Anda di halaman 1dari 15

Deep Vein Thrombosis pada Tungkai Bawah

Yahya Iryianto Butarbutar


102012270
D1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Email : yahyaseinz@gmail.com
Pendahuluan
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah (trombus) di dalam system kardiovaskuler
termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Trombus arteri disebut trombus
putih karena terjadi pada aliran daerah cepat dan komposisinya lebih banyak trombosit dan
fibrin, sedangkan trombus vena (DVT) disebut trombus merah karena terjadi pada aliran
daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan fibrin
sehingga berwarna merah. Trombus vena dalam (DVT), dapat terjadi pada vena-vena
profunda pada tungkai, sinus serebral, vena pada lengan, retina dan mesenterika. Menurut
Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah,
aliran darah dan komponen pembekuan darah. Peradangan yang terjadi disekitar trombus,
disertai dengan perlengketan trombus terhadap dinding vena yang lama kelamaan terlepas
dan menjadi embolus, berjalan melalui aliran darah dan berakhir pada suatu aliran darah yang
sempit sehingga menyebabkan blockade terhadap aliran darah. Trombosis vena dalam dapat
menyebabkan komplikasi seperti sindrom postphlebitis, embolisme paru dan kematian.1
Anamnesis
Anamnesis

ini

penting

untuk

dilakukan

agar

lebih membantu

melihat

gambaran penyakit yang diderita secara menyeluruh, sehingga memudahkan untuk


menegakkan diagnosa, diagnosa banding, kemudian menetapkan terapi yang terbaik serta
meramalkan prognosisnya. Seperti biasa, anamnesis selalu didahului dengan pengambilan
data identitas pasien secara lengkap, seperti nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan sehari-hari, hal tersebut penting ditanyakan, mengingat trombosis vena dalam
biasanya terjadi pada umur lebih dari 40 tahun dan kejadian ini sering terjadi pada
perempuan. Dilihat dari jenis pekerjaan sehari-hari juga sangat berpengaruh, misalnya
pekerjaan yang membuat duduk terlalu lama atau melakukan suatu perjalanan panjang seperti
di atas pesawat terbang, mobil. Kemudian diikuti dengan keluhan utama dan selanjutnya baru
tanyakan riwayat penyakit sekarang yang dikeluhkannya. Untuk trombosis vena dalam gejala

yang sering menyertai biasanya berupa nyeri atau rasa sakit, bengkak, kemerahan, Mengenai
keluhan nyeri atau rasa sakit, dapat ditanyakan dimana letak nyeri itu timbul? (Betis kiri),
Kapan nyeri timbul? Apakah timbulnya bertahap atau mendadak? Nyeri terus menerus atau
hilang timbul? Apa yang memperberat nyeri (gerakan)? Apa yang mengurangi nyeri?.
Mengenai kemerahan dan bengkak dapat ditanyakan hal-hal terkait seperti kapan pertama
kali menyadari ada perubahan warna kemerahan dan bengkak? ada terasa lebih hangat tidak
pada bagian kulit yang mengalami perubahan warna dan bengkak? Adakah gejala sistemik
penurunan berat badan, anoreksia, demam? Tanyakan riwayat penyakit dahulu, khususnya
apakah dulu pernah mengalami gangguan pada betis kirinya atau pernah melakukan operasi
pada kaki bagian kiri sehingga mengharuskan beristirahat di tempat tidur dalam jangka waktu
yang lama? ada penyakit obesitas, varises, dan keganasan? Tanyakan juga pernah melakukan
pengobatan sebelumnya? Riwayat kesehatan keluarga serta Kebiasaan sehari- hari seperti
kebiasaan minum alkohol dan merokok?
Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai
dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat
kesadaran, serta look, feel, move.2
a Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain :2
- Cicatrix (jaringan parut baik yang alamiah maupun yang buatan-bekas pembedahan)
- Fistulae
- Warna kemerahan/ kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
- Benjol/ pembengkakan/ cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
- Posisi serta bentuk dari extremitas (deformitas)
- Jalannya waktu masuk kamar periksa
b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai
dari posisi netral atau posisi anatomi. Pada dasarnya, ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun pasien yang diperiksa; karena itu
perlu selalu diperhatikan wajah pasien atau menanyakan perasaan pasien.2
Yang dicatat dalam pemeriksaan palpasi ini adalah :2
- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya oedema, terutama
-

daerah persendian
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
Pada otot : tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di
permukaan tulang atau melekat pada tulang . Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan

perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap permukaan atau


c

dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.


