Anda di halaman 1dari 42

STRATEGI PEMBELAJARAN MENURUT IMAM AL-

GHAZALI DAN IMAM AL ZARNUJI

Dosen Pembimbing
Hj. Siti Munawati, S.Pd.i, M.Pd.i

Disusun Oleh;
Bambang Priyanto
NIM : 01401054

SEMESTER 7
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASY SYUKRIYYAH
TANGERANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pemah dapat


terlepas dari kegiatan belajar, yang mana belajar merupakan proses manusia untuk
mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan dan sikap. 1 Kegiatan belajar
terjadi baik ketika seseorang melakukan aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu
kelompok tertentu. Dipahami ataupun tidak dipahami, sesungguhnya sebagian
besar aktivitas di dalam kehidupan sehari-hari kita merupakan kegiatan belajar.
Dengan demikian dapat kita katakan, tidak ada ruang dan waktu di mana manusia
dapat melepaskan dirinya dari kegiatan belajar, dan itu berarti pula bahwa belajar
tidak dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena perubahan yang menuntut
terjadinya aktivitas belajar itu juga tidak pernah berhenti.
Menurut Hilgrad dan Bower dalam buku Teori Belajar dan Pembelajaran
berkata, bahwa belajar (to learn) memiliki arti: 1) to gain knowledge,
comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or
memory; memorize; 3) to acquire trough experience; 4) to become informed of to
find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh
pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat,
menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan. Jadi
belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang
sesuatu.
Islam sebagai agama rahmah li al-alamin sangat mewajibkan umatnya
untuk selalu belajar. Bahkan, Allah SWT mengawali menurunkan Al-Quran
sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya,
Muhammad SAW untuk membaca dan membaca (iqra ). Iqra merupakan
salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, engan

1Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta:
Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 11.

1
iqra pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki
kehidupan.2
Islam dalam hal pendidikan mempunyai tujuan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan budaya serta aplikasinya dalam realitas kehidupan yang bertujuan
menciptakan suatu sikap yang tanggung jawab untuk menghadapi berbagai
tantangan dunia nyata.3 Seperti dijelaskan dalam tujuan pendidikan Indonesia
dalam undang-undang RI no. 20 th 2003 tentang Sisdiknas bab II pasal 3,
menyebutkan; pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak seta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 4
Dalam tujuan pendidikan nasional yang perlu digarisbawahi yakni menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, maka para pendidik dalam hal ini seorang guru harus benar-
benar mengajarkan tentang etika/moral siswa dalam menuntut ilmu, dan seorang
guru haruslah mempunyai teladan tentang etika moral 5 yang baik dan tentunya
siswa bisa mencontoh moral/akhlak seorang guru yang mengajar. Dan untuk
membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia seperlunya hanya dibutuhkan ajaran-ajaran beberapa ilmu yang

2Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, hlm. 29
3Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam:Upaya Mengembalikan Esensi
Pendidikan di Era Global, (Jojakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, hlm. 66.
4Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), cet. IV. Hlm.8.
5Istilah etika dan moral; etika adalah teori atau kaidah tentang tingkah laku
manusia dipandang dari nilai baik dan buruk sejauh dapat ditentukan oleh akal
manusia. Tujuan ideal etika adalah mencari kriteria baik dan buruk secara
universal yang berlaku pada setiap ruang dan waktu. Namun upaya ini sering
mengalami kebuntuan, dimana masing-masing kelompok memiliki kriteria
yang tidak seragam. Sedangkan moral adalah tindakan manusia yang sesuai
dengan ide-ide umum dan diterimanya tindakan yang baik dan wajar. Jadi
moral merupakan tindakan yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang
umum dan diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. M. Amin
Syukur, Studi Akhlak, (Semarang: Walisongo Press, 2010), Cet. I, hlm. 4.

2
berdasarkan al-Quran dan al-Hadits serta pengajar (guru) yang lebih alim (pandai)
wara (menjaga harga diri) dan lebih tua.6
Banyak tokoh Islam yang memiliki kepedulian dan menyumbangkan
pemikirannya tentang aktifitas belajar dan pembelajaran, di antaranya adalah imam
al-Ghazali dan Imam al-Zarnuji. Kedua tokoh ini banyak mewarnai pendidikan
masyarakat Islam Indonesia, terutama pendidikan di kalangan pesantren. 7
Konsep imam al-Ghazali dan imam al-Zarnuji patut kita beri apresiasi yang
tinggi, namun dalam sisi lain seperti; dalam sisi metodologi pembelajaran tidak
menekankan konsep active learning (pembelajaran aktif). Pembelajaran aktif
adalah di mana siswa diharapkan aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran untuk
berpikir, berinteraksi, berbuat untuk mencoba, menemukan konsep baru atau
menghasilkan suatu karya.8 Jadi pembelajaran aktif merupakan suatu pembelajaran
yang mengajak siswa untuk aktif, bukannya menjadikan siswa hanya sebagai obyek
mentransfer ilmu oleh seorang pengajar kepada muridnya sebagaimana dilontarkan
oleh imam al-Ghazali dan imam al-Zarnuji pada sisi metodologinya.
Tetapi terlepas dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan,
konsep pembelajaran imam al-Ghazali dan imam al-Zarnuji dalam cermin besarnya
telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, sebuah pendidikan yang
bermuara pada pembentukan moral.
Berkaitan dengan tujuan belajar, imam al-Ghazali menekankan belajar adalah
sebagai upaya menghiasi batin dengan hal-hal yang mengantarkannya
untuk mengenal Allah SWT dan mendudukannya di dekat golongan tertinggi dari
kaum muqarrabin, dan bukan bertujuan untuk mencari kepemimpinan, harta
benda dan kedudukan.9 Imam al-Zarnuji mengungkapkan dari Imam Abu Hanifah

6A. Maruf Asrori, Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu, (Surabaya, Al-Miftah, 1996)
cet. 1, hlm. 24.
7Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar Dan Pembelajaran, hlm. 41.
8Hamzah B. Uno dan Nurdin Muhamad, Belajar Dengan Pendekatan Pailkem:
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. 2, hlm. 77.
9Abu Hamid Imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, (Badung: Sinar Baru
Algensindo, 2009), Cet. 1, hlm. 31.

3
bahwa barang siapa mencari ilmu untuk tujuan akhirat, maka beruntunglah ia
dengan keutamaan dari petunjuk Allah SWT.10

BAB II
STRATEGI PEMBELAJARAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI

A. Biografi Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali adalah seorang genius dan sumbangannya kepada


pemikiran muslim terletak pada penemuannya mengenai batas-batas yang terdapat
dalam akal pikiran seseorang sebagai alat dari pengetahuannya dan pusat
terpenting dari hati sebagai tempat berpijak dari seluruh pengetahuan dan
pengalaman.11
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Thusi al-Ghazali,12 dan lebih dikenal dengan sebutan imam al- Ghazali.
Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang,
karena pekerjaan ayah imam al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol.
Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu z),13 disebut demikian karena beliau
dilahirkan di Ghazalah, di kota Thus termasuk daerah Khusaran Iran pada tahun
450 H/1058 M. Ayahnya meskipun seorang tukang pintal benang dan
berpenghasilan kecil, tetapi memiliki kecintaan pada ilmu dan harapan yang besar
pada anak-anaknya. Itu sebabnya pada saat meninggal dunia, ia menitipkan anak-
anaknya pada seorang sahabat untuk dididik. Kemudian oleh sahabatnya ini, anak-

10 A. Maruf Asrori, Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu, hlm. 17.


11Ali Issa Othman, Manusia Menurut A-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1987), Cet. 2,
hlm..
12Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Prees,
2009), hlm. 161.
13Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 9.

