Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. Rasa cemas ini biasanya

terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam

menghadapi suatu hal ( Argiya, 2010). Di Indonesia saja, saat ini ada sekitar

70 ribu penderita gagal ginjal kronik yang memerlukan cuci darah. Meski

demikian, angka ini tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, masih ada

lebih banyak penderita yang tidak tercatat (Gatot, 2003 dalam Suryarinilsih,

2010).

Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal

kronis adalah dengan melakukan terapi dialysis tergantung pada keluhan

pasien dengan kondisi kormobid dan parameter, kecuali bila sudah ada donor

hidup yang ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya

pendonor. Pilihan terapi dialisi meliputi hemodialisis dan peritoneal dialysis

(Hartono,2013).

Kecemasan didefinisikan sebagai respon yang berkepanjangan terhadap

ancaman yang tak terduga, respon yang meliputi fisiologis, afektif, dan

perubahan kognitif. Seiring dengan aspek emosional dari gangguan

kecemasan, pasien kecemasan mengalami kesulitan berkonsentrasi dan

merasakan perasaan terganggua yang berdampak negative terhadap

pekerjaan dan hubungan interpersonal mereka. ( Robinson Oj, 2013). Dokter


2

dan perawat yang bertugas di unit Hemodialisa telah berkolaborasi untuk

mengurangi kecemasan pasien GGK yang menjalani HD dengan cara

pemberian obat anti cemas (anxiolytic). Hasil yang diperoleh dari pemberian

obat tersebut cukup membantu pasien, akan tetapi petugas kesehatan juga

cukup mengkhawatirkan efek samping yang ditimbulkan oleh obat

anticemas. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan sebuah terapi non


1
farmakologis yang dapat membantu terjadinya penurunan tingkat kecemasan

pasien GGK yang menjalani HD.

Saat ini, Complementary and Alternative Medicine (CAM) sudah mulai

digunakan dan dikembangkan dalam dunia kesehatan. Penggunaan CAM

dalam dunia kesehatan diharapkan dapat menjadi pelengkap dari perawatan

medis dan dapat diaplikasikan oleh tenaga kesehatan, khusunya tenaga

dibidang keperawatan (Tzu, 2010). Salah satu jenis terapi CAM yang sedang

popular digunakan dalam bidang kesehatan yaitu aromaterapi.

Penyakit gagal ginjal kronik termasuk masalah yang sangat penting.

Penyakit gagal ginjal yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat

memperburuk kearah penyakit ginjal stdium akhir yang membutuhkan terapi

pengganti ginjal permanen berupa hemodialisa atau transplantasi ginjal.

Diseluruh dunia, terdapat sekitar satu juta orang penderita penyakit gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi pengganti (dialisis atau transplantasi)

pada tahun 1996 jumlah ini akan meningkat menjadi dua juta orang pada

tahun 2010 (Firmansyah 2010).


3

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat setiap tahunnya, pada

tahun 2004 diperkirakan terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia diatas

20 tahun mengalami gagal ginjal kronis. Presentase ini menigkat bila

dibandingkan data tahun 1992, yaitu 14,5% (CDC, 2007). Prediksi

menyebutkan bahwa pada tahun 2015 tiga juta penduduk dunia perlu

menjalani pengobatan pengganti ginjal karena penyakit ginjal terminal atau

dengan perkiraan peningkatan 5% per tahunnya.


Data dari National Kidney and Urologic Disease Information

Clearinghouse (NKUDIC) pada akhir tahun 2009, prevalensi penderita

penyakit gagal ginjal stadium akhir di Amerika Serikat yaitu 1.738 penderita

per satu juta penduduk dan 370.274 orang diantaranya menjalani

hemodialisa ( Rustina, 2012). Pada tahun 2013 data survey yang dilakukan

PERNEFRI mencapai 30,7 juta penduduk yang mengalami penyakit gagal

ginjal kronik menurut PT. AASKES ada sekitar 14,3 juta orang penderita

penyakit ginjal tingkat akhir yang saat ini menjalani pengobatan

(PERNEFRI,2013).
Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15.353 pasien yang baru

menjalani hemodialisa dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang

menjalani hemodialisa sebanyak 4.268 orang sehingga secara keseluruhan

terdapat 19.621 pasien yang baru menjalani hemodialisa. Sampai akhir tahun

2012 terdapat 244 unit hemodialisa Indonesi (IRR, 2013).

Berdasarkan data pasien hemodialisa untuk wilayah Sumatera Utara dan

Aceh yang saat ini mencapai hingga 3000 dan juga bertamabh 600 pasien

baru setiap tahunnya. Untuk pasien hemodialisa rutin pada tahun 2007
4

tercatat sebanyak 1.885 pasien. Sementara jumlah pasien baru sebanyak

4.977 orang. Pada tahun 2014 meningkat tajam menjadi 11.689 pasien

hemodialisa rutin aktif dan sebanyak 17.193 pasien hemodialisa baru

(Rasyid, Harun 2015).


Salah satu perawatan bagi penderita gagal ginjal kronis dengan

hemodialisia atau lebih dikenal dengan sebutan cuci darah, yang dapat

menyembuhkan atau memulihkan fungsi ginjal secara keseluruhan. Pasien

harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (biasanya 1-3 kali

seminggu) atau sampai mendapat ginjal baru emalalui operasi pencangkokan

ginjal.

Studi pendahuluan yang didapatkan di Rumah sakit Grand Medistra

Lubuk Pakam, Bulan Januari 2015 hingga September 2016 menunjukkan

bahwa terdapat 18666 pasien rawat jalan dan sebanyak 427 pasien adalah

pasien gagal ginjal kronik dan yang menjalani hemodialisa secara regular

sebanyak 80 pasien (Rekam Medik, 2016).

Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal

kronis adalah dengan melakukan terapi dialysis tergantung pada keluhan

pasien dengan kondisi kormobid dan parameter, kecuali bila sudah ada donor

hidup yang ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya

pendonor. Pilihan terapi dialisi meliputi hemodialisis dan peritoneal dialysis

(Hartono,2013).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Unit Hemodialisa

Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk pakam pada awal Bulan November
5

2016. Dari 20 pasien yang HD dalam satu jadwal (jadwal pagi) saja, 16

orang mengatakan dirinya mengalami kecemasan saat menjalani HD dengan

mengalami tanda-tanda merasa tegang saat dilakukan penusukan catheter

dialiser, serta khawatir terhadap efek samping HD antara lain, kram otot,

kepala pusing, mual dan muntah.

Dalam penggunaannya, aromaterapi dapat diberikan melalui beberapa

cara, antara lain inhalasi, berendam, pijat dan kompres (Bharkatiya et al,

2008). Dari keempat cara tersebut, cara yang tertua, termudah, dan tercepat

diaplikasikan adalah aromaterapi inhalasi.

Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia

berlangsung melalui dua system fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan system

penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat, dan

emosi seseorang (Wong, 2010).

Penelitian Yuliadi (2011) membuktikan bahwa aroma lemon dapat

memberikan efek rileks pada pasien pre operasi section cessaria (p<0,05).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Unit hemodialisa RSUD

Wates pada awal bulan September tahun 2013. Dari delapan pasien yang

menjalani HD, lima orang (62,5%) mengatakan dirinya mengalami

kecemasan dengan mengalami tanda-tanda merasa tegang, jantung berdebar-

debar, serta khawatir terhadap efek samping setelah HD (misalnya mual dan

kepala terasa pusing). Hasil observasi terhadap 2 orang pasien GGK yang

menjalani HD saat akan dilakukan pemasangan akses sarana hubungan


6

sirkulasi oleh perawat, pasien tampak menarik tangan, ekspresi tidak rileks,

sementara seorang yang lain menyeringai dan merintih kecil. Pemasangan

akses sarana hubungan sirkulasi merupakan salah satu stressor yang

mempengaruhi kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa, tetapi antara

pasien yang satu dengan yang lain tampak kecemasan berbeda. Dari

fenomena kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa maka peneliti akan meneliti Pengaruh Aromaterapi Inhalasi

Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Yang Menjalani Hemodialisa.