Move (gerak)
Setelah pemeriksaan palpasi, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota

gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Krepitasi dan gerakan
abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakan sendi sendi. Gerakan sendi dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting
untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak. Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan
aktif (apabila penderita sendiri disuruh menggerakkan) dan gerakan pasif (dilakukan
pemeriksa). Selain pencatatan pemeriksaan, penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal
ini juga penting untuk melihat kemajuan/ kemunduran pengobatan.2
Biasanya pada DVT akan ditemukan tanda-tanda klinis yaitu edema tungkai yang
unilateral, eritema, hangat, nyeri dan dapat pula diraba pembuluh darah superficial. Pada
pasien tersebut ditemukan kemerahan dan bengkak pada betis kiri nya.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus DVT antara lain :1
1

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT.

Pada DVT pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah venografi dan flebografi
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling standart untuk DVT baik pada betis, paha,
maupun system ileofemoral lainnya. Teknik ini menginjeksikan suatu kontras iodinated pada
vena kaki bagian dorsal untuk masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah. DVT
didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi dikontraindikasikan pada pasien dengan
renal insufficiency atau alergi terhadap kontras. Venografi juga mempunyai kekurangan,
sekitar 20 % venogram tidak dapat menampilkan visualisasi yang adekuat. Oleh karena
keterbatasan diatas maka venography bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk
mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan prosedur standar untuk
mendiagnosis DVT, terutama bila prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT. Dapat pula
dilakukan

Ultrasonografi

(USG)

Doppler

maupun

Ultrasonografi

kompresi,

pemeriksaan USG Doppler adalah pemeriksaan USG yang dilakukan secara duplex dan
mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk DVT proksimal. Ketepatan
pemeriksaan USG Doppler untuk DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan
dengan venografi. Sedangkan USG kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas

97% ada DVT proksimal yang simtomatik sedangkan DVT pada daerah betis mempunyai
hasil negative palsu 50%. Selain itu dapat pula dilakukan MRI, biasanya MRI dapat
digunakan untuk memvisualisasikan vena pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada
vena iliaka dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas 96 % dan
spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian
distal MRI hanya mempunyai sensitivitas sebesar 62 %.MRI vena dapat dikerjakan dengan
atau tanpa kontras.1
2

Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium menggunakan tes D-dimer adalah tes darah yang

dapat digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk menentukan apakah ada bekuan
darah. D-dimer adalah kimia yang dihasilkan ketika bekuan darah dalam tubuh secara
berangsur-angsur larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika
hasilnya negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif,menunjukan adanya
deep vein thrombosis karena banyak situasi-situasi akan mempunyai hasil positif yang
diharapkan (contohnya, dari operasi, jatuh, atau kehamilan). Untuk sebab itu, pengujian Ddimer harus digunakan secara selektif.1
Saat ini telah tersedia beberapa metode penilaian D-Dimer, seperti enzyme-linked
immunofluorecense
immunosorbent
assays(sensitifitas

assays (Elisa)

assays

(sensitifitas

93%), whole

(sensitifitas

96%),

94%), quantitative

blood

D-dimer

microplate

enzyme-linkeed

latex atau immunoturbidimetric

assays (sensitifitas

83%)

