Anda di halaman 1dari 28

KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. P

Tanggal lahir/usia : 11 April 2007 (9 tahun 6 bulan)


Jenis kelamin

: Laki laki

Alamat

: Jl. Cipinang jagal Pulo gadung Jakarta Timur

Agama

: Islam

No RM

: 1027982

Tanggal Masuk

: 21-10-16 jam 08.00 WIB

Ruang rawat

: Bougenville Bawah, Kamar 1

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan ibu pasien
pada tanggal 21 oktober 2016 pukul 08.00 WIB di Bougenvile Bawah.
Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan
Muntah, sakit kepala, nyeri perut.
Riwaya Penyakit Sekarang
Empat hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam. Demam muncul
tinggi mendadak pada pagi hari dan terus menerus sepanjang hari dari pagi, siang, hingga
sore hari. Demam dirasakan pada saat orangtua memegang dahi pasien menggunakan tangan
dan tidak diukur menggunakan termometer. Selama demam, kejang disangkal. Batuk, pilek,
keluar cairan dari telinga disangkal. Muntah, BAB cair, nyeri BAK disangkal.

Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan pasien menetap. Pasien merasakan
nyeri kepala dan sakit perut dibagian tengah. Ibu pasien membawa pasien ke klinik dan
diberi obat penurun panas yaitu paracetamol yang diminum 3x sehari pagi siang dan malam
hari. Setelah konsumsi 2x obat tersebut demam pasien sempat turun, namun keesokan
harinya muncul kembali.
Hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan masih sama. Pasien muntah sebanyak dua
kali berisi cairan dan tidak nafsu makan. Pasien dibawa ke klinik diperiksa lab didapatkan
bhwa terdapat leukopenia, uji widal negatif lalu dirujuk ke RSUP. Mimisan, gusi berdarah,
mudah memar disangkal. Bintik bintik merah pada ekstremitas juga disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Demam berdarah

: Disangkal

Kejang

: Disangkal

Kejang tanpa Demam : Disangkal

Demam thypoid

: Disangkal

Campak

: Disangkal

Riwayat perdarahan : Disangkal

Alergi

: Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Anggota keluarga pasien tidak ada yang sedang mengalami keluhan serupa dengan
pasien seperti demam, mual, nyeri kepala. Riwayat perdarahan pada anggota keluarga,
demam berdarah, alergi, campak disangkal.

Riwayat Persalinan dan Kehamilan


-

Kehamilan

: Ibu pasien (P2A0) rutin kontrol ANC ke bidan dan dokter spesialis.

Riwayat hipertensi (-), perdarahan (-). Tidak konsumsi obat obatan, tidak pernah
konsumsi alkohol.

Persalinan

: Lahir spontan. Usia kehamilan 38 minggu langsung menangis, gerak

aktif, cacat disangkal, sianosis disangkal. Berat Lahir = 3300 gram, Panjang Badan =
45 cm
Kesan: riwayat kehamilan dan persalinan baik
Riwayat Makan
-

0 6 Bulan

: ASI > 8 x sehari

7 bulan 9 bulan : ASI +Susu formula + makanan lunak

9 bulan 2 tahun : susu formula+ bubur nasi + sayuran dan buah buahan

2 tahun sekarang : Frekuensi makan 3x sehari, nasi beserta lauk pauknya (daging 3x
seminggu, ikan 4x seminggu, tahu tempe dan sayuran, buah buahan (3x seminggu)

Kesan: kualitas dan kuantitas makanan cukup


Riwayat Imunisasi
Umur

Vaksin

0 Bulan

Hep B, polio

1 Bulan

Hep B

2 Bulan

BCG, DPT, polio

4 Bulan

Hep B, DPT, Polio

6 Bulan

Hep B, DPT, Polio

9 Bulan

Campak

18 Bulan

Polio (-), DPT (-)

6 Tahun

Campak (-)

Kesan : Imunisasi dasar lengkap. Imunisasi ulangan tidak lengkap.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.


