Anda di halaman 1dari 37

1

NYERI NEUROPATIK
Dr. Jani Tanumihardja, SpS

Apakah penyakit neuropatik itu?

Mungkin bagi sebagian orang, penyakit ini baru terdengar. Untuk memahami hal ini,
pertama-tama kita harus memahami apakah nyeri itu. Nyeri adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang subjektif dan tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi seperti itu.
Jadi pertama-tama kita harus memahami bahwa keluhan nyeri itu adalah keluhan yang
bersifat subjektif, yang hanya dirasakan oleh penderita. Keluhan ini bisa akibat
kerusakan nyata, seperti waktu kita terluka akibat terjatuh / teriris pisau atau
berpotensi merusak, misalnya saat kita dicubit. Walaupun kita tidak mengalami
perlukaan tetapi kita dapat merasakan sakitnya. Kadang-kadang, dengan
membayangkannya saja kita dapat merasakan perasaan sakit itu, seperti bila kita
membayangkan diri kita tertikam atau terjatuh dari tempat yang tinggi maka kita
dapat bergidik sendiri padahal kejadian tersebut hanya ada dalam bayangan kita.
Contoh lain dapat kita lihat saat anak-anak menjadi sangat rewel saat hendak dibawa
ke dokter karena perilaku orang tuanya yang selalu mengancam anak tersebut bahwa
dia akan dibawa ke dokter bila tidak mau, misalnya makan. Saat akan dibawa
kedokter, sang anak membayangkan dengan jelas rasa sakit yang akan dialaminya dan
hal tersebut membuatnya menjadi rewel.

Gejala-gejala Nyeri Neuropatik


Nah.. apakah nyeri neuropatik sama seperti gejala nyeri akibat perlukaan? Sama sekali
tidak. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan saraf dan
memberi gejala yang sangat berbeda dengan nyeri akibat terluka karena jatuh atau
teriris atau akibat trauma lainnya.
Nyeri neuropatik seringkali memberi gejala seperti tersengat listrik, terasa panas,
kesemutan, kram-kram ataupun pedih seperti disiram air cabe. Keluhan ini bisa terasa
sepanjang hari tetapi bisa pula bersifat hilang timbul. Kalau terasa sepanjang hari,
seringkali nyerinya menghebat saat malam hari sehingga penderita, tidak jarang,
terbangun dari tidurnya. Nyeri ini sangat mengganggu dan menurunkan kwalitas
hidup penderita karena keluhan ini bersifat berkepanjangan. Seringkali penderita
2

menjadi ngantuk dipagi hari, kurang berkonsentrasi sehingga penderita menjadi


kurang produktif dan tidak jarang mengakibatkan depresi.
Gejala ini seringkali membingungkan penderita dan / atau keluarganya, karena tidak
jarang penderita / keluarganya tidak melihat adanya bukti bagian tubuh yang terluka.
Namun begitu, penderita bisa sangat-sangat menderita karenanya. Penulis bahkan
pernah menemukan penderita kencing manis yang disertai penyakit batu ginjal yang
(maaf) lebih rela bugil karena tidak tahan memakai baju / selimut. Begitu kulitnya
tersentuh kain, dia menjerit kesakitan. Karena kebingungan ini, kami beberapa kali
mendapati penderita yang datang berobat ke dokter setelah sekian lama mencari
pengobatan alternatif.
Bila anda ke dokter, ceritakan apa saja yang anda rasakan, jangan malu! Ceritakan apa
adanya, jangan menambah-nambah. Jangan berpikir bahwa dokter akan berpikir anda
mengada-ada karena tidak ada perlukaan yang tampak. Penyakit ini memang ada dan
dokter yang baik dapat mengenalnya dengan baik. Tentu saja dokter yang
berpengalaman mampu merasakan apakah cerita anda masuk akal atau tidak karena
walaupun tidak ada perlukaan yang tampak, suatu penyakit, bagaimanapun tetap ada
polanya.

Apa saja penyebab nyeri ini?


Banyak diantaranya adalah akibat langsung jatuh dimana penderita mengalami
patah tulang yang kemudian menyobek sarafnya, gangguan metabolik, misalnya
penderita kencing manis. Juga bisa disebabkan oleh terjepitnya saraf di bagian tubuh
tertentu. Hal lain lagi, misalnya karena tumor, setelah kecelakaan kepala yang berat,
strok, infeksi, degenerasi, ataupun karena kelainan bawaan. Sekitar - penderita
Herpes zooster yang berusia > 50 tahun bisa menderita keluhan ini sekitar 3 bulan
setelah penyakit herpesnya sembuh. Bila disentuh, bekas luka akibat herpes itu
kurang / mati rasa tetapi penderitanya malah kesakitan. Pada kasus yang lain,
penderita kencing manis yang sudah lama dan seringkali dengan kadar gula darah
yang kurang / tidak terkontrol mengeluhkan rasa kesemutan / kram-kram yang hebat
dan sangat mengganggu, terutama dimalam hari, pada ke-2 kaki / tungkai bawah
penderita. Cerita yang lain adalah penderita dengan keluhan nyeri punggung bawah
dimana nyeri tersebut terasa menjalar turun ke kaki. Saat bersin, penderita bisa
tersentak akibat menahan nyeri yang terasa seperti tersengat listrik. Begitu sakitnya
sehingga penderita harus menahan nafas beberapa saat sebelum perlahan-lahan
3

melemaskan otot-otot pinggangnya untuk kembali keposisi semula. Kasus yang lebih
jarang bisa ditemukan pada penderita yang berusia paruh baya dengan keluhan nyeri
tengkuk yang menjalar ke lengan atas / bawah dimana pada posisi tertentu dari leher
akan memicu timbulnya nyeri tersebut dengan penjalarannya yang mengikuti cabang
saraf yang mempersarafinya, bisa kearah puncak kepala atau kearah lengan.
Secara klinis, keluhan ini khas untuk nyeri saraf karena terjepit. Namun demikian,
perlu dilakukan pemeriksaan neuroimejing ( foto ) untuk memastikan dugaan tersebut
sekaligus sebagai persiapan tahap tindakan selanjutnya, seandainya diperlukan.
Lain lagi keluhan pada seorang penderita paska strok. Kadang-kadang, penderita
mengeluh nyeri / mati rasa yang sangat mengganggu pada separuh tubuh yang
mengalami kelumpuhan.

Mengapa hal ini bisa terjadi?


4

Pada keadaan normal, bila kita mengalami trauma, katakanlah dicubit, maka di bagian
tubuh yang dicubit akan terjadi pelepasan berbagai zat-zat kimia, seperti ion H + ,
Bradikinin, Kalium, dan Prostaglandin, yang akan mengawali proses peradangan dan
ujung-ujung saraf menjadi peka. Proses ini akan diteruskan ke otak melalui medulla
spinalis. Bila trauma berlanjut maka saraf yang peka menjadi lebih banyak dan lebih
luas sehingga akan menimbulkan pelipatgandaan kepekaan ujung saraf. Bila
perangsangan ini melewati ambang batas nyeri, yang berbeda-beda bagi setiap orang,
maka dia akan merasa nyeri.
Berbeda dengan proses nyeri yang normal diatas dimana proses nyeri dapat dipahami
dengan baik pada proses nyeri neuropatik masih banyak hal yang belu dapat
dipahami. Pada nyeri neuropatik, proses awal (trauma, infeksi, keganasan, tumor,
degenerasi) dari rangsang nyeri seringkali sudah lama berlalu, misalnya pada nyeri
saraf paska Herpes Zooster, atau bahkan tidak terjadi secara kasat mata, misalnya
akibat kencing manis, karena pada dasarnya yang terjadi sejak awal adalah kerusakan
saraf. Kerusakan saraf ini dapat terjadi di saraf tepi, medulla spinalis bahkan di otak.
Akibat dari kerusakan ini, saraf akan melepaskan impuls yang tidak terkendali yang
akan sangat menyiksa penderita.

Pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan?


