Anda di halaman 1dari 10

2.

Krisis Hipertensi
I. DEFINISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas
pengobatan, sebagai berikut :
-

Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).

Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

a. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110


mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.
b. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan
kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada
penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi
pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.
d. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible
bila TD diturunkan.

II. MANIFESTASI KLINIS


Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intra Kranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.

Hipertensi

ensefalopati.

Aorta diseksi akut.


Oedema paru akut.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV.
Insufisiensi ginjal akut. Infark
miokard akut, angina unstable.
Sindroma

kelebihan

Katekholamin yang lain :


-

Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.

Cedera kepala.

Luka bakar.

Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )


Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau
tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
KW I atau II pada funduskopi.
Hipertensi

post

operasi.

Hipertensi tak terkontrol / tanpa


diobati pada perioperatif.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis,
jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini
dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun
pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul
hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul
walaupun TD 160/110 mmHg.
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor pe-nyebab hipertensi emergensi
dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan

darah secara cepat disertai pening-atan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga
membuat keru-sakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan da-rah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai ting-katan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun
maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure
(MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi
klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran
darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi

Gambar . Kurva autoregulasi pada tekanan darah.

Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang nor-motensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara grup nor-motensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung meng-geser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah

resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalo-pati, penurunan tekanan darah 25%
dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut atau-pun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.

IV. DIAGNOSA
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal
yang penting ditanyakan :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 60 tahun.
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ). Gejala
sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru,
nyeri dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri )
mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :


1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
b. urine : Urinelisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama ) :
a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus
tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).
b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal
tab, CAT Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk
Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
4. Faktor presifitasi pada krisis hipertensi
Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan
hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis
hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi, antara lain :
a)

Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial ( tersering ).


Hipertensi renovaskular.

b)

Glomerulonefritis akut.

c)

Sindroma withdrawal anti hypertensi.

d)

Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf


pusat. Renin-secretin tumors.

e)

Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien


yang mendapat MAO. Inhibitors.

f)

Penyakit parenkhim ginjal.

g)

Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor,


simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID, ergot
alk.

h)

Luka bakar.

i)

Progresif sistematik sklerosis, SLE.

5. Differensial diagnosa
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti :

Hipertensi berat

Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

Ansietas dengan hipertensi labil.

Oedema paru dengan payah jantung kiri.

V. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi par-enteral maupun oral bukan tanpa risiko
dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat
menimbul-kan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah.
Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan
hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
1)

Captopril adalah golongan angiotensin-convert-ing enzyme (ACE) inhibitor dengan


onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal
kemudian tingkatkan dosis-nya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek

yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal
ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
2)

Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien de-ngan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien
dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau
placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan
placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggu-naan dosis oral biasanya 30 mg
dan dapat diu-lang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Efek samping yang sering terja-di seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.

3)

Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu
kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang
sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Peneli-tian secara
random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis
100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan meng-hasilkan penurunan tekanan
darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum la-betalol dapat
diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul ada-lah mual dan sakit kepala.

4)

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (2-adrenergicreceptor


agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4
jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap
jam sampai tercapainya tekanan da-rah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7
mg. Efek samping yang sering terjadi adalah se-dasi, mulut kering dan hipotensi
ortostatik.

5)

Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja
antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi
hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang men-dadak dan
tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
or-gan target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara
tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah
bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal pe-nurunan tekanan darah
masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% se-lama 1 jam awal
dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berle-bihan
akan mengakibatkan jantung dan pembu-luh darah orak mengalami hipoperfusi.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


1)

Neurologic emergency. Kegawatdaru-ratan neurologi sering terjadi pada hi-pertensi


emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke
iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penu-runan tekanan
darah > 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP
harus dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iske-mik
tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan
apakah tekanan darah akan menurun se-cara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahankan > 130 mmHg.

2)

Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik


akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi
emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah di-lakukan, bahwa nitroglycerin terbukti
dapat meningkatkan aliran darah pada arteri ko-roner. Pada keadaan diseksi aorta
akut pem-berian obat-obatan -blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat
diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan
vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan
darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg)
dalam waktu 20 menit.

3)

Kidney Failure. Acute kidney injury bisa dise-babkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney in-jury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang di-berikan masih
kontroversi, namun nitroprus-side IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.
Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat meng-hindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.

4)

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh


obat-obatan seperti kate-kolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase.
Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seper-ti pheochromocytoma, kokain
atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat
menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti
pheo-chromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium
nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent).
Golongan -blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai te-kanan darah
yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang

terbaik adalah de-ngan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan


dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
Tabel.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi

Tabel. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

VI. PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%), gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.

Anda mungkin juga menyukai