Krisis Hipertensi
Krisis Hipertensi
Krisis Hipertensi
I. DEFINISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas
pengobatan, sebagai berikut :
-
Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
Hipertensi
ensefalopati.
kelebihan
Cedera kepala.
Luka bakar.
Interaksi obat.
post
operasi.
darah secara cepat disertai pening-atan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga
membuat keru-sakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan da-rah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai ting-katan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun
maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada
individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure
(MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi
klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran
darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang nor-motensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara grup nor-motensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung meng-geser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak
20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalo-pati, penurunan tekanan darah 25%
dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut atau-pun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan
darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
IV. DIAGNOSA
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal
yang penting ditanyakan :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 60 tahun.
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ). Gejala
sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru,
nyeri dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri )
mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan penunjang :
b)
Glomerulonefritis akut.
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Luka bakar.
i)
5. Differensial diagnosa
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti :
Hipertensi berat
V. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi par-enteral maupun oral bukan tanpa risiko
dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat
menimbul-kan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah.
Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan
hipertensi urgensi.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
1)
yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal
ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
2)
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien de-ngan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien
dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau
placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan
placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggu-naan dosis oral biasanya 30 mg
dan dapat diu-lang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Efek samping yang sering terja-di seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
3)
Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki waktu
kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang
sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Peneli-tian secara
random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis
100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan meng-hasilkan penurunan tekanan
darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum la-betalol dapat
diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul ada-lah mual dan sakit kepala.
4)
5)
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja
antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi
hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang men-dadak dan
tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.
2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
or-gan target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara
tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah
bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal pe-nurunan tekanan darah
masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% se-lama 1 jam awal
dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berle-bihan
akan mengakibatkan jantung dan pembu-luh darah orak mengalami hipoperfusi.
2)
3)
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa dise-babkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney in-jury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang di-berikan masih
kontroversi, namun nitroprus-side IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.
Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat meng-hindari potensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.
4)
VI. PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%), gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.