Untuk mengetahui penyebab nyeri semacam ini, maka pertama-tama dokter akan
memastikan apakah kategori nyeri yang dikeluhkan penderita termasuk dalam
kategori nyeri neuropatik. Setelah itu dokter akan melakukan pemeriksaan fisik baru
kemudian, dia menyusun kemungkinan penyebabnya. Selanjutnya, dokter akan
menyarankan penderita untuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang,
diantaranya pemeriksaan darah, air seni, x-ray termasuk CT scan, dan MRI, serta
elektroneurofisiologi untuk mendukung atau menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya. Belakangan ini, pemeriksaan menggunakan gelombang suara juga
digunakan sebagai pemeriksaan pendukung. Dengan demikian penanganan penderita
menjadi terarah.

Bagaimana penanganannya?
Tergantung penyebabnya dan atau sudah berapa lama keluhan tersebut diderita
seorang penderita. Penanganan penderita nyeri seperti ini bisa dengan obat-obatan
saja, fisioterapi / rehabilitasi medik, terapi perilaku kognisi atau dengan intervensi /
5

operasi. Saat ini, kemajuan pengobatan nyeri neuropatik berkembang pesat. Ada obat-
obatan yang relatif baru, alat-alat canggih untuk tindakan intervensi bahkan dengan
penanaman alat-alat tertentu dalam saraf belakang / otak penderita. Semuanya
dimaksudkan untuk menolong penderita agar lepas atau paling tidak mengurangi
penderitaannya. Seiring dengan usaha tersebut, untuk kasus yang benar-benar sulit
ditangani, penderita diarahkan untuk dapat menerima dan hidup berdampingan
dengan nyerinya, seperti dia dapat hidup berdampingan dengan rabun matanya, atau
pendengaran yang berkurang.
Konsultasi dengan dokter ahli-dokter ahli lainnya juga seringkali diperlukan, sekali
lagi untuk mendukung / menyingkirkan kemungkinan penyebab dan juga penanganan
di bidang keahlian sejawat tersebut

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit ini?


Pada dasarnya, pencegahan penyakit apa saja, menurut pendapat penulis, adalah sama
saja, yaitu: hidup sehat, seimbang dan selaras dengan alam. Bila ada penyakit-
penyakit metabolik, seperti kencing manis, maka kadar gula darah harus diusahakan
senormal mungkin. Bila pembaca adalah seorang pekerja kasar / berat usahakanlah
bekerja secara ergonomis. Hindari rutinitas yang melibatkan otot-otot tertentu saja
dalam jangka waktu lama, misalnya mengetik. Bila terpaksa, selingi dengan relaksasi
atau lakukan gerakan peregangan otot. Berkendaralah dengan santun dan patuhi
peraturan lalu lintas, termasuk menggunakan helm standar bagi penendara motor dan
sepeda, karena hal itu akan mengurangi risiko kecelakaan dan kemudian risiko cedera
kepala. Bila ada keluhan nyeri, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter agar dapat
ditangani secepatnya sehingga masalahnya diharapkan tidak berlarut-larut. Penyakit
ini sering kali tidak berespon terhadap obat penahan sakit yang ada dipasaran bebas
jadi jangan menghamburkan uang anda.
( Artikel ini, dengan versi yang berbeda, telah dimuat di Harian Fajar, tanggal 29 April
2010 )
6

Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi Nyeri - Nyeri secara esensial dapat dibagi atas dua tipe yaitu nyeri adaptif
dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan
melindungi organisme dari cedera atau sebagai petanda adanya proses penyembuhan
dari cedera. Nyeri maladaptif terjadi jika ada proses patologis pada sistem saraf atau
akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Kondisi ini merupakan suatu penyakit
(pain as a disease).

Pada praktek klinis sehari-hari kita mengenal 4 jenis nyeri:

1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Pada
umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena perlangsungannya
yang singkat. Nyeri ini dapat timbul jika ada stimulus yang cukup kuat sehingga akan
menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi
fisiologis vital. Intensitas stimulus sebanding dengan intensitas nyeri. Contoh: nyeri
pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum, dll.

2. Nyeri Inflamatorik
Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan atau
lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien dengan tipe
nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan. Contoh: nyeri pada rheumatoid
artritis.

3. Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer (seperti pada
neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll) atau sentral
(seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri pada
sklerosis multipel).

4. Nyeri Fungsional
Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer
dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf terutama
hipersensitifitas aparatus sensorik. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran nyeri
tipe ini yaitu fibromialgia, iritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-
kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang. Tidak diketahui mengapa pada nyeri fungsional
susunan saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau hiper-responsifitas (Woolf,
2004).
7

Berbagai Tipe Nyeri

Nyeri nosiseptif dan nyeri inflamatorik termasuk ke dalam nyeri adaptif, artinya
proses yang terjadi merupakan upaya tubuh untuk melindungi atau memperbaiki diri
dari kerusakan. Nyeri neuropatik dan nyeri fungsional merupakan nyeri maladaptif,
artinya proses patologis terjadi pada saraf itu sendiri sehingga impuls nyeri timbul
meski tanpa adanya kerusakan jaringan lain. Nyeri ini biasanya kronis atau rekuren,
dan hingga saat ini pendekatan terapi farmakologis belum memberikan hasil yang
memuaskan (Rowbotham, 2000; Woolf, 2004).

Referensi :
1. Rowbotham, M. C., Petersen, K.L., Davies, P.S., Friedman, E.K., & Fields,
H.L.,2000. Recent Development in The Treatment of Neuropathic Pain. In: Devor, M.,
Rowbotham, M.C., & Wiesenfeld-Hallin, Z. (ed). Proceeding of the 9th World on
Pain. IASP Press, Seattle, pp 833-855
2. Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-
Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451
8

Komponen Nyeri

Komponen Nyeri - Nyeri yang kita rasakan terdiri dari dua komponen utama:
somatik (sensorik) dan psikologik (emosional). Komponen sensorik merupakan dasar
dari nyeri namun persepsi selalu dipengaruhi faktor psikologi. Intensitas
perangsangan nosiseptor mungkin sama, terapi intensitas nyeri yang dirasakan dapat
berbeda pada setiap individu. Perbedaan tersebut disebabkan adanya komponen
psikologik. Aspek psikologis dipengaruhi personalitas, sosial, budaya, dan
sebagainya. Interaksi kedua faktor ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar Model Nyeri (Hadox, 1990 Modifikasi oleh penulis)

Penderita A dan B yang mengalami penderitaan yang sama (dalam satu arkus).
Penderita A mengalami nyeri karena proses keganasan sehingga sangat mengganggu
secara psikologik. Akibatnya, komponen psikologiknya lebih besar dari komponen
sensoriknya. Penderita B mengalami nyeri oleh karena patah tulang. Penderitaan
(suffering) pada kedua penderita lebih kurang sama (dalam 1 arkus), akan tetapi
komponen psikologik (emosional) dan nosiseptif (sensorik) masing-masing berbeda.
Penanganan nyeri kedua penderita memerlukan intervensi pengobatan yang berbeda.
Penderita A lebih memerlukan konseling dan penderita B cukup dengan analgetik.

Proses nosisepsi akan menimbulkan persepsi nyeri. Nyeri akan menimbulkan


perasaan tidak menyenangkan, sebuah penderitaan. Nyeri yang dirasakan seorang
individu mengharuskan adanya sebuah respon perilaku yang bertujuan untuk
mengatasi nyeri dan stress. Respon ini dikenal sebagai perilaku nyeri (pain behavior).
Dalam penanganan nyeri, tidak hanya komponen sensorik saja yang perlu
diperhatikan, tetapi juga komponen psikologis seperti kognitif, emosional, stress.
Artinya, terapi nyeri terutama nyeri kronis tidaklah cukup hanya menggunakan
analgetik saja, tetapi sering sekali membutuhkan terapi psikologis dan perilaku
(Meliala, 2004).
9

Mekanisme Nyeri

Mekanisme Nyeri - Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas
ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Nosisepsi adalah mekanisme
yang menimbulkan nyeri nosiseptif dan terdiri dari proses transduksi, konduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen/nosiseptor


mengubahstimulus nyeri menjadi potensial aksi. Konduksi adalah proses
penghantaran/penjalaran impuls melalui serabut saraf penghantar nyeri sampai ke
kornu dorsalis medula spinalis, dan dari kornu dorsalis ke otak. Transmisi adalah
proses penghantaran impuls melewati sinaps dari neuron orde pertama ke neuron orde
kedua pada jalur sensorik yang terjadi di kornu dorsalis medula spinalis. Proses ini
melibatkan pelepasan neurotransmiter dari neuron presinaps ke neuron post sinaps.
Modulasi adalah proses amplifikasi atau inhibisi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis,
dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak
lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula
spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan
penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. Persepsi nyeri adalah
kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses
transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya.
Keempat proses ini dikaitkan satu sama lain dalam teori gate control

Teori gate control merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini
menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan
meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada kornu
dorsalis melalui gate (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan
desendens maka input akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik,
yaitu pada level medula spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan
menutup atau membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri
asendens. Teori gate control ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi
nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan
reaksi stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Memalui model ini,
dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun
intervensi psikologis (Meliala, 2004 & painedu.org, 2008).