Motorik Kasar:

Duduk
Berdiri
Berjalan
Lari
Melompat
Main sepeda
Memanjat
Bermain bola

Motorik Halus:
Meraih benda
Memegang/meraih jari
Belajar makan sendiri
Menggambar lingkungan
Mengenal warna
Menulis

: 7 bulan
: 12 bulan
: 14 bulan
: 3 tahun
: 4 tahun
: 6 tahun
: 7 tahun
: 8 tahun

: 6 bulan
: 9 bulan
: 2 tahun
: 3 tahun
: 5 tahun
: 6 tahun

Sosial:
Tersenyum
: 2 bulan
Makan sendiri
: 7 bulan
Berpakaian tanpa bantuan : 3,5 tahun
Bermain dengan anak lain : 4 tahun
Mempunyai teman kelompok : 9 tahun

Bahasa:
Tertawa
:2 bulan
Berteriak
: 5 bulan
Mengoceh
: 10 bulan
Bicara lancar
: 2 tahun
Menghafal huruf dan angka : 5 tahun
Membaca
: 6 tahun
Berhitung
: 7 tahun
Belajar mandiri : 9 tahun

Saat ini pasien adalah merupakan murid sekolah dasar (SD) dan pasien bisa mengikuti
pelajaran dengan baik. Pasien memiliki prestasi cukup baik disekolahnya.
Kesan: riwayat perkembangan dan pertumbuhan sesuai usia.

Riwayat Sosial dan Lingkungan


Pasien tinggal di rumah bersama kedua orang tua dan satu kakaknya. Rumah pasien
terdiri dari 3 ruangan dan memiliki ventilasi serta pencahayaan yang dinilai cukup sinar
matahari. Kamar mandi menggunakan closet jongkok dan bak mandi yang jarang dikuras dan
dibersihkan. Air minum yang digunakan di rumah adalah air minum isi ulang. Sumber air
bersih yang digunakan berasal dari air PDAM. Rumah pasien terletak persis di belakang
pasar yang menjual sayur- sayuran. Ayah pasien bekerja dengan penghasilan cukup
memenuhi kebutuhan. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Tetangga pernah ada yang terkena
sakit demam berdarah sekitar seminggu yang lalu.
Kesan: Ekonomi keluarga cukup. Terdapat faktor resiko berkembang biak dari bak mandi
yang jarang dikuras. Tetangga disekitar rumah ada yang mengalami sakit demam berdarah
sekitar seminggu yang lalu.

PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 21 oktober 2016 jam 08.00 WIB)


Keadaan umum

: Rewel, Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Nadi

: 96 kali/menit, reguler, kuat angkat

Respirasi

: 18 kali/menit

Suhu

: 37,0 C

Tekanan darah

: 110/ 80 mmhg

Berat badan

: 25 kg

Tinggi badan

: 125 cm

Status gizi (berdasarkan kurva nchs)


BB/U

: 25/ 28 x 100%= 89,2

TB/U

: 125/134 x 100 %= 93,2 (mild stunting)

BB/TB

: 25/25 x 100 %= gizi baik (normal)

Kesimpulan

: Gizi baik

Kepala

: normocephal, deformitas (-), ubun-ubun besar menutup

Rambut

: hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikteris -/-, palpebra cekung -/-, air
mata -/-, pupil isokor 2 mm/2 mm, refleks cahaya +/+

Hidung

: sekret -/-, pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

: mukosa bibir tidak kering, sianosis (-)

Telinga

: sekret -/-

Leher

: pembesaran KGB (-)

Thoraks

: normochest, retraksi intercostalis (-)

Cor

: S1 tunggal, S2 split tidak konstan, reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

: simetris saat pernafasan statis dan dinamis, sonor redup, suara


nafas bronkhovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen

: datar, distensi (-), BU (+) meningkat, supel, turgor baik. Nyeri tekan
epigastrium (+)

Hepar dan lien

: pembesaran (-)

Genitalia

: laki - laki, hiperemis (-), laserasi (-)

Ekstremitas

: akral hangat (+), CRT <3 detik, edema (-), sianosis (-), uji rumple
leed di lengan kanan bawah (+).