dan latex

semiquantitative assays (sensitifitas 85%). Tes-tes ini mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, seperti Elisa merupakan tes yang sensitif tetapi membutuhkan banyak waktu,
perlu pemeriksaan yang intensif dan tidak praktis pada keadaan emergensi. Sedangkan
tes whole blood D-dimer assays mudah dikerjakan dan praktis, tetapi kekurangannya
mempunyai sensitifitas yang rendah. D-dimer juga dapat digunakan untuk menentukan durasi
terapi antikoagulan, dari penelitian yang dilakukan Palareti dkk menunjukkan bahwa pasien
yang melanjutkan pemakaian antikoagulan dengan nilai D-dimer yang abnormal setelah
menggunakan antikoagulan selama 3 bulan mempunyai resiko terjadinya venous troboemboli
ulangan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak melanjutkan pemakaiaan antikoagulan.1
Ultrasonografi dapat dikombinasikan dengan tes D-dimer dan mengurangi sekitar
60% dari jumlah pasien yang harus menjalani serial ultrasonografi. Jika USG awal hasilnya
adalah normal dan hasil D-dimer adalah negatif, pengujian lebih lanjut dengan serial
ultrasonografi tidak perlu dan terapi antikoagulan belum perlu diberikan. Oleh karena itu, tes

D-dimer dapat mengurangi jumlah pemeriksaan USG yang diperlukan padai pasien yang
datang dengan dicurigai episode pertama DVT.1

Gambar 1. Contoh dari hasil venografi

a Working Diagnosis
Deep Vein Thrombosis (DVT)
Deep Vein Thrombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) pada vena
dalam. Trombus dapat terjadi pada vena-vena profunda pada tungkai. Trombosis vena dalam
dapat juga terjadi pada vena lainnya (sinus cerebral, vena pada lengan, retina, dan
mesenterika). Trombosis vena dalam hanya menyebabkan suatu peradangan yang minimal.
Peradangan yang terjadi disekitar trombus, disertai dengan perlengketan trombus terhadap
dinding vena yang lama kelamaan terlepas dan menjadi embolus, berjalan melalui aliran
darah dan berakhir pada suatu aliran darah yang sempit sehingga menyebabkan blockade
terhadap aliran darah. Trombosis vena dalam dapat menyebabkan komplikasi seperti sindrom
postphlebitis, embolisme paru dan kematian.1,3
Trombus terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan dinding pembuluh
darah, atau gangguan pembekuan darah yang sering dinamakan dengan trias Virchow.
Beberapa factor inilah yang menyebabkan tingginya insiden trombus vena dalam. Trombus
terbentuk pada daerah yang aliran darahnya (arteri) cepat pada umumnya berwarna abu-abu
dan terdiri dari platelet. Trombus terjadi relative sangat lambat pada system vena biasanya
berwarna merah dan terdiri dari fibrin dan sel darah merah.1,3
Bekuan yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah disebut trombus. Trombus
dapat terjadi baik di vena superfisial (vena permukaan) maupun di vena dalam, tetapi yang
berbahaya adalah yang terbentuk di vena dalam. Trombosis Vena Dalam adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan ditemukannya bekuan darah di dalam vena dalam. Pada
awalnya trombus vena terdiri atas platelet dan fibrin. Kemudian sel darah merah menyelingi

fibrin dan trombus cenderung untuk menyebarkan arah aliran darah. Perubahan pada dinding
pembuluh darah dapat minimal atau sebaliknya terjadi infiltrasi granulosit, kehilangaan
endotelium dan edema. Trombosis vena dalam sangat berbahaya karena seluruh atau sebagian
dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut di dalam arteri yang sempit di
paru-paru sehingga menyumbat aliran darah. Trombus yang terlepas dan diangkut ke tempat
lain dalam pembuluh darah disebut emboli. Semakin sedikit peradangan di sekitar suatu
trombus, semakin longgar trombus melekat ke dinding vena dan semakin mudah membentuk
emboli. Emboli paru merupakan salah satu konsekuensi utama trombosis vena dalam.
Konsekuensi lainnya adalah postphlebitic syndrome atau insufisiensi vena dalam kronik.
Trombosis vena dalam sering terjadi pada vena di betis namun dapat juga terjadi pada venavena yang letaknya lebih proksimal yaitu poplitea, femoralis dan lliac.1,3

