjadinya colitis. Pada tikus ini, penurunan ekspresi
E-cadherin pada sel epitel dan imun juga terjadi. Penurunan jumlah sel dendritik
tolerogenik juga ditemukan dalam usus tikus Cyp27b1-KO. Pada tikus ini dan
pada tikus VDRKO, dysbiosis mikrobiota disertai dengan penambahan famili
Helicobacteraceae dan penurunan phyla Firmicutes dan Deferribacteres. Peneliti
menyimpulkan bahwa vitamin D (produksi atau reseptornya) terlibat dalam
pengaturan mikrobiota usus.
Yang kedua, colitis yang diinduksi oleh DSS berkurang disertai dengan
penetrasi adherent-invasive E. coli (AIEC) yang lebih rendah pada tikus dengan
diet cukup-vitamin dibandingkan tikus dengan diet defisiensi vitamin D.
Hipovitaminosis vitamin D dan colitis DSS menyebabkan peningkatan
Bacteroidetes. Pada sel Caco yang diinkubasi dengan atau tanpa vitamin D lalu
diberi AIEC, vitamin D terbukti dapat mempertahankan resistensi trans epitel dan
mencegah redistribusi protein.
Penelitian ketiga melaporkan perubahan mikrobiota yang berhubungan
dengan interferensi sistem vitamin D. Penelitian ini menilai kerentanan tikus
tanpa VDR terhadap terjadinya colitis DSS (delesi hanya pada sel epitel usus,
disertai dengan kuantitas dan kualitas sel Paneth melalui penghitungan ekspresi
protein ATG16L1 dan lisozyme. Protein ini terlibat dalam autofagi dan varian
genetiknya merupakan faktor resiko CD. Pada model ini, ditemukan peningkatan
E. Coli dan Bacteroides, disertai dengan penurunan bakteri yang menghasilkan
butyrate. Suplementasi butyrate pada tikus tanpa IL-10 dapat meningktkan
ekspresi ATG16L1 dan VDR. Peningkatan ini juga terjadi setelah inkubasi
beberapa galur sel dengan butyrate.
Perbaikan fibrosis usus, yang dinilai dari produksi matriks ekstraselular
dan kolagen total, ditemukan pada tikus dengan colitis TNBS yang diberi
suplemen vitamin D, dibandingkan tikus dengan defisiensi vitamin D. Dalam
myofibroblas subepitel colon, vitamin D dapat menurunkan kadar TGF-1, Smad
3, p-Smad 3, dan kolagen I. Disimpulkan bahwa pemberian vitmin D dapat
mengurangi fibrosis melalui inhibisi jalur TGF-1/Smad 3 yang dimediasi oleh
VDR. Pada penelitian di atas, vitamin D dan agonis sintetik telah terbukti dapat
menurunkan tingkat keparahan colitis dan fibrosis usus, pada berbagai colitis
yang diinduksi secara spontan atau kimiawi dan pada beberapa galur sel.
Hipovitaminosis vitamin D atau tidak adanya Cyp27b1 atau VDR memberikan
hasil yang berlawanan. Kondisi ini berhubungan dengan perubahan mikrobiota
usus.

7. Penelitian Terapeutik pada Preparat Ex Vivo Manusia


Dalam sebuah penelitian ex vivo pada PBMc yang didapat dari penderita
IBD dan diinkubasikan dengan 1,25(OH)2D3, ditemukan peningkatan produksi IL10 dalam PBMC penderita UC, sedangkan produksi TNF- menurun. Efek
pemberian vitamin D3 oral pada PBMC pasien yang diterapi vitamin D3 (1200 IU
vitamin D setiap hari selama 1 tahun) versus pasien yang diberi plasebo telah
diteliti. Proliferasi CD4+ sel T dan produksi sitokin sel T juga diteliti. Produksi IL-6
pada pasien yang diterapi D3 meningkat, sementara TNF-, IFN-, dan IL-4 tidak
meningkat. Tidak ada perubahan IL-10 dan prosentase CD4+, CD25+, dan sel T
regulator Foxp3+ dibandingkan dengan plasebo. Jumlah sel T CD4+ yang