4
anak itu di sekolahkan pada sekolahan yang menyediakan biaya bagi murid-
muridnya.14
Pada masa itu memang terdapat kemudahan bagi pendidikan rakyat biasa.
Tersedia berbagai sarana pendidikan cuma-cuma untuk umum. Banyak lembaga
swasta pada masa itu dipimpin oleh para ilmuan. Biaya pendidikan, termasuk
biaya hidup, ditanggung oleh pemuka setempat. Orang yang termiskin pun pada
waktu itu mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan
tertinggi. Maka muncullah dari lapisan masyarakat terbawah para cendekiawan
raksasa, seperti Imam Abu Hanifah pedagang kecil kain, Syamsul Aima penjual
manisan, Imam Abu Jafar pembuat peti mati dan Allam Kaffal Mozari seorang
pandai besi.15
Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh imam al-Ghazali untuk
memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mula-mula ia belajar agama, sebagai
pendidikan dasar, kepada seorang ustad setempat, Ahmad bin Muhammad
Razkafi. Kemudian imam al-Ghazali pergi ke Juijan dan menjadi santri Abu Nasr
Ismaili. Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, imam al-Ghazali
melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur, dan ia bermukim di
sana.16 Di sini ia belajar kepada seorang ulama besar Al-Juwaini yang dikenal
dengan imam al-Haramain tentang berbagai keilmuan seperti ilmu kalam, ilmu
mantiq dan sebagainya.
Selajutnya ia pindah ke Baghdad, kota pusat kebudayaan dan pengetahuan
Islam pada masa itu. Ia mulai mengamalkan dan mengajarkan pengetahuannya
sehingga ia berhasil menjadi seorang yang masyhur. Karena kebesaran pribadi dan
tingginya pengetahuan, beliau diangkat oleh perdana menteri Nidham al-Muluk
menjadi Mahaguru pada Universitas Nidhamiyah pada tahun 483 H/1090 M, pada
usia 30 tahun. Saat itulah masa kesuksesan karir imam al-Ghazali, jadi

14M. Amin Syukur, Studi Akhlak, (Semarang: Walisongo Press, 2010), hlm. 46-
47.
15Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm.
97.
16Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), cet. 2, hlm.10.

5
pengaruhnya sangat besar bagi para pembesar dari Dinasti bani Saljug yang
berkuasa pada saat itu. Hampir tidak ada kebijakan dalam bidang pendidikan,
politik, budaya dan agama tanpa persetujuan dirinya. Posisinya sebagai pejabat
tinggi dan kemashuran namanya sering menimbulkan pertentangan batin, antara
kecintaan pada harta, kehormatan, jabatan dan kemewahan dengan suara hatinya
untuk tetap berada dalam kesalehan.17
Imam al-Ghazali akhimya muak dengan segala kepalsuan semua itu, ia
mendambakan sesuatu yang lain, yang tidak terdapat dalam tumpukan buku
pengetahuan teori yang ia temukan di lingkungan kesusastraan kota itu. 18 Imam
al-Ghazali kemudian memutuskan untuk mengubah arah dan orientasi
kehidupannya pada dunia tasawuf. Dengan penuh ketabahan, tahun 488 H ia pergi
dari kota Baghdad, meninggalkan segaka kemewahan, jabatan, harta dan
keluarganya untuk tinggal di Damsyik (Damaskus, Syiria) sampai sebelas tahun
lamanya untuk merenung dan memperdalam ilmu dan ibadahnya. Di Damsyik ia
melakukan pertaubatan dengan berkhalwat, beritikaf, menyucikan diri dan
jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya serta selalu berfikir kehadirat
Allah. Peijalanan spiritualnya dilanjutkan ke Darussalam (Jerussalem) untuk
menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis, kemudian pergi ke Mesir,
dilanjutkan ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. 19
Setelah meninggalkan Hijaz ia menjelajahi Alexandria dan Mesir. Imam al-
Ghazali mengembara lebih dari sepuluh tahun, mengunjungi tempat-tempat suci
yang bertebaran di daerah Islam yang luas. Menurut Ibn-ul-Asir selama perjalanan
itu imam al-Ghazali menulis Ikhya-ul-Ulumuddin, karya utamanya yang
mempengaruhi dan sangat mempengaruhi pandangan sosial dan religius Islam
dalam berbagai segi. Doa dan ketaatannya kepada Tuhan yang menyucikan
hatinya dan mengungkapkan rahasia besar yang sampai saat itu belum
diketahuinya.20

17M. Amin Syukur, Studi Akhlak, hlm. 47.


18Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, hlm. 98.
19Amin Syukur, Studi Akhlak, hlm. 48.
20Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, hlm.100.

6
Setelah melanglang buana antara Syam - Baitul Maqdis - Hijaz, atas
desakan Fakhrul Mulk, pada tahun 499 H/1106 M imam al-Ghazali kembali ke
Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nidhamiyah.
Kali ini beliau tampil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul mewarisi dan
mengarifi ajaran Rasulullah saw. Tidak diketahui secara pasti berapa lama imam
al-Ghazali memberikan kuliah di Nidhamiyah setelah sembuh dari krisis rohani.
Tidak lama setelah Fakhrul Mulk mati terbunuh pada tahun 500 H/1107 M,
imam al-Ghazali kembali ke tempat asalnya Thus. Ia menghabiskan sisa umurnya
untuk membaca Al-Quran dan hadits serta mengajar. Di samping rumahnya,
didirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat
bagi para sufi. Pada hari Senin tanggal 14 Jumaditsaniyah 505 H/18 Desember
1111 M, imam al-Ghazali pulang ke hadirat Allah dalam usia 55 tahun, dan
dimakamkan di sebelah tempat khalwat (Khanaqah)-nyan Bertolak dari perjalanan
hidupnya, lebih dari 70 karya imam al-Ghazali meliputi berbagai ilmu
pengetahuan, beberapa di antaranya yang termasyhur sebagai berikut: Pertama,
Ihya Ulumu al-Din; kitab yang sangat penting dan mashur mengenai ilmu kalam,
tasawuf dan akhlak. Kedua, Ayyuhal Walad; sebuah buku tantang akhlak. Yang
penting dalam buku ini yaitu gambaran tentang pemikirannya, riwayat studinya
serta kedudukan yang dicapai di antara filosof-filosof Islam dan pengaruhnya
terhadap filsafat pada zamannya. Ketiga, Fatihatul Ulum; kitab ini menerangkan
tentang signifikansi ilmu pengetahuan dalam konteks taqarub kepada Allah SWT.
Di samping itu dia juga menjelaskan tentang arti penting kedudukan, keikhlasan
di antara ilmu dan amal.21 22 Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan
oleh umat muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya dengan
karangankarangannya yang berjumlah hampir seratus buah banyaknya.

21Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 12-13.


22Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 164.

7
B. Latar Belakang Sosial Politik Pemikiran Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh yang
telah mewarnai hazanah pemikiran Islam, yang mengadopsi dari berbagai model
pemikiran, mulai dari yang rasional dan irrasional. Dia termasuk tokoh yang
sangat di segani dan kontroversial dizamannya, sampai-sampai seorang orientalis
Barat bemama H.A.R. Gibb mensejajarkannya dengan Martin Luther King,
seorang tokoh pembaharu dan pendiri ajaran Protestan. Selain itu ada juga yang
mensejajarkannya dengan filosof Kristen St. Agustinus (354-430), seorang suci
Kristen yang mengarang The City of God23
Apabila dirunut dari rentang perjalanan sejarah, maka kendatipun masa
hidup imam al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun
sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau jelasnya masa disintregasi (1000-
1250 M).24 Secara politis kekuatan pemerintahan Islam yang masa itu dibawah
kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah dan mundur karena terjadinya
konflik internal yang berkepanjangan dan tak kunjung terselesaikan.
Meskipun demikian ilmu pengetahuan pada masa ini sangat diperhatikan
oleh penguasa, yakni pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, sebuah zaman
dimana terj adi pertautan pemikiran Islam dan Yunani. 25 Meskipun secara politis
kekuatan pemerintahan Islam yang masa itu sudah sangat lemah dan mundur
karena terjadinya konflik internal yang berkepanjangan dan tak kunjung
terselesaikan. Kekuasaan Abbasiyah yang semula ditangan kekuasaan Arab dan
Persia mulai digeser oleh kekuasaan Bani Saljuk berkebangsaan Turki yang dari
segi syariat Islam dinilai kurang taat beragama, yakni mereka secara lahiriyah
menyatakan beragama Islam, tetapi pada praktiknya jauh dari tuntunan Islam
yaang sebenarnya.26 Periode imam al- Ghazali juga dapat dikatakan masa

23Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid; Studi


Pemikiran al-Ghazali, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 56.
24Amin Syukur, dkk., Intelektual Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.119.

25Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. Ke 10, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 53. lihat juga Ali al-Jumbulati, op. cit., hlm. 133
26Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid; Studi
Pemikiran al-Ghazali, hlm. 57.

8
tampilnya berbagai aliran keagamaan, dan tren-tren pemikiran yang saling
berlawanan. Ada ulama ilmu kalam, ada pengikut aliran kebatinan yang
menganggap hanya dirinya yang berhak menerima dari imam yang suci, ada
filosof dan ada pula sufi.
Dalam pandangan imam al-Ghazali ada empat golongan yang
menimbulkan krisis dalam bidang pemikiran dan intelektual yang disebabkan oleh
pertentangan pendapat mereka, yaitu ahli kalam (mutakallimin), kaum batiniah,
para filosof dan kaum sufi. Imam al-Ghazali pada masa kecemerlangan
intelektualnya merasa prihatin dan resah terhadap kondisi umat Islam waktu itu.
Keresahannya terutama disebabkan oleh merajalelanya pemikiran yang
berorientasi kuat pada Hellenisme, yaitu suatu paham yang dipengaruhi filsafat
Yunani, seperti Mutazilah. Kelompok yang suka mengembangkan rasio ini juga
dilapisi beberapa filsuf muslim, seperti ibnu Sina dan al-Farabi. 27
Jadi di sini dapat disimpulkan, bahwa kelahiran imam al-Ghazali
sebagaimana dijelaskan diatas adalah bersamaan dengan makin menghangatnya
perbedaan dalam berbagai dimensi kehidupan beragama, baik dalam konteks
normatif maupun dalam wacana deskriptif akademik yang menyeret pada
menajamnya pandangan yang berbeda-beda bersamaan dengan munculnya
mazhab dan kelompok aliran berbagai karakteristik yang khas. Kondisi diatas
adalah latar belakang imam al-Ghazali untuk secara tajam mengkritik aliran-
aliran dalam pemikiran Islam, karena terdorong oleh gejala berkecamuknya
pemikiran bebas waktu itu yang membuat orang meninggalkan ibadah.

C. Konsep Pembelajaran
Pembelajaran merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk membuat
siswa belajar, yaitu perubahan tingkah laku pada siswa yang belajar, dimana
perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu
yang relativ lama dan karena adanya usaha. Jadi dalam proses pembelajaran juga

27 Al-Ghazali, Kitab Al-Munqidz Min Adh-Dhalal dan Kimia As-Saadah, terj.


Achmad Khudori Soleh Kegelisahan imam al-Ghazali: Sebuah Otobiografi
Intelektual, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 23

9
terjadi proser belajar, dan untuk lebih jelasnya akan diejelaskan mengenai konsep
belajar dan pembelajaran menurut imam al- Ghazali.

1. Konsep Belajar
Belajar merupakan suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan
masyarakat. Bagi para peserta didik kata belajar merupakan kata yang tidak
asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua
kegiatan mereka dalam menuntut ilmu. Belajar menurut imam al-Ghazali
merupakan suatu proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru ke siswa, dan
bertujuan untuk menanamkan akhlak yang baik pada anak didik.
Dalam belajar imam al-Ghazali melarang agar tidak berdebat, karena
berdebat baginya memuat berbagai bencana, dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya, merupakan sumber segala perilaku tercela, seperti riya, dengki
(hasad), sombong, dendam (hiqd) permusuhan, bermulut besar dan lain
sebagainya.
Imam al-Ghazali memberikan solusi untuk menghindari adanya debat ini.
Apabila terjadi perselisihan antara seseorang dan seseorang dan kelompok lain,
dan orang itu ingin menunjukkan kebenaran, maka debat boleh dilakukan, tetapi
dengan syarat sebagai berikut: Tidak membeda- bedakan, apakah kebenaran itu
lewat hasil pemikiran orang itu atau orang (kelompok) lain. Sebaiknya debat
dilakukan secara tertutup, bukan di hadapan khalayak ramai. Tujuan debat ini
adalah untuk mencari kebenaran, bukan untuk pamer di hadapan umum, atau juga
bukan untuk menimbulkan perpecahan.28
Jadi belajar bukanlah untuk menyombongkan diri terhadap kawan dan hal-
hal semacamnya. Melainkan untuk menghidupkan syariah Nabi Saw,
memperbaiki akhlak, menundukkan nafsu amarah.

2. Konsep Pembelajaran
Dalam pembelajaran imam al-Ghazali lebih menekankan pada pengajaran
yang dilakukan oleh seorang pengajar. Perhatian imam al- Ghazali dalam bidang
28Al-Ghazali, Duhai Anakku: Wasiat Imam Ghazali untuk Murid Kesayangan,
hlm. 43.

10
pengajaran lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk
anak-anak. Untuk ini ia lebih mencontohkan keteladanan bagi mental anak-anak,
pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka.
Imam al-Ghazali sangat mementingkan perbedaan di antara cara mengajar orang
dewasa dengan cara mengajar anak.29 Imam al-Ghazali berkata: guru hendaklah
merangkumkan bidang studi, menurut tenaga pemahaman murid. Jangan diajarkan
bidang studi yang belum sampai ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul 30
Mengajar menurut imam al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia
dan sekaligus tugas paling agung. Gambaran terbaik bagi seorang pengajar
yang mursyid adalah sebagaimana diungkapkan melalui suatu pendapat yang
mengatakan orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya orang inilah
yang disebut orang besar di kalangan para malaikat di langit yang tinggi. 31 Ia
bagai matahari yang memberi cahaya pada orang lain, sedangkan ia sendiripun
seperti bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia
sendiripun harum... Imam al-Ghazali juga berkata: Makhluk yang paling
mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia
penampilannya adalah kalbunya. Guru atau pengajar selalu
menyampurnakanya, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta
menuntunnya untuk selalu dekat kepada Allah. .32
Dalam pembelajaran menurut imam al-Ghazali menuntut adanya
komunikasi timbal balik antara dua manusia, yaitu guru dan murid. Menurut
pandangannya guru dan murid merupakan dua pihak yang saling
beridentifikasi (saling menyesuaikan diri). Imam al-Ghazali berpandangan

29Menurut imam al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan


dan berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6
tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak
berusia 6-9 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 9-13
tahun, dan seterusnya. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al- Ghazali tentangPendidikan, hlm.
73.
30Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 74.
31Abu Hamid imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, (Bandung: Sinar Buku
Algensindo, 2009), hlm. 32.
32Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 64.

11
bahwa guru harus mengenali murid secara utuh, holistik baik saat mengajar
maupun dalam hubungan sosial.33
Imam al-Ghazali menyarankan metode dasar-dasar mengajar sebagai
berikut:
a) Adanya hubungan kasih sayang antara guru dan murid,
b) adanya keteladanan guru,
c) memahami karakteristik murid teladan yang meliputi: rendah hati,
menyucikan diri dari keburukan, taat dan istiqomah,
d) memiliki keluasan pandangan dan ilmu,
e) belajar tahap demi tahap,
f) memperhatikan perbedaan intelektual murid,
g) pemantapan pemahaman, dan
h) pemanfaatan kepribadian murid.34
Dalam pendidikan atau pengajaran imam al-Ghazali lebih menekankan
pada pendidikan agama dan moral, dalam hal ini pendidikan atau ta dib dari
imam al-Ghazali adalah pembentukan akhlak, 35 Jadi prinsip imam al-Ghazali,
bahwa tujuan pendidikan bersifat keagamaan dan keakhlakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt dan sekaligus untuk mendapatkan
keridhaan-Nya, dan juga pendidikan merupakan pekerjaan yang memerlukan
hubungan erat antara dua pribadi yaitu guru dan murid.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami konsep belajar dan pembelajaran
imam al-Ghazali, berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hal-hal yang
berkaitan erat dengan konsep belajar dan pembelajaran, yakni konsep ilmu,
konsep pendidik dalam mengajar, konsep peserta didik dalam belajar, serta
tujuan pendidikan.

33Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,


Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 179.
34Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 181.
35Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 63.

12
D. Konsep Ilmu
1) Pentingnya Ilmu
Pembahasan tentang ilmu menurut pandangan imam al-Ghazali tidak
dapat dipisahkan dari pandangan imam al-Ghazali tentang hakikat 36. Sebab
ilmu menurut imam al-Ghazali adalah jalan menuju hakikat itu. Dengan kata
lain agar seseorang sampai kepada hakikat haruslah ia tau atau berilmu tentang
hakikat itu.37
Imam al-Ghazali merupakan salah satu filosof yang mempunyai
perhatian besar terhadap konsep pendidikan menurut Islam. Selain menjadi
seorang filosof, imam al-Ghazali juga dikenal sebagai salah satu tokoh sufi.
Karena itu pemikiran-pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh ilmu tasawuf,
yang lebih menekankan pada masalah-masalah keruhanian, kesederhanaan dan
menjauhi keduniawian.38 39
Minat imam al-Ghazali terhadap ilmu tasawuf itu juga memberi
pengaruh terhadap konsep hakikat ilmu. Dengan kata lain ilmu merupakan
sarana untuk mengenal Tuhan pencipta, mengetahui berbagai macam hal
mengenai ibadah, mengetahui berbagai macam hal yang wajib dilakukan dan
ditinggalkan oleh setiap manusia, dan menggunakan ilmu untuk kesejahteraan
umat manusia.
Al-Gazali mengutip sebuah pernyataan dari Abu Darda, salah seorang
sahabat nabi, ia berkata: orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu
berserikat pada kebajikan, dan orang lain adalah bodoh dan tidak bermoral.
Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar atau mendengar,
36Persoalan dasar yang menyangkut tentang wujud manusia. Apa dia hakikat
itu? Di mana letaknya? Apakah ia kekal dan azali, ataukah baru dan fana?
Kalau hakikat itu ada bagaimana cara kita mengetahuinya?. Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT.
Al-Husna Zikra, 1995), Cet. III, hlm. 131.
37Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan
Pendidikan, hlm. 132.
38Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta:
Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 42.
39Abi Hamid Muhammad bin Bin Muhammad al-Ghazali, Ayyuhal Walad, hlm.
35.

13
dan jangan engkau menjadi orang ke empat (tidak termasuk salah seorang yang
tiga tadi), maka binasalah engkau. Ini dapat dipahami bahwa menuntut ilmu
merupakan satu-satunya jalan untuk menemukan keutamaan, mengangkat
harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. 40
Secara logika betapa pentingnya ilmu tidak samar lagi karena dengan
ilmu, pemiliknya dapat sampai kepada Allah dan dekat di sisi-Nya, ilmu
merupakan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal yang tiada
akhirnya; dalam ilmu terdapat kemuliaan hidup di dunia dan kebahagiaan di
akhirat kelak. Yang mana dunia merupakan ladang akhirat, orang yang
mempelajari dan mengamalkan ilmunya berarti menanam bagi dirinya
kebahagiaan yang kekal, yaitu dengan membersihkan akhlaknya sesuai dengan
apa yang dituntut oleh ilmunya.41
Kita harus membekali diri dengan ilmu, sebab beribadah tanpa bekal
ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Perlu
diketahui, ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling berkait. Karena,
pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar dan kita pelajari adalah untuk
ilmu dan ibadah.42

2) Klasifikasi Ilmu
Imam al-Ghazali membagi ilmu-ilmu ke dalam beberapa himpunan,
bagian-bagian dan cabang-cabang dengan menunjukkan sifat-sifat khusus yang
dimiliki masing-masingnya serta memberi nilai sesuai dengan tingkat
kepentingan, kegunaan atau mudaratnya bagi pengajaran. Menurut imam al-
Ghazali ilmu yang dapat dipandang dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses
dan ilmu sebagai objek.43

40Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 55.


41Abu Hamid Imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, hlm. 21.
42Al-Ghazali, Minhajul Abidin: Wasiar Imam al-Ghazali, (Jakarta: Darul Ulum Press,
1986), Cet. I, hlm. 15.
43Ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai objek ini digunakan imam al-Ghazali
dalam setiap tulisan-tulisannya. Imam al-Ghazali memandang ilmu dari dua
segi tersebut karena imam al- Ghazali melihat dari makna ilmu itu sendiri.
Ilmu dalam bahasa Arab, berasal dari kata alima yang bermakna mengetahui.

14
Pertama, ilmu sebagai proses, imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu
menjadi tiga. (1) ilmu hisbiyyah, yaitu ilmu yang didapatkan melalui
pengindraan (alat indra). Dengan kata lain seuatu ilmu diperoleh seseorang dari
hasil aktivitas indra itu sendiri. (2) ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diperoleh
melalui kegiatan berfikir (akal). (3) ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh
langsung dari Allah tanpa melalui proses pengindraan atau berfikir (nalar),
melainkan melalui hati dalam bentuk ilham.
Kedua, ilmu sebagai objek, imam al-Ghazali membagi ilmu menjadi tiga
macam. (1) ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun
banyak, seperti sihir. (2) ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun
banyak. (3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetpi bila
mendalaminya tercela, seperti ilmu ketuhanan, cabang ilmu filsafat. Bila ilmu-
ilmu tersebut diperdalam akan menimbulkan kekufuran dan ingkar.44 45
Ini menunjukkan bahwasanya dalam kita menuntut ilmu haruslah
memilih ilmu yang sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat. Karena
dengan kita mempelajari ilmu yang dilarang oleh syariat dan mengamalkannya
makan pastinya kita akan terjerumus ke jalan yang sesat.
Imam al-Ghazali dalam membahas ilmu lebih tampak menggambarkan
tatanan sosial masyarakat, dalam pengertian bahwa suatu ilmu atau profesi
tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan
dalam tatanan tersebut. Secara terperinci beliau menggunakan tiga pendekatan:
epistemologis, ontologis dan aksiologi.46

Jadi ilmu itu masdar atau kata benda abstrak, dan kalau dilanjutkan kembali
menjadi alim, yaitu orang yang tahu atau subjek, sedang yang menjadi objek
ilmu disebut ma lum, atau yang diketahui. Dalam proser perkembangan ilmu,
lalu ilmu dipakai dipakai untuk dua hal: yaitu sebagai masdar atau proses
pencapaian ilmu dan sebagai ojek ilmu (ma lum). Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, hlm 132.
44Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, hlm. 42.
45Abi Hamid Muhammad bin Bin Muhammad al-Ghazali, Ayyuhal Walad, hlm.
37.
46Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentangPendidikan, hlm. 44.