Gambar 2. Deep Vein


Thrombois (DVT)

b Differential Diagnosis
Superficial Thrombophlebitis
Tromboflebitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.
Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat dengan kulit.
Mungkin juga ada infeksi pada pembuluh darah. Tromboflebitis biasanya terdapat di vena
kaki atau lengan. Dengan hati-hati, masalah ini harus diselesaikan sampai dalam waktu 2
sampai 3 minggu. Tromboflebitis paling sering mempengaruhi vena superfisial di kaki, tetapi
dapat juga mempengaruhi vena superfisial di paha. Sering kali, tromboflebitis terjadi pada
orang dengan varises tetapi tidak semua penderita varises menderita tromboflebitis.
Tromboflebitis superfisialis menyebabkan reaksi peradangan akut yang menyebabkan
trombus melekat dengan kuat ke dinding vena dan jarang pecah dan terlepas. Vena
permukaan tidak memiliki otot di sekitarnya yang bisa menekan dan membebaskan suatu
trombus. Karena itu tromboflebitis superfisialis jarang menyebabkan emboli.1,3

Paling sering, tromboflebitis berkurang dengan sendirinya. Dengan analgesik, seperti


aspirin atau yang lain non-steroid anti-inflamasi (NSAID), biasanya membantu mengurangi
rasa sakit. Selain NSAID, antikoagulan dan antibiotic juga harus diberikan. Untuk
mempercepat penyembuhan, bisa disuntikkan anestesi (obat bius) lokal, dilakukan
pengangkatan trombus dan kemudian pemakaian perban kompresi selama beberapa hari.1,3
Selain obat dan terapi operatif tersebut dapat pula di tambahkan dengan meninggikan
bagian kaki yang terkena agar aliran darah vena menjadi lebih mudah.1,3

Gambar 3. Superficial
Thrombophlebitis

Lymphedema
Limfedema adalah kondisi medis yang ditandai dengan pembengkakan pada salah
satu lengan atau tungkai. Adakalanya, kedua anggota gerak dapat membengkak. Hal ini
disebabkan karena tersumbatnya sistem getah bening, bagian dari sistem kekebalan tubuh dan
sistem peredaran darah. Sistem getah bening terbentuk dari pembuluh-pembuluh getah
bening dan kelenjar-kelenjar getah bening. Cairan getah bening yang kaya akan protein dari
aliran darah berpindah ke dalam sistem getah bening dan mengangkut bakteri-bakteri, virusvirus dan produk-produk sisa ke kelenjar getah bening, dimana patogen-patogen ini
dihancurkan oleh sel-sel kekebalan tubuh.4
Cairan getah bening yang telah disaring kemudian dikembalikan ke aliran darah.
Ketika sistem getah bening tersumbat, cairan tidak dapat bergerak secara bebas dan tidak
dapat diserap kembali ke dalam aliran darah. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi
cairan getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Terdapat dua tipe limfedema,
Limfedema Diturunkan dan Limfedema Didapat. Limfedema diturunkan disebabkan karena
cacat kongenital dari sistem getah bening, seperti penyakit Milroy (malformasi pada kelenjar
getah bening) atau penyakit Meige (malformasi pada pembuluh getah bening). Limfedema
Didapat biasanya disebabkan oleh jejas pada sistem getah bening, seperti sewaktu operasi

atau terapi radiasi. Meskipun tidak ada penyembuhan untuk limfedema, penanganan yang
tersedia untuk mengendalikan gejala dan mencegah terjadinya komplikasi, seperti infeksi
pada anggota gerak yang terkena.4
Tanda dan gejala Limfedema yang mungkin timbul:4

Infeksi berulang pada daerah yang terkena


Jangkauan gerak yang terbatas pada lengan atau kaki
Pembengkakan pada lengan
Pembengkakan pada tungkai kaki
Penebalan kulit yang keras pada daerah yang terkena
Sakit pada kaki
Sakit pada lengan
Suatu perasaan berat pada daerah yang terkena