1.2 Rumusan masalah

Penjelasan dari latar belakang diatas peneliti menyimpulkan bahwa,

angka kejadian pasienpasien yang menderita penyakit gagal ginjal kronik

terus mengalami peningkatan. Begitu pula dengan angka kejadian pasien

yang menjalani terapi hemodialisa yang juga mengalami peningkatan setiap

tahunnya.

Oleh karena itu peneliti ingin meniliti tentang pengaruh aromaterapi

inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pada penderita gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk

Pakam Tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah tersebut peneliti memilki tujuan sebagai

berikut :
7

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat

kecemasan pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik responden yang mengalami kecemasan

dalam menjalani hemodialisa


b. Mengetahui tingkat kecemasan sebelum dilakukan tindakan

aromaterapi inhalasi
c. Mengetahui tingakt kecemasan setelah dilakukan tindakan

aromaterapi inhalasi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Profesi Keperawatan


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan

ilmu bagi profesi keperawatan dalam memberikan intervensi

keperawatan khususnya tentang pembahasan mengenai pengaruh

aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.


2. Bagi Institusi Pendidikan
Kiranya dapat menambah bahan referensi di perpustakaan dan

dapat menambah pengetahuan serta masukan bagi peneliti selanjutnya.


3. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan

pelayanan keperawatan pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa


8

dalam mengontrol kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa.
4. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan

mengenai penanganan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa dalam mengetahui cara penurunan tingkat kecemasan dan

dapat dijadikan dasar untuk pengembangan variable-variabel penelitian

selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Aromaterapi

2.1.1. Penyembuhan Melalui Aromaterapi

Aromaterapi merupakan sebuah metode penyembuhan dengan

menggunakan minyak essensial yang sangat peka yang sering kali sangat wangi

yang diambil dari sari-sari tanamana. Unsur-unsur pokok minyak memberikan

aroma atau bau sangat khas yang diperoleh dari suatu tanaman tertentu. Dengan

suatu cara tertentu minyak essensial membantu tanaman untuk menyelesaikan

siklus pertumbuhan dan reproduksinya. Misalnya, beberapa minyak bisa


9

menarik serangga untuk tujuan penyerbukan; sebagian yang lain mengubah

penyerbukan menjadi tidak ada rasanya sebagai sumber makanan. Setiap

bagian tanaman-batang, daun, bunga, buah, biji, akar, atau kulit kayu-bisa

menghasilkan minyak essensial atau saripati terapi sering kali hanya dalam

jumlah sangat sedikit. Bagian-bagian yang berada dari tanaman yang sama

mungkin menghasilkan minyak dalam bentuk tersendiri. Contohnya adalah

jeruk, yang menghasilkan minyak dengan berbagai khasiat yang berbeda dalam

bunga, buah, dan daunnya, (Setiono. A: 2013).

Minyak essensial masuk kedalam tubuh melalui 3 macam jalur yang

penting. Yaitu; jalur internal, nasal dan penyerapan lewat kulit. Jalur internal

(lewat mulut dan rectum/vagina) tidak banyak digunakan di Inggris. Dari dua

jalur lainnya, jalur nasal atau inhalasi merupakan cara yang sangat efektif dan

oleh sebagian terapis aroma sebenarnya dianggap sebagai satu-satunya metode


9
yang patut menyandang nama aromaterapi. Namun demikian, pemakaian

topical pada kulit ternyata efektif pula ehingga jalur yang dipilih tergantung

pada permasalahan yang akan diatasi.

2.1.2. Cara Kerja Bahan Aromaterapi

Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia

berlangsung melalui dua system fisiologis, yaitu system sirkulasi tubuh dan

system penciuman. Bila diminum atau dioleskan pada permukaan kulit, minyak

essensial akan diserap tubuh, yang selanjutnya akan dibawa oleh system

sirkulasi baik sirkulasi darah maupun sirkulasi limfatik melalui proses


10

pencernaan dan penyerapan kulit oleh pembuluh-pembuluh kapiler. Selanjutnya

pembuluh-pembuluh kapiler mengantarnya ke susunan saraf pusat dan oleh

otak akan dikirim berupa pesan ke organ tubuh yang mengalami gangguan atau

ketidakseimbangan. Minyak essensial yang dioleskan disertai pemijatan akan

lebih merangsang system sirkulasi untuk bekerja lebih aktif.

Beberapa penelitian ilmiah juga menunjukkan manfaat dari sentuhan

dan wangi-wangian dalam mempengaruhi jiwa dan tingkat emosional

seseorang. Organ peraba dan penciuman di dalam system tubuh manusia tidak

saja berfungsi secara seksual tetapi juga berfungsi secara sensual dapat

menagatur dan mengkoreksi ketidakseimbangan hormonal yang terdapat di

dalam tubuh. Dapat dikatan bahwa perawatan dengan aromaterapi mempunyai

kekuatan yang merupakan gabungan dari aktivitas kedua organ intim tersebut

yang dapat menghasilkan respons timbale balik pada seluruh system tubuh.

Berdasarkan penelitian Robert Tisserand, aktivitas aromaterapi pada

kedua organ tersebut tergantung dari respons bau yang dihasilkan oleh sel otak.

Ini bisa terlihat melalui perubahan alur rekaman gelombang otak yang disebut

contingent negative variation. Gelombang otak tersebut sangat sensitive

terhadap perubahan emosional.

Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat, dan emosi

seseorang. Organ penciuman merupakan saran komunikasi alamiah pada

manusia. Hanya sejumlah 8 molekul yang dapat memacu impuls elektris pada
11

ujung saraf. Sedangkan secara kasar terdapat 40 ujung saraf yang harus

dirangsang sebelum seseorang sadar bau apa yang dicium.

Bau merupakan suatu molekul yang mudah menguap ke udara dan akan

masuk ke rongga hidung melalui penghirupan seingga akan direkam oleh otak

sebagai proses penciuman. Proses penciuman sendiri terbagi dalam tiga

tingkatan; dimulai dengan penerimaan molekul bau tersebut pada olfactory

epithelium, yang merupakan suatu reseptor yang berisi 20 juta ujung saraf.

Selanjutnya, bau tersebut akan ditransmisikan sebagai suatu pesan ke pusat

penciuman yang terletak pada bagian belakang hidung. Pusat penciuman ini

hanya sebesar biji buah delima pada pangkal otak. Pada tempat ini berbagai sel

neuron menginterprestasikan ke siste limbic yang selanjutnya akan dikirim ke

hipotalamus untuk diolah. Melalui pengantaran respons yang dilakukan oelh

hipotalamus, seluruh unsur pada minyak essensial tersebut akan diantar oleh

system sirkulasi dan agen kimia kepada organ tubuh yang membutuhkan.

2.1.3. Efek Minyak Essensial Pada Tubuh

Seperti yang sudah diterangkan secara singkat, minyak essensial bekerja

dalam tiga jalur: pencernaan, penciuman, dan penyerapan kulit. Sedangkan

penggunaan minyak essensial melalui mulut (ingestion) sangat jarang

dilakukan. Dari tiga cara kerja tersebut, proses inhalasi melalui penciuman

merupakan cara yang paling efektif. Cara inilah yang pada awalnya dikatakan

sebagai aromaterapi. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya pengetahuan


12

di bidang aromaterapi, penggunaan melalui penyerapan kulit telah terbukti juga

sangat efektif.