Referensi :
1. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
2. Painedu.org, 2008. Physiology of Pain, http://www.painedu.org.
10

Apa itu Nyeri Neuropatik

Apa itu Nyeri Neuropatik - Menurut Meliala, 2004, bahwa pengertian Nyeri
neuropatik (NN) adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf. Nyeri tipe ini sering ditemukan pada penderita diabetes melitus, nyeri
pasca herpes dsb. Nyeri tipe ini pada umumnya sukar diterapi.Nyeri neuropatik
diperkirakan diderita oleh 1% dari total populasi dan 1/3 diantaranya adalah nyeri
neuropati diabetika, bentuk lain dari nyeri neuropatik adalah nyeri pasca herpes,
trigeminal neuralgia, sindroma jebakan dan sebagainya. Meliala, 2004 menambahkan
bahwa deskripsi nyeri neuropatik ditandai dengan rasa terbakar (burning), rasa
ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia.

Spesialis saraf mempunyai kompetensi dalam penanganan nyeri kronik, terutama


nyeri kronik non maligna yang terdiri dari sefalgia, fibromialgia, neuropati, sindroma
failed back, dan Chronic Regional Pain Syndrome (AAN, 1997). Menurut Turk,
2006, pengobatan paling poten sekalipun, untuk saat ini hanya akan bisa mengurangi
nyeri sekitar 30-40%. Limapuluh persen diantara pasien nyeri kronik akan bisa
tertangani dengan terapi polifarmasi rasional. Tentu saja ini harus didasari
pengetahuan yang lengkap tentang nyeri, juga tentang efektivitas dan risiko interaksi
serta efek samping obat kombinasi. Para ahli tetap dalam kapasitasnya saat ini dalam
meneliti, sehingga perkembangan ilmu untuk ke depannya akan semakin banyak lagi.

Referensi :
1. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
11

Mekanisme Nyeri Neuropatik

Mekanisme Nyeri Neuropatik - Eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan


penurunan inhibisi khusus pada nyeri neuropatik. Sensitisasi perifer terjadi pada nyeri
inflamasi, dan juga pada nyeri neuropatik, misalnya neuralgia postherpetik. Sensitisasi
sentral berperan pada nyeri inflamasi, neuropatik, dan fungsional. Skema mekanisme
nyeri neuropatik dapat dilihat pada gambar di bawah.

Skema mekanisme nyeri neuropatik


Nyeri neuropatik terjadi dari cedera atau disfungsi saraf seperti berikut ini.

A. Setelah kerusakan saraf, transkripsi dan produksi saluran Natrium pada lokasi
kerusakan meningkat, disertai dengan penurunan jumlah saluran kalium. Perubahan
ekspresi saluran ion ini menyebabkan hipereksitabilitas dan terbentuknya aktivitas
ektopik, yang diperkirakan berperan pada timbulnya nyeri spontan dan paroksismal.

B. Pada badan sel neuron aferen primer di ganglion radiks dorsalis, terjadi sprouting
neuron simpatis dan diperkirakan berperan pada nyeri yang diperankan oleh system
simpatis (sympathetically maintained pain)

C. Kerusakan saraf perifer menyebabkan perubahan besar pada transkripsi gen dan
aktivasi berbagai kinase dan protein termasuk meningkatnya aktivitas reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA). Kerusakan saraf juga menimbulkan hipertrofi dan
aktivasi sel glia, termasuk mikroglia di substansia grisea medula spinalis. Mikroglia
sitokin pronosiseptif seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF)
dan neurotropin, termasuk brain derived neurotrophic factor (BDNF) yang selanjutnya
menyebabkan eksaserbasi transmisi nosiseptif dan berperan pada sensitisasi dan
mempertahankan nyeri neuropatik.

Meliala, 2004 menerangkan bahwa terdapat tiga proses utama dalam mekanisme atau
patofisiologi nyeri yaitu:
1. sensitisasi perifer
2. sensitisasi sentral
3. disinhibisi sentral
Referensi :
Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
12

Mekanisme Sensitisasi Perifer

Mekanisme sensitisasi perifer - Setelah terjadinya cedera saraf tepi, dilepaskanlah


beberapa mediator kimiawi dari sel yang mengalami kerusakan dan sel-sel
inflamatorik (sel mast, dan limfosit). Mediator kimiawi yang dimaksud diantaranya
noradrenalin, bradikinin, histamin, prostaglandin, kalium, sitokin, 5HT, dan
neuropeptida. Mediator-mediator ini akan mensensitisasi nosiseptor dan selanjutnya
menambah input neural. Hal ini menyebabkan perubahan pada jumlah dan lokasi
saluran ion, terutama saluran ion natrium pada serabut saraf yang rusak bersamaan
dengan ganglion radiks dorsalis. Sebagai hasil, ambang depolarisasi akan menurun
dan discharge spontan yang dikenal juga sebagai ectopic discharge akan terjadi.
Akibatnya respons nosiseptor terhadap stimulus termal dan mekanikan akan
meningkat, sebuah fenomena yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada beberapa
proses penyakit tertentu seperti demielinisasi akibat berkurangnya suplai darah ke
saraf tepi dapat pula mengakibatkan ectopic discharge.

Pada kondisi normal, serabut saraf yang satu terpisah dengan serabut yang lain.
Tetapi, aktivitas neural persisten dan perubahan yang terjadi akibat kerusakan dapat
menimbulkan hubungan elektrikal yang dimediasi mediator kimiawi antar serabut
saraf. Transmisi ini, dikenal sebagai ephaptic conduction/cross excitation/cross talk,
akan menyebabkan bangkitan nyeri dari serabut saraf normal dan menimbulkan nyeri
Hiperalgesia (meningkatnya sensasi nyeri pada stimulus yang secara normal
menimbulkan nyeri) sering terlihat pada pasien dengan nyeri. Diperkirakan proses
sensitisasi perifer, yang dimediasi oleh serabut C bertanggung jawab pada mekanisme
terjadinya hiperalgesia. Terkadang bermanifestasi sebagai nyeri spontan. Sensasi nyeri
seperti terbakar (burning sensation) merupakan akibat dari discharge kontinu serabut
C, sementara disestesia (perasaan tak nyaman abnormal) dan parestesia dapat terjadi
akibat discharge spontan serabut A atau A.

Mekanisme perifer lainnya adalah symphatetic sensory coupling, suatu kondisi


dimana nyeri neuropatik berkaitan dengan sistem saraf simpatis (misalnya pada
Complex Regional Pain Syndrome). Hal ini sering juga disebut Symphatetic
Maintained Pain. Koneksi abnormal sistem saraf simpatis dengan sistem saraf
sensorik diperkirakan melatarbelakangi kondisi ini (Pasero, 2004).

Dalam mekanisme sensitisasi perifer proses yang paling berperan adalah aktivitas
ektopik (AE). Terdapat dua tempat munculnya AE yaitu:
1. Neuroma atau serabut saraf yang mengalami lesi misalnya akibat kompresi
2. Neuron di gangglion radiks dorsalis dari serabut saraf yang mengalami lesi

AE menimbulkan NN melalui:
1. Aliran impuls yang abnormal ke sistem saraf pusat (SSP) yang langsung dapat
menimbulkan gejala parestesia, disestesia dan nyeri misalnya:
a. Aktivitas yang dijalankan melalui serabut saraf C menimbulkan timbulnya persepsi
panas (burning pain).
b. Aktivitas spontan yang intermitten di serabut A atau A menyebabkan nyeri
seperti ditikan (lancinating) disestesia atau parestesia.

