Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), termasuk pneumonia dan
influenza, masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang maupun di
negara maju. Menurut laporan dari International Vaccine Access Centre At The
Johns Hopkins University Bloomberg School Of Public Health pada bulan
November 2010, penyakit pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 1 di
India, nomor 2 di Nigeria dan di Indonesia pada urutan ke 8.
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu (alveoli), dengan gejala batuk yang disertai nafas sesak atau nafas cepat.
Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Secara klinis pada anak
yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas cepat dan tarikan dinding dada ke
dalam. (Sulaeman,2011)
Di Indonesia sendiri jumlah pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru
diperkirakan cukup banyak. bedasarkan data kementerian kesehatan tahun 2012
menunjukan bahwa penyakit ISPA di Indonesia sepanjang tahun 2007 dan 2012
mengalami tren kenaikan.pada tahun 2007 jumlah kasus ISPA berkategori batuk
bukan pneumonia sebanyak 7.281.411 kasus dan 765.333 kasus pneumonia. Pada
tahun 2012 jumlah kasus ISPA berkategori batuk bukan pneumonia sebanyak
18.790.481 kasus dan 756.577 kasus pneumonia (Depkes RI, 2012).
Selain itu ISPA bukan saja menyerang orang dewasa atau pekerja yang
berkaitan dengan debu tetapi ISPA juga menyerang anak-anak. Menurut World
Health Organization (WHO) pneumonia/ISPA telah banyak membunuh anak

yang berumur di bawah 5 tahun di semua wilayah yang ada di dunia.


Diperkirakan 9 juta anak mati pada tahun 2011, sekitar 20% atau
1,8 juta dikarenakan penyakit pneumonia. Meskipun penyakit ini menjadi
masalah kesehatan yang besar di kehidupan manusia akan tetapi sumber daya
global yang didedikasikan untuk mengatasi masalah ini sedikit. Kematian akibat
Infeksi Saluran pernapasan akut pada anak sangat terkait dengan kekurangan gizi,
kemiskinan dan akses yang memadai untuk ke perawatan kesehatan. Di Indonesia
sendiri penyakit ISPA menduduki peringkat pertama pada pola penyakit pasien
rawat di RS tahun 2012. Angka kesakitan penduduk tersebut diperoleh melalui
studi morbiditas, dan hasil pengumpulan data dari dinkes kabupaten/kota yang
diperoleh dari pencatatan dan pelaporan sarana kesehatan bahwa 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan dirumah sakit. Selanjutnya penyakit yang
terdata di pelayanan kesehatan di Yogyakarta selama adanya debu vulkanik
adalah ISPA dengan jumlah hampir 120 pasien yang menderita penyakit ISPA.
Berdasarkan data Dinkes Provinsi Sumatera Utara

tahun 2013 yang

mengutip hasil penelitian Haniffa (2014). Pneumonia adalah Infeksi atau


peradangan pada salah satu atau kedua paru-paru yang terjadi pada kantung
udara alveoli yang menyebabkan demam, batuk, nyeri dada dan sesak
nafas/nafas cepat. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik,
pneumonia masih menjadi masalah kesehatan yang mencolok. Ini disebabkan
karena munculnya organisme nosokomial ( yang didapat di rumah sakit) yang
resisten terhadap antibiotik, ditemukannya organisme-organisme yang baru