Kesimpulan:

ditemukan ada nya uji bendung yang positif atau manifestasi


perdarahan yang diprovokasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil
Pemeriksaan

Hasil

20 oktober
2016
Pukul 17.00
(klinik)

21- oktober2016

Nilai Rujukan

Pukul 09.23

Hematologi
Hemoglobin

12,6

16.8 (H)

12.5-16.1 g/dl

3,4 (L)

4,71 (L)

5-10 ribu/mm3

Netrofil

52,2

50-70%

Limfosit

35,9

25-40%

Monosit

11,7 (H)

2-8%

Eosinofil

0,0 (L)

2-4%

Basofil

0.2

0-1%

Eritrosit

6,60 (H)

4.0-5.20 juta/uL

37

49,5 (H)

36.0-47.0 %

181

161

150-400 ribu/mm3

MCV

78,0

78.0-95.0 fL

MCH

26

26.0-32.0 pg

34,6

32.0-36.0%

Leukosit
Hitung Jenis :

Hematokrit
Trombosit

MCHC

Kesan: Leukopenia, peningkatan hematokrit

RESUME

Pasien seorang laki-laki 9 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 4 hari
SMRS. Demam tinggi mendadak dan dirasakan terus menerus tinggi sepanjang hari.
Pasien sudah diberi obat penurun panas namun kembali demam. Selain demam pasien
juga mengeluhkan nyeri kepala, muntah, nyeri perut dan penurunan nafsu makan.
Hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang kesadaran compos
mentis.Tanda vital tekanan darah: 110/80 mmHg, Nadi 96 x/menit,regular,kuat angkat,
RR : 18x/menit, suhu 37o C dan saturasi O2 : 99 %. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukosit 4,71 ribu/mm3, Hematokrit 49,5% .
DIAGNOSA BANDING:
Demam dengue
DIAGNOSA
Dhf grade 1
PENATALAKSANAAN
a. Ringer Laktat
(5 ml/kgBB) x 25 kg =125 ml/kgBB/jam
Dalam sehari jumlah cairan yang diperlukan : 125x 24 jam = 3000 ml/24 jam
Hitung tetes per menit (tpm)
3000 ml x 20 tetes makro = 41,6 tetes per menit (tpm)
24 jam x 60 menit

b. Paracetamol. Dosis = 250-375 mg/ hari = 360 mg/hari= 4x90 mg (jika demam)

Non medikamentosa:
Edukasi :

memberitahu kepada ibu pasien, penyakitnya merupakan penyakit menular

memberi tahu iu pasien untuk menjaga kebersihan lingkungan dengan membersihkan


pot pot penampungan air.
Monitoring tanda syok, tanda manifestasi perdarahan dan tanda plasma leakage:

monitoring tanda vital/8 jam

cek DPL/ 8 jam

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam

Follow up PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan

Hasil

Hasil

21-102016

21-102016

12.23

18.30

Nilai Rujukan

Hematol
ogi
Hemoglo
bin
Leukosit

16,8 (H)
4,02(L)

Hitung
Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil

62,5
27,1
10.0 (H)
0.2 (L)
0.2

Eritrosit

6,62
(H)

Hematokr
it
Trombosit

16,9 (H)
4,71
(L)

52,2
35,9
11,7 (H)
0.0 (L)
0.2

12.5-16.1 g/dl
5-10 ribu/mm3

50-70%
25-40%
2-8%
2-4%
0-1%

6,6 (H)

4.0-5.20 juta/uL

50,0 (H)

44,9

36.0-47.0 %

181

113(L)

150-400
ribu/mm3

MCV

78

78

78.0-95.0 fL

MCH

26

26

26.0-32.0 pg

33,6

34,6

32.0-36.0%

MCHC
Anti igM
dengue

(+)

Anti Igg
dengue

(+)

Kesan

Adanya

penurunan
trombosit

masa kritis dan adanya kebocoran plasma dari peningkatan Ht 20%

pada

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM DENGUE
I

DEFINISI
Demam Dengue (dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit yang

terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda - tanda klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam
(rash) dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan
bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik
perdarahan (petekie) spontan (Mansjoer, 2005).
Demam Berdarah Dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya disingkat
DHF), ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam,
nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet
akan positif dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti
petekie spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epitaksis. hematemesis, melena,
trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit
meningkat dan gangguan maturasi megakariosit (Mansjoer, 2005).
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS)
ialah penyakit DHF yang disertai renjatan (Mansjoer, 2005).

II

ETIOLOGI
Demam Berdarah Dengue ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

(DEN). Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal yang terdiri atas 4 serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Struktur antigen empat serotipe sangat mirip
satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat
saling memberikan perlindungan silang. Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus
(famili Flaviviridae). Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus (Mansjoer, 2005).