2. Adanya saluran-saluran baru di daerah lesi (neuroma, lokasi lesi, ganglion radiks
dorsalis) menyebabkan timbulnya reseptor-reseptor yang sensitif terhadap impuls
13

mekanikal, termal atau kemikal. Kumpulan reseptor ektopik ini menyebabkan


terjadinya hiperalgesia, misalnya ketukan ringan di lokasi ektopik dapat menimbulkan
nyeri seperti pada sindroma terowongan karpal (tanda Tinel). Stres menyebabkan
nyeri memberat karena katekolamin yang mengaktivasi reseptor adrenergik.

3. AE menyebabkan sensitisasi sentral sebagai penyebab utama hiperalgesia dan


alodinia.

Referensi :
1. Pasero, C., 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing;
5(4):3-8.

Proses Sentral dalam Mekanisme Nyeri Neuropatik: Sensitisasi dan


Inhibisi

Proses sentral dalam mekanisme nyeri neuropatik: Sensitisasi dan Inhibisi -


roses kunci yang mendasari sensitisasi sentral adalah hipereksitabilitas abnormal
neuron nosiseptif sentral. Proses ini terjadi di medula spinalis karena cedera saraf
perifer dan pelepasan tachynins dan neurotransmitter. Tachynins termasuk
neuropeptida substansia P dan neurokinin. Neurotransmiter termasuk glutamat,
Calcitonine Gene Related Peptide, dan GABA. Pelepasan glutamat yang prolonged
akan berikatan dengan reseptor NMDA dan meningkatkan kadar kalsium intraseluler.
Perubahan ini selanjutnya akan menyebabkan serangkaian proses biokimiawi di
ganglion radiks dorsalis. Ambang aktivasi akan menurun, respon terhadap stimulus
meningkat, dan luas receptive field bertambah (meluasnya area permukaan neuron
untuk menerima stimulus). Secara bersama-sama perubahan ini menyebabkan sebuah
fenomena yang dikenal dengan wind up, yaitu meningkatnya eksitabilitas dan
sensitivitas neuron medula spinalis.

Mekanisme sentral lain yang diperkirakan berperan pada nyeri neuropatik adalah
disinhibisi sentral, yang terjadi saat mekanisme kontrol sepanjang jalur
modulasi/inhibisi hilang atau menurun. Selanjutnya juga akan menyebabkan
eksitabilitas abnormal neuron sentral.

Secara klinis, sensitisasi dan disinhibisi sentral dipercaya menimbulkan alodinia,


suatu keadaan dimana stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (gesekan
baju, rabaan halus) dipersepsi sebagai nyeri, misalnya pada neuralgia postherpetik.
Dalam keadaan normal serabut A menhasilkan sensasi sentuhan bila distimulasi.
Serabut saraf ini dapat menimbulkan sensasi nyeri bila distimulasi pada individu
dengan nyeri neuropatik. Beberapa teori telah berupaya menjelaskan fenomena
alodinia yaitu penurunan ambang rangsang sensorik di neuron sentral, dan penurunan
inhibisi sentral terhadap input nosiseptif. Abnormalitas organisasi neuronal juga dapat
terjadi. Contohnya setelah kerusakan saraf tepi, mekanoseptor mengalami sprouting
dari lamina yang lebih dalam ke lamina I dan II kornu dorsalis medula spinalis. Hal
ini potensial meningkatkan sensitivitas terhadap sentuhan/tekanan (alodinia mekanis).
14

Hiperalgesia merupakan gambaran yang lazim ditemukan pada nyeri. Terdapat dua
tipe hiperalgesia, yaitu primer dan sekunder. Hiperalgesia primer adalah peningkatan
nyeri dan sensitivitas di area yang mengalami kerusakan, dan hiperalgesia sekunder
adalah peningkatan sensitivitas di area sekitar kerusakan. Hiperalgesia primer
diperkirakan terjadi sebagai akibat dari perubahan perifer setelah kerusakan jaringan.
Hiperalgesia sekunder diperkirakan terjadi akibat perubahan di kornu dorsalis medula
spinalis (Pasero, 2004).

Di samping sensitisasi sentral mekanisme lain yang mendasari NN di SNS adalah


disinhibisi. Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Impuls perifer yang datang di kornu
dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum diteruskan ke otak selalu
dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang
bersifat inhibisi. Pada tingkat medula spinalis proses ini diperantarai oleh neuron
inhibisi yang melepaskan GABA dan glisin. Input desenden dari batang otak bekerja
melalui norepinefrin/noradrenalin dan serotonin. Percobaan eksperimental
memperlihatkan bahwa blokade reseptor GABA dan glisin akan menghasilkan
hipersensitivitas nyeri (Woolf, 2004; Meliala, 2004).

Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf.
Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas
inhibisi yang berarti eksitasi. Keadaan ini akan menyebabkan alodinia (Meliala,
2004). Penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa 1 minggu setelah cedera akan
terjadi apoptosis neuron di kornu dorsalis. Proses apoptosis dapat terjadi karena
eksitasi berlebih akibat pelepasan glutamat atau kegagalan ambilan kembali glutamat,
dapat pula terjadi sebagai bentuk sinyal bunuh diri akibat pelepasan tumor necrosis
factor dari mikroglia (Woolf, 2004).

Reorganisasi sentral
Alodinia terjadi oleh karena: (1) sensitisasi sentral atau wind-up, (2) reorganisasi
sentral dari serabut A, dan (3) hilangnya kontrol inhibisi. Reorganisasi sentral
serabut A terjadi akibat kematian serabut saraf C (misalnya akibat herpes zoster).
Serabut saraf C biasanya bersinaps di lamina I dan II kornu dorsalis. Kehilangan
serabut saraf C di lamina I dan II memicu sprouting A dan menuju lamina tersebut
untuk mengisi kekosongan sinap (neuronal plasticity). Dengan demikian impuls
sentuhan ringan yang dibawa serabut A masuk ke lamina I dan II kornu dorsalis akan
diterjemahkan dengan nyeri (Meliala, 2004).

Referensi :
1. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
2. Pasero, C., 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing;
5(4):3-8.
3. Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-
Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451.
15

Tipe Nyeri Neuropatik - Nyeri Spontan

Tipe Nyeri Neuropatik - Nyeri Spontan. Nyeri spontan dapat bersifat kontinyu
maupun paroksismal, dengan karakter yang bermacam-macam. Nyeri kontinu dapat
menghentak, seperti kesetrum, seperti terbakar (burning) dan sebagainya. Nyeri
paroksismal karakternya mungkin sama seperti tersebut di atas, namun
perlangsungannya hanya beberapa detik. Mekanisme yang mendasari nyeri spontan
terutama adalah munculnya aktivitas ektopik di serabut saraf C. Nyeri seperti terbakar
atau disestesia dan parestesia disebabkan aktivitas ektopik di serabut A. Penurunan
inhibisi di kornu dorsalis disebabkan penurunan reseptor dan terjadi apoptosis,
khususnya neuron-neuron inhibisi. Penurunan inhibisi sama artinya dengan eksitasi
dan dapat menimbulkan nyeri spontan (Woolf, 1997; Dickenson, 1999).

Penderita nyeri neuropatik sering mengeluhkan nyeri spontan yang memberat bila
penderita dalam keadaan stres fisik maupun emosional. Hal ini disebabkan pada lesi
serabut saraf aferen sering terbentuk -adrenoceptor di bagian proksimal dari lesi.
Reseptor ini peka terhadap katekolamin yang dilepaskan terminal simpatis pasca
ganglion. Di samping munculnya -adrenoceptor diketahui pula bahwa serabut saraf
simpatis pasca ganglion menambah cabang-cabangnya (sprouting) di sekeliling
neuron ganglion spinalis, yang juga dapat mengaktivasi ganglion dan timbul rasa
nyeri.

Skema Mekanisme Nyeri Neuropatik


Keterangan Gambar Skema Mekanisme Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik terjadi dari cedera atau disfungsi saraf seperti berikut ini.

A. Setelah kerusakan saraf, transkripsi dan produksi saluran Natrium pada lokasi
kerusakan meningkat, disertai dengan penurunan jumlah saluran kalium. Perubahan
ekspresi saluran ion ini menyebabkan hipereksitabilitas dan terbentuknya aktivitas
ektopik, yang diperkirakan berperan pada timbulnya nyeri spontan dan paroksismal.

