Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian

global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan,

insidens dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun,

namun menurut World Health Organization (WHO) tuberkulosis

diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan

1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China

merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak

yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% dari seluruh penderita di

dunia (Kemenkes, 2015).

Kejadian TB di masyarakat dapat diketahui dengan baik

dengan melakukan studi epidemiologi terutama epidemiologi

deskriptif. Studi ini merupakan langkah awal untuk mengetahui

adanya besar masalah kesehatan di suatu wilayah. Walaupun

suatu deskripsi epidemiologi itu sederhana tidaklah berarti tidak

memberikan arti yang penting. Deskripsi yang tepat tidak hanya

berguna untuk menggambarkan besarnya masalah tetapi juga

memberikan gambaran tentang aspek-aspek tambahan

pengetahuan yang berkaitan dengan deskripsi itu (Nida, 2014).

1
Keterangan kapan dan dimana pada epidemiologi

deskriptif semakin tergambarkan dengan menggunakan analisis

spasial. Analisis spasial adalah satu bidang utama di mana

Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penelitian kesehatan

digabungkan melalui studi epidemiologi lingkungan. Sistem

informasi geografis merupakan seperangkat tatanan dan

prosedur yang meliputi perangkat lunak, perangkat keras untuk

mengolah data/informasi dalam konteks spasial (keruangan)

untuk mendukung pengambilan keputusan. Model aplikasi

berbasis web tidak lagi menjadi aplikasi stand-alone yang

terisolir dan merepotkan untuk diupdate. (Supriyanto dan Estri,

2009)

Analisis spasial merupakan suatu analisis dan uraian

tentang data penyakit secara geografis berkenaan dengan

kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial,

ekonomi, kasus kejadian penyakit dan hubungan antar variabel

tersebut dimana masing-masing variabel dapat menjadi faktor

risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru. Berbagai faktor

risiko dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko

yaitu faktor kependudukkan dan faktor lingkungan. Faktor

kependudukan meliputi ; jenis kelamin, umur, status gizi, status

2
imunisasi, kondisi sosial ekonomi, adapun faktor risiko

lingkungan meliputi ; kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi,

pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian. Untuk

mendeteksi lingkungan yang rentan penyakit dapat dilakukan

dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote

sensing) dan Geographic Information System (GIS) yang

merupakan suatu sistem yang mampu mengolah, memperbaiki,

memperbaharui, dan menganalisis data, khususnya data spasial

secara cepat. Dengan GIS data yang dihasilkan dapat diolah,

disimpan dan ditampilkan dengan cepat sesuai dengan yang

diharapkan. (Arpan, 2013).

Berdasarkan data WHO tahun 2015, angka prevalensi TB

di dunia pada tahun 2014 menjadi sebesar 647/ 100.000

penduduk meningkat dari 272/100.000 penduduk pada tahun

sebelumnya, angka insidensi tahun 2014 sebesar 399/100.000

penduduk dari sebelumnya sebesar 183/100.000 penduduk

pada tahun 2013, demikian juga dengan angka mortalitas pada

tahun 2014 sebesar 41/100.000 penduduk, dari 25/100.000

penduduk pada tahun 2013 (Kemenkes, 2015).

Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua

3
kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 yang

sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan

terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu

Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di

tiga provinsi tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus

baru di Indonesia. (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan tahun

2014 di Sulawesi Tengah tercatat kurang lebih 3.361 orang atau

0,1 % dari total penduduk mengidap TB dan di Kota Palu pada

tahun 2015 jumlah kasus baru penderita TB berjumlah 1212

kasus dengan rincian, Puskesmas Taweli 54 kasus, Puskesmas

Pantoloan 60 kasus, Puskesmas Mamboro 56 kasus, Puskesmas

Talise 91 kasus, Puskesmas Kawatuna 38 kasus, Puskesmas Bulili

37 kasus, Puskesmas Mabelopura 177 kasus, Puskesmas Birobuli

118 kasus, Puskesmas Sangurara 42 kasus, Puskesmas Tipo 18

kasus, Puskesmas Singgani 152 kasus dan Puskesmas Kamonji

merupakan puskesmas dengan jumlah kasus baru TB terbesar

yaitu sebesar 369 kasus. (Otwan, 2016)

Puskesmas Kamonji terletak pada belahan Barat kota Palu dan

memiliki luas wilayah kerja sebesar 20 km 2 yang secara administrasi

pemerintahan terbagi atas 7 kelurahan yaitu kelurahan Silae, Kabonena, Lere,

4
Baru, Ujuna, Kamonji dan Siranindi. Kepadatan hunian rumah di wilayah kerja

Puskesmas Kamaonji tahun 2014 rata-rata 6 orang per rumah dengan jumlah

keseluruhan rumah sebanyak 12.520 rumah dan jumlah penduduk sebanyak

55.624 jiwa. (Usman, 2016) dan Berdasarkan SK Walikota Palu, Kota Palu

mempunyai sebelas kawasan kumuh dua diantaranya masuk dalam wilayah kerja

puskesmas Kamnonji (Sanjaya, 2016).

Sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci

mengenai distribusi kasus TB di Kota Palu khususnya diwilayah

kerja Puskesmas Kamonji. Karena itu peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian di tentang distribusi spasial kejadian TB

paru ditinjau dari aspek lingkungan dalam rumah di wilayah

kerja puskesmas Kamonji Kota Palu.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

bagaimana distribusi spasial kejadian Tuberkulosis Paru ditinjau

dari aspek lingkungan dalam rumah di wilayah kerja Puskesmas

Kamonji Kota Palu?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui distribusi spasial kejadian Tuberkulosis

(TB) Paru di tinjau dari aspek lingkungan dalam rumah di

wilayah kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu.


D. Manfaat Penelitian

5
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi

manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.


1. Manfaat secara teoritis
a. Memberikan informasi tambahan mengenai distribusi

spasial penderita Tuberkulosis (TB) Paru ditinjau dari

aspek lingkungan dalam rumah (kepadatan penghuni dan

ventilasi)
b. Membuka peluang bagi penelitian selanjutnya untuk topik

yang sejenis, khususnya di lingkup masyarakat

Indonesia.
2. Manfaat secara praktis
a. Diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap

pemecahan masalah yang berkaitan dengan masalah

Tuberkulosis (TB) paru.


b. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi

acuan bagi penyusunan program pemecahan masalah

Tuberkulosis (TB) paru.

Anda mungkin juga menyukai