2.1.4. Aromaterapi Melalui Penciuman

Proses melalui penciuman merupakan jalur yang sangat cepat dan

efektif untuk menanggulangi masalah gangguan emosional seperti stress atau

depresi, juga beberapa macam sakit kepala. Ini disebabkan rongga hidung

mempunyai hubungan langsung dengan system susunan saraf pusat yang

bertanggung jawab terhadap kerja minyak essensial. Hidung sendiri bukan

merupakan organ penciuman, hanya merupakan tempat untuk mengatur suhu

dan kelembapan udara yang masuk dan sebagai penangkal masuknya benda

asing melalui pernapasan, (Hidayati, Sri Nur: 2011)

Bila minyak essensial dihirup, molekul yang mudah menguap akan

membawa unsur aromatic yang terdapat dalam kandungan minyak tersebut ke

puncak hidung. Rambut getar yang terdapat di dalamnya, yang berfungsi

sebagai reseptor, akan menghantarkan pesan elektrokimia kesusunan saraf

pusat emosi dan daya ingat seseorang yang selanjutnya akan mengantarkan

pesan balik ke suluruh tubuh melalui system sirkulasi. Pesan yang diantar ke

seluruh tubuh akan dikonversikan menjadi suatu aksi dengan pelepasan

substansi neurokimia berupa perasaan senang, rileks, tenang, atau terangsang.

Melalui penghirupan, sebagian molekul akan masuk ke dalam paru-

paru. Cara ini sangat dianjurkan untuk digunakan pada mereka yang memiliki

masalah gangguan pernapasan. Molekul aromatik akan diserap oleh lapisan


13

mukosa pada saluran pernapasan, baik pada bronkus maupun pada cabang

halusnya (bronkioli) secara mudah. Pada saat terjadi pertukaran gas didalam

alveoli, molekul kecil tersebut akan diangkut oleh sirkulasi darah di dalam

paru-paru. Pernapasan yang dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromatik

ke dalam tubuh.

Mengingat mudahnya penyerapan pada lapisan mukosa sluran

pernapasan, seorang ahli dituntut untuk sangat teliti dalam menggunakan

metode ini. Saat ini, metode ini digunakan dengan alat bantu seperti

vaporizerldiffuser atau dapat pula digunakan secara tidak langsung dengan cara

meneteskan minyak essensial ke sapu tangan atau ke permukaan kulit di

tangan, bau dihirup. Cara ini lebih baik dan aman untuk anak-anak, orangtua,

atau wanita hamil. Selain itu dapat juga digunakan dengan bantuan steamer

ataupun botol penyemprot (nebulizer) yang terbuat dari bahan khusus.

2.1.5. Teknik-Teknik Yang Digunakan Dalam Aromaterapi

1. Penghirupan Atau Inhalasi

Penghirupan dianggap sebgai cara penyembuhan paling langsung dan

paling cepat. Anggapan ini adalah karena molekul-molekul minyak essensial

yang mudah menguap tersebut bertindak langsung pada organ-organ penciuman

dan langsung dipersepsikan oleh otak. Metode yang popular adalah metode

penghirupan uap yang dianggap bermanfaatsepanjang zaman, dimana beberapa

tetes minyak essensialditambahkan pada air panas dalam sebuah mangkuk.

Anda duduk dengan wajah berada di atas campuran tersebut dan menutupi
14

kepala, wajah, dan mangkuk dengan handuk sehingga uapnyatidak lepas. Cara

ini dapat diulangi hingga tiga kali sehari tetapi tidak boleh dilakukan oleh

orang-ornag yang menderita asma. Beberapa minyak essensial dapat digunakan

langsung pada sebuah sapu tangan atau di atas bantal dan uapnya dihirup

dengan cara ini.

Penghirupan uap dengan minyak essensial merupakan cara yang sangat

baik dan terus dilakukan sepanjang zaman untuk menhilangkan gejala-gejala

masuk angin dan flu, dan juga dapat berguna bagi kulit berminyak. Namun

penghirupan uap harus dihindari oleh penderita asma jika tidak dibawah

pengawasan praktisi medis, karena kadang-kadang uap dapat mengganggu

paru-paru.

2.1.6. Cara-cara Inhalasi

1. Kertas Tissue

Inhalasi dari kertas tissue yang ditetesi 5-6 tetes minyak essensial (3

tetes untuk anak-anak, pasien dewasa, lanjut usia, dan wanita hamil) merupakan

cara yang paling efektif untuk memberikan hasil yang segara. Cara ini

dilakukan dengan dua atau tiga kali menarik napas dalam agar terjadi kontak

yang baik dengan silis hidung. Untuk memberikan manfaat lebih besar dan

memudahkan bagi pasien anak-anak serta lanjut-usia, kertas tissue tersebut

dapat diletakkan diblik kemeja, blouse atau pakaian tidur sehingga efeknya bisa

berlangsung terus karena panas tubuh akan membuat molekul-molekul minyak

essensial menjadi uap yang melayang mencapai hidung. Kertas tissue yang
15

keras seperti kertas yang dipakai di dapur akan menahan aroma minyak

essensial lebih lama dari pada sapu tangan kertas yang lembut.

2.1.7. Minyak Essensial Dalam Mengatasi Stres Dan Rasa Cemas

Meredakan stress merupakan salah satu kekhususan dalam bidang

aromaterapi karena aromaterapi mempunyai manfaat menghilangkan stress dan

rasa cemas tersebut. Perawatan aromaterapi dapat menenangkan atau

merelaksasi tubuh sehingga memberikan kesempatan bagi system tubuh untuk

mengadaptasi keadaan tersebut dan akhirnya dapat menentramkan seluruh

fungsi tubuh yang terkait dengan rasa cemas.

Gary Schwartz, seorang psikolog yang mendalami aromaterapi,

mempelajari bagaimana indra penciuman dapat mempengaruhi fungsi otak

untuk mengatur rasa takut dan cemas. Pada penelitian tersebut, subjek

penelitian diprovokasi untuk mencapai titik kecemasan tertentu. Setelah titik

kecemasan tertentu dicapai, setiap subjek penelitian diciumkan bau apel.

Setelah menciumbau apel, didapati adanya penurunan kecepatan bernapasa dan

relaksasi otot-otot pada mereka. Selai itu, mereka terlihat lebih ceria serta

tekanan darah sistolik dan diastoliknya menurun secara bermakna. Dengan

penambahan minyak cengkeh dan kayu manis, efek relaksasi pada orang yang

mengalami kecemasan ini terlihat lebih bermakna lagi.

Tabel 2.1. Mengatasi stress dan rasa cemas

Minyak essensial yang dapat Metode penggunaan


digunakan:
16

Cypress, ayu putih, geranium, 1) Dicium atau dihirup: 1-2 tetes


grapefruit, juniper, lavender, satu atau campuran dari minyak
peppermint, atau rosemary essensial tersebut di atas
2) Pemijatan: 2-6 tetes salah satu
atau campuran minyak essensial
tersebut diatas diencerkan dengan
3- ml minyak karier.

2.1.8. Jenis Penyakit Umum, Gangguan-gangguan yang berkaitan dengan

stres

Cemas : Minyak kemangi, bergamot, geranium, lavender, marjoram (manis),

Melissa, minyak bunga jeruk, kayu cendana, vetiver.

1. Lavender (Lavendula vera)

Lavender yang sangat harum ini merupakan spesies asli negara-negara

Mediterania tetapi telah lama dikenal sebagai tanaman kebun di Inggris dan

banyak negara lainnya. Tanaman ini memiliki khasiat antiseptic, tonik dan

menenangkan, minyak esensialnya yang digunakan dalam aromaterapi

diperoleh dengan menyuling bunganya melalui penyulingan uap. Minyak

lavender dianggap sebagai salah satu persiapan yang paling aman digunakan

untuk menyembuhkan berbagai macam gangguan, (Hidayati, Sri Nur : 2011).

Lavender digunakan untuk : luka bakar, infeksi kulit, perawatan kulit,

luka potong, memar, jerawat, eksim, rang kulit, (dermatitis, flu, mual, stress,

sakit kepala, asma, rematik, nyeri otot, radang sendi, tekanan darah tinggi.
17

Terutama baik untuk: stress, sakit kepala, luka potong, luka bakar dan kutil.