B. Pada badan sel neuron aferen primer di ganglion radiks dorsalis, terjadi sprouting
neuron simpatis dan diperkirakan berperan pada nyeri yang diperankan oleh system
simpatis (sympathetically maintained pain)

C. Kerusakan saraf perifer menyebabkan perubahan besar pada transkripsi gen dan
aktivasi berbagai kinase dan protein termasuk meningkatnya aktivitas reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA). Kerusakan saraf juga menimbulkan hipertrofi dan
16

aktivasi sel glia, termasuk mikroglia di substansia grisea medula spinalis. Mikroglia
mengekspresikan reseptor purinergik P2X4 yang diaktivasi oleh ATP. Aktivasi ini
akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin pronosiseptif seperti interleukin-1 (IL-
1), tumor necrosis factor alpha (TNF) dan neurotropin, termasuk brain derived
neurotrophic factor (BDNF) yang selanjutnya menyebabkan eksaserbasi transmisi
nosiseptif dan berperan pada sensitisasi dan mempertahankan nyeri neuropatik.

Catatan: A = neuron A beta, A = neuron A delta, C = nosiseptor C, 5HT = serotonin,


KCC2 = transporter klorida, NA = noradrenalin, Nav = saluran Natrium, NO = oksida
nitrit, Kv = saluran kalium, PGs = prostaglandin, P2X4 = reseptor purinergik.

Referensi :
1. Dickenson, A.H, 1999. Balances Between Excitatory and Inhibitory Events in the
Spinal Cord and Chronic Pain. In: Kumuzawa, T., Kruger, Mizumura, K., (eds)
Progress in Brain Research Vol 113, Elsevier Amsterdam
2. Gilron, I., Watson, P.N., Cahill, C.M., Moulin, D.E. 2006. Neuropathic Pain: A
Practical Guide to Clinician. CMAJ; 3:265-275.
3. Woolf, C.J., 1997. Molecular Signals Responsible for the Reorganization of the
Synaptic Circuity of the Dorsal Horn After Peripheral Nerve Injury: The Mechanisms
of Tactile Allodynia. In: Borsook, D., (ed) Molecular Neurobiology of Pain, Progress
in Pain Research and Management. Vol.9. IASP Press, Seattle.
17

Tipe Nyeri Neuropatik Adanya Stimulus

Tipe Nyeri Neuropatik Adanya Stimulus - Nyeri karena adanya stimulus


(stimulus-evoked pain). Jenis nyeri ini dibagi atas 2 tipe, yaitu hiperalgesia (primer
dan sekunder), dan alodinia. Hiperalgesia adalah respon yang berlebihan terhadap
stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri. Alodinia adalah nyeri yang
disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (Meliala,
2004).

Hiperalgesia dapat terjadi karena mekanisme perifer maupun sentral. Mekanisme


perifer serabut saraf aferen memacu terjadinya remodelling dan hipereksitabilitas
membran. Di bagian proksimal lesi, dalam waktu beberapa jam atau hari akan tumbuh
tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas tersebut sebagian akan mencapai organ
target sebagian lagi tidak, dan membentuk neuroma.

Di tunas-tunas baru, neuroma, serabut saraf dari lesi ke badan sel, badan sel di
ganglion radiks dorsalis berakumulasi saluran ion natrium dan saluran-saluran ion
lainnya. Akumulasi saluran ion tersebut menyebabkan munculnya ectopic pacemaker
(Meliala, 2004). Di samping saluran-saluran ion, juga muncul molekul-molekul
transduser dan reseptor baru (modifikasi) yang secara keseluruhan dapat
menyebabkan terjadinya aktifitas ektopik (AE), abnormal mechanosensitivity,
thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor dan Seltzer, 1999).

Referensi :
1. Devor, M., & Seltzer, Z. (1999). Pathophysiology of damaged nerves in relation to
chronic pain. In P. Wall & . Melzack (Eds.), Textbook of pain (4th ed., pp. 129164).
Edinburgh: Churchill Livingstone.
2. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
18

Prinsip Terapi Nyeri Neuropatik

Prinsip terapi nyeri neuropatik - Nyeri neuropatik merupakan akibat dari fungsi
abnormal sistem saraf. Abnormalitas fungsi sistem saraf perifer, sentral, maupun
simpatis dapat menyebabkan munculnya nyeri neuropatik. Kasus nyeri neuropatik
(tanpa memandang kausa) menunjukkan mekanisme. Patofisiologi dan gambaran
klinis yang hampir serupa. Nyeri neuropatik merupakan sindroma nyeri kronik yang
sangat mempengaruhi segala aspek dari kehidupan pasien. Pada kondisi nyeri
neuropatik, etiologi biasanya sudah berlalu, tetapi nyeri tetap mengganggu.
Berdasarkan 2 fakta tersebut di atas, maka pengobatan terhadap fenomenologi dan
mekanisme lebih penting daripada pengobatan etiologi (Meliala, 2004).

Prinsip terbaik untuk terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme dapat dilihat
pada gambar di bawah.

Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme


(Beydoun, 2002; Meliala, 2004)

Dworkin et al, 2007 merekomendasikan langkah-langkah terapi farmakologis nyeri


neuropatik seperti pada tabel berikut.

Langkah-langkah Terapi Farmakologis pada Nyeri Neuropatik

Pilihan terapi lini pertama dan lini kedua (Agonis Opioid)


19

Tahap I
Nilai nyeri & tegakkan diagnosis.
Tetapkan & obati penyebab
Identifikasi kemungkinan eksaserbasi komorbid akibat pemberian terapi
Jelaskan diagnosa, rencana terapi & ekspektasi yang realistis.

Tahap II
Mulai terapi kausatif (jika memungkinkan)
Mulai terapi simtomatik, dengan 1 atau lebih terapi berikut:

TCA sekunder (nortriptilin, desipramin) atau SSNRI (duloksetin)


/selektif serotonin norandrenaline reuptake inhibitor
Ca++ channel 2 ligand (Gabapentin, Pregabalin)
lidokain topikal, dengan/tanpa terapi lini pertama lainnya untuk nyeri
neuropatik perifer lokal
opioid atau tramadol, dengan/tanpa terapi lini pertama lain pada nyeri
neuropatik akut, kanker, eksaserbasi episodik nyeri berat

Evaluasi kemungkinan terapi non-farmakologis

Tahap III
Nilai kembali nyeri dan kualitas hidup terkait nyeri secara frekuen
Jika perbaikan nyeri terjadi substansial (rerata penurunan nyeri 3/10) dan
efek samping dapat ditolerir, teruskan terapi
Perbaikan nyeri parsial (rerata perbaikan nyeri 4/10) setelah pemberian satu
jenis obat adekuat, tambahkan salah satu dari obat lini pertama (lihat tabel)
Jika tidak ada respon terapi setelah pemberian dosis adekuat, ganti dengan
obat lini pertama alternatif

Tahap IV
Bila terapi lini pertama gagal, meski dengan kombinasi atau penambahan
dengan obat alternatif, rujuk ke spesialis

Referensi :
1. Beydoun, A., Kutluay, E. 2002. Oxcarbazepin, Expert Opinion in
Pharmacotherapy, 3(1):59-71
2. Dworkin, RHH., OConnor, BB., Backonja, M., Farrar, JTT., Finnerup, NBB.,
Jensen, TSS., Kalso, EAA., Loeser, JDD., Miaskowski, C., Nurmikko, TJJ., Portenov,
RKK., Rice, ASCS., Stacey, BRR., Trede, RDD., Turk, DCC., Wallace, MSS., 2007.
Pharmacologic management of neuropathic pain: Evidence-based recommendations.,
PAIN; 132(3):237-51.
3. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.