III

PATOGENESIS
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai

vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Apabila orang itu mendapat
infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang
berbeda. DBD dapat terjadi, bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali,
mendapat infeksi berulang dari virus dengue dengan serotipe

lainnya. Virus akan

bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke


sistem retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen (Mansjoer,
2000).
Sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan secara tuntas
patogenesis demam berdarah Dengue (Mansjoer, 2000). Berdasarkan data yang ada,
terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
demam berdarah dengue.
Suhendro dkk (2006) menyebutkan bahwa respon imun yang diketahui berperan
dalam patogenesis DBD adalah:
1

respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam


netralisasi virus. Antibodi tersebut berperan dalam mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE).

limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue.

monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibody. Namun proses ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.

Aktivasi komplemen oleh kopleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke
ekstravaskuler.

Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis
immune enhancement (Chen, dkk. 2009).

Gambar 2.1 Hipotesis infeksi sekunder

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan
kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa
(Suhendro, 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat

yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari
proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan

permeabilitas

pembuluh

darah,

sehingga

mengakibatkan

keadaan

hipovolemia dan syok (Suhendro, 2006).


IV

MANIFESTASI KLINIS
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis

yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue
fever, dengue haemorrhagic fever dan dengue shock syndrome; yang terakhir dengan
mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (Nimmanitya dkk., 1969;
Pongpanich dkk., 1973) Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan
dengan sebuah gunung es.. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah
sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan
kasus-kasus dengue ringan (dengue klasik atau demam dengue, selanjutnya
disebut.demam dengue dan silent dengue infection; merupakan dasar gunung es.
Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit telah terjadi 150
sampai 200 kasus silent dengue infection (WHO, 1980).
Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Pcrmulaan
penyakit biasanya mendadak. Gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai
bagian tubuh, anoreksia, menggigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom
trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Ruam biasanya
timbul 5 - 12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari
kelima dan biasanya berlangsung selama 3 - 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan
menyebar ke anggota gerak dan muka (Soedarmo, 2008).
Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot dan sendi
disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat kurve yang menyerupai

pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurve ini tidak
ditemukan pada semua penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik
(Soedarmo, 2008).
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan; di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada
stadium dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain
yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk,
epistaksis dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluamya banyak
keringat. Lama demam berkisar di antara 3,9 dan 4,8 hari. Kelenjar getah bening servikal
dilaporkan membesar pada penderita; beberapa sarjana menyebutnya sebagai tanda
Castelani, sangat patognomonik dan merupakan patokan berguna untuk membuat
diagnosis banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai (Soedarmo, 2008).
Demam berdarah dengue
Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan
peredaran darah (Soedarmo, 2008).
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dari demam dengue adalah meningginya
permeabilitas kapiler pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Halstead mengemukakan gejala yang harus
dipertimbangkan dalam diferensiasi demam berdarah dengue dengan demam dengue,
adalah:
1

DHF biasanya disertai dengan pembesaran hati.

leukositosis seringkali ditemukan pada DHF, berlainan dengan demam dengue


yang pada umumnya disertai dengan leukopenia berat.

manifestasi perdarahan seperti petekhie, echimosis, uji tornikuet positif dan


trombositopenia lebih menonjol pada DHF.

limfadenopati, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan pada DHF.

Dengue shock syndrome

Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrom, biasanya terjadi sesudah
hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma
leakage, efusi cairan ke rongga interstisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan
penurunan perfusi organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan
gangguan perfusi susunan saraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran.
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk; takikardia, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi perfusi non-esensial di kulit dan mneyebabkan sianosis, penurunan
suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler(>5 detik). Perbedaan
suhu kulit dan suhu tubuh yang >20C menunjukkan mekanisme hemostatis masih utuh.
Paad tahap SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat SSD, berarti sistem
hemostatis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi
dekompensasi. Mula-mula tekanan nadi turun, < 20 mmHg misalnya 100/90, karena
tekanan sistolik turun sesuai dengan penurunan venous return dan volume sekuncup, dan
tekanan diastolik meninggi sesuai dengan peningkatan tonus vaskuler.SSD berlanjut
dengan kegagalan mekanisme hemostatis, terjadi iskemia jaringan yang irreversibel dan
pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.