(Grosset dan Giddes: 2010).

2.2. Defenisi Kecemasan

Kecemasan (anxiety) adalah penjelmaan dari berbagai proses emosi

yang bercampur baur, yang terjadi manakala seseorang sedang mengalami

berbagai tekanan-tekanan atau ketegangan (stress) seperti perasaan (frustasi)

dan pertentangan batin (konflik batin). Perasaan cemas dapat timbul oleh

karena dua sebab, pertama dari apa yang disadari seperti rasa takut, terkejut,

tidak berdaya, rasa bersalah/berdosa merasa terancam, dan sebagainya. Kedua,

yang terjadi dari luar kesadaran dan tidak mampu menghindari dari perasaan

yang tidak menyenangkan itu. Rasa cemas itu terdapat dalam semua gangguan

dan penyakit jiwa, dan bentuknya punbermacam-macam, (Prasetyono, Dwi

Sunar: 2013).

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memunkinkan seseorang mengambil

tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan memperingatkan adanya

ancaman eksternal dan internal dan memiliki kualitas menyelamatkan hidup,

(Harold IK, Sadock BJ: 2010)

Gejala kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik (menahun)

merupakan komponen utama bagi hamper semua gangguan kejiwaan

(psychiatric disorder). Secara klinis gejala kecemasan dibagi dalam beberapa

kelompok, yaitu : gangguan cemas (anxiety disorder), gangguan cemas


18

menyeluruh (generalized anxiety disoreder/GAD), gangguan panic (panic

disorder), gangguan phobic ( phobic disorder) dan gangguan obsesif-kompulsif

(obsessive-compulsive disorder).

Pertama, rasa cemas yang akibat melihat dan mengetahui ada bahaya

yang mengancamdirinya. Ketika kecemasan lepas dari pertimbangan, yakni

ketika cemas keluar bersama-sama emosi dan reaksi fisik. Ketika anda

merasakan kegelisahan yang amat sangat dimana mengharapkan orang-orang

mau mengerti keadaan anda. Perasaan cemas seperti ini biasanya disebut

dengan perasaan takut kalau terjadi sesuatu pada dirinya., karena sumbernya

jelas dan ada dalam pikiran, misalnya seorang pelajar/mahasiswa sering merasa

cemas sebelum menghadapi ujian. Atau seorang wartawan yang belum

mendapatkan berita, merasa cemas atau tegang (stress) apabila deadline

mendekati. Dengan keadaan demikian mungkin ia membutuhkan pertolongan

untuk mengatasi kecemasan. Sebab itu merupakan hambatan atau penghalang

dan akan membuat hidupnya semakin sulit, (PPDG-II,Rev.2013). Diperkirakan

jumlah mereka yang menderita gangguan kecemasan ini baik akut maupun

kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita

dan pria 2 banding 1.

Kedua, perasaan cemas yang berupa penyakit dan dapat dilihat dalam

beberapa bentuk. Yang paling sederhana adalah perasaan cemas (takut) oleh

karena sesuatu sebab yang kurang jelas, dan tidak ada kaitannya dengan apa-

apa, namun mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Ada yang merasa takut

bila melihat benda-benda, seperti melihat darah, cacing, cicak, kadal, atau
19

tempat ketinggian dan tempat-tempat ramai, atau takut ditinggal sendirian.

Kemudian ada juga yang merasa cemas dalam bentuk ancaman. Orang merasa

cemas karena mengira akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan dirinya,

sehingga seolah-olah dirinya merasa mendapat ancaman oleh sesuatu.

Ketiga, terkadang orang merasa cemas karena telah melakukan dosa

atau rasa bersalah karena melakukan hal-hal yang bertentangan dengan

batinnya. Perasaan cemas ini dapat dilihat secara fisik karena gejalanya sangat

terlihat, misalnya jari jemari atau telapak tangan mengeluarkan keringat dingi,

pencernaan tidak teratur, jantung berdetak keras, keringat dingin disekujur

tubuh, hilang nafsu makan, gelisah ketika sedang tidur, kepala sering pusing,

nafas sesak dan sebagainya. Sedangkan gejala yang tak terlihat atau secara

mental gejala ini seperti, sulit berkonsentrasi, rendah diri, tidak berdaya, kurang

percaya diri, tidak tentram selalu.

Dengan demikian kecemasan adalah sesuatu yang dapat kita mengerti

seluruhnya, karena semua orang pasti dan akan merasakan kecemasan ini.

Tetapi kecemasan dapat menjadi gangguan utama, ketika anda mengalaminya

untuk memperoleh pengalaman baru dan bisa mendatangkan keberhasilan,

tetapi ini sedikit sekali membimbing anda untuk sebuah perkembangan dalam

sebuah kepercayaan diri.

Seseorang yang merasa gelisah berkepanjangan akan menderita emosi

dan fisiknya, apakah ini disebabkan oleh yang nyata ataupun tidak merupakan

sebab nyata. Gejala-gejala fisik dari kecemasan adalah jika ada pengalamn
20

yang tak menyenangkan dalam waktu yang cukup lama, akan berakibat pada

kesehatan anda, keadaan mental, hubungan keluarga, teman ataupun rekan

kerja anda. Jika seseorang menderita keadaan seperti ini tidak segera dibantu,

mereka akan jauh lebih terperosok jauh ke dalam perasaan depresi dan ini sama

artinya dengan sakit fisik.

2.2.1. Gejala Klinis Cemas

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut:

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,

mudah tersinggung
b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
f. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan

tulang, pendengaran berdenging (tiritus), berdebar-debar, sesak

nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala

dan lain sebagainya.

Selain keluhan-keluhan cemas secara umum di atas, ada lagi kelompok cemas

yang lebih berat yaitu gangguan cemas menyeluruh, gangguan panic,

gangguan phobic dan gangguan obsesif-kompulsif.

A. Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder/GAD)


21

Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan

yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan)

dengan manifestasi 3 dari 4 kategori gejala berikut ini:

1. ketergantungan motorik/alat gerak:

a. Gemetar
b. Tegang
c. Nyeri otot
d. Letih
e. Tidak dapat santai
f. Kelopak mata bergetar
g. Kening berkerut
h. Muka tegang
i. Gelisah
j. Tidak dapat diam
k. Mudah kaget

2. Hiperaktivitas saraf autonom (simpatis/parasimpatis):

a. Berkeringat berlebihan
b. Jantung berdebar-debar
c. Rasa dingin
d. Telapak tangan/kaki basah
e. Mulut kering
f. Pusing
g. Kepala terasa ringan

B. Gangguan Panik

Gejala klinis gangguan panic yaitu kecemasan yang datangnya

mendadak disertai oleh perasaan takut mati, disebut juga sebagai serangan

panic (panic attack). Secara klinis gangguan panic ditegakkan (criteria

diagnostic) oleh paling sedikit 4 dari 12 gejala-gejala dibawah ini yang muncul

pada setiap serangan:


22

1. Sesak napas
2. jantung berdebar-debar
3. nyeri atau rasa tak enak di dada
4. rasa tercekik atau sesak
5. pusing, vertigo (penglihatan berputar-putar), perasaan melayang
6. perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realistic
7. kesemutan
8. rasa aliran panas atau dingin
9. berkeringat banyak
10. rasa akan pingsan
11. menggigil atau gemetar
12. merasa takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan melakukan

suatu tindakan secara tidak terkendali selama berlangsungnya serangan

panik.
Orang yang mengalami serangan panic tersebut di atas juga

menimbulkan kepanikan pada orang lain (anggota keluarga). Seringkali ia

dibawa ke rumah sakit bagian Unit Gawat Darurat (UGD), dan sering pula

dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik yang menyebabkan

kematian. Tidak jarang dalam stau minggu 2 sampai 3 kali timbul serangan

panic kemudian depresif.