15
Pertama; secara epistimologis, ini terbagi menjadi dua, yaitu syariiyah
dan ghairu syariyah. Ilmu syariyah adalah ilmu-ilmu yang diperoleh dari
para nabi, bukan ilmu-ilmu yang datang dari kajian observasi/eksperimen, 47 ini
terdiri dari; (1) ilmu ushul, meliputi; kitabullah, sunnah rasul, ijma umat dan
peninggalan ara sahabat. (2) ilmu furu, meliputi; ilmu yang menyangkut
kepentingan duniawi seperti ilmu fiqih. Dan ilmu yang menyangkut
kepentingan akhirat seperti ilmu mukhasyafah dan muamalah. 48 (3) ilmu
muqaddimah, yaitu ilmu yang merupakan alat seperti bahasa dan tata bahasa
arab. (4) ilmu penyempurna (mutammimah), yaitu semua ilmu yang berkaitan
dengan al-Quran baik qiraah dan tafsirnya. 49
Adapun ilmu ghairu syar iyah adalah ilmu yang bersumber dari akal,
baik yang diperoleh secara dlaruri maupun iktisabi. Ilmu dlaruri adalah ilmu
yang diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melakukan taklid atau indera,
dari mana dan bagaimana datangnya manusia tidak mengetahuinya, misal
pengetahuan manusia bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu
yang sama. Sedangkan iktisabi adalah ilmu yang diperoleh melalui kegiatan
belajar dan berfikir seperti ilmu kedokteran, matematika, geografi, dll.
Kedua; secara ontologis, al-Gazali membagi ilmu menjadi dua, (1) ilmu
fadlu ain yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat
dengan baik, seperti ilmu tauhid, ilmu syariat dan ilmu sirri 50. (2) ilmu fardlu

47Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,


Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 172.
48Ilmu mukhasyafah adalah ilmu batin, ilmu para shiddiqin dan muqarrabin.
Ilmu ini selanjutnya disebut oleh imam al-Ghazali dengan ilmu marifat, yakni
ilmu tentang dzat, sifat, perbuatan dan hukum-hukum Allah berkenaan dengan
kejadian dunia dan akhirat. Sedangkan ilmu muamalah adalah ilmu tentang
hati atau jiwa apa yang terpuji (seperti; sabar, syukur,pemurah, dll.) dan apa
yang tecela (seperti; iri, dengki, riya, dll.). Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali
tentang Pendidikan, hlm. 44.
49Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 173.
50Ilmu sirri adalah ilmu untuk mengetahui status manusia sehingga dengan
tahu akan status dirinya yakni sebagai hamba ia akan sadar, melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan Tuhannya dengan ikhlas dan penuh
kesadaran diri, bukan karena terpaksa. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali

16
kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan, yang perlu
diketahui manusia, seperti; ilmu kedokteran dan aritmatia.
Ketiga; secara aksilogis, imam al-Ghazali menggunakan pendekatan
dalam menilai jenis ilmu. Imam al-Ghazali menilai semua jenis ilmu-ilmu
syariyah terpuji secara keseluruhan. Hal ini jika dikembalikan kepada
pengertian ilmu itu sendiri yaitu, mengetahui hakikat sesuatu, dan ia adalah
satu sifat Allah, maka adanya istilah ilmu tercela tidak tepat dan seharusnya
tidak ada. Sedangkan ilmu ghairu syariyah ada yang terpuji dan ada yang
tercela dan ada pula yang mubah. 51

E. Konsep Pendidik dalam Mengajar


1) Syarat-Syarat Seorang Guru
Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, harus mengarah
kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat.
Guru harus membimbing muridnya agar ia belajar bukan karena ijazah semata,
hanya bertujuan menumpuk harta, menggapai kemewahan dunia. Dan tugas ini
akan berhasil apabila dalam mengajar ia berbuat sebagaimana rasul, bukan
untuk mencari harta dan kemewahan duniawi, melainkan untuk mengharap
ridha Allah, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Imam al- Ghazali berkata:
hendaklah guru mengikuti jejak Rasulullah. Maka ia tidak mencari upah,
balasan dan terima kasih. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan
dirinya kepada-Nya.52
Imam al-Ghazali memandang seorang guru adalah sebagai figur yang
akan dijadikan panutan para pelajarnya. Oleh sebab itu guru baik yang bersifat
personal maupun sosial senantiasa dijadikan parameter sebagai sosok guru. 53 54
Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ayyuhal Walad:

tentang Pendidikan,hlm. 46.


51Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 48.
52Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentangPendidikan, hlm. 68.
53Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 181.
54Abi Hamid Muhammad bin Bin Muhammad al-Ghazali, Ayyuhal Walad, hlm.
59-62

17
Syarat agar seorang syeikh dapat menjadi wakil Rasulullah adalah, ia
haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang alim dapat
menjadi khalifahnya. Di sini akan dijelaskan sebagian persyaratan
syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang
mursyid. Sebagian persyaratan itu adalah:
a. tidak mencintai dunia dan kedudukan;
b. pernah belajar kepada seorang syaikh yang memiliki silsilah
pembimbingan sampai kepada penghulu para nabi saw.;
c. memilih riyadhah yang baik dalam bentuk sedikit makan, sedikit
bicara dan sedikit tidur, banyak melakukan shalat sunnah, sedekah
dan puasa;
d. selama masa belajarnya, sang syaikh telah berhasil meraih berbagai
pekerti mulia, seperti sabar, rajin shalat, syukur, tawakkal, yakin,
dermawan, qanaah, berjiwa tenang, santun, rendah hati, berilmu,
jujur dan benar, khidmat, tenang, tidak terburu nafsu dan lain-lain.
Dengan sifat-sifat ini, ia menjadi secercah cahaya dari cahaya-cahaya
(petunjuk ) nabi saw., sehingga ia pantas dijadikan panutan. Namun,
keberadaan syaikh semacam ini sangat jarang. 55

Bertolak dari syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar menjadi
seorang guru yang dapat menjadi wakil Rasulullah tersebut, maka guru harus
memiliki akhlak yang luhur karena ia menjadi publik figur yang patut
diteladani dan diberi amanat untuk membimbing murid dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan.
2) Etika Seorang Guru
Profesi sebagai guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling
agung dibanding dengn profesi yang lain. Dengan profesinya itu seorang guru
menjadi perantara manusia (dalam hal ini murid) dengan penciptanya.
Berkenaan ini imam al-Ghazali mengatakan: seorang yang berilmu dan
kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di
bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain,
sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya
dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum. 56

55Al-Ghazali, Duhai Anakku: Wasiat Imam Ghazali untuk Murid Kesayangan, hlm. 35.
56Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentangPendidikan, hlm. 64.

18
Imam al-Ghazali menasihatkan kepada setiap guru agar senantiasa
menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai
karisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi seorang guru untuk
membawa murid ke arah mana yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan
juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing dan penunjuk
jalan dalam masa studi muridnya. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang
baik daari dirinya akan memancar kepada muridnya 57 58
Dalam perkataannya imam al-Ghazali menyebutkan etika guru yang
harus dijaga:

Jika engkau seorang alim, maka ada tujuh belas adab orang berilmu yang
harus engkau jaga, semuanya adalah bersabar, selalu tenang, duduk
dengan terhormat, penuh wibawa dan menundukkan kepala, tidak
sombong kepada siapa pun kecuali pada orang-orang zhalim dengan
tujuan memperingatkan mereka. Mengutamakan sikap rendah hati dalam
berbagai acara dan majlis, tidak bergurau atau bermain, lemah lembut
kepada murid, halus kepada murid yang nakal, mengingatkan orang yang
bodoh dengan petunjuk yang baik dan tidan marah kepadanya. Tidak
gengsi berucap aku tidak tahu, mencurahkan perhatian kepada seorang
penanya dan memahami pertanyaannya. Menerima dalil (yang benar
walaupun dari lawan), segera tunduk dan kembali kepada kebenaran
ketika merasa bersalah, menjauhkan murid dari setiap ilmu yang
berbahaya dan melarangnya dari mencari ilmu untuk tujuan selain Allah.
Menghalangi murid dari belajar fadhu kifayah sebelum fardhu ain dan
memahamkan kepadanya bahwa fardhu ain-nya adalah memperbaiki
lahiriyah dan batiniyahnya dengan takwa. Hendaknya seorang guru juga
mengatur dirinya dengan takwa terlebih dahulu (sebelum mengatur orang
lain),agar para murid dapat meneladani tingkah laku terlebih dahulu
sebelum mengikuti tutur katanya. 59 60

57Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentangPendidikan, hlm. 70.


58Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad imam
al-Ghazali ath-Thusy, BidayatulHidayah, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th.),
hlm. 88.
59Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad imam
al-Ghazali ath-Thusy, Terjemah dan Penjelasan Bidayatul Hidayah, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, t.th.), hlml50.
60Abi Hamid Muhammad bin Bin Muhammad al-Ghazali, Ayyuhal Walad, hlm.
62-64.