NYERI NEUROPATIK
I. PENDAHULUAN
20

Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The Study


of Pain (IASP) adalah nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau
disfungsi dari sistem saraf dan dapat disebabkan oleh kompresi atau infiltrasi dari
nervus oleh suatu tumor, tergantung di mana lesi atau disfungsi terjadi.
Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan
asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni nyeri neuropatik
akut dan kronik. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran paliatif yang
menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik, dan tak ada
satupun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya nyeri. Dalam
membuat suatu diagnosa adanya nyeri neuropatik diperlukan anamnesis yang tepat
tentang apa yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya maupun derajat dari nyeri
tersebut. 1, 2

II. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian besar
karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik mungkin
menyerang 3% dari populasi umum. Dari 6000 sampel keluarga yang tinggal di tiga
kota di Inggris, didapatkan prevalensi nyeri kronis adalah 48% dan prevalensi nyeri
neuropatik adalah 8%. Responden dengan nyeri neuropatik kronis lebih banyak
perempuan, dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak memiliki kualifikasi
pendidikan, dan merupakan perokok. 3, 4

III. ETIOLOGI
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral)
atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer
di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan
eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat disebabkan oleh
kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel
neuron. 5, 6
Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat
bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di jaringan
lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan nyeri sentral
nosiseptif melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri thalamus adalah salah satu nyeri
21

neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada pasien post-
strok, multiple sklerosis, spinal cord injury, dan penyakit Parkinson. 5, 6, 7
Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan yang
berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf
perifer yang terkena tetapi juga lepasnya muatan spontan sel-sel ganglion akar dorsal
saraf yang rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin dijumpai adalah neuralgia
pascaherpes, neuropati diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgi, phantom-limb pain,
kompresi akibat tumor, dan post operasi. 5, 7
Penyebab Tersering Nyeri Neuropatik
Nyeri Neuropatik Sentral Nyeri Neuropatik Perifer
Mielopati kompresif dengan stenosis Poliradikuloneuropati demielinasi
spinalis inflamasi akut dan kronik
Mielopati HIV Polineuropati alkoholik
Multiple sclerosis Polineuropati oleh karena kemoterapi
Penyakit Parkinson Sindrom nyeri regional kompleks
Mielopati post iskemik (complex regional pain syndrome)
Mielopati post radiasi Neuropati jebakan (misalnya, carpal
Nyeri post stroke tunnel syndrome)
Nyeri post trauma korda spinalis Neuropati sensoris oleh karena HIV
Siringomielia Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri
post mastektomi atau nyeri post
thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
Neuropati oleh karena defisiensi
nutrisional
Neuropati diabetik
Phantom limb pain
Neuralgia post herpetic
Pleksopati post radiasi
Radikulopati (servikal, thorakal, atau
lumbosakral)
Neuropatik oleh karena paparan toksik
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
22

Neuralgia post trauma

(Tabel 1: Dikutip dari kepustakaan 8)

Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang


paling sering adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV, juga
dapat menyebabkan low back pain, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropatik
adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada
pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan
sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi. 8

IV. PATOMEKANISME
Impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor (reseptor nyeri) disalurkan melalui
salah satu dari dua jenis serat aferen. Sinyal-sinyal yang berasal dari nosiseptor
mekanis dan termal disalurkan melalui serat A-delta yang berukuran besar dan
bermielin dengan kecepatan sampai 30 meter/detik (jalur nyeri cepat). Impuls dari
nosiseptor polimodal (kimia) diangkut oleh serat C yang kecil dan tidak bermielin
dengan kecepatan yang jauh lebih lambat sekitar 12 meter/detik (jalur nyeri lambat).
Secara teori, nyeri neuropati terutama (jika tidak disertai penyakit lain) disebabkan
oleh gangguan fungsi dari akson yang tidak bermielin (serat C) dan akson yang
bermielin tipis (serat A-delta). 9, 10
Ketika terdapat kerusakan pada jalur saraf yang mengirimkan informasi nyeri,
sensasi nyeri yang dirasakan akan berkurang. Hal ini menunjukkan terjadi
peningkatan dari ambang batas nyeri dan penurunan intensitas rasa pada stimulus
noksius (stimulus yang merusak jaringan). Akan tetapi, pada beberapa kasus
kerusakan jalur sensori, terjadi hal yang berbeda. Pada pasien nyeri neuropati, akibat
kerusakan sensibilitas pada stimulus noksius, juga terdapat spontaneous pain (nyeri
spontan). Nyeri yang mungkin dirasakan oleh pasien, timbul pada area yang anastesi.
Nyeri ini sering kali dirasakan berat dan sulit untuk diobati.11
Penjelasan yang sederhana untuk nyeri pada cedera saraf yaitu : cedera
menyebabkan deafferentation (penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi
nyeri di saraf spinalis dan penghalangan ini menyebabkan peningkatan aktifitas saraf
tersebut. Meskipun berlawanan, konsep ini bukan tanpa dasar ilmiah. Faktanya,
aktifitas yang berlebihan dari SSP dari penghilangan saraf telah diuji cobakan. Hal ini
dengan sangat jelas terlihat pada pasien dengan cedera pleksus brachialis. Nyeri berat
23

yang menetap sering ditemukan, terutama pada robekan total pleksus brakhialis
(brachial plexus avulsion).11

Gambar 1
Cedera menyebabkan deafferentation (penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi nyeri di saraf
spinalis (Dikutip dari Kepustakaan 11)

Nyeri yang dirasakan pada robekan pleksus brakhialis sering digambarkan


seperti terbakar, dan disertai sensasi tertusuk peniti dan jarum atau sengatan
listrik. Beberapa sensasi abnormal, disebut paresthesiae atau jika rasa sangat tidak
enak, dysesthesiae biasanya dengan cedera jalur sensori terdapat pada salah satu dari
sistem saraf tepi atau SSP. 11
Pada binatang percobaan, kornu posterior yang merupakan tempat penjalaran
nyeri pada segmen yang telah hilang (deafferentation) menjadi hiperaktif. Bukti yang
sesuai dengan konsep bahwa aktifitas yang berlebih kornu posterior berperan di
penjalaran nyeri akibat deafferentation dihasilkan dari prosedur bedah untuk
meringankan nyeri akibat robekan pleksus brakhialis. Nashold dan Osthdahl
melaporkan bahwa apabila aktifitas yang spontan dari kornu posterior yang
menyebabkan nyeri pada robekan pleksus brakhialis, maka pengangkatan dari saraf
24

ini seharusnya menghilangkan rasa nyeri tersebut. Operasi ini dikembangkan dan
diberi nama dorsal root entry zone (DREZ) dan dilaporkan bahwa operasi ini efektif.11
Untuk nyeri spontan, pasien dengn cedera saraf melaporkan variasi gangguan
sensori lain, yaitu terdapat hyperalgesia (respon yang berlebih pada stimulus noksius)
dan allodynia (rasa nyeri yang dihasilkan oleh stimulus yang non-noksius). Ketika
intensitas yang sama pada stimulus noksius dan berulang kali pada area kulit yang
dipersarafi oleh saraf yang rusak, intensitas dari nyeri meningkat dengan stimulus
yang beruturut-turut (summation) dan nyeri akan menetap setelah stimulus dihentikan
(after-reaction). Summation dan after-reaction didapatkan pada beberapa cedera yang
luas di kulit dengan persarafan normal, tetapi berlebihan pada pasien dengan nyeri
akibat cedera saraf. 11
Serat aferen bermielin yang primer, termasuk nosiseptor A-delta dan A-alfa
mekanoreseptor, menghambat penjalaran nyeri saraf kornu posterior spinalis yang
diaktivasi oleh nosiseptor yang tidak bermielin. Jadi ketika serat bermielin mengalami
kerusakan, aktivitas di serat tidak bermielin menghasilkan pelepasan yang lebih besar
pada sel kornu posterior. Agaknya, peningkatan pelepasan pada sel kornu posterior
akan dirasakan sebagai nyeri hebat.11

Gambar 2
Penjalaran nyeri pada sel T (Dikutip dari kepustakaan 11)