DIAGNOSIS
Infeksi keempat serotipe virus dengue (DEN 1, 2, 3 and 4) dapat asimptomatik,

menuju ke dengue fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF) dengan plasma
leakage yang dapat menimbulkan syok hipovolemik, dengue shock syndrome (DSS)
(WHO, 1999).
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji rumpele leed positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:


a

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis


kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan


dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,


hiponatremia.

(Suhendro, 2006).

Tabel pembagian derajat DBD menurut WHO (1997) :


DD/

Derajat

Gejala

Laboratorium

DBD
DD

Demam disertai 2 atau lebih

Leukopenia,

Serologi

tanda: sakit kepala, nyeri

trombositopenia,

dengue

retro orbital, mialgia dan

tidak ditemukan

positif

atralgia.

bukti kebocoran
plasma

DBD

DBD

DBD

II

III

Gejala diatas ditambah uji

Trombositopeni

bendung positif

(<100.000/ul)

Gejala diatas ditambah

ditemukan bukti

perdarahan spontan

kebocoran plasma

Gejala diatas ditambah


kegagalan sirkulasi ditandai
dengan kulit dingin dan
lembab serta gelisah.

DBD

IV

Syok berat disertai dengan


nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur

VI

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah

trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai
hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Suhendro, 2006).
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai gold standart adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih
dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali
yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus
melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila
dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah
mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu
(Suhendro, 2006).
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu
dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi
mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2 (Suhendro, 2006).
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).

Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih
terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen
NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam
pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik
untuk pelayanan primer (Suhendro, 2006).
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG (Suhendro, 2006).

VII

PENATALAKSANAAN
Pada

dasarnya

terapi

DBD

adalah

bersifat

suportif

dan

simtomatis.

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma


dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam
pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris (Suhendro, 2006).
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai (Suhendro, 2006).
Terapi

nonfarmakologis

yang

diberikan

meliputi

tirah

baring

(pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang

cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna.
Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat
simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum) (Suhendro, 2006).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD
dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut:
1

Penanganan tersangka DBD tanpa syok


Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat, yaitu dengan melakukan
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :
-

Hb, hmt, dan trombosit normal antara 100.000-150.000 pasien dapat


dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya.

Hb, hmt normal, tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, hmt meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
rawat inap.

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Gambar 2.2.)

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (Gambar 2.3.)

Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa (Gambar 2.4.)

Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.5.)

(Suhendro, 2006).

Gambar 2.2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 2.3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 2.4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Gambar 2.5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah
untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid
(ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO
menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal (Suhendro,
2006).
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid
memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL
secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya
dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam
waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml
masuk ke dalam ruang interstisial.

Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat

beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Suhendro, 2006).
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan
yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma

(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom syok dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas
dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi (Suhendro, 2006).
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada
kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance)
dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24
jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan
sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10
mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan

dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya
perdarahan internal (Suhendro, 2006).

BAB III
PEMBAHASAN

Dari anamnesis diperoleh, pasien mengeluh demam sejak 4 hari yang lalu.
Demam pada awalnya timbul perlahan-lahan kemudian meningkat. 3 hari SMRS pasien
diperiksakan ke klinik dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah minum obat
penurun panas, tapi kemudian panas lagi. Pasien juga mengeluh pusing (+) dan nyeri
kepala (+), muntah (+), nyeri perut (+), Mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di ekstrimitas
dan badan (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk (-), pilek (-), nyeri telan
(-), tidak ada cairan yang keluar dari telinga, nafsu makan turun (+), BAK normal, warna
kuning. BAB normal, konsistensi padat, diare (-). Dari pemeriksaan fisik menunjukkan
keadaan umum pasien tampak sakit sedang, uji bendung (+), sedangkan dari pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukopenia dan peningkatan hematokrit sebesar 20% sehingga
pasien dapat didiagnosis Dengue fever grade 1. Pada follow up berikutnya didapatkan
hasil pemeriksaan antibodi IgM dan IgG positif terhadap virus dengue, semakin
menguatkan jika infeksi nya terjadi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A. 2005. Demam Berdarah Dengue dalam Kapita Selekta Kedokteran Eds.III.
Media Aesculapius Fakultas Kedkteran UI. Jakarta.
Pusponegoro. Dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Eds.I. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta.
Soedarmo, S. dkk. 2008. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Eds.II. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Suhendro. Dkk. 2006. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Eds.IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
WHO. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai