Anda di halaman 1dari 5

Aku Seorang Sarjana (cerpen)

Aku, terlahir dari kehidupan yang samar. Lingkaran setan


yang tak pernah kunjung terputus. Ayahku adalah seorang pengamen jalanan, sejak ia kecil
hingga sekarang aku telah dewasa. Ibuku tak jauh beda, mereka dipertemukan di rawa jalanan
yang seram. Ibuku seorang pengemis di pinggiran perempatan lampu merah. Tepatnya, kami
adalah gelandangan. Tapi, bukan berarti aku tak punya impian. Meski harus dengan darah aku
membayarnya untuk mengubah hidup, aku lakukan. Demi memutus lingkaran setan yang sudah
uzur bernuansa di muka bumi. Sering kubaca dilembaran koran yang ku jajakan, ada seorang
anak jalanan yang menjadi jutawan dan akhirnya jadi politikus. Aku ingin seperti itu. Aku ingin
mengangkat derajatku dan ayah-ibu ku. Jika dia bisa, akupun bisa!
Jenjang pendidikan satu demi satu aku lewati. Meski hanya bisa melalui jalur paket, tak
apa. Bukankah, Tuhan punya banyak jalan untuk umat-Nya. Sampai akhirnya aku kini adalah
seorang sarjana teknik dari sebuah Perguruan tinggi di Jakarta. Senyum harapan masa depan
merekah diwajahku.
Aku adalah sarjana! Aku si anak gelandangan bergelar insinyur.
Setiap hari, setiap saat, foto wisuda dan ijazahku yang terpajang figura di dinding kamar,
kulirik, kutatap, kuusap, dengan senyum yang tak pernah hilang lagi. Ada kebanggaan yang luar
biasa bersemayam di dadaku.
Ayah, Ibu. Aku seorang sarjana. Kalian pasti bangga kan? Semua ini, keinginan ayah
dan ibu utnuk mengubah nasib sedikit lagi akan menjadi kenyataan. Anakmu seorang sarjana.
Aku sudah di depan pintu untuk mengubah semuanya ayah, ibu. Doakan aku dan semoga kalian
mendapat kebahagiaan di alam sana.
Sinar matahari esok pagi ingin segera kurasakan. Hangatnya. Segarnya embun dedaunan,
syahdunya burung-burung yang berdzikir. Klakson kendaraan yang bising terdengar seperti
alunan jazz. Ah, apalagi yang aku takutkan untuk hidup. Tuhan selalu memberi jalan perubahan
untuk MakhlukNya. Dan aku, si anak gelandangan bergelar insinyur menyongsong hari esok
dengan optimisme setinggi gunung.
***
Sarjana kok masih mulung ? Samar-samar ku dengar kawan seprofesiku berbisik saat
aku melintas di depannya. Ya, untuk menunggu panggilan dari perusahaan yang kulayangkan
surat permohonan kerja aku memang masih menggeluti karirku di tempat pembuangan sampah.
Jika tidak begini aku tak sanggup untuk sekedar membeli kertas, amplop dan memfotokopi
ijazahku, tak hanya itu aku pun masih perlu mengganjal perut dengan sepiring nasi.
Sebulan, dua bulan, aku kesal dengan beberapa perusahaan yang tak kian memanggilku.
Apa mungkin surat lamaranku tak sampai tujuan. Segala bentuk pikiran pesimis berseliweran di
kepalaku. Untuk memastikannya aku putuskan untuk mendatangi perusahaan itu satu persatu.
Maaf Pak, kami sedang tidak menerima karyawan baru. HRD PT Ingin Maju
menjawab pertanyaanku dengan acuh tak acuh. Mukanya tak sedikit pun berpaling dari gadget
terbaru yang sedang ia mainkan. Aku mohon pamit, Terimakasih.
Eh tunggu, Setelah beberapa langkah meninggalkan meja kerjanya suara itu memanggil
kembali. Ada harapan baru, aku mulai sumingrah. Laki-laki tambun itu menghampiriku dan
berbisik, Kamu bisa kerja disini asal ada uang pelicin. Ga banyak lah, sekitar dua sampai tiga
juta.
Aku memerah, menatap matanya dengan tajam. Saya kemari karena butuh uang Pak,
kalau punya uang sebanyak itu saya pun akan pikir-pikir dulu kalau gajinya tak sesuai dengan
apa yang saya keluarkan.
Ya sudah kalo kamu nggak mau, saya juga nggak maksa. Tapi saya ingetin ya, zaman
sekarang cari kerja itu ya harus pake duit, kalo nggak pake duit minimal ada keluarga atau
kenalan lo yang udah kerja duluan. Cuma modal dengkul sama ijazah doang mah jadi pemulung
aja sana ! Dia meninggalkanku dengan sayatan kecil di ulu hati. Aku bertekad, akan
membalasnya kelak. Hhhhhh,
PT Harus Adil Aku mengeja papan nama perusahaan di depan sebuah bangunan tinggi
yang kusinggahi. Membutuhkan tenaga kerja sebagai operator mesin yang berpengalaman
minimal... Aku malas membaca informasi selanjutnya. Aku ini fresh graduate mana punya
pengalaman kerja, satu-satunya pengalaman kerjaku ya menjadi pemulung. Aku lemas, tak jadi
melamar pekerjaan disana.
Ya Tuhan... Aku terseok di pinggiran jalan ibukota dengan perasaan sesal tiada terkira.
Aku ini terdidik, mengapa sulit sekali mencari kerja. Katanya kita bisa melakukan apa saja
dengan pendidikan. Aku sudah menyelesaikan jenjang pendidikanku bahkan sampai sarjana,
