Presentasi Kasus Ali
Presentasi Kasus Ali
TINJAUAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. MFJ
: Laki laki
Alamat
No RM
: 02-27-19-71
Masuk bangsal
Ruang rawat
: Bougenville Atas
ANAMNESIS
Alloanamnesis pada tanggal 27 Oktober 2016 pukul 07.00 dengan Ibu pasien di Bougenville
Atas
Keluhan Utama
Batuk Berdahak sejak 7 hari yang lalu
Keluhan Tambahan
Demam , mual muntah, nyeri dada saat batuk, badan terasa lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan mulai mengalami batuk-batuk awalnya sekitar 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, batuk-batuk dikatakan awalnya kering dan belum disertai demam, batuk
masih ringan belum dirasakan mengganggu, dan frekuensi batuk nya tergolong masih jarang,
namun semenjak 1 minggu terakhir ini batuknya menjadi mulai berdahak, dahak dikatakan
pasien masih berwarna bening, tidak berwarna kehijauan, frekuensi batuk menjadi lebih
sering dan membuat pasien merasa sangat terganggu, semakin hari pasien merasakan batuk
nya semakin bertambah hebat, dahak yang dikeluarkan pun menjadi lebih banyak, pasien juga
mulai merasakan sesak, dan nyeri pada dada saat batuk. Sesak dirasakan semakin bertambah
setiap hari. Pasien mengatakan batuk-batuk terjadi sepanjang hari, namun lebih sering pada
malam hari. Pasien juga mengatakan suhu badan nya semakin hari terasa semakin panas,
pasien tidak mengukur dengan thermometer hanya dengan perabaan dahi saja, hingga
akhirnya pasien datang ke IGD RSUP Persahabatan, ketika diukur suhu nya di IGD RSUP
Persahabatan, seingat pasien suhu pasien saat itu sekitar 39 derajat celcius, pasien pun
diberikan uap karena pasien saat itu dalam kondisi sesak, pasien kemudian diberikan obat
penurun panas, ketika diberikan obat penurun panas saat itu suhu nya cukup turun, pasien pun
mendapatkan obat batuk dari IGD berupa ambroxol, karena saat itu kondisi pasien stabil,
maka pasien diperbolehkan pulang dengan mendapatkan obat pulang, dan diminta datang
kembali ke IGD apabila didapatkan perburukan gejala. Esoknya pasien ketika di rumah ,
pasien kembali batuk-batuk berdahak yang cukup hebat, demam tinggi, dan juga pasien
menjadi bertambah sesak, karena ibu pasien khawatir ,pasien dibawa kembali ke IGD RSUP
Persahabatan
Asma : Disangkal
TB
: Disangkal
Campak : Disangkal
Kejang : Disangkal
Kejang tanpa Demam : Disangkal
Kehamilan
: Ibu pasien (P4A0) rutin kontrol ANC. Vitamin (+), TT (+), muntah
Riwayat Makanan
-
0 6 Bulan : ASI
6 9 Bulan : ASI + makanan lunak
9 12 Bulan : ASI + makanan lunak seperti nasi tim 3x sehari , telur, ayam
Vaksin
Saat Lahir, 1 Bulan, 6 Bulan
Ibu pasien lupa bulan2 nya, namun dikatakan
sudah
mendapatkan
imunisasi
polio lengkap 5x
Ibu pasien lupa bulan pemberiannya, namun
BCG
dikatakan
sudah
mendapatkan
imunisasi BCG
Ibu pasien lupa bulan pemberiannya, namun
DTP
dikatakan
sudah
mendapatkan
imunisasi DTP
Ibu pasien lupa bulan pemberiannya, namun
Campak
dikatakan
sudah
mendapatkan
imunisasi BCG
Kesan : Kelengkapan imunisasi sulit dinilai karena ibu pasien lupa bulan
pemberian nya dan lupa sudah diberikan berapa kali imunisasinya.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Nadi
Respirasi
: 36 kali/menit
Suhu
: 38,1 C
Berat badan
: 39 kg
Tinggi Badan
: 150 cm
TB/U
BB/TB
Kesimpulan
: gizi baik
Kepala
Rambut
Mata
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikteris -/-, palpebra cekung -/-, pupil
isokor 2 mm/2 mm, refleks cahaya +/+
Hidung
Mulut
Telinga
: sekret -/-
Leher
Thoraks
Cor
Pulmo
Abdomen
: pembesaran (-)
Genitalia
Ekstremitas
: akral hangat (+), CRT <3 detik, edema (-), sianosis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap dan elektrolit 27 Oktober 2016 pukul 03.43
Hb
: 12,3 gr/dL
Ht
: 35.5%
Eosinofil : 0.0 L
Neutrofil: 80.1 H