C. Gangguan Phobik

Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi

oleh gangguan alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan

tidak rasional terhadp suatu obyek, aktivitas atau situasi tertentu (spesifik),

yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghindarinya. Rasa


23

ketakutan itu disadari oleh ornag yang bersangkutan sebagai suatu ketakutan

yang berlebihan dan tidak masuk akal,namun ia tidak mampu mengatasinya.

Dari sudut psikopatologi dapat disebutkan bahwa gangguan phobia

adalah suatu mekanisme defensive dalam upaya sesorang untuk mengatasi

kecemasannya. Mekanisme defensive tersebut dilakukan dengan jalan

mengalihkan (displacement) pad aide, obyek, atau situsi tertentu yang bertindak

sebagai simbul dari konflik atau psikotrauma masa lalu (symbolization).

Meskipun bersangkutan itu sadar bahwa sebenarnya tidak ad aide, obyek atau

situasi yang membahayakan dirinya (tiak rasional), namun hal itu dikemukakan

atau diciptakan sebagai sutu simbolik atas ketidak-berdayaan (powerless)

terhadap pengalaman atau psikotrauma masa lalu yang penuh dengan

ketegangan dan ketakutan, suatu konflik yang tak terselesaikan dan ditekan

dalam alam tak sadarnya.

D. Gangguan Obsesif-Kompulsif

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang didominasi oleh pikiran

yang terpaku (persistence) dan berulang kali muncul (recurrent). Sedangkan

kompulsi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi

dari pikiran yang bercorak obsesif tadi. Seseorang yang menderita gangguan

obsesif-kompulsif tadi akan terganggua dalam funsi atau peranan sosialnya.

Sebagai contoh yang sederhana misalnya orang yang mencuci

tangannya berkali-kali (reated hand washing), meskipun sebenarnya ia sadar

bahwa mencuci tangan pertama kali itu sudah bersih dan tidak perlu diulang
24

kembali. Namun, ia tidak mampu menguasai pikiran obsesif yang menyatakan

bahwa tangannya belum bersih, dan karenanya untuk menghilangkan rasa

cemasnya itu ia mengulang kembali mencuci tangan. Demikianlah hal tersebut

selalu terjadi berulang kali sehingga menimbulkan penderitaan bagi dirinya.

Contoh lain misalnya orang yang mnegunci pintu berulang kali, berulang-ulang

mengambil air wudhu, atau mandi atau mengucap takbir (takbir awal) berulang

kali sebelum melanjutkan sholat. Dalam bahasa awam gangguan ini seringkali

disebut sebagai penyakit was-was.

Secara klinis criteria diagnostic gangguan obsesif-kompulsif adalah

sebagai berikut:

a. Obsesi:

Gangguan atau ide, bayangan atau impuls, yang terpaku (persistence) dan

berulang (recurrent), dan bersifat ego-distonik yaitu tidak dihayati sebagai

hal yang tak masuk akal atau tak disukai. Ada usaha-usaha untuk tidak

menhiraukan atau menekannya.

b. Kompulsi:

Tingkah laku berulang yang nampaknya mempunyai tujuan, yang

ditampilkan menurut aturan tertentu atau dengan cara strereotipik. Tingkah

laku ini tidak merupakan tujuan akhir tetapi dimaksudkan untuk

menghasilkan atau sebaliknya mencegah suatu peristiwa atau situasi di masa


25

mendatang. Namun demikian, aktivitas ini tidak mempunyai kaitan atau

relevansi yang realistic dengan hal yang akan dicegah atau dihasilkan; atau

jelas-jelas berlebihan. Perbuatan itu dilakukan dengan rasa kompulsi

subyektif dan disertai keinginan untuk melawan kompulsi itu (paling tidak

pada tahap permulaan). Orang yang bersangkutan umumnya mengenal

bahwa perbuatannya itu tidak masuk akal, dan tidak memperoleh

kesenangan atau kepuasan ketika melakukan pengulangan perbuatan itu,

walaupun hal ini meredakan ketegangan.

Dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat ada juga pola perilaku yang

bercorak mirip obsesif-kompulsif misalnya gangguan pola makan (eating

disorder), penyimpangan perilaku seksual (sexual deviation), judi

penyalahgunaan NAZA dan lain sebagainya.

2.2.2. Alat Ukur Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah

ringan, sedang, berat atau berat sekali orang mengguanakan alat ukur

(instrument) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety

(HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing

kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing

kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya adalah:

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

1 = gejala ringan
26

2 = gejala sedang

3 = gejala berat

4 = gejala berat sekali

Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter (psikiater

atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara

langsung. Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala

tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui

derajat kecemasan seseorang, yaitu :

Total nilai (score): kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

14 20 = kecemasan ringan

21 27 = kecemasan sedang

28 41 = kecemasan berat

42 56 = kecemasan berat sekali

Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRS-A ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Alat Ukur Kecemasan

No. Gejala Kecemasan Nilai Angka (Score)


1 Perasaan Cemas (Ansietas) 0 1 2 3 4
- Cemas
27

- Firasat buruk
- takut akan fikiran sendiri
- mudah terseingguang
2. Ketegangan 0 1 2 3 4
- Merasa tegang
- Lesu
- Tidak bisa istirahat tenang
- Mudah terkejut
- Mudah menangis
- Gemetar
- Gelisah
3. Ketakutan 0 1 2 3 4
- Pada gelap
- Pada orang asing
- Ditinggal sendiri
- Pada binatang besar
- Pada keramaian lalu lintas
- Pada kerumunan orang banyak
4. Gangguan tidur 0 1 2 3 4
- Sukar masuk tidur
- Terbangun malam hari
- Tidur tidak nyenyak
- Bangun dengan lesu
- Banyak mimpi-mimpi
- Mimpi buruk
- Mimpi menakutkan
5. Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4
- Sukar konsentrasi
- Daya ingat menurun
- Daya ingat buruk
6. Perasaan depresi (murung) 0 1 2 3 4
- Hilangnya minat
- Berkurangnya kesenangan pada hobi
- Sedih
- Bangun dini hari
- Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7. Gejala somatic/fisik (otot) 0 1 2 3 4
- Sakit dan nyeri-nyeri di otot-otot
- Kaku
- Kedutan otot
- Gigi gemerutuk
- Suara tidak stabil
8. Gejala somatic/fisik (sensorik) 0 1 2 3 4
- Tinnitus (telinga berdenging)
28

- Penglihatan kabur
- Muka merah atau pucat
- Merasa lemas
- Perasaan ditusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh 0 1 2 3 4
darah)
- Takikardia
- Berdebar-debar
- Nyeri di dada
- Denyut nadi mengeras
- Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan
- Detak jantung menghilang (berhenti
sekejap)
10. Gejala respiratorik (pernafasan) 0 1 2 3 4
- Rasa tertekan atau sempit di dada
- Rasa tercekik
- Sering menarik nafas
- Nafas pendek/sesak
11. Gejala gastrointestinal (pencernaan) 0 1 2 3 4
- Sulit menelan
- Perut melilit
- Gangguan pencernaan
- Nyeri sebelum dan sesudah makan
- Perasaan terbakar diperut
- Rasa penuh atau kembung
- Mual
- Muntah
- Buang air besar lembek
- Sukar buang air besar (konstipasi)
- Kehilangan berat badan
12. Gejala congenital (perkemihan dan kelamin) 0 1 2 3 4
- Sering buang air kecil
- Tidak dapat menahan air seni
- Tidak dating bulan (tidak haid)
- Darah haid berlebihan
- Darah haid amat sedikit
- Masa haid berkepanjangan
- Masa haid amat pendek
- Haid beberapa kali dalamsebulan
- Menjadi dingin (frigid)
- Ejakulasi dini
- Ereksi melemah
- Ereksi hilang
- Impotensi
13. Gejala 0 1 2 3 4
29

- Mulut kering
- Muka merah
- Mudah berkeringat
- Kepala pusing
- Kepala terasa berat
- Kepala terasa sakit
- Bulu-bulu berdiri
14. Tingkah laku (sikap) saat wawancara 0 1 2 3 4
- Gelisah
- Tidak tenang
- Jari gemetar
- Kerut kening
- Muka tegang
- Otot tegang atau mengeras
- Nafas pendek dan cepat
- Muka merah

2.3. Gagal Ginjal Kronik

2.3.1. Defenisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease) tidak dapat

dikembalikan ataupun dipulihkan dan terjadi penurunan progresif jaringan

fungsi ginjal. Ketika massa ginjal yang tersisa tidak dapat lagi menjaga

lingkungan internal tubuh, maka akibatnya adalah gagal ginjal. Penyakit ini

disebut CKD stadium 5 dan juga penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). CKD

dapat berkembang tanpa gejala selama beberapa tahun, atau mungkn akibat dari

episode ARF yang belum pulih.