19
Jadi untuk mengemban tugas yang mulia yaitu mengajar, seorang
pendidik haruslah memiliki akhlak yang baik. Karena pada dasarnya seorang
pendidik adalah figur yang akan diteladani oleh setiap peserta didik.

F. Konsep Peserta Didik dalam Belajar


Sebagaimana halnya guru, bagi murid pun, untuk mencapai tujuan yang
dicanangkan ada konsep peserta didik yang meliputi sifat, tugas, tanggung jawab
dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Dalam kitab
Ayyuhal-Walad tentang etika murid terhadap guru imam al-Ghazali merinci
sebagai berikut:
Barangsiapa bernasib baik dan dapat menemukan syaikh sebagaimana yang
telah kujelaskan, dan syaikh itu pun bersedia menerimanya sebagai murid,
maka hendaknya ia menghormatinya secara lahir dan batin. Penghormatan
secara lahiriyah adalah dengan cara tidak mendebatnya; tidak
menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah apa pun
meskipun si murid mengetahui kesalahan syaiknya; tidak menggelar
sajadah di depannya, kecuali pada waktu shalat dan segera menggulungnya
kembali setelah selesai; tidak memperbanyak shalat- shalat sunnah selama
kehadirannya; dan selalu melaksanakan perintahnya. Adapun penghormatan
secara batiniah, yaitu si murid tidak mengingkari dalam hatinya semua yang
telah ia dengar dan sepakati secara lahiriah, baik dengan perbuatan maupun
perkataan, sehingga ia tidak dianggap munafik. Apabila ia tidak dapat
berbuat demikian, maka hendaknya ia menunda dulu hubungannya dengan
syaikhnya sampai keadaan lahiriahnya sesuai dengan batiniahnya. Dan
hendaknya ia tidak bergaul dengan orang-orang jahat agar hatinya terhindar
dari pengaruh setan, baik dari kalangan jin maupun manusia agar ia
terbebas dari kejahatan setan. Dan di atas segalanya, hendaknya ia lebih
memilih kemiskinan daripada kekayaan.61

Jika dilihat dari pemaparan imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad,
pandangan imam al-Ghazali yang sufi senantiasa mewarnai pendapat yang di
kemukakan. Bahwa tugas murid dalam kegiatan belajar mengajar, imam al-
Ghazali menasihatkan agar murid mempunyai sifat tawadhu dan merendahkan
diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
Imam al-Ghazali berkata: seorang pelajar janganlah menyombongkan diri
dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya

61Al-Ghazali, Duhai Anakku: Wasiat Imam Ghazali untukMuridKesayangan, hlm. 36.

20
kepada guru dan penuh keyakinan kepada segala nasihatnya, sebagaimana seorang
yang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman.
Seharusnya seorang pelajar itu tunduk pada gurunya, mengharap pahala dan
kemuliaan dengan tunduk kepadanya.62

G. Tujuan Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah konsep, rumusan atau produk pikiran manusia
dalam rangka melaksanakan kegiatan belajar dan pembelajaran serta
pengembangan potensi peserta didik haruslah mempunyai tujuan yang tepat.
Tujuan pendidikan menurut imam al-Ghazali adalah menanamkan akhlak yang
baik pada anak didik. Imam al-Ghazali mengibaratkan pendidikan dengan
pekerjaan seorang petani yang membuang dan mencabut rumput (tumbuh-
tumbuhan lain) yang mengelilingi tanaman supaya bisa tumbuh sempurna dan
hasilnya bagus (maksimal). Hal ini dapat dilihat dalam kata-katanya berikut ini:
Jadi menurut pandangan imam al-Ghazali mengenai tujuan pendidikan di
atas, bahwa dalam hal belajar seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
yang dia miliki, tetapi juga seorang guru harus menjauhkan murid dari perbuatan
dan hal-hal yang tercela.
Pendidikan islam secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu
adanya cap (stempel) agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran
dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Oleh
sebab itu imam al-Ghazali mempunyai tujuan akhir yang ingin dicapai, yaitu
pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri
pada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan
dunia dan akhirat.63 64
Berhubungan dengan tujuan pendidikan yang kedua di atas, yakni
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat, imam

62Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 81.


63Abi Hamid Muhammad bin Bin Muhammad al-Ghazali, Ayyuhal Walad, hlm.
57-58.
64Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), Cet. 2, hlm. 86.

21
al-Ghazali menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas
dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seorang
yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut ilmu, seorang
yang terdaftar sebagai siswa atau mahasiswa, dosen, guru, dan sebagainya,
mereka akan memperoleh derajat, pangkat dan segala macam kemuliaan lain yang
yang berupa pujian, kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar
mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan. Karena itulah, imam al-
Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam belajar adalah untuk
mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat- sifat tercela, dan motivasi
pertama adalah untuk menghidupkan syariat dan misi Rasulullah, bukan untuk
mencari kemegahan duniawi, mengejar pangkat atau popularitas. 65
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
menurut imam al-Ghazali adalah
1. Mendekatkan diri pada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan
kesadaran diri melaksanakan ibadah.
2. Menggali dan mengembangkan potensi atau firah manusia.
3. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi
dan sifat-sifat tercela.
4. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan
dengan sebaik-baiknya.
Jadi pada intinya tujuan pendidikan menurut imam al-Ghazali ialah membentuk
manusia yang shalih, yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi
dan sifat-sifat tercela.

65Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentangPendidikan, hlm. 60.

22
BAB III
STRATEGI PEMBELAJARAN MENURUT IMAM AL ZARNUJI

A. Biografi Az Zarnuji

Nama lengkapnya adalah Burhanuddin Al-Islam Al-Zarnuji. Tanggal


kelahirannya belum diketahui secara pasti. Mengenai tanggal wafatnya, terdapat
dua pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 591 H/1195 M, dan
ada pula yang mengatakan beliau wafat pada tahun 840 H/1243 M. Hidup beliau
semasa dengan Ridha Al-Din Al-Naisari, antara tahun 500-600 H. Tidak ada
keterangan yang pasti mengenai tempat kelahirannya. Namun dilihat dari
nisbahnya, Az Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa beliau berasal
dari zarnuji, suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan.[1]
Az Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan samarkand, dua kota yang
menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut
dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan talim, yang diasuh antara lain oleh
Burhanuddin Al-Marginani, Syamsuddin Abd Al-Wajdi Muhammad bin
Muhammad bin Abd dan Al-Sattar Al-Amidi. Selain itu, Az Zarnuji juga
belajar pada Rukn Al-Din Al-Firqinani, seorang ahli Fiqh, satrawan dan penyair
(w. 594 H/1196 M), Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam, sastrawan dan
penyair (w. 564 H/1170 M) dan Rukn Al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang
dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam
bidang fiqh, sastra dan syair (w. 573 H/1177 M).

B. Situasi Pendidikan pada Zaman Az Zarnuji

Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan


perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw.
(571-632 M). Kedua, pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M).
Ketiga, pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempat,
pendidikan pada masa jatuhnya khalifah di Baghdad (1250-sekarang).