Berdasarkan teori ini, interaksi antara masukan serat bermielin dan tidak
bermielin ke korda spinalis terjadi pada dua tempat : penghambatan interneuron di
substansia gelatinosa (lamina II) dan penjalaran nyeri saraf kornu posterior. Kedua
serat aferen primer bermielin dan tidak bermielin dimaksudkan memberikan aksi
rangsangan pada penjalaran nyeri (sel T). Sel substansia gelatinosa dimaksudkan
25

untuk menghambat penjalaran dari kedua kelas aferen primer, jadi presinaps
menghambat semua masukan ke sel penjalaran nyeri. Aferen yang bermielin
memberikan rangsangan ke saraf inhibisi substansia gelatinosa, dengan cara demikian,
menurunkan masukan ke sel T dan sebagai akibatnya menghambat rasa nyeri. Hal ini
didukung oleh pengamatan klinik yang menyatakan beberapa stimulasi pada serat
myelin yang berdiameter besar dapat menghasilkan analgesik. Secara berbeda,
aktifitas pada nosiseptor yang tidak bermielin menghambat inhibisi dari sel substansia
gelatinosa, menyebabkan peninggian penjalaran dari aferen primer ke sel T dan
akibatnya meningkatkan intensitas rasa nyeri. Dengan begitu, aferen yang tidak
bermielin memiliki dua efek rangsangan yaitu penjalaran nyeri pada kornu posterior
(rangsangan secara langsung) dan hambatan pada inhibitory sel substansia gelatinosa
(rangsangan secara tidak langsung).11
Penelitian pada percobaan cedera saraf perifer telah mengindikasikan
bagaimana kerusakan aferen primer yang tidak bermielin dapat menyebabkan rasa
nyeri. Ketika akson saraf perifer mengalami kerusakan maka akson yang rusak ini
akan menumbuhkan tunas-tunas baru (serat) yang tumbuh di sekitar struktur saraf tepi
yang tadinya dipersarafi. Apabila tempat masuk saraf pada jaringan yang
menyambung tadi masih intak atau dekat pada bagian saraf distal, akson akan masuk
dan melanjutkan pertumbuhan tunasnya ke jaringan tersebut. Jika tempat masuk
tersebut rusak, maka pertumbuhan tunas akson akhirnya tidak terkendali dan seperti
bola kusut yang disebut neuroma. Secara histologi tampak tunas dari akson yang
memasuki neuroma yang berbeda dengan akson yang normal pada saraf perifer.
Kebanyakan memiliki diameter sangat kecil (<0,5 mikrometer) dan berasal dari akson
yang tidak bermielin, sekitar 80 persen dari akson aferen primer yang tidak bermielin
dan sisanya adalah eferen postganglion simpatis.11
26

Gambar 3

A. Pembentukan neuroma. C. Impuls ektopik dihasilkan dari bagian akson yang tidak bermielin
(Dikutip dari kepustakaan 11)

Sifat fisiologi dari regenerasi aferen primer ini juga berbeda dari aferen yang
normal di beberapa segi. Pertama, area dari pertumbuhan tunas menjadi lebih sensitif
terhadap stimulasi mekanik langsung. Ini mungkin juga dirasakan sebagai shooting
pain yang biasanya timbul akibat pergerakan yang menekan saraf. Kedua, yaitu
spontaneous activity (aktifitas yang spontan). Pelepasan yang spontan dan
peningkatan sensitifitas terhadap mekanik.
Kerusakan aferen didapatkan paling sedikit pada dua tempat yang berbeda:
regenerasi tunas yang dekat dengan lokasi cedera, dan dekat dengan cell body pada
dorsal root ganglion (DRG). Sensitifitas mekanik pada bagian yang dekat dengan
DRG mungkin memperbesar penjalaran nyeri yang dihasilkan pada dermatom ketika
bagian saraf (nerve roots) tertekan oleh penonjolan diskus intervertebralis (nyeri
radikuler pada sciatica).11
Pada tempat pertumbuhan tunas dan daerah DRG, impuls ektopik dapat juga
dihasilkan dari bagian yang rusak (tidak bermielin) pada akson bermielin. Jika akson
yang tidak bermielin adalah nosiseptor, maka rangsangan hebat mungkin
menghasilkan nyeri tusukan yang pendek. Seperti mekanisme yang temukan pada
syndrome of tic douloureux. Yang memeliki karateristik nyeri pendek hebat yang
berulang-ulang. Pasien dengan multiple sclerosis, penyakit ini terdapat akson rusak
yang tidak bermielin sampai SSP.11

V. DIAGNOSIS
27

a. Kriteria diagnostik
Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat.
Diagnosis dari nyeri neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang
tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat diagnostik seperti DN4 atau LANSS
scoring mungkin berguna, karakteristik dari nyeri neuropatik dapat dimasukkan dalam
beberapa kriteria yakni:
1. Spontan (stimulus yang tidak berrgantung faktor dari luar)
a. Sensasi terbakar
b. Intermiten
c. Nyeri seperti disengat listrik
d. Hipostesia atau anastesia (Kurang atau tidak dapat merasakan terhadap rangsang
normal
e. Disestesia (Abnormal dan sensasi tidak menyenangkan)
f. Parastesia (Abnormal dan bukan sensasi yang tidak menyenangkan)
2. Nyeri yang dipicu oleh rangsang dari luar
a. Hiperalgesia (Respon yang meningkat untuk rangsang nyeri yang normal)
b. Allodinia (Nyeri terhadap rangsang yang pada orang normal tidak menimbulkan
nyeri)
c. Dinamis yang dipicu oleh sentuhan
d. Statis yang dipicu oleh tekanan
e. Allodinia dingin (nyeri yang dipicu oleh rangsang yang dingin)12,13
Neuropati, hal yang mendasar pada nyeri neuropatik perifer, dapat bersifat
fokal, multifokal atau distribusi yang difuse, yang bersifat fokal dapat berasal dari
saraf, akar saraf atau kadang-kadang dari plexus. Adakalanya, nyeri neuropatik sentral
(medula spinalis maupun otak) juga dapat menyebabkan nyeri yang bersifat fokal. Di
negara berkembang, kebanyakan kasus yang dijumpai adalah demyelisasi. Neuralgia
atau yang berasal dari radiks saraf cenderung untuk mengikuti distribusi dari
dermatom dan memiliki ciri tertentu dari distribusinya, distribusi nyeri bagaimanapun
juga, tidak selalu merupakan indikator dalam menunjukkan asal dari nyeri tersebut.
Distribusi dari parestesia dapat menjadi indikator yang efektif dalam menunjukkan
asal dari suatu lesi nyeri neuropatik13

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) diklasifikasikan sebagai akut atau
kronik, DPN akut merupakan kondisi yang jarang dan dapat mempengaruhi tungkai
bagian bawah dan penyakit ini menyusahkan dan adakalanya menyebabkan
ketidakmampuan pada penderita. Kondisi akut ini terjadi oleh karena kontrol glukosa
28

darah yang kurang baik atau perbaikan kontrol yang cepat. DPN kronik didefinisikan
sebagai gejala yang telah tejadi minimal 6 bulan.8
DPN telah digunakan untuk menggambarkan besarnya penyebaran dan
sindrom neuropatik fokal yang menyebabkan kerusakan dari serat saraf autonom dan
somatik perifer. Sindrom ini temasuk bagian distal, polineuropatik sensorimotorik
yang simetris, neuropatik autonom, neuropatik motorik tungkai bagian proksimal
yang simetris (amyotrophy), neuropatik kranial, radikulopatik, neuropatik entrapment,
dan neuropatik motorik tungkai yang asimetris. Gejala pada pasien dengan
polineuropatik sensorimotorik simetris mungkin digambarkan sebagai salah satu yang
negatif ( kehilangan rasa) atau positif (rasa nyeri terbakar atau kelemahan otot).
Kehilangan serat kecil yang tak bermielin pada pasien ini mungkin mempengaruhi
untuk terjadinya cedera atau ulkus pada kaki. Pasien dengan DPN mungkin juga
mengalami carpal tunnel syndrome atau meralgia paresthetica dan atau rasa nyeri
yang tersebar pada saraf lateral femoral cutaneus. Gejala dari DPN mungkin akan
memburuk pada malam hari, dan akan menggangu tidur pasien yang menyebabkan
rasa lelah, mudah marah, dan disfungsi otot wajah.8
Diagnosis klinik pada DPN, terutama sekali pada pasien dengan
polineuropatik sensorimotorik mungkin akan sulit, karena gejala yang ada sangat
bervariasi, mulai dari nyeri yang tidak ada dengan penyakit yang mungkin
digambarkan hanya oleh ulkus kaki yang tidak berasa sampai nyeri yang sangat berat.
Tanda dan gejala sensori dari DPN sering kali muncul daripada gejala motorik. Akan
tetapi belakangan terakhir mungkin terdapat penurunan refleks pergelangan kaki
(Achilles) dan atau sedikit kelemahan otot bagian distal.8
2. Post Herpetic Neuralgia merupakan nyeri yang menetap untuk jangka
waktu yang lama setelah muncul ruam pada penyakit herpes zoster. Meskipun definisi
yang ada bervariasi, American Academy of Neurology memberikan definisi PHN
adalah rasa nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan ruam pada
penyakit herpes zoster. Etiologi dari PHN belum diketahui secara pasti, akan tetapi,
pada pasien dengan PHN telah mengalami kerusakan dari saraf sensori, dorsal root
ganglia (DRG), dan kornu posterior spinalis. Diperkirakan telah terjadi penyebaran
partikel-partikel dari virus di tempat-tempat ini setelah tereaktivasi dan ini disertai
oleh inflamasi, repon imun, perdarahan, dan kerusakan pada saraf sensori perifer dan
prosesnya. Diketahui juga bahwa infeksi VZV ini dapat menyerang korda spinalis dan
SSP disertai pembuluh darah menyebabkan gejala neurologik yang meluas.8
29