berproliferasi meningkat secara signifikan (dari 41% menjadi 56%) pada


kelompok yang diterapi vitamin D.
Penelitian ex vivo yang lain menggunakan analog vitamin D (19-nor-14,20bisepi-23-yne-1,25(OH)2D3; TX 527). Analog ini menghambat proliferasi PBMC
secara signifikan dan rilis TNF- pada CD dan HC. Peningkatan kadar protein VDR
setelah inkubasi dengan TX 527 juga lebih tinggi pada CD dibanidingkan pada
HC. Pada PBMC HC dan CD, ditemukan penurunan kadar protein NF-B nuklear
dengan peningkatan kadar IKB- sitoplasmik. Efek agonis reseptor vitamin BXL62 terhadap PBMC dari penderita CD dan UC dan terhadap lamina propria
mononuclear cells (LPMC) yang didapat dari biopsi dua ileum (CD) dan dua kolon
(UC) telah diteliti. Setelah inkubasi, BXL-62 terhambat secara signifikan dalam
PBMC yang dirangsang dengan LPS dan dalam LPMC pasien IBD, dengan potensi
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 1,25(OH)2D3, TNF-, IL-6, dan
transkripsi IL-12/23p40 pada kultur supernatan, tanpa perbedaan antara CD dan
UC.
Dalam PBMC pasien CD, ekspresi dari gen CYP27B1, yaitu gen yang
mengkodekan enzim yang mengubah 25(OH)D3 menjadi 1,25(OH)2D3, memiliki
ekspresi yang lebih tinggi pada penyakit aktif dibandignkan pada penyakit
inaktif. Selain itu, sel T CD4+ yang diinkubasikan dalam vitamin D mengalami
peningkatan sel CD25+ sebanyak 3 kali lipat. Efek suplementasi vitamin D oral
terhadap maturasi dan produksi sitokin dari sel dendritik yang berasal dari
monosit pada pasien CD telah diteliti. Dibandingkan pasien CD yang diberi
plasebo, suplementasi vitamin D menyebabkan penurunan ekspresi CD80 pada
sel dendritik yang dirangsan dengan LPS serta penurunan produksi IL-10, IL- 1,
dan IL-6.

8. Penelitian Terapeutik pada IBD pada Manusia


Hanya terdapat sedikit penelitian mengenai pengaruh vitamin D terhadap
perjalanan klinis IBD (Tabel 3). Salah satu penelitian ini meneliti efek
suplementasi bentuk aktif vitamin D 1,25(OH)2D3 (aVD, 1000 IU 1.25(OH)2D3
setiap hari) versus vitamin D 25(OH)D (pVD; 2 0.25 g alphacalcidiol setiap
hari) pada pasien CD dengan remisi klinis (CDAI<150) . kedua kelompok
mendapatkan suplementasi kalsium oral (1000 mg/hari). Pada minggu ke-6, ratarata skor CDAI, IBDQ, serta kadar CRP berkurang pada kelompok yang diterapi
dengan aVD, namun tidak pada kelompok pVD. Perbedaan antar kelompok ini
menghilang pada minggu ke-52. Kadar serum kalsium tidak berubah pada waktu
manapun.
Jrgensen et al. melakukan sebuah penelitin multisenter acak untuk
menilai manfaat vitamin D3 pada CD.mereka mengikutsertakan 94 pasien CD
dalam remisi klinis (CDAI < 150) dan biokimiawi, yang diacak dalam kelompok
yang akan mendapatkan D3 1200 IU + 1200 mg kalsium atau 1200 mg kalsium
saja. Dalam waktu 1 tahun, kadar serum 25(OH)D3 meningkat secara signifikan
pada pasien yang mengkonsumsi vitamin D, dengan rata-rata 27-38 ng/mL;
namun kadar serum kalsium bebas tidak berubah. Tingkat relaps (didefinisikan
sebagai peningkatan CDAI >70 dan CDAI >150) tidak berkurang secara
bermakna. Penyesuaian dengan penggunaan azathiprine dan merokok sedikit
mengubah perkiraan resiko. Peneliti menyimpulkan bahwa vitamin D efektif
untuk CD namun perlu diteliti lebih lanjut.

Dalam sebuah penelitian, 18 pasien CD aktif awalnya diterapi dengan


vitamin D 1000 IU setiap hari selama 2 minggu. Setelah itu, dosisnya
ditingkatkan (hingga maksimal 5000 IU) hingga kadar serum 25(OH)D3 sebesar
40 ng/mL tercapai. Setelah 24 minggu, penurunan CDAI dan perbaikan skor IBDQ
yang signifikan terjadi. Tidak ada perbedaan untuk CRP, LED, TNF-, IL-17, IL-10,
dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Data

on serum calcium levels were not reported. In this last paragraph, the
therapeutic effects of vitamin D supplementation on disease activity mainly
given to patients in remission yielded modest results; the daily administered
dose ranged in these studies between 1000 and 5000 IU, with an increase of
serum vitamin D levels but apparently without hypercalcemia. 9. Conclusions
Literature data highlighting the importance of vitamin D in different aspects of
immune regulation, for example, in chronic immune-mediated diseases and
cancer, suggest considering this metabolite not simply as a vitamin involved in
bone and calcium homeostasis but as an autocrine mediator with an active role
in numerous physiological processes, particularly in the innate immune system.
Since most studies concerning the calcium status in IBD yielded contradictory
data, in the most recent literature, the discussion has focused on the possible
role of vitamin D as a risk factor for the onset and evolution of gut inflammation.
The potential role of 25(OH)2D as negative acute phase reactant has yet to be
proven in IBD but may explain its frequently reduced levels in active disease.
Besides lower vitamin D levels due to reduced UV exposure, genetic induced loss
of function of VDR may contribute to defects involving vitamin D pathways. It has
been shown in VDR KO animals that this deletion profoundly alters innate
immune response and the gut microbiota. Further studies in this field are needed
to provide more insight in the link between vitamin D/VDR and bowel
inflammation. Simple vitamin D supplementation does not seem to lead to
significant improvement of the clinical course of IBD but may be indicated for a
subset of patients. Vitamin D synthetic analogues of vitamin D seem to be more
promising, at least in animal studies and in ex vivo experiments.

Anda mungkin juga menyukai