23
Dari periodisasi di atas, Az Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam
catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam,
terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam
berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan,
mulai tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Di antaranya adalah
Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk (457-1106 M),
Madrasah Al-Nuriyah Al-Kubra, didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki (563-
1167 M), Madrasah Al-Mustansyirah didirikan oleh khalifah Abbasyiah, Al-
Mustansir Billah di Baghdad (631 H/1234 M).
Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam
yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman Az zarnuji hidup. Dengan
informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah
yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar
ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat
menguntungkan bagi pembentukan Az Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau
ulama yang luas pengetahuannya.[2]

C. Konsep Pendidikan Az Zarnuji

Konsep pendidikan beliau tertuang dalam karya monumentalnya, kitab


Talim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum. Kitab ini diakui sebagai karya yang
monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak
dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah,
terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan
Muslim saja, tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
Keistimewaan lain dari kitab Talim Mutaallim ini terletak pada materi
yang dikandungnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya
membahas metode belajar, sebenarnya esensi kitab ini juga mencakup tujuan,
prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral religius. Kitab ini

24
tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga dicetak dan
diterjemahkan serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Di Indonesia, kitab Talim Mutaallim dikaji dan dipelajari hampir di setiap
lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok
pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui tentang konsep
pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:

1. Hakikat ilmu dan keutamaannya


Belajar itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki
maupun perempuan. Namun demikian, menurut Az zarnuji manusia
tidak diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya
diwajibkan mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan yang
selalu dperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Dan
sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[3]
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang
diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan
haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi
perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk
dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka ia wajib
mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu,
manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti
tawakkal, ridla dan sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut Az
Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan
menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang
kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardlu
kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada

25
sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardlu kifayah
tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika
seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka
seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardlu
kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas
diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi,
dan lain sebagainya.[4]
Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau
bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum
(ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab,
hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa
marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan
mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau
dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di
dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan
tentang kelembutan-kelembutanilmu. Sedangkan mengenai keutamaan
ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai berikut:
Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan
dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari
menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat.
Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada
kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda
yang membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang
menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang
menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan dari
pada seribu orang yang beribadah.
2. Niat belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa
niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah

26
SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha
memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain,
mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri
nikmat Allah.
Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji mengingatkan agar setiap
penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar,
misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan
kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika
masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu
dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[5]
3. Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang
dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang
untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid dan
marifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu memilih ilmu atiq
(kuno). Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih
wara, alim, berlapang dada dan penyabar. Dan peserta didik juga
harus sabar dan tabah dalam belajar kepada pendidik yang telah
dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Peserta
didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara, jujur, dan mudah
memahami masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara,
penganggur, pengacau dan pemfitnah. Seorang penyair mengatakan:
Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa demi
Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke
neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Naim.
Di samping itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar
bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah
perkara yang sangat penting, tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di
sini menjadi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.[6]

27
4. Menghormati ilmu dan ulama
Menurut Az Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang
yang berilmu dan pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya,
berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya.
Sedangkan cara menghormati pendidik di antaranya adalah tidak
berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak
memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-
macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu
pendidiknya lelah, dan tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu
belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, peserta didik harus
melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan
amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan
agama Allah.
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan
kawan serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik
hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci.
Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci.
Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin
bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya
juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan
jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Di samping itu,
peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, ia selalu
memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan
padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia
musyawarah dengan pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih
berpengalaman dalam belajar serta mengetahui ilmu pada seseorang
sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik
selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.

28
5. Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu
mengulangi pelajarannya secara kontinu pada awal malam dan di akhir
malam, yakni waktu antara maghrib dan isya dan setelah waktu sahur,
sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang memberkahi.
Peserta didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan,
sehingga lemah dan tidak mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan
minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena
itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah
kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu
menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6. Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Belajar hendaknya dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah
menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang kafir yang berarti hari
berkahnya orang mukmin. Bagi pemula hendaknya mengambil
pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah di ulangi
dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga
apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan
mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi.
Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil,
sebab dengan begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan
baik serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai
dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi berkali-kali. Jangan
sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa
menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Diskusi, menurut Az zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik.
Manfaat diskusi lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab
dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan.

29
Az Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh
kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab.
Sebab hal itu akan bisa memudahkan ia belajar dan menelaah
pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha
sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab.
Menurut Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu,
baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7. Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan
tidak tergoda oleh urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak
digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan tidak bisa
mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal, badan dan
merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya
peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi. Peserta didik
hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu
disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas
dari kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan
yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada berperang
membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan
dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu
melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
8. Saat terbaik untuk belajar
Masa belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat.
Adapun masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda.
Belajar dilakukan pada waktu sahur dan waktu antara maghrib dan
isya. Namun sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya
untuk belajar. Bila telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu
hendaknya mempelajari ilmu yang lain.

30
9. Kasih sayang dan memberi nasehat
Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi
nasehat dan jangan berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu
berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Dengan demikian
orang yang benci akan luluh sendiri. Jangan berburuk sangka dan
melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan
waktu serta membuka aib sendiri.
10. Mengambil pelajaran
Peserta didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya
untuk belajar, hingga dapat mencapai keutamaan. Caranya dengan
menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang
diperolehnya. Az zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan
ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-
nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu
malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu peserta didik
hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa
nafsunya.
11. Wara (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara, sebab
dengan begitu ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya
dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan
wara antara lain menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur
dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Di
samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan
perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak shalat dan
melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya
dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az Zarnuji juga
mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk
dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang

31
didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di
sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
12. Penyebab hafal dan lupa
Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan,
kontinu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-
Quran, banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu
mengambil buku serta seusai menulis. Adapun penyebab mudah lupa
antara lain perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena urusan-
urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13. Masalah rezeki dan umur
Peserta didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki,
umur dan lebih sehat, sehingga dapat mencurahkan segala
kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bangun pagi-pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam
kenikmatan, khususnya rizki. Banyak bersedekah juga bisa menambah
rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki
adalah shalat dengan tazhim, khusyu sempurna rukun, wajib, sunnah
dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat
kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain
sebagainya. Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-
malasan, menunda-nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara,
semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang. Menurut Az zarnuji,
peserta didik juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat
memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya. Demikianlah
deskripsi isi kitab Talim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum karya
Az Zarnuji. Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau
mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan
sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az
zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan

32
syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau
menulis kitab Talim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum dengan
maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang
seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang
ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat.

D. Pemikiran Az Zarnuji tentang pola hubungan guru dan murid


Ada beberapa pemikiran Az Zarnuji dalam kitab Talim al-Mutaallim
Thuruq al-Taallum yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru
dan murid.
Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya
pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya
(guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap
guru. Posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam
konteks keagamaan disebut bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat
terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan perilaku
murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam
lingkungan formal maupun nonformal. Sementara tingginya ilmu yang
dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru sebagai dokter, menunjukkan nilai
kepercayaan dan pentingnya nasehat bagi murid dalam mencapai tujuan
belajar yang optimal.
Kontekstualisasi hubungan guru murid menurut Az Zarnuji,
menunjukkan bahwa penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh
sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi
kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniyah dan tingkat
kesucian tinggi, di samping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa Az Zarnuji,
guru ideal adalah guru yang alim, wirai dan mempunyai kesalehan sebagai
aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat
yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.[7]

33
Dengan demikian, pemikiran Az Zarnuji berupaya membawa lingkungan
belajar pada tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan
pengajarannya. Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukkan
keseriusan dan kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang
dalam pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridla
Allah SWT. dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan
guru dan murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang
menempatkan posisi guru dan murid sesuai proporsi masing-masing menuju
tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi yang
berakhlakul karimah.