Gambar 4. Limfedema

Etiologi
Secara
Triad

of

garis
Virchow

besar bisa dilihat berdasarkan


ada

faktor

penyebab

terjadinya trombosis vena dalam yaitu:1


1 Perubahan aliran darah
2 Kerusakan pembuluh darah
3 Aktivasi faktor pembekuan ( Hiperkoagulasi)
Kemudian ada juga faktor-faktor lain yang lebih spesifik dapat mempengaruhi timbulnya
Deep Vein Thrombosis (DVT) antara lain;1
1. Kerusakan sel endotel
Lupus eritematous
Penyakit Burgers
Giant cell arteritis
Penyakit Takayasu
2. Hiperkoagulasi
Resistensi aktif protein C
Sindrom antifosfolipid
Defisiensi Antitrombin III
Defisiensi Protein C dan S

Disfibrogenemia
3. Stasis
Gagal jantung kongestif
Hiperviskositas
Tirah baring yang terlalu lama
Gangguan neurologik dengan hilangnya mekanisme pompa otot
Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya trombosis vena dalam
seperti pada umur lanjut, obesitas, infeksi, immobilisasi, penggunaan kontrasepsi, tembakau,
dan perjalanan dengan pesawat terbang serta riwayat trauma.1
Epidemiologi
Trombosis vena dalam terjadi kira-kira 1 per 1000 orang per tahun. Trombosis vena
dalam sangat sedikit dijumpai pada anak-anak. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1:1,2.
Kira-kira 1-5% menyebabkan kematian akibat komplikasi. Trombosis vena dalam biasanya
terjadi pada umur lebih dari 40 tahun.1
Patologi
Statis Vena
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena
merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan
gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin.1
Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui :2
a

Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan
dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang

utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin.2
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan
melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril.

Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang
akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling
melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.1,2
Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah
meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.1
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.1,2
Insidensi terbentuknya trombus meningkat pada wanita selama kehamilan dan periode
awal postpartum. Pada kehamilan trimester ketiga, janin akan menekan vena cava inferior
yang dapat menyebabkan stasis aliran darah dan peningkatan kadar estrogen dalam darah
dapat memicu keadaan hiperkoagulabilitas.1
Manifestasi klinis
Sekitar setengah dari pasien kasus Deep Vein Thrombosis tidak menimbulkan gejala.
Namun jika ditemukan keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :1,3,5
1

Nyeri : Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian
medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa
nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan

berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
Pembengkakan : Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan
perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak
adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh
peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di
sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang
kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan. Pembengkakan

bilateral juga sulit ditemukan pada pasien.


Perubahan warna kulit : Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak
ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ada trombosis
vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit

bisa berubah pucat, kemerahan dan kadang-kadang berwarna ungu, biru. Perubahan
warna kaki menjadi pucat dan pada perubahan lunah dan dingin, merupakan tanda-tanda
adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri,
keadaan ini disebut flegmasia alba dolens.
Faktor resiko
Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :4
1

Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi

dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah
abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang mempermudah
timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di
operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode pre operatif, operatif dan post
operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah
tersebut.
2. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi
peningkatkan koagulasi darah.
3. Infark miokard
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis
aliran darah karena istirahat total.
4. Payah jantung
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis
aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan
payah jantung. Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
5. Obat-obatan kontraseptis oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.
6. Proses keganasan
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap
penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita
biasa.
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

Penatalaksanaan
Medica Mentosa
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah:1
1
2
3

Menghentikan bertambahnya thrombus


Membatasi bengkak yang progesif pada tungkai
Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena

atau sindrom pasca thrombosis di kemudian hari


Mencegah emboli
Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikuagulan yang sudah

lama digunkan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal mekanisme kerja utama heparin
adalah meningkatkan kerja antitrombin III segai inhibitor dan melepaskan tissue factor
pathway inhibitor dari dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80
IU/kgbb/jam dengan pemantauan nilai Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) sekitar
6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai control dan kemudian
dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protombin
(protombin time) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko
pendarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal.1
Heparin berat molekul rendah (Low Molecular Weight Heparin/LMWH) dapat
diberikan 1 atau 2 kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik,
keuntungannya adalah risiko pendarahan mayor yang lebih kecil, dan tidak membutuhkan