Inssiden ESRD atau CKD stadium 5 sangat beragam bergantung

keadaan dan negara. Di Amerika Serikat, insidennya adalah 338 kasus baru per

sejuta orang. Menurut US Renal Data System (system data Ginjal AS), pada

akhir 2003 total 441.051 orang dirawat dengan ESRD, kira-kira 28%
30

melakukan transplantasi, 66% menerima hemodialisa dan 5% menjalani

dialysis peritoneal (untuk beberapa orang data tidak tersedia. Pola pengobatan

ini sangat beragam secara global.

Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) dalam

Desita (2010), gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan

penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut:

a) Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90ml/min/1,73 m2)


b) Stadium 2 : Ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
c) Stadium 3 : Sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
d) Stadium 4 : Gagal Berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
e) Stadium 5 : Gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)

2.3.2. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab CKD stadium 5 (ESRD) sangatlah banyak. Dibahas beragam

proses cedera dan penyakit yang mungkin mengakibatkan gagal ginjal.

Glomerulonefritis kronis, ARF, penyakit ginjal polikistik, obstruksi, episode

pielonefritis berulang, dan nefrotoksin adalah contoh penyebabnya. Penyakit

sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, lupus eritematosus, poliarteritis,

penyakit sel sabit, dan amiloidosis, dapat menyebabkan CKD. Diabetes

mellitus adalah penyebab utama dan terjadi lebih dari 30% klien menerima

dialysis. Hipertensi adalah penyebab utama ESRD kedua.

Untuk menurunkan resiko CKD, klien harus diperiksa dengan teliti dan

harus menerima pengobatan yang cukup untuk mengontrol atau memperlambat

perkembangan masalah ini sebelum berkembang menjadi ESRD. Beberapa


31

kondisi, seperti lupus dan diabetes mellitus dapat berkembang menjadi gagal

ginjal walaupun dengan pengobatan yang tepat.

2.3.3. Patofisiologi

Patogenesis ESRD melibatkan deteriorasi dan kerusakan nefron dengan

kehilangan bertahap fungsi ginjal. Oleh karena GFR total menurun dan klirens

menurun, mak kadar serum ureum nitrogen dan kreatinin meningkat.

Menyisakan nefron hipertropi yang berfungsi karena harus menyaring larutan

yang lebih besar. Konsekuensinya adalah ginjal kehilangan kemampuannya

untuk mengkonsentrasikan urine dengan memadai. Untuk terus mengeksresikan

larutan, sejumlah besar urine encer dapat keluar, yang membuat klien rentan

terhadap deplesi cairan. Tubulus perlahan-lahan kehilangan kemampuannya

unuk menyerap kembali elektrolit. Kadang kala, akibatnya adalah pengeluaran

garam, dimana urine berisi sejumlah besar natrium, yang mengakibatkan poliuri

berlebih.

Oleh karena gagal ginjal berkembang dan jumlah sefron yang berfungsi

menurun, GFR total menurun lebih jauh. Dengan demikian tubuh menjadi tidak

mampu membebaskan diri dari kelebihan air, garam, dan produk sisa lainnya

melalui ginjal. Ketika GFR kurang dari 10 sampai 20ml/menit, efek toksin

uremia pada tubuh menjadi bukti. Jika penyakit tidak diobati dengan dialysis

atau transplantasi, hasil ESRD adalah uremia dan kreatini.

2.3.4. Pathway Gagal Ginjal Kronik


ETIOLOGI

(glomerulonefritis, nefropato dibetik, nefrosklerosis hipertensif)

Jumlah fungsional Nefron


32

75% nefron hancur


Nefron yang terserang hancur
Nefron yang masih utuh
90% nefron hancur LFG
adaptasi
Tidak dapat mengkompensasi BUN dan kreatinin
Hipertrofi nefron
(ketidakseimbangan cairan elektrolit)
Adaptasi Hiperfiltrasi
LFG 15% dari normal
Keseimbangan cairan elektrolit
BUN & kreatinin hiperfiltrasi dipertahankan

Fungsi ginjal rendah


Urine isoosmotis Rennin - angiotensin
Cadangan ginjal
Oliguri, nocturia Ketidakseimbangan dalam
glomerulus dan tubulus Insufisiensi ginjal
Uremia Poliuri, oliguri, nocturia Renin angiotensin

Insuficiensi ginjal Retensi Na+ & K+


Penumpukan Kristal
urea di kulit
Gagal ginjal

Anemia, TD naik, pruritus


Eritropoitin di ginjal

Badan lemah, mual muntah nafsu makan,


BB, Anemia

Skema 2.1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Dharma Seto Paul dr,dkk, (2015)

2.3.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis stadium awal gagal ginjal bergantung pada proses

penyakit dan factor-faktor yang berkontribusi. Oleh karena kerusakan nefron

berkembang menjadi ESRD, manifestasi dijelaskan menjadi sindrom uremia.

Akhir-akhir ini. National Kidney Foundation mengajukan serangkaian panduan


33

klinis praktis yang menggaris bawahi system klasifikasi seragam untuk CKD.

System klasifikasi dan stratifikasi ini telah mengganitikan istilah0istilah yang

kurang tepat seperti insufusiensi ginjal kronis dan gagal ginjal kronis.

Manifestasi klinis CKD stadium 5 muncul di seluruh tubuh. Tidak ada

system organ yang tersisa. Peta konsep mengilustrasikan pengobatan penyakit

ginjal stadium 5. Perubahan ginjal (yang dijelaskan sebelumnya) termasuk

ketidakmampuan ginjal mengkosentrasikan urine dan mengatur pengeluaran

elektrolit. Poliuri berkembang menjadi anuria, dank lien kehilangan pola

pengosongan diurinal normal. Selanjutnya, seluruh fungsi normal ginjal, seperti

pengaturan keseimbangan asam basa, pengaturan tekanan darah, sintetis 1,25-

dihidroksikolekalsiferol, bioginesisi eritropoitin, degadrasi insuli, dan sintetis

prostaglandin rusak.

2.3.5. Ketidakseimbangan Elektrolit

Keseimbangan elektrolit dikacaukan oleh kerusakan ekskresi dan

pengguanaan ginjal. Walaupun banyak klien mempertahankan kadar serum

natrium normal,namun garam yang terbuang karena kegagalan fungsi ginjal,

dan juga muntah diare, dapat menyebabkan hiponatremia. Hiponatremia yang

terliaht mungkin adalah efek dilusi retensi air. Pada akhirnya, retensi garam dan

air sering kali akan berkontribusi pada terjadinya hipertensi dan gagal ginjal.

Oleh karena ginjal efisien dalam mengekskresikan kalium, kadar kalium

biasanya tetap dalam batas normal sampai fase akhir penyakit. Namun begitu,

hiperkalemia kemudian menjadi masalah yang menantang. Katabolisme, obat


34

yang mengandung kalium, trauma, transfuse darah, dan asidosis berkontribus

terhadap kelebihan kalium. Fitur terapi komplementer dan alternative berikut

menerangkan kemanjuran jus noni dalam pencegahan dan pengobatan penyakit

ginjal.