E. Metode pembelajaran
Dalam kitab Talim Mutaallim Az Zarnuji menjelaskan bahwa metode
pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik
mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi
meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-
langkah dalam belajar.
1) Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya
mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-
urusan agamanya, seperti ilmu tauhid.
2) Cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara dan
umurnya lebih tua dari kita.
3) Cara memilih teman; mencari teman yang rajin, wara dan berwatak
baik, mudah paham akan pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dan lain
sebagainya.
4) Langkah-langkah dalam belajar; mengenai hal ini, termasuk juga aspek
teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat lima hal yang
menjadi sorotan Az Zarnuji, yaitu (1) the curruculum and subject matter, (2)

34
the choice of setting and teacher, (3) the time for study, (4) dynamics of
learning, (5) the students relationship to other.[8]

F. Relevansinya dengan sistem pendidikan kontemporer


Konsep pendidikan yang tertuang dalam kitab Talim al-Mutaallim
Thuruq al-Taallum karya Az Zarnuji, relatif bagus dalam persoalan
bimbingan belajar. Hanya saja ketika mempelajari konsep pendidikan Az
Zarnuji dalam kitab Talim Mutaallim harus disertai dengan pemahaman yang
dalam, karena belum tentu apa yang dikonsepsikan oleh Az Zarnuji dapat
pula diterapkan pada saat ini. Seperti membaca tulisan pada nisan dapat
menyebabkan lupa, menyapu di malam hari dapat menghambat rizki. Hal-hal
tersebut sudah tidak bisa lagi diterapkan karena sudah dipandang tidak logis.
Sebenarnya bila dikaji lagi banyak sekali hal-hal yang yang masih
relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau
yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi
kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja
tanpa mencari kebenarannya.
Maka jika kitab ini dikaji di pesantren, supaya tidak menimbulkan
akses yang tidak diinginkan, sebaiknya diajarkan oleh seorang guru yang
mempunyai pemahaman mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga
bila memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan dengan zaman
sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan masa
Az Zarnuji hidup.
Karya besar ini sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah
luar pesantren baik itu madrasah atau sekolah-sekolah umum. Karena bisa
diketahui dari analisis konsep pendidikan Az Zarnuji cukup banyak yang
masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses
yang yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan Talim adalah aspek

35
kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az
Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan
guru. Pada dasarnya pendidikan yang berhasilbukanlah diciptakan oleh
sekolah dan pesantren saja, akan tetapi dukungan dari semua pihak yaitu orang
tua dan guru sebagai teladan dan lingkungan sebagai pengaruh pergaulan
terbesar dalam hidup seorang anak. Dan hal ini memang sangat sulit sekali
karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah namun
hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun hasanah.
Kalaupun misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Talim
Mutaallim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta
sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi,
sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan jawa yang
masih belum sepenuhnya mati.
Kontekstualisasi terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang
adalah pemahaman terhadap pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang
bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang
terkandung dalam pemikiran Az zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali
dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan
sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan
dam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang
berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.

36
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Al Ghazali

Konsep belajar dan pembelajaran menurut imam al- Ghazali.


a. Konsep Belajar
Belajar menurut imam al-Ghazali merupakan suatu proses
pengalihan ilmu pengetahuan dari guru ke siswa, dan bertujuan untuk
menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. Dalam belajar imam al-
Ghazali melarang agar tidak berdebat, karena berdebat baginya memuat
berbagai bencana, dosanya lebih besar dari pada manfaatnya, merupakan
sumber segala perilaku tercela, seperti riya, dengki (hasad), sombong,
dendam (hiqd) permusuhan, bermulut besar dan lain sebagainya. Imam
al-Ghazali memberikan solusi untuk menghindari adanya debat ini.
Apabila terjadi perselisihan antara seseorang dan seseorang dan
kelompok lain, dan orang itu ingin menunjukkan kebenaran, maka debat
boleh dilakukan. Jadi belajar bukanlah untuk menyombongkan diri
terhadap kawan dan hal-hal semacamnya. Melainkan untuk
menghidupkan syariah Nabi Saw, memperbaiki akhlak, menundukkan
nafsu amarah.

b. Konsep Pembelajaran
Imam al-Ghazali menyarankan metode dasar-dasar mengajar
sebagai berikut:
a) Adanya hubungan kasih sayang antara guru dan murid,

37
b) adanya keteladanan guru,
c) memahami karakteristik murid teladan yang meliputi: rendah hati,
menyucikan diri dari keburukan, taat dan istiqomah,
d) memiliki keluasan pandangan dan ilmu,
e) belajar tahap demi tahap,
f) memperhatikan perbedaan intelektual murid,
g) pemantapan pemahaman, dan
h) pemanfaatan kepribadian murid.

Dalam pendidikan atau pengajaran imam al-Ghazali lebih


menekankan pada pendidikan agama dan moral, dalam hal ini pendidikan
atau ta dib dari imam al-Ghazali adalah pembentukan akhlak, 66 Jadi
prinsip imam al-Ghazali, bahwa tujuan pendidikan bersifat keagamaan
dan keakhlakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan sekaligus
untuk mendapatkan keridhaan-Nya, dan juga pendidikan merupakan
pekerjaan yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi yaitu guru
dan murid.

2. Al Zarnuji
Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji,
antara lain:
a. Hakikat ilmu dan keutamaannya;
b. Niat belajar;
c. Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar;
d. Menghormati ilmu dan ulama;
e. Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat;
f. Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;
g. Tawakkal kepada Allah SWT;
h. Saat terbaik untuk belajar;
i. Kasih sayang dan memberi nasehat;
j. Mengambil pelajaran;
k. Wara (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa
belajar; (12) Penyebab hafal dan lupa;
66Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, hlm. 63.

38
l. Masalah rezeki dan umur
Menurut beliau tentang pola hubungan murid dan guru adalah
sebagai berikut: Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat
tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang
yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya
penghormatan murid terhadap guru. guru ideal adalah guru yang
alim, wirai dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan
yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban
untuk menggapai ridla Allah swt. Metode pembelajaran menurut
beliau meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik
mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik
strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih
teman dan langkah-langkah dalam belajar.
Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau
mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-
sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal
tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-
syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau
menulis kitab Talim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum dengan
maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang
seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi
yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat.

39
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.


Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Al-Baghdadi, Abdurrahman, sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Surabaya:


Al-Izzah, 1996..

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ayyuhal Walad, Surabaya: Al-
Hidayah, t.th.

AL-Ghazali, Abu Hamid, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Badung: Sinar Baru


Algensindo, 2009. Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &
D, Bandung: CV. Alvabeta, 2008.

Al-Ghazali, Duhai Anakku: Wasiat Imam Ghazali untukMuridKesayangan, Solo:


Pustaka Y awiyah, 2011.
........., Minhajul Abidin: Wasiat Imam Al-Ghazali, Jakarta: Darul Ulum
Press,1986.
........., Kitab Al-Munqidz Min Adh-Dhalal dan Kimia As-Sa adah, terj.
Achmad

Khudori Soleh Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, Bandung:


Pustaka Hidayah, 1998.

Al-Qazwini, Al-khafid Abi Abdillah Muhammadibni Yazid, Sunan Ibnumajah, t.t:


Darulfikri, t.th.

al-Wakil, Muhammad Sayid, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Modern, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.

Al-Zarnuji, TalimAl-Mutaalim, t.t., Daarul Ikhyai Al-Kutubi Al-Arabiyati, t.th.

Asad, Aliy, Bimbingan bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Menara


Kudus, 1978.

Ash Shiddieqi, Muhammad Hasbi, Al-Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2007.

Asrori, A. Maruf, Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu, Surabaya: Al-Miftah, 1996.

40
Ath-Thusy, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-
Ghazali, Bidayatul Hidayah, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th.

Hadna, Ahmad Musthofa, Analisis Perbandingan antara Teori Pendidikan al- Zarnuji
dan Teori Pendidikan Kontemporer, dalam Amin Haedari, Khazanah
Intelektual Pesantren II, Jakarta: Puslibang Pendidikan Agama dan
Kegamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.

Herdiansyah. Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial,


Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Kementerian Agama RI, Al-Qur an dan Tafsirnya, jil. X. Jakarta: Lentera Abadi,
2010

Othman, Ali Issa, Manusia Menurut A-Ghazali, Bandung: Pustaka, 1987.

Pimay, Awaluddin, Konsep Pendidik dalam Islam (Studi Komparasi atas Pandangan
al- Ghozali dan al-Zarnuji), Tesis PPS IAIN Walisongo Semarang,
Semarang: Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Walisongo.

Wicaksono, Wahyu, KONSEP PEMBELAJARANMENURUT IMAM AL-GHAZALI


DAN IMAM AL-ZARNUJI(Sebuah Telaah Komparatif) FAKULTAS
TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG, 2012

https://www.academia.edu/4359622/konsep_pendidikan_al_Zarnuji
Rabu, 26 Oktober 2016. 23:51

41

Anda mungkin juga menyukai