Gejala akut herpes zoster secara khas timbul dengan gejala prodromal selama
3-4 hari dan mungkin terdapat hyperesthesia, paresthesias, dan atau burning
dysesthesias dan gatal sepanjang dermatom yang terinfeksi. Rasa nyeri merupakan
alasan tersering yang dirasakan pasien hingga mencari pengobatan. Rasa nyeri ini
seringkali digambarkan seperti rasa terbakar atau rasa tersengat dan umumnya berat.
Dermatom yang seringkali terkena adalah bagian toraks, tetapi dapat juga terjadi pada
dermatom lain. Nervus trigeminus bagian ophtalmicus adalah saraf kranialis yang
sering terkena pada pasien infeksi ini. Pada kebanyakan pasien, gejala akut ini akan
membaik sendiri setelah ruam yang timbul mengalami penyembuhan. Tetapi sebagian
kecil pasien (terutama pada usia lanjut), berkembang menjadi gejala-gejala PHN. 8
Pasien dengan PHN mungkin datang dengan gejala yang mirip nyeri
neuropatik. Gejala ini dirasakan sebagai nyeri yang terus menerus yang muncul
dengan adanya stimulus dari luar, dimana pasien mungkin merasakannya sering kali
pada malam hari atau ketika perhatian pasien tidak terfokus pada suatu aktivitas.
Pasien dengan PHN juga merasakan nyeri pada sentuhan yang ringan, walaupun
hanya dengan pakaian (allodynia). Beberapa pasien dengan PHN mungkin juga
mengeluhkan nyeri lancinating (nyeri hebat karena sentakan yang cepat). Gejala
motorik dan autonom jarang ditemukan PHN, tetapi ada kalanya pada pasien dapat
muncul nyeri tulang atau nyeri pleura atau neurogenic bladder or rectum setelah
infeksi herpes zoster. 8

IX. SIMPULAN
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer
atau disfungsi dari sistem saraf. Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi
dua yaitu berdasarkan asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya,
yakni nyeri neuropatik akut dan kronik.
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral)
atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer
di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan
eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat disebabkan oleh
kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel
neuron. Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang
paling sering adalah HIV. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor
pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi.
30

Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat.


Diagnosis dari nyeri neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang
tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat diagnostik seperti DN4 atau LANSS
scoring mungkin berguna. Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam
mengobati neuropatik pain, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas (AEDs),
opioid dan antidepresant trisiklik. Pregabalin juga dianjurkan pada nyeri neuropati
sentral.

NYERI NOSISEPTIF
PENDAHULUAN
31

Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang paling
pertama muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara pengalaman
sensorik lain yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri dapat
diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak mengenakkan yang
berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya berupa potensi kerusakan
jaringan. (1)

Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh seorang
penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya,
mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan.
Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang dapat menyebabkan
stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri. (2)

Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu

a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya
stimulus mekanis terhadap nosiseptor

b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada
system saraf.

c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan

d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari (3)

Walaupun perbedaan antara nyeri secara umum dan nosisepsi telah diketahui
orang yang mendalami ilmu nyeri, penulis penelitian terkadang masih menganggap
nyeri sebagai sinonim dari nosisepsi. Nosisepsi mengandung pengertian deteksi dari
kerusakan jaringan oleh aktivasi nosiseptor dan transmisi sinyalnya ke dalam sistem
saraf, sedangkan nyeri secara umum merupakan suatu fenomena yang kompleks
berupa pengalaman tidak nyaman yang berhubungan dengan trauma jaringan.
Nosisepsi terjadi tanpa disadari begitu terpapar oleh stimulus sedangkan timbulnya
nyeri tidak pernah lepas dari kesadaran yang mempunyai manifestasi sensorik,
emosional, dan kognitif. (3)
32

Dalam refarat ini akan lebih dijelaskan tentang mekanisme dari nyeri
nosiseptif dan bagaimana memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk meringankan
atau menghilangkannya

DEFINISI
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada
nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit
untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi,
untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri
visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang
menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan
tersebut terjadi pada kulit. Input noksius ditransmisikan ke korda spinalis dari
berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura, dan viscera. (3,4,5,6)

KOMPONEN NYERI NOSISEPTIF

Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis


dari nyeri nosiseptif, meskipun tidak ada satu teori yang
menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut
ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami
fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu :

Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi


impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.

Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem


saraf sensorik

Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input


nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis

Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang


kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif. (7)

TRANSDUKSI

Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi,


konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH
rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas
diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein
33

transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini


dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran yang
menembus membran, membuat depolarisasi membran dan
mengaktifkan terminal perifer.

Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi


prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses
ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2. (7)

Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa


serabut A- dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus
noksius. (3)

Serabut A- merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3


mm dan diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi
impuls pada serabut A- adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut
sensorik lainnya, serabut A- merupakan perpanjangan dari
pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada akar
ganglion dorsal. (4)

Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan


tebal 1 mm dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat
tipis dan karena tidak memiliki mielin yang mempercepat transmisi
saraf, kecepatan konduksi rendah, dan suatu rangsang berespon
dengan kecepatan 1m/s. (4)

Serabut A- dan serabut C tidak hanya berbeda dalam


struktur dan kecepatan transmisinya namun mereka juga
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi suatu
stimulus. Serabut A- mentransimsisikan nyeri tajam dan tusukan.
dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran,
suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini,
kedua tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam
menghantarkan stimulus yang terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini
biasanya disebut dengan jalur nyeri. (8, 9)

Selain dari peran serabut A- dan serabut C, disebutkan juga


terdapat peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi
yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, biasanya
substansi ini ditemukan pada nosiseptor yaitu akhir saraf dalam
kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam
saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter
mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara 2
serabut saraf dan neuromodulator berfungsi memodifikasi aktivitas
saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentransfer
secara langsung sinyal saraf melalui synaps (4)

TRANSMISI
34

Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke


neuron di kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan
meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan
asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia
P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaptic.
Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input
mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda
lokasi.

Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif


dapat mencapai susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus
neospinothalamic untuk nyeri cepat spontan dan traktus
paleospinothalamic untuk nyeri lambat. (9)

Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi


melalui serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di
medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada
neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson
dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui
commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral
yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks
ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada
korteks somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam
waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores.
(9)

Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh


serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal
dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh serabut
saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis,
bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur
cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior
dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian
berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti
di thalamus dan yang lainnya pada medulla, pons, dan substantia
grisea sentralis dari tectum mesencephalon. (9)

Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari


kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat
memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal
memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic,
spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. (9)

Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik


dan viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada
batang otak. Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai
proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus
diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian
spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial
35

dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang


memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus
spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.
(3)

MODULASI

Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari
transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk
koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi
retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis

Analgesik endogen meliputi :

- Opiat endogen

- Serotonergik

- Noradrenergik (Norepinephric)

Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu
posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior
diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam
menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi,
pendidikan, status emosional & kultur seseorang. Secara skematik proses modulasi
dapat dilihat pada skema dibawah ini
36

PERSEPSI

Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri,


pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka
akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan
individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu
dapat bereaksi. (8)

Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan


sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri
memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian
dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa
mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi
terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga
suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi. (7, 9)
37

Gambar 1. Skema proses terjadinya nyeri nosiseptif

Anda mungkin juga menyukai