Limfosit: 11.2 L
Monosit: 8.6 H
Analisa Gas Darah:
pH : 7.459 H
Pco2: 21.70 L
HC03: 15.60 L
Total CO2: 15.20 L
Base Excess : -8.50 L
O2 Saturation : 97.7%
Standard HCO3: 19.5 L
Kesan:
PH= Alkalosis
PCO2 = alkalosis
HCO3=asidosis
Kesan: Alkalosis Respiratorik Terkompensasi
Pemeriksaan Foto Thoraks AP Lateral
Cor Normal
Pulmo Konsolidasi heterogen diparu kanan kiri bawah
Hilus normal
Sinus diapraghma dan tulang2 normal
Kesan: Pneumonia
RESUME
Pasien seorang anak laki - laki, usia 13 tahun, mengalami batuk-batuk sejak kurang lebih 2
minggu lalu, batuk awalnya kering, tidak disertai demam dan sesak, semenjak 1 minggu
terakhir batuk menjadi berdahak, diikuti demam tinggi, dan pasien menjadi sesak. Pasien juga
mengeluhkan nyeri dada saat batuk.
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Nadi
Respirasi
: 36 kali/menit
Suhu
Berat badan
: 39 cm
Tinggi Badan
: 150 cm
Kepala
: normocephal
Mata
Mulut
Thoraks
Pulmo
: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi basah halus +/+ ,wheezing -/-
Abdomen
DIAGNOSA KERJA
Pneumonia
DIAGNOSA BANDING
Suspek TB
ANJURAN PEMERIKSAAN
Kultur Darah
Cek Sputum BTA 3X
Uji Tuberkulin
PENATALAKSANAAN
1. Cairan Maintenance IVFD KAEN 1 B :
100 CC X 10 + 50 CC X 10 + 25 CC X 19 = 1975 CC/HARI : 72 = 27 tpm makro
2. Oksigen 2 lpm nk
3. Ampicilin 4x500 mg iv 4 kali sehari
4. Chlorampenicol 4x500 mg iv 4 kali sehari
5. Inhalasi Ventolin bila perlu
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
Quo ad sanationam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveoulus dan jaringan
interstritial yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. WHO
(World Health Organization) mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis
yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan.2
II.2 Epidemiologi
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita meningal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional 2001, 27% kematian bayi, 22,8% kematian
balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.1
II.3. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengoatan. Spektrum mikroorganisme penyabab pada neonatus dan bayi kecil berbeda
dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus gurp B dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dinegara maju, pneumonia pada anak terutama
disebabkan oleh virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri virus. (tabel 1)
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 1540% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita
adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang
perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita
karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas
mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.2
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel.
Usia
Lahir 20 hari
3 minggu -3 bulan
4 bulan 5 tahun
5 tahun- remaja
Bakteri
Chalmydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial virus
Virus parainfluenza 1,2,3
Bakteri
Chalmydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirus parainfluenza
Bakteri
Chalmydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumonia
II.4. Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian,
kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering
overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 :
Klasifikasi
Pneumonia
hipotermia
Bradipnea
Pneumonia
atau
pernapasan ireguler
Napas cepat
Bera Retraksi yang berat
t
Pneumonia
Ring
Retraksi (+)
Masih dapat minum
Sianosis (-)
Takipnea
Retraksi (-)
an
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.2
Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia
dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang
bisa rawat jalan.