2.4. Defenisi Hemodialisa

Hemodialisa merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolism berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah

melalui membrane semipermiabel atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas,

2003 dalam Suryarinilsih, 2010). Proses hemodialisa ini dapat dilakukan dua

sampai tiga kali seminggu yang memakan waktu tiga sampai lima jam setiap

kali hemodialisa (Smeltzer dan Bare, 2008 dalam Suryarinilsih, 2010).

Hemodialisis dapat didefenisikan sebagai suatu proses pengubahan

komposisi solute darah oleh laruten lain (cairan dialisat). Saat ini terdapat

berbagai defenisi hemodialisis, terjadi pada prinsipnya hemodialisis adalah

suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu

membrane yang semifermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut.

Hemodialisa merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi.

Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membrane semipermiabel

berdasarkan perbedaan konsentreasi zat atau molekul. Laju difusi terbesar

terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme

utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit, dan
35

untuk penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu

berbanding terbalik dengan visositas dan ukuran molekul yang dibuang

(molekul besar akan terdifusi dengan lambat). Dengan meningkat aliran darah

yang melalui dialiser, akan meningkatkan kliens dari zat terlarut dengan berat

molekul rendah (seperti urea, kreatinin, elektrolit) dengan tetap

mempertahankan gradient konsentrasi yang tinggi.

2.4.1. Indikasi Hemodialisa

Hemodialisa dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut :

1) Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan

dan/atau hipertensi
2) Hiperkalemia yang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi

farmakologis
3) Asidosis metabolic yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat
4) Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi fosfat
5) Anemia yang refrakter terhadap pemberian aritropoiten dan besi
6) Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa

penyebab yang jelas


7) Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala

mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenetis


8) Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah

adanya gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan

psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh

penyebab lain, serta diathesis hemoragik dengan pemanjangan waktu

perdarahan.

2.4.2. Kontraindikasi Hemodialisa


36

Kontraindikasi absolute untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila

tidak didapatkannya akses vascular. Kontraindikasi relative adalah apabila

ditemukan adanya kesulitan akses vascular, fobia terhadap jarum, gagal

jantung, dan koagulopati.

Dosis hemodialisa

Sampai tahun 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal

menentukan dosis HD atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih

memperhatikan pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa

metabolisme. Efisiensi dialysis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat

melalui dialiser yang sesuai dengan karakteristik dari dialiser. Dosis dialysis

yang didefenisiskan sebagai jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi

dialysis, dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan

protein dalam makanan, derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya

komorbid.

Kecukupan (adequacy) dialysis menjadi target dosis dialysis. Pada

awalnya kecukupan dialysis ditentukan atas dasar criteria klinis, kemudian atas

dasar formula Kt/V, suatu formula yang didapatkan atas analisis penelitian

NCDS (National Cooperative Dialysis Study), seperti yang direkomendasi

KDOQ. Pengertian K adalah klirens urea dari dialiser, t lama dialysis, dan V

adalah volume distribusi urea. Untuk HD yang dilaksanakan 3 kali 4 jam dalam

seminggua dianjurkan minimal mencapai nilai Kt/V yang dilaksanakan

(delivered Kt/V) adalah 1,2 dengan target 1,4 Kt/V yang lebih tinggi
37

menurunkan survive lebih lanjut. Guna keperluan praktis saat ini dipakai juga

URR (% urea reduction rate), atau besarnya penurunan ureum dalam persen,

URR=100% x (1- (ureum sebelum/ureum sesudah dialysis)). Dalam panduan

dianjurkan pada hemodialisis 3 x seminggu target URR setiap kali HD adalah

diatas 65%.

Panduan hemodialisis dari Inggris menyatakan HD minimal adalah 3

kali seminggu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dialysis yang semakin

sering, setiap hari, lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.

2.4.4. Akses Vaskular Dialisis

Akses vascular dialysis diperlukan untuk memperoleh aliran darah yang

cukup besar. Akses ini dapat beupa fistula (arteri-vena), graft, maupun kateter

intra vena, yang berfungsi untuk mengalirkan darah saat HD. Fistula dibuat

dengan melakukan anastomosis arteri ke vena (misalnya fistula Brescia-Cimino

diamana dibuat anastomosis end to side dari vena sefalika dan arteri radialis)

sehingga terbentuk suatu arteriliassasi dari vena. Hal ini memungkinkan untuk

dilakukannya penusukan jarum yang besar kedalam sirkulasi sehingga dapat

mengalirkan darah sampai lebih dari 300 ml/menit. Fistula memiliki patensi

jangka panjang paling lama diantara semua pilihan akses dialysis. Di Amerika

Serikat banyak pasien dipasang graft arterivenosus (yaitu interposisi bahan

prostetik, biasanya politetrafluoroetilen, diantar arteri dan vena).

Graft dan kateter intravascular cenderung dipakai pada pasien dengan

diameter vena yang lebih kecil atau pasien dengan vena yang telah mengalami
38

kerusakan akibat penusukan berulang atau pasca perawatan yang lama.

Komplikasi paling serius pada pemakaian graft terutama disebabkan oleh

hyperplasia intima pada anastomosis antara graft dan vena resipien. Graft dan

kateter memiliki angka kejadian infeksi yang lebih tinggi dibandingkan fistula.

2.4.5. Komplikasi Akut Hemodialisis

Hipotensi merupakan komplikasi akut yang sering terjadi selama HD,

terutama pada pasien dengan diabetes. Sejumlah factor resiko terjadinya

hipotensi adalah ultrafiltrasi dalam jumlah besar disertai mekanisme

kompensasi pengisian vaskuler (vascular filling) yang tidak adekuat, gangguan

respon vasoaktif atau autonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang

berlebihan, dan menurutnya kemampuan pompa jantung. Pasien dengan fistula

arteriovenous dan graft dapat mengalami gagal jantung high output akibat

adanya shunt darah pada akses, dan mungkin memerlukan ligasi dari fistula

atau graft. Pemakaian buffer setat dalam dialisat sudah mulai ditinggalkan

karena efek vasodilatasi dan kardiodepresifnya, dan sejak kejadian hipotensi

selama dialysis telah menurun.

Hemodialisa sering terjadi, dengan semakin lamanya penderita

menjalani hemodialisa maka semakin sering terpapar oleh efek samping dari

hemodialisa baik akut maupun kronis seperti dialysis disequilibrium syndrome

dan hipotensi (Lee & Ganiesh, 2011 dalam Rustanti, 2012).

Hemodialisi merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi.

Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membrane semipermiabel


39

berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju difusi terbesar terjadi

pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme utama

untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatini, elektrolit, dan untuk

penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu larutan

(meningkatkan gerakan molekul secara acak) dan berbanding terbalik dengan

viskositas dan ukuran molekul yang dibuang (molekul besar akan berdifusi

dengan lambat).

2.4.6. Kapan Harus Cuci Darah

Cuci darah dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:

- Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)


- Perikarditis (peradangan kantong jantung)
- Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon

terhadap pengobatan lainnya


- Gagal jantung
- Hiperkalemia

2.5. Kerangka Teori

Kerangka teori menggambarkan hubungan variable-variabel yang akan

diteliti. Kerangka teori pada penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Penyakit Ginjal Kronis

Terapi Pengganti Ginjal

Hemodialisa

a. relaksasi benson
Factor Masalah Psikologis
b. relaksasi musikPada Pasien Hemodialisa: Aromaterapi dapat dilakukan
kecemasan , depresi, isolasi social, melalui beberapa cara: inhalasi,
Aplikasi c. relaksasi
kesepian,
komplementer aromaterapi
Tidak berdaya , Putus asa
Menurunkan Kecemasan berendam, pijat dan kompres
40

Skema 2.2. Kerangka Teori Penelitian Menurut Kara dan Acikel (2010)

2.6 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan

bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis

beberapa factor yang dianggap penting untuk masalah (Alimul, 2011).

Kerangaka konsep penelitian ini berfokus untuk melihat pengaruh aromaterapi

inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa.

