Anda di halaman 1dari 13

UJIAN HUKUM ADAT

Dosen: Drs. Tegoeh Tri Wiyono, SH.,MH.


Nama Mahasiswa: Bintoro Hartanto
NIM: 16107710015

1. Molimo yang terdiri dari maling (mencuri, korupsi), madat (nyabu), main (berjudi),
minum (mabuk-mabukan), dan madon (main perempuan), merupakan penyakit
masyarakat, dan sudah ada seumur hidup manusia di muka bumi. Saya sangat setuju
bahwa molimo ojo dilakoni, oleh karena molimo secara normatif jelas dilarang baik
oleh agama dan hukum positif. Selain itu praktik molimo juga memberikan dampak
negatif.
Dampak dari perbuatan maling (mencuri dan korupsi) antara lain :
1. Merugikan pihak yang dicuri, pada tindakan korupsi akan merugikan negara yang
dapat berpengaruh pada pembangunan, perkembangan dan kesejahteraan negara.
2. Timbul rasa tidak percaya kepada pelaku pencurian sehingga orang tersebut akan
dikucilkan dalam lingkungannya.
3. Mendapat sanksi hukum yang sesuai dengan tindakannya karena perbuatan mencuri
atau korupsi termasuk dalam tindakan pidana.
Dampak dari Main (berjudi):
Judi adalah salah satu bentuk penyakit dalam masyarakat yang selalu muncul dan sulit
hilang dari masa ke masa. Padahal judi merupakan perbuatan yang tercela dan dilarang
dalam agama khususnya agama islam karena memiliki banyak dampak negatif. Dari
segi sosial dampak perjudian akan mempengaruhi kehidupan sekitar dimana akan
menjadi akar permasalahan sosial yang timbul akibat dari judi itu sendiri. Dampak judi
diantaranya :
1. Menimbulkan permusuhan dan kedengkian.
2. Menutup kepekaan rasa manusiawi.
3. Menjadi penyebab terjadinya perbuatan yang dilarang agama.
4. Menghancurkan kestabilan, kerukunan, dan keharmonisan keluarga.
5. Menjadikan orang malas bekerja.
Dampak dari Mabuk (minum minuman keras):
Dalam jumlah terbatas minuman keras tidak begitu berbahaya, tetapi jika dikonsumsi
dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan. Misalnya, kerusakan
jaringan lunak yang ada di dalam rongga mulut, seputar tenggorokan, dan di dalam
system pencernaan. Organ tubuh yang paling rawan akibat minuman keras adalah hati.
Seseorang yang sudah terbiasa minum minuman beralkohol, apalagi dengan takaran
yang melebihi batas, setahap demi setahap kadar lemak di dalam hatinya akan
meningkat. Akibatnya hati akan bekerja lebih dari semestinya untuk mengatasi
kelebihan lemak yang tidak larut di dalam darah. Dampak lebih lanjut adalah kelebihan
timbunan lemak di dalam hati akan memakan hati sehingga selnya akan mati.
Dampak dari Madat (candu narkoba):
Penyalahgunaan obat jenis narkoba sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi
susunan syaraf, mengakibatkan ketagihan, dan ketergantungan. Narkoba menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, persepsi, dan kesadaran. Pemakaian narkoba secara
umum dan juga psikotropika yang tidak sesuai dengan aturan dapat menimbulkan efek
yang membahayakan tubuh. Berdasarkan efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan
narkoba dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Depresan, yaitu menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional
tubuh sehingga pemakai merasa tenang.
2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran.
3. Halusinasi, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan
halusinasi.
Dampak dari Madon (prostitusi):
Dampak negatif dari perbuatan prostitusi antara lain :
1. Secara sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan
norma dan etika yang ada di dalam masyarakat.
2. Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi.
3. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita.
4. Aspek ekonomi, dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja.
5. Aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk
menularnya penyakit kelamin dan kadungan yang sangat berbahaya.
6. Aspek kamtibmas, dapat menimbulkan perilaku-perilaku kriminal.
2. Sesanti / Semboyan dan uger-uger / kaidah atau norma yang ada sejak jaman kerajaan
dan secara yuridis formal dijadikan hukum tertulis yang harus ditaati oleh bangsa
Indonesia dari Sabang sampai Merauke, salah satunya adalah sesanti Bhineka Tunggal
Ika, yang tertulis dalam lambang negara Indonesia. Yang menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang memiliki kemajemukan budaya bangsa dalam naungan
negara kesatuan republik Indonesia. Dari satu sisi, secara teoritis keragaman budaya
(multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang
mencerminkan jatidiri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk negara
kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi
modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang
menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, dari
sisi yang lain kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat
mengancam integrasi bangsa, karena konflik antar budaya dalam wujud pertikaian antar
etnik, antar penganut agama, ras maupun antar golongan bersifat sangat sensitif dan
rentan terhadap suatu kondisi yang menjurus ke disintegrasi bangsa. Oleh Karena itu
sesanti Bhineka Tunggal Ika harus ditaati oleh seluruh komponen bangsa Indonesia
agar tidak terjadi disintegrasi bangsa.