(seperti legionella), bertambahnya jumlah penjamu yang lemah daya tahan


tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS yang semakin memperluas spektrum
dan derajat kemungkinan penyebab pneumonia. Bayi dan balita lebih rentan
terhadap pneumonia karena respon imunitas masih belum berkembang dengan
baik (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006)
Cakupan penemuan kasus ISPA pada pekerja penggilingan padi di
Sumatera Utara Bedasarkan data profil kesehatan provinsi sumatera utara pada
tahun 2010 terdapat 337 kasus yang mengalami gangguan pernapasan yang
dialami oleh pekerja penggilingan padi di sumatera utara.Untuk tahun 2012
terdapat 148.431 kasus yang menderita ISPA pada pekerja. Kabupaten dengan
jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah kabupaten
simalungun yaitu 53 %,disusul dengan kota medan sebesar 31 % dan kabupaten
Deli Serdang sebesar 16%. Pada tahun 2013 sebesar 153.921 kasus ditemukan.
kabupaten dengan jumlah penderita kasus ditemukan dan ditagani terbanyak
adalah kabupaten karo sebesar 44,1%,disusul dengan kabupaten tapanuli utara
sebesar 31,2% dan kabupaten nias selatan sebesar 24,7 %. Bedasarkan data kasus
ISPA dari tahun ke tahun, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan.
Peningkatan ini menunjukan bahwa penyakit ISPA masih belum teratasi dan
merupakan kasus yang perlu mendapat perhatian khusus (Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara 2013). Tahun 2013 jumlah Penderita ISPA di Kabupaten
Deli Serdang sebanyak 211.511 kasus yang ditemukan (Dinkes Kabupaten Deli
Serdang, 2013).
Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan strata pertama telah melakukan
berbagai upaya dalam pengobatan pneumonia, yaitu dengan pengobatan
pneumonia

secara

terpisah

ataupun

dengan

menggabungperawatan

beberapa penyakit pada balita yang disebut manajemen terpadu balita


sak(MTBS). MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam
tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan
secara menyeluruh di unit rawat jalan fasilitas pelayanan kesehatan dasar. MTBS
bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara
menangani balita sakit. MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama
antara Kemenkes RI, WHO, United Nations Internasional Childrens Emergency
Fund

(Unicef)

dan

IDAI

(Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia).

WHO

memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan strategi upaya


pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan bayi dan balita di negara-negara berkembang (Depkes RI, 2008).
Bank Dunia tahun 1993 menjabarkan bahwa MTBS adalah intervensi
yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan
oleh pneumonia, diare, campak, malaria, kurang gizi, yang sering merupakan
kombinasi dari keadaan tersebut (Depkes RI, 2008). Indonesia merupakan negara
pertama di Asia Tenggara yang menerapkan MTBS sejak tahun 1997. Sejak itu
penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up-date buku
bagan MTBS dilakukan secara berkala (Dirjen Bina Kesehatan Anak, 2013).
Namun dalam pelaksanaan MTBS yang standar masih rentan mengalami
kendala di lapangan, salah satu faktor penyebab yaitu masih kurangnya
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman tenaga di puskesmas dalam
menangani bayi atau anak balita yang sakit secara optimal. MTBS memerlukan
waktu dalam memberikan pelayanan yang lengkap dan berkesinambungan, juga

perawatan beberapa penyakit pada balita yang disebut manajemen terpadu balita
sakit (MTBS). MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam
tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan
secara menyeluruh di unit rawat jalan fasilitas pelayanan kesehatan dasar. MTBS
bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara
menangani balita sakit. MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama
antara Kemenkes RI, WHO, United Nations Internasional Childrens Emergency
Fund

(Unicef)

dan

IDAI

(Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia).

WHO

memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan strategi upaya


pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan bayi dan balita di negara-negara berkembang (Depkes RI, 2008).
Bank Dunia tahun 1993 menjabarkan bahwa MTBS adalah intervensi
yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan
oleh pneumonia, diare, campak, malaria, kurang gizi, yang sering merupakan
kombinasi dari keadaan tersebut (Depkes RI, 2008). Indonesia merupakan negara
pertama di Asia Tenggara yang menerapkan MTBS sejak tahun 1997. Sejak itu
penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up-date buku
bagan MTBS dilakukan secara berkala (Dirjen Bina Kesehatan Anak, 2013).
Namun dalam pelaksanaan MTBS yang standar masih rentan mengalami
kendala di lapangan, salah satu faktor penyebab yaitu masih kurangnya
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman tenaga di puskesmas dalam
menangani bayi atau anak balita yang sakit secara optimal. MTBS memerlukan
waktu dalam memberikan pelayanan yang lengkap dan berkesinambungan, juga

membuat pencatatan serta pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan


Kota/Kabupaten (Nurhayati, 2010). Adapun manajemen kasus balita sakit
dengan MTBS yaitu, penilaian dan klasifikasi anak sakit, menentukan tindakan
dan memberi pengobatan, konseling ibu, dan tindak lanjut (Depkes, 2008).
MTBS bukan merupakan program kesehatan, akan tetapi suatu standar
pelayanan dan tata laksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan
tingkat dasar. WHO memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana
merupakan strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditunjukan untuk
menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan anak balita di negara-negara
berkembang. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS apabila memenuhi
kriteria melaksanakan/melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah
kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.
Sedangkan penelitian yang mengevaluasi pelayanan MTBS terhadap
kesembuhan pneumonia pada balita di Provinsi Jambi dilakukan oleh Nurhayati,
dkk (2010), hasil penelitian menunjukan bahwa pelayanan MTBS yang standar
memberikan peningkatan peluang keberhasilan yang lebih tinggi dalam
kesembuhan pneumonia pada anak balita dibandingkan dengan pelayanan MTBS
yang tidak standar, selain itu pendidikan dan jarak tempuh dari tempat tinggal ke
pelayanan kesehatan juga mempengaruhi keberhasilan pneumonia pada balita.
Berdasarkan hasil survei awal di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli
Serdang, terdapat beberapa puskesmas di Kabupaten Deli Serdang yang
petugasnya telah mendapat pelatihan MTBS dan menerapkan MTBS dalam
pelaksanaan balita sakit, diantaranya adalah Puskesmas Bandar Khalipah.

Tabel 1.1 Data 3 besar puskesmas jumlah penderita pneumonia tertinggi


No. PUSKESMAS

DAERAH PUSKESMAS

1
2
3

Percut Sei Tuan


Sunggal
Tanjung Morawa

Bandar Khalipah
Mulyorejo
Tanjung Morawa

JUMLAH PENDERITA
PNEUMONIA
2063 balita
1487 balita
1355 balita

Puskesmas Bandar Khalipah merupakan puskesmas yang berada di


Kecamatan Percut Sei Tuan dan merupakan salah satu puskesmas yang memulai
program MTBS di Sumatera Utara pada tahun 2004. Jumlah wilayah kerja
puskesmas Bandar Khalipah sebanyak 7 wilayah kerja. Adapun cakupan
imunisasi di puskesmas Bandar Khalipah pada tahun 2013 sebesar 98% dan pada
tahun 2014 sebesar 95%. Pada tahun 2013 angka cakupan penemuan kasus
pneumonia pada balita yang ditemukan dan ditangani adalah sebanyak 642 balita
dari perkiraan jumlah penderita 2.461 balita dan dengan jumlah balita di wilayah
kerja puskesmas yaitu 20.633 balita. Jumlah kunjungan balita di Puskesmas
Bandar Khalipah pada tahun 2013 adalah sebanyak 2.461 balita dan balita yang
ditangani dengan MTBS sebanyak 642 balita (31,1%) sedangkan data pada tahun
2014 menunjukan adanya peningkatan jumlah penderita pneumonia sebanyak
2.734 yang artinya peningkatan jumlah penderita pneumonia meningkat
sebanyak 273 penderita. Berdasarkan wawancara singkat peneliti dengan petugas
bagian MTBS bahwa masih banyak ibu balita yang tidak mengikuti prosedur
pengobatan pneumonia dengan yang telah diterapkan oleh program MTBS.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
mengetahui implementasi pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Tahun 2015.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas maka
yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
implementasi penanganan pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi
penanganan pneumonia pada balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten
Deli Serdang tahun 2015.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1.

Sebagai bahan masukan dan tambahan bagi penelitian lebih lanjut tentang
faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia pada balita
utamanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.

Sebagai masukan dan tambahan literatur tentang penanganan dan pencegahan


kasus Pneumonia dan masukan dalam evaluasi program serta sebagai bahan
pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan kebijakan dan perbaikan
bagi pihak Puskesmas Bandar Khalipah tentang bagaiman implementasi

pneumonia pada balita dengan menggunakan MTBS dalam terwujudnya


penurunan balita yang menderita pneumonia.
3.

Sebagai bahan informasi atau masukan mengenai faktor faktor yang


mempengaruhi terjadinya pneumonia, sehingga diharapkan ada tindakan
pencegahan guna menurunkan angka kesakitan.

Anda mungkin juga menyukai