Variabel Independen Variabel Dependen

Aromaterapi Inhalasi Kecemasan

Keterangan : Skema 2.3. Kerangka Konsep penelitian


: Variabel yang diteliti

: Berpengaruh dengan
41

2.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian,

yang kebenarannya masih harus diuji secara empirik, (Narbuko Cholid, 2010).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pemberian

aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penilitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, dengan rancangan

penelitian pra experimental menggunakan pendekatan One Grup Pretest

Posttest yaitu rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (control), tetapi

paling tidak sudah dilakukan obeservasi pertama (pretest) yang memungkinkan

menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya experiment

(Notoadmojo, 2012). Dalam penelitian ini, peniliti memilih pasien yang sedang

menjalani hemodialisa sebagai sample penelitian. Selanjutnya diobservasi nilai


42

kecemasan sebelum dilakukan tindakan hemodialisa (pretest). Setelah itu

pasien diberikan aromaterapi inhalasi, kemudian dapat di observasi perubahan

nilai kecemasan yang terjadi pada pasien yang diberikan tindakan setelah

hemodialisa (posttest). Bentuk rancangan penelitian ini sebagai berikut:

01 X 02

02-01

Skema 3.1 Desain Penelitian

Keterangan :
43
01 : Pengamatan Nilai Kecemasan sebelum Tindakan Aromaterapi Inhalasi

X : Perlakuan Tindakan Aromaterapi Inhalasi

02 : Pengamatan Nilai Kecemasan sesudah Tindakan Aromaterapi Inhalasi

02-01 : Selisih/perbedaan hasil pengamatn sebelum dan sesudah Tindakan


Aromaterapi Inhalasi

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Grand

Medistra Lubuk Pakam yang beralamat di jalan Medan No. 66 Lubuk Pakam.

Adapun alasan peneliti memilih tempat ini adalah :


43

a) Berdasarkan studi Pendahuluan ditemukan adanya peningkatan angka

kejadian gagal ginjal kronik yang disertai dengan hemodialisa baik

rawat inap maupun rawat jalan secara regular berjumlah 108 orang
b) Belum pernah dilakukan penelitian yang sama sebelumnya di Rumah

Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan November 2016 sampai dengan bulan

April 2017.

Tabel. 3.2 Rencana Waktu Penelitian

Waktu
N Kegiatan November Desember Januari Februari Maret April
o 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
Judul
2 Persiapan
Proposal
3 Perbaikan
Proposal
4 Ujian
Proposal
5 Perbaikan
Proposal
44

6 Pengumpula
n
Data
7 Pengolahan
Data
8 Analisa Data

9 Ujian Skripsi

10 Perbaikan
Skripsi
11 Pengumpula
n
Laporan

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012).

Populasi pada peneliti pada penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal

kronis yang menjalani hemodialisa pada periode bulan November sampai Maret

2017 berjumlah 80 pasien.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Sugiyono, 2012). Perhitungan besar

sampel menggunakan rumus slovin. Rumus perhitungan besar sampel adalah :


45

N
n=
1+N e 2

80
n= 2
1+80(0.05)

n=66,6

n=67

Keterangan :

n : besar sampel

N : Jumlah populasi

e : batas toleransi kesalahan (error tolerance)

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan non probability sampling pada Quota

Sampling, yaitu peneliti mengumpulkan subjek yang memenuhi persyaratan

(subjek yang mudah ditemui) hingga terpenuhinya jumlah (quotum) yang telah

ditetapkan. Pelaksanaan pengambilan sampel dengan jatah sangat tergantung


46

pada peneliti, tetapi dengan criteria dan jumlah yang telah ditentukan

sebelumnya (Dwi, Mekar: 2013) sesuai dengan criteria inklusi. Adapun criteria

inklusi dan ekslusinya adalah sebagai berikut:

Adapun criteria inklusinya adalah :

a) Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Unit

Hemodialisa Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam


b) Bersedia menjadi responden
c) Pasien gagal ginjal kronik menjalani hemodialisa sebanyak 2kali dan

3kali seminggu
d) Pasien gagal ginjal kronik yang memiliki indra penciuman yang baik

Sedangkan criteria eksklusinya :

a) Pasien gagal ginjal kronik yang menderita alergi atau memiliki riwayat

penyakit pernafasan
b) Pasien gagal ginjal kronik dengan penggunaan antidepresi dan

ketergantungan obat.

3.4. Variable dan Defenisi Operasional

3.4.1. Variabel Penelitian

Variabel merupakan ukuran atau cirri yang dimilki oleh anggota-

anggota atau kelompok yang berbeda dengan yang dimilki oleh kelompok lain

(Dwi, Mekar : 2013). Variabel penelitian terdiri dari, yaitu :

1. Variabel Bebas ( Independent variable)


47

Adalah variable yang mempengaruhi atau dianggap menentukan

variable terikat. Variable ini dapat merupakan factor resiko, predictor,

kausa/penyebab.

2. Variabel Terikat ( Dependet Variable)

Adalah variable yang dipengaruhi. Variable tergantung disebut juga

kejadian, luaran, manfaat, efek atau tampak. Variable tergantung juga disebut

Penyakit/Outcome.

3.4.2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan

menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variable

(Dwi, Mekar : 2013)

Tabel 3.2 Variabel dan Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil

. Ukur
1. Aromaterapi Pemberian aromaterapi Spuit Ratio cc/ml

Inhalasi inhalasi pada pasien


48

gagal ginjal kronik

yang menjalani

hemodialisa sesuai

dengan prosedur

pelaksanaan
2. Kecemasan Khekwatarina yang Hamilton Ordina score

tidak jelas dan Rating l

menyebabkan efek Scale for

psikologis Anxiety

(HRS-A)

3.5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

3.5.1. Data Primer

Data primer merupakan data yang didapat dari sumber yang pertama,

baik dari individu atau perseorangan seperti wawancara atau hasil pengisian

lembar observasi yang biasa dilakukan peneliti. Penelitian ini menggunakan

data primer yang berasal dari observasi yang berisikan pernyataan tentang

kecemasan. Observasi tersebut dibuat oleh peneliti yang berdasarkan konsep


49

teori yang akan diberikan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari dari sumber yang kedua,

dari tempat penelitian. Data sekunder diperoleh dari rekam medic Rumah Sakit

Grand Medistra Lubuk Pakam.

3.6. Pengolahan dan Analisa Data

3.6.1. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan

penelitian setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data), perlu

diolah sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk

menjawab tujuan penelitian. Agar analisis penelitian menghasilkan informasi

yang benar, pengolahan data dilakukan melalui tahapan, yaitu :

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan isian lembar observasi,

apakah jawaban yang ada dilembar observasi sudah lengkap, jelas, relevan, dan

konsisten.

2. Coding
50

Yaitu merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Kegunaan dari coding ini adalah untuk

mempermudah pada saat analisis data.

3. Processing

Pemroresan data dilakukan dengan cara mengentry data dari observasi

ke program komputerisasi. Tahapan ini dilakukan setelah pengkodean data.

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry untuk

melihat apakah ada kesalahan atau tidak.

3.6.2. Analisa Data

Pada penelitian ini analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu :

1. Analisis Univariat

Pada analisis univariat, deskripsi dari variable independent dan

dependent. Pada variabel independent yaitu mendeskripsikan pengaruh

aromaterapi inhalasi dan variable dependent mendeskripsikan penurunan

tingkat kecemasan.
51

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua

variable, yaitu adanya pengaruh aromaterapi inhalasi terhadap penurunan

tingkat kecemasan. Terdapat uji parametric dan non parametric pada analisis

bivariat. Dianalasis ini dengan menggunakan uji parametric, yaitu wilcoxon

Sign Rank Test untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan

setelah dilakukan pemberian aromaterapi inhalasi dengan tingkat kepercayaan

95%, 0,05.

Anda mungkin juga menyukai