Diagnosis Klinis
Pneumonia berat (rawat inap) :
Klasifikasi (MTBS)
(Pneumonia berat)
- dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan)
Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas
Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia
(MTBS).3
II.5. Patofisiologi :
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hapatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru
yang tidak terkena akan tetap normal.
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri
lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau
remaja dapat berupa konsolidasi pada saru lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau
abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi
kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, pendarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi
eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang
serius. Pneumatokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan
terapi lebih lanjut.1
Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, merintih, dan sianosis.
Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak
terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus
atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembunggelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba
terbuka.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di
paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan
penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi
pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidari segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan
berbagai ukuran. Jika terdapat gambaran retikonodular fokal pada satu lobus, hal ini
cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran
perkabutan atau ground glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena
infiltrat intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi mikoplasma.1
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
-
Infiltrat
interstisial,
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
bronkovaskular,
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia
dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada
infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi
antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali
pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi
pleura, atau aspirasi paru
II.9. Diagnosis
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan dipastikan
anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
11 bulan : > 50 kali/menit
-
-Sianosis
-Distres pernapasan berat
II.11. Diagnosis Banding
Diagnosis
Bronkiolitis
Tuberkulosis (TB)
mm)
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
batuk kronis ( 3 minggu)
Anak
Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek
Grunting
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris
yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan
keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang
digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan
selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya
setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau
menyusu.
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di
bawah ini.
Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi
-Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus
diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak
dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan
yang terkecil.
-
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
Kriteria pulang:
-
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
II.14. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
ana dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. 6
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat
dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. 6
II.15. Pencegahan
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati
secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. 5
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan
bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan
lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain. 5
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu
dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali. 5
BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan pneumonia karena pada pasien didapatkan
gambaran klinis pneumonia pada anak yang bergantung pada berat ringannya infeksi yang
terjadi dan pada pasien ini ditemukan gejala infeksi umum seperti demam, penurunan nafsu
makan, mual, muntah dan badan terasa lemas. Gejala gangguan respiratori juga terjadi pada
pasien anak ini, seperti batuk yang awalnya kering menjadi berdahak, sesak napas, napas
cuping hidung, dan juga terdapat nya retraksi. Dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara
ronkhi basah halus pada paru-paru kanan maupun kiri.
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit
dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal
atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan.
Diagnosis pada kasus ini ditegakan karena adanya gejala sesak nafas disertai pernafasan
cuping hidung dan tarikan dinding dada, panas badan, ronki basah halus pada kedua paru.
Dari kasus ini dapatkan peningkatan leukosit dan neutrofil yang perdominan sehingga
mengarahkan kecurigaan penyebabnya adalah bakteri.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan sesuai protokol terapi pneumonia berat
yakni diberikan kombinasi antibiotik Ampisilin-Kloramfenikol. Ampisilin (50 mg/kgBB) /
500 mg/x untuk dewasa dan anak dengan berat badan >20 kg, diberikan 4 kali sehari
(Ampisilin 4 x 500 mg IV) dan Kloramfenikol (50 mg/kgBB) dalam dosis terbagi 3-4x /hari
(Kloramfenikol 4 x 500 mg IV). Dapat pula diberikan B2 agonis berupa inhalasi ventolin
yang berguna untuk meningkatkan fungsi mukosilier saluran pernapasan. Serta diberikan obat
simtomatis antipiretik-analgetik paracetamol tab 500 mg, 3x1 ,diminum jika demam.
Prognosis pada pneumonia ini adalah sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %,
mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energiprotein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Penyakit pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi
dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga dll. Melakukan
vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
2. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI.
3. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
4. Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2013
5. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta :
RSCM
6. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI
7. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan anak
esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier; 2014