Anda di halaman 1dari 6

APLIKASI FARMAKOEKONOMI

Biaya pelayanan kesehatan, khususnya biaya obat, telah meningkat tajam beberapa dekade
terakhir, dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut. Hal ini antara lain
disebabkan populasi pasien usia lanjut yang semakin banyak dengan konsekuensi
meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang lebih mahal, dan perubahan pola
pengobatan. Di sisi lain, sumber daya yang dapat digunakan terbatas, sehingga harus dicari
cara agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan
farmakoepidemiologi saat ini tidak hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal
khasiat (efficacy) dan keamanan (safety) saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya.
Studi khusus yang mempelajari hal ini dikenal dengan nama farmakoekonomi.1

Farmakoekonomi adalah studi yang mengukur dan membandingkan antara biaya dan
hasil/konsekuensi dari suatu pengobatan. Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memberikan
informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas
alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien
dan ekonomis. Jika kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa kelebihan suatu
obat dilihat dari segi cost-effectiveness-nya dibandingkan obat lain? Apakah diperoleh hasil
terapi yang baik dengan biaya yang wajar? Apakah suatu obat dapat dimasukkan ke dalam
formularium atau ke dalam daftar obat yang disubsidi? Maka farmakoekonomi dapat berperan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Informasi farmakoekonomi saat ini
dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan
pilihan obat yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala
mikro -misalnya dalam menentukan pilihan terapi untuk seorang pasien untuk suatu penyakit,
maupun dalam skala makro -misalnya dalam menentukan obat yang akan disubsidi atau yang
akan dimasukkan ke dalam formularium.
Seiring dengan berkembangnya pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di
berbagai belahan dunia, maka ruang lingkup farmakoekonomi juga meliputi studi tentang
manfaat pelayanan farmasi klinik secara ekonomi. Hasil studi semacam ini bisa dimanfaatkan
untuk menjustifikasi apakah suatu bentuk pelayanan farmasi klinik dapat disetujui untuk
dilaksanakan di suatu unit pelayanan, ataukah suatu pelayanan farmasi klinik yang sudah
berjalan dapat terus dilanjutkan.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih efisien
dan ekonomis ditantang untuk mampu melakukan penilaian menyeluruh terhadap suatu obat
baik dari segi efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya. Untuk itu diperlukan bekal
pengetahuan tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi dan keterampilan yang memadai dalam
melakukan evaluasi hasil studi farmakoekonomi.

Metode-metode dalam farmakoekonomi


Metode-metode analisis yang digunakan dalam farmakoekonomi meliputi: Cost-minimization
analysis, Cost-effectiveness analysis, Cost-Utility analysis dan Cost-benefit analysis.2,3
Metode Cost-minimization analysis (CMA) membandingkan biaya total penggunaan 2 atau
lebih obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama (ekuivalen). Karena obat-obat yang
dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat
mana yang biaya per-harinya paling rendah.
Metode yang paling sering dilakukan adalah Cost-effectiveness analysis (CEA). Metode ini
cocok jika terapi yang dibandingkan memiliki hasil terapi (outcome) yang berbeda. Metode
ini digunakan untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat
dibandingkan. Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang
sama tetapi biaya dan efektifitasnya berbeda. CEA mengubah biaya dan efektifitas ke dalam
bentuk ratio. Ratio ini meliputi cost per cure (contoh: antibiotika) atau cost per year of life
gained (contoh: obat yang digunakan pada serangan jantung). Pada saat membandingkan dua
macam obat, biasanya digunakan pengukuran incremental cost-effectiveness yang
menunjukkan biaya tambahan (misalkan, per cure atau per life saved) akibat digunakannya
suatu obat ketimbang digunakannya obat lain. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat
tersebut baik untuk dipilih, sebaliknya jika biaya tambahannya sangat tinggi maka obat
tersebut tidak baik untuk dipilih.
Metode lain adalah Cost-Utility analysis (CUA). Metode ini dianggap sebagai subkelompok
CEA karena CUA juga menggunakan ratio cost-effectiveness, tetapi menyesuaikannya dengan
skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor
tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah
dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian (0= kematian; 10= kesehatan
sempurna). Quality-adjusted life years (QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak
digunakan.
Metode Cost-Benefit analysis (CBA) mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan
2 program kesehatan dimana outcome dari kedua program tersebut berbeda (contoh: costbenefit dari program penggunaan vaksin dibandingkan dengan program penggunaan obat
antihiperlipidemia). Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit
yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program kesehatan
dilakukan. Makin tinggi ratio benefit:cost, maka program makin menguntungkan. Metode ini
juga digunakan untuk meneliti pengobatan tunggal. Jika rationya lebih dari 1, maka
pengobatan dianggap bermanfaat karena ini berarti manfaatnya lebih besar dari biayanya.
CBA merupakan analisis yang paling komprehensif dan sulit untuk dilakukan. Berbeda
dengan CEA yang menggunakan efek terapeutik sebagai outcome atau CUA yang

menggunakan kualitas hidup, maka CBA menggunakan nilai uang dalam mengukur benefit,
sehingga dapat menimbulkan perdebatan, sebagai contoh: berapa nilai uang sebuah kualitas
hidup seseorang?
Aplikasi hasil studi farmakoekonomi
Lisa Sanchez -seorang pakar farmakoekonomi dari Amerika Serikat- mengemukakan suatu
istilah yang disebut applied pharmacoeconomics dan mendefinisikannya sebagai: Putting
pharmacoeconomic principles, methods and theories into practice, to quantify the "value" of
pharmacy products and pharmaceutical care services utilized in "real-world" environments".4
Jika kita mengacu pada definisi di atas, maka farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk
menilai biaya-manfaat baik dari produk obat maupun pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care).
Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja,
tetapi juga bagi tenaga kesehatan (dokter, apoteker), industri farmasi, perusahaan asuransi dan
bahkan pasien, yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan cara pandang yang berbeda.
Bagi pembuat kebijakan, farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk: memutuskan apakah
suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, memilih program
pelayanan kesehatan dan membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Di tingkat rumah sakit, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk
memutuskan apakah suatu obat bisa dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit, atau
sebaliknya, suatu obat harus dihapus dari formularium rumah sakit karena tidak cost-effective
dibandingkan obat lain. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun
pedoman terapi, obat mana yang akan digunakan sebagai obat lini pertama dan lini
berikutnya. Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan untuk membantu pengambilan
keputusan klinik dalam penggunaan obat yang rasional, karena penggunaan obat yang
rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat-bermutu saja, tetapi juga
harus mempertimbangkan nilai ekonominya. Sedangkan industri farmasi berkepentingan
dengan hasil studi farmakoekonomi untuk berbagai hal, antara lain: penelitian dan
pengembangan obat, penetapan harga, promosi dan strategi pemasaran. Di Australia dan
Kanada, hasil studi farmakoekonomi menjadi bahan pertimbangan utama dalam mengevaluasi
suatu obat baru yang akan dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi pemerintah.
Kebijakan ini juga sudah mulai diikuti oleh negara-negara di Eropa. Di Amerika Serikat,
beberapa perusahaan asuransi melakukan studi farmakoekonomi sendiri dan tidak tergantung
dari hasil studi yang dilakukan industri farmasi.
Apoteker dengan pengetahuannya yang mendalam tentang obat, selayaknya memiliki
pengetahuan pula tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi, dan akan lebih baik lagi jika
mempunyai keterampilan yang memadai dalam mengevaluasi hasil studi farmakoekonomi.

Strategi dalam mengaplikasikan hasil studi farmakoekonomi


Sebelum mengaplikasikan data farmakoekonomi ke "dunia nyata", terlebih dahulu harus
dimiliki keterampilan dalam mengevaluasi secara kritis hasil penelitian farmakoekonomi yang
sudah dipublikasikan. Pedoman dalam melakukan evaluasi penelitian farmakoekonomi telah
banyak dipublikasikan3. Beberapa aspek yang harus dikritisi dari sudut pandang farmasi
dalam mengevaluasi suatu penelitian farmakoekonomi dapat dilihat pada tabel 1.
Untuk menerapkan data farmakoekonomi dari literatur ke "dunia nyata" sesuai situasi dan
kondisi setempat, ada 3 strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Menggunakan langsung data dari literatur;
2. Membuat data model ekonomi (economic modeling data);
3. Melakukan penelitian sendiri.
Masing-masing strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti tercantum pada tabel
2. Pemilihan strategi yang akan dilakukan sebaiknya mempertimbangkan juga dampak yang
akan dihasilkan baik terhadap biaya maupun mutu pelayanan. Jika dampaknya minimal, maka
strategi menggunakan data langsung dari literatur dapat dijadikan pilihan. Jika dampaknya
lumayan, maka membuat data model ekonomi dapat dipilih. Sedangkan jika dampaknya
besar, maka perlu melakukan penelitian sendiri agar data yang didapat benar-benar sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat.
Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan,
maka sudah seyogianya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan
dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan
menjadi lebih efisien dan ekonomis.
FARMAKOEKONOMI
1. Farmakoekonomi (Pharmacoeconomic)
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan
dengan pengunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan
dan menganalisa biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan. Studi farmakoekonomi dirancang
untuk menjamin bahwa bahan-bahan perawatan kesehatan digunakan paling efisien dan
ekonomis (Orion, 1997).
Farmakoekonomi di defenisikan juga sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu
sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses
identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program,
pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi
memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang
(Vogenberg, 2001 ).
Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan

pada kondisi yang sama selain itu juga dapat membandingkan pengobatan (treatment) yang
berbeda untuk kondisi yang berbeda). Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu
menetapkan masalah, identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan
outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari
alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah interpretasi dan
pengambilan kesimpulan. Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya terbatas
misalnya pada RS pemerintah dengan dana terbatas dimana hal yang terpenting adalah
bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya
yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien, profesi pada pelayanan kesehatan (Dokter,
Farmasis, Perawat) dan administrator tidak sama dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya
yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001).
Empat jenis evaluasi ekonomi yang telah dikenal adalah Cost-Minimization Analysis (CMA),
Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), dan Cost-Utility Analysis
(CUA) (Trisnantoro, 2005).
a.Cost-Minimization Analysis
Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah
dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji
biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh.
Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization yang mendasari sebuah analisis
adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat
menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis costminimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Orion, 1997).
Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik dengan paten,
outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka
pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
b.Cost-Benefit Analysis
Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi
dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Tipe
analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan jika keuntungan ditinjau dari perspektif
masyarakat. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah
dikonversi ke dalam bentuk rupiah (Orion, 1997).
Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa
ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk
membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Merupakan tipe penelitian
farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam
nilai uang (Vogenberg, 2001).
Pertanyaan yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana yang harus
dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat atau benefit yang paling
besar (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).
c.Cost-Effectiveness Analysis
Analisis Cost-Effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi
dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan.
Analisis Cost-Effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang
terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk

dipilih. Kriteria penilaian pogram mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit
cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit
cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/ pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan
Soesetyo, 1994).
Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan pada perbandingan
antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam
bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Contoh sederhana, program A
dengan biaya US $ 25.000 dapat menyelamatkan 100 orang penderita. Sehingga unit costnya
atau CE rationya US $ 250/ life. Sedangkan dengan biaya yang sama, program B hanya dapat
menyelamatkan 15 orang penderita, berarti unit costnya atau CE rationya mencapai $ 1,677/ life.
Dalam hal ini jelaslah bahwa program A yang akan dipilih karena lebih efektif daripada program
B (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994). Aplikasi dari CEA misalnya dua obat atau lebih
digunakan untuk mengobati suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi berbeda. Analisis costeffectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang
dibandingkan.
d. Cost-Utility Analysis
Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility-beban lama
hidup; menghitung biaya per utility; mengukur ratio untuk membandingkan diantara beberapa
program. Analisis cost-utility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap
individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis
membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan
peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas
hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukan dengan biaya per
penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai
QALYs, sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan
dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas
hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan
pasien (Orion, 1997).

Anda mungkin juga menyukai