3. Kasus penggandaan uang Taat Pribadi di Probolinggo bukan fenomena magis, akan
tetapi lebih merupakan suatu penipuan dengan makin terbongkarnya berbagai bukti dan
saksi yang menyatakan bahwa Taat Pribadi menggunakan suatu trik untuk
menggandakan uang. Jelas Taat Pribadi melanggar hukum tertulis di Indonesia.
Bahkan sekalipun dia mampu memindahkan uang, maka dia terkena pasal pencurian,
dan bila dia mampu menggandakan uang maka dia akan terkena pasal uang palsu.
4. A. PERBEDAAN HUKUM WARIS ADAT DAN HUKUM WARIS BW
Hukum waris adat
1. Pada Hukum waris adat ahli waris digolonngkan berdasarkan sifat
kekeluargaan( misalnya sifat kebapakan,ke ibuan ,maupun keduanya
2. Kadang-kadang harta warisan itu masih utuh dan tidak menjadi suatu keharusan untuk
dibagi-bagikan pada ahli waris
3. Perpindahan harta warisan berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih
artinya sudah di kurangi dengan pembayaran utang-utang dari pewaris serta
pembayaran-pembayaran lainnya
4. Tidak mengenal atau mengakui anak luar kawin artinya anak luar kawin tidak
mendapat warisan
Hukum waris Bw

1. Ahli waris tidak di golongkan berdasarkan sifat kekeluargaan artinya tidak


membedakan antara aki-laki dan perempuan
2. Adanya hak mutlak dari masing-masing para ahli waris apabila pada suatu saat
menuntut pembagian dari harta warisannya.
3. Perpindahan harta warisan tidak saja hartanya saja tetapi juga utang-utang dari
pewaris dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataanya
berpindah juga kepada semua ahli waris
4. Mengakui anak luar kawin sehingga anak tersebut dapat memperoleh warisan

4 B. Dalam peribahasa Jawa / sesanti Jawa terdapat banyak ciri ideal pemimpin. Paribasan
tersebut dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa
terhadap kepemimpinan. Berikut adalah sebagian kecil sesanti jawa yang menggambarkan
ciri ideal seorang pemimpin

a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan

He that cannot obey cannot command (orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah
orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini
mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan.
Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak
sama, paribasan kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon
ning aja ngrusuhi turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.

Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan
tidak boleh sok apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan,
tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui
pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian
menyudutkan pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan
bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya.
Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah
sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain
sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode
etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi
menjaga citra pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang
dipimpinnya. Sayangnya, falsafah menghormati pimpinan yang ada dalam paribasan ini
sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin
(dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku
Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi.
Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan
belum berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya. Selain falsafah kena
cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja
ngrusuhi, terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap
pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi mikul dhuwur mendem jero adalah salah satu
falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah kepemimpinan.
Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat
pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi.
Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka dan mengekpos
aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya
sendiri. Dengan membuka aib orang untuk tujuan jahat, akan mengundang karma, karena
kelak, aibnya sendiri akan dibuka oleh orang lain. Dalam konteks masa kini, buka membuka
aib pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah
dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang
dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos aib
pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
b) Menempatkan Diri

Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat
baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ajining
diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana, yang artinya, harga diri seseorang
tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya
(situasinya) (Subroto&Tofani, .). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan
dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya.
Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha mengintervensi dan memasuki dunia
yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.

Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat
banyak orang Jawa yang memiliki posisi penting di pemerintahan atau parlemen seringkali
mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui
secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat
menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa
yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia
politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia tersebut.
Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak memiliki latar belakang
hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan karenanya kasus-kasus yang seharusnya
selesai dengan cepat menjadi berbelit-belit.

c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah

Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan
berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada
hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja
kagetan lan aja dumeh.

Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari
banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan,
mudah emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang
sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan
terheran-heran dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan
bangsa tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu
karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.

d) Menjadi Teladan yang Baik

Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan kacang mangsa
ninggala lanjaran. Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang
berbunyi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Paribasan ini menggambarkan bentuk
hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya
kesamaan sikap, sifat dan bentuk fisik.

Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara, pohon yang dimaksud adalah para
pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita
meletakkan hubungan masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan
orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika
para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras
untuk memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat
dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.

Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-
akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan
aparat hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam
bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat
mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di
jaman ini untuk tidak menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.

Seorang pemimpin harus juga bersikap ing ngarso sung tulodho, yaitu selain mampu
membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat memberi suri
tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang pemimpin juga harus dapat ing madyo
mangun karsa, yaitu berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi
mereka semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga tut
wuri handayani, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang
bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab.
Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan
sikap kepemimpinan tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa

Sikap ini tersurat dalam paribasan addamara tanggal pisan kapurnaman. Paribasan ini
menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang
lain ke pengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena
pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan
kekeluargaan daripada lewat pengadilan.

Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke
meja hijau, selang beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi.
Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang,
meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam
bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.

f) Berani Berbuat Baik.

Sikap ini tersurat dalam paribasan bener ketenger, becik ketitik, ala ketara. Paribasan ini
mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat
baik pada orang lain pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti
akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan.

Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk
membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula
bermaksud melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk
melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan,
malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.

g) Bersikap Adil

Sikap ini terdapat pada paribasan denta denti kusuma warsa sarira cakra. Paribasan ini
menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang
benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja
direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat
wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan salah, yang
benar tampak benar.

Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan
paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat
menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.

h) Bersedia untuk Mengalah

Sikap ini terdapat pada paribasan wani ngalah luhur wekasane. Paribasan ini merupakan
sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain
sehingga tidak timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-
hal baru yang lebih bermanfaat.

Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah.
Mereka biasanya mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara.
Faktor harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.

i) Menjaga Kata-kata

Sikap ini terdapat pada paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.
Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak ngawur, serta tidak
melontarkan yang dapat memicu pertikaian (Subroto&Tofani, ). Isi pembicaraan harus
berisi, memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai
untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap
salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan orang lain.

Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar kata. Saling serang melalui
media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga
masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.

j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa

Sikap ini terdapat pada paribasan aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa. Merasa
dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh.
Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat
sesuatu. Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil,
baru ia boleh menyatakan dirinya bisa melakukan hal tersebut. Orang-orang yang merasa
bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan berani mengatakan
bisa, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata orang tersebut dipercaya
melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan
memalukan dan tentu saja merugikan banyak pihak.

Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk mengatakan bisa pada setiap amanah,
sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-
orang jaman dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin,
orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan bisa tanpa berfikir apakah mereka
benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan
sangat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.

k) Gemar Menyantuni Rakyat

Sikap ini terdapat dalam paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan.
Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan,
mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap
pimpinan yang seperti inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan
ikhlas kepada sang pemimpin tersebut.

Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang
ditunjukkan adalah menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di
kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.

l) Mencintai Kehidupan yang Rukun

Sikap ini terdapat dalam paribasan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Ungkapan
ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup
secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya,
konflik membawa banyak kemudhorotan.

Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media
massa yang mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan
menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan Cicak dan
Budaya, SBY dan Megawati, Partai Koalisi Pemerintah dan Partai Oposisi dan lain
sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang Jawa.

m) Tanpa Pamrih

Sikap ini terdapat dalam paribasan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Paribasan ini
menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus
mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari
pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik,
semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu, pamrih dapat
mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan cita-citanya. Pamrih
juga dapat membuat orang menjadi materialistik.

Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini,
utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat
jika ada imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada
imbalan.

n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan

Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan kebat kliwat, ngangsa
marakaka brabala. Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi
pemimpin) untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau
mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan.
Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang
matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya

Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para
pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka
demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah
dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa
berpikir panjang. Ini semua terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima amplop dari
salah satu pihak yang berperkara.
5. a. Nikah sedarah (adat turun pitu) kurang baik, karena penelitian-penelitian secara
populasional menunjukkan bahwa anak-anak hasil perkawinan sedarah ini memiliki risiko
lebih besar menderita penyakit-penyakit genetik tertentu. Terutama yang sifat penurunannya
autosomal recessive (lihat 'Apakah anak bisa normal jika menikahi keluarga albino?' dan
'Risiko menikahi pasangan dari keluarga pengidap Thalassemia').
Pada sifat penurunan seperti ini, pembawa (carrier) tidak akan menunjukkan tanda-tanda
penyakit apapun.
Sementara itu karena orang-orang dalam satu keluarga memiliki proporsi materi genetik yang
sama, maka suami istri yang memiliki hubungan saudara juga memiliki risiko membawa
materi genetik yang sama.
Jika salah satu adalah carrier suatu penyakit autosomal recessive maka terdapat kemungkinan
bahwa yang lain juga pembawa. Seberapa besar kemungkinannya bergantung pada seberapa
dekat kekerabatannya.
Dalam hal ini, jika orangtua dari suami adalah saudara kandung dari orang tua istri,
kemungkinannya tentu lebih besar dibandingkan jika orangtua suami adalah sekedar saudara
jauh dari orang tua istri.
Anak yang dihasilkan dari perkawinan (sedarah maupun tidak) dimana kedua orang tuanya
adalah pembawa suatu penyakit genetik autosomal recessive dapat menderita penyakit
tersebut (dengan kemungkinan 25%), dapat menjadi carrier juga (dengan kemungkinan 50%)
atau sama sekali sehat dan bukan carrier (dengan kemungkinan 25%).

b. Golek pesugihan adalah upaya untuk mendatangkan rezeki, cepat kaya secara mendadak
melalui ritual khusus di suatu tempat mistis yang dipercaya memiliki kekuatan gaib dengan
syarat biasanya berupa tumbal, seperti nyawa manusia yang memiliki hubungan darah.
Dalam tradisi masyarakat Nusantara, pesugihan menjadi cara bagi seseorang yang ingin
kaya raya dengan cepat dan mendadak melalui bantuan bangsa jin, setan atau iblis. Mereka
biasanya datang ke suatu tempat yang angker, wingit, mistis dan diyakini dihuni makhluk
gaib yang bisa memberikan kekayaan, baik berupa uang tunai, perhiasan, emas atau harta
karun. Uang itu datang dari berbagai bentuk, mulai dari uang langsung melalui ritual khusus
atau rezekinya tiba-tiba lancar dan bisa langsung kaya. Sebelum mengambil pesugihan,
biasanya ada syarat yang beragam. Syarat pesugihan yang lazim dijumpai adalah nyawa
seseorang yang masih memiliki hubungan kerabat atau darah, seperti anaknya yang
mengambil pesugihan. Ada syarat lain, misalnya harus melakukan ritual dengan
berhubungan intim dengan seseorang yang bukan mukhrimnya atau bahkan berhubungan
seksual dengan makhluk halus. Cara-cara seperti itu biasanya diajarkan oleh dukun, juru
kunci, atau pelawangan tempat yang dikeramatkan. Dalam beberapa kasus, seseorang
biasanya harus menjadi suami bagi jin penunggu tempat yang dikeramatkan. Mereka akan
menjadi pasangan suami istri, menikah secara gaib melalui ritual gaib pula. Pesugihan tuyul
juga bisa menjadi cara cepat menjadi kaya mendadak. Seseorang harus memelihara tuyul
yang diambil dari suatu tempat angker yang kemudian bertugas mencari uang di tempat
orang lain. Secara agama ritual golek pesugihan ini dilarang, karena melanggar hukum
agama dan merugikan orang lain.

c. Harta warisan yang tidak mungkin / tidak dapat dibagi biasanya berupa barang pusaka
(mis: keris). Dalam hukum adat, harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia
tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini
bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:
Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima
berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak
berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan
untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain
harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak
ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas legitieme portie atau bagian mutlaksebagaimana
hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam
Al-Quran Surah An-Nisa.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut
agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari
pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat
saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara
bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

Anda mungkin juga menyukai