pemantauan labolatorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien
tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk.1
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral
yang bekerja menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vit K. Antikoagulan oral
yang sering digunakan warfarin atau coumarin/ derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama
saat awal tetapi heparin dengan pemantauan INR. Heparin diberikan selama minimal 5 hari
dan dapat dihentikan bila antikoagualan oral ini mencapi target INR yaitu 2,0-3,0 selama 2
hari berturut-turut. Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya
bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus
mendapatkan antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko
yang reversible atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik),
Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molecular yang diturunkan seperti
defisiensi antitrombin III, protein C, protein S, lupus anticoagulant atau antibody cardiolipin,
antikoagulan oral diberikan lebih lama bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan
seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode
thrombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif.1
Terapi trombolitik, terapi ini bertujuan untuk melisiskan thrombus secara cepat
dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif
pada fase awal dan penggunaannya benar-benar harus dipertimbangkan secara baik karena
mempunyai faktor risiko perdarahan 3 kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan
saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan occlusi total terutama pada
ileofemoral.1
Non medica mentosa
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya
post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2
tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya
PTS. Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara
luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.1
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi dari trombosis vena dalam antara lain :1,6

a. Perdarahan : Terjadi diakibatkan oleh penggunaan terapi antikoagulan.


b. Emboli paru : Terjadi akibat terlepasnya trombus dari dinding pembuluh darah kemudian
trombus ini terbawa aliran darah hingga akhirnya berhenti di pembuluh darah paru dan
mengakibatkan bendungan aliran darah. Ini dapat terjadi beberapa jam maupun hari
setelah terbentuknya suatu bekuan darah pada pembuluh darah di daerah tungkai.
Gejalanya berupa nyeri dada dan pernapasan yang singkat.
c. Sindrom post trombotik : Terjadi akibat kerusakan katup pada vena sehingga seharusnya
darah mengalir keatas yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai bawah.
Ini mengakibatkan nyeri, pembengkakan dan ulkus pada kaki.
Pencegahan
Resiko terjadinya trombosis vena dalam dapat diturunkan dan dicegah dengan
melakukan gaya hidup yang aktif dan berolahraga secara teratur setiap hari jika
memungkinkan, seperti berjalan, berenang, dan bersepeda, mengatur berat badan dengan
menyeimbangkan antara olahraga dengan makan makanan yang sehat, berhenti merokok,
menghindari konsumsi alkohol, memeriksa tekanan darah secara teratur, berkonsultasi kepada
dokter jika anda atau keluarga ada yang mengalami masalah pembekuan darah, jika
melakukan perjalanan udara atau duduk selama lebih dari 4 jam, berjalan atau lakukan
peregangan kaki dan tetaplah terhidrasi dengan baik, menggunakan stocking bisa membantu
untuk mencegah pembekuan darah. Untuk pencegahan trombosis vena dalam pasca
pembedahan atau akibat bedrest yang lama bisa dengan memberikan antikoagulan sebelum
atau segera sesudah pembedahan, menggunakan alat semacam stocking untuk mengompres
kaki dan menjaga agar darah tetap mengalir di pembuluh darah, meninggikan kaki saat di
tempat tidur, bangun dan bergeraklah sesegera mungkin, dan konsumsilah obat pereda nyeri
untuk memudahkan proses pergerakan.6
Prognosis
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko
terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani
dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.1
Kesimpulan
Laki-laki 65 tahun pada kasus yang mengeluh betis kiri sakit, bengkak dan kemerahan
setelah menjalani operasi penggantian sendi panggul disebabkan adanya Deep Vein
Trombosis, yaitu suatu pembentukan bekuan darah (trombus) pada vena dalam. Trombus

terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan dinding pembuluh darah, atau
gangguan pembekuan darah yang sering dinamakan dengan trias Virchow.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 1354-8.
2. Frans D, David P. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2009.
3. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;
2010.h.224.
4. Baughman DC, Hackley JC. Medikal-bedah. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC;
2005.h.184-8.
5. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Seri asuhan keperawatan klien gangguan
kardiovaskuler. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 2008.h.68.
6. Sabiston. Buku ajar bedah. Jilid 1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;
2005.h.114-5.

Anda mungkin juga menyukai