mengapa untuk menyalurkan keahlianku saja begitu sulit.
Ah, mungkin benar juga kata orang tadi. Hanya dengan modal ijazah saja nggak akan
cukup... aku berpikir untuk mencoba mengikuti sarannya
Tapi, gimana bisa aku dapat duit sebanyak itu? Sedangkan sekarang saja tak punya
kerjaan. Kepalaku berputar-putar mencari celah, siapa yang bisa kupinjami uang? Hadi!
teriaku. Ya, hadi adalah temanku semasa kuliah dulu. Bisa dibilang dia berasal dari keluarga
yang berada. Hmmm.
Tak lama aku menghubunginya, dan memang benar, aku tak butuh waktu lama. Ia pun
memberikan pinjaman padaku lima juta. Lumayanlah, lebih dari cukup untuk modal kerja dan
kebutuhanku sebelum ada kerjaan
***
Pak, tolong bantu saya untuk kerja disini. Emmm... sambil kulirikan mata, menjaga
agar tak ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Ini ada sedikit uang biar licin. Uang tiga juta
rupiah kuberikan pada lelaki tambun itu, dalam amplop warna cokelat.
Hmmm, ya ya ya... kata si lelaki tambun itu, Pak Jamal namanya. Semuanya akan
beres. Nanti saya kabari, sekitar seminggu lah. Tak banyak pembicaraan diantara kami, aku
hanya disuruhnya menunggu.
Seminggu lewat, aku menunggu kabar dari Pak Jamal. Resah, berdebar dan harap-harap
cemas. Pagi berlalu. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Detik kian melaju, nadanya
semakin membuatku resah. Masih tak ada kabar. Pukul satu siang. Pukul dua. Nihil. Antara
harapan dan resah takut terjadi apa-apa. Pikiranku mulai berpikir ini-itu.
Arrgh, apa mungkin si Jamal itu menipuku? batinku.
Lalu aku hanya bisa diam. Bukan hanya hitungan jam saja yang terlewat. Seminggu lagi
sudah berlalu. Tak ada kabar sama sekali. Aku coba untuk mendatangi kantor itu. Maaf Mas,
Pak Jamal sudah tidak kerja disini hanya itu jawaban yang kudapat. Aku ditipu... sesalku.
Rasanya sudah tak ada kekuatan yang bersemayam di tubuhku. Niat mencari kerja malah
ditipu. Sungguh begitu kejamnya kehidupan ini. Tuhan, apakah memang aku pantas selalu ada
dalam kasta bawah? Ini kehendak-Mu? Ini yang Kau mau? Menjadikanku sebagai orang miskin
dengan seribu persoalan yang kejam?
***
Garis-garis matahari pagi mulai muncul, membiaskan pandangan mata yang masih ingin
melekat. Aku sudah tak punya gairah untuk menikmati kehidupan, biarkan saja burung-burung
yang berdzikir lewat lalu lalang, embun yang menetes tak usah dihiraukan, atau bunti-bunyi
klakson yang berderet saling merajai di pagi ibu kota. Toh semuanya tak akan mengubah duniaku
hari ini, atau esok dan lusa. Semua sudah kubaca akan sama, berakhir antiklimaks dari impianku
di masa kecil. Saat ayah-ibu ku mengenalkan dunia keindahan harta, dan kedudukan yang begitu
mempesona, dalam keadaan kami yang terhimpit kekejaman dunia.
Sedemikian rupa dan terus menghampiri, Tuhan memberikanku ujian dalam kehidupan.
Semuanya seolah tak pernah kunjung henti masalah berrdatangan. Aku tidak pernah tahu, apakah
mampu untuk keluar dari masalah-masalah ini, atau hanya akan menjadi budak dalam bayangan-
bayangan yang setiap saat menempelkan di depan mukaku. Tak pernah ada ketenangan. Tak
pernah kutemukan solusi, padahal aku sudah lebih dari merengek pada Tuhan. Entahlah, Tuhan
masih ogah menolongku. Pekerjaan yang tak pernah kunjung datang, hutangku yang menghimpit
bumi. Kriminalitas yang sudah mulai menjadi temanku lagi.
Ini seperti ujian terbesarkan, memang setiap masalah yang datang selalu berhubungan
dengan uang, uang dan uang. Ah, Tuhan... mengapa Kau begitu senang memberiku ujian seperti
ini. Apa karena aku miskin? Bila kau bertanya tentag ucap syukurku, bukankah aku senantiasa
berucap syukur atas nikmat-Mu meski tak tahu ikhlas atau tidak. Sampai kapan? Sampai kapan
akan berakhir. Bila Kau berdalih karena ini adalah bentuk rasa kasih sayang-Mu, tapi mengapa
tidak Kau sertakan solusinya? Bukankah dalam janji-janjimu di Al Quran bahwa bersama
kesulitan Kau sertakan solusinya....
Aku masih punya iman untuk bertahan dan tak bertindak seperti binatang, memang aku
miskin tapi aku adalah sarjana. Sarjana Teknik! sesumbarku. Aku pun masih merasa kuat untuk
Kau uji, aku masih mampu mengatur ritme ibadahku. Akupun yakin Kau tak mempermasalahkan
kriminalku. Tapi, aku tak pernah yakin akan bertahan lama lagi dalam keadaanku masih sadar
dan mengingat-Mu. Aku sudah lelah Tuhan, aku amat lelah. Hingga nafas yang kuhembuskan tak
pernah memberi ketenangan. Bila setiap langkahku untuk mencari harta, selalu diikuti oleh
bayangan. Janji lain-Mu yang ku ingat adalah perubahan akan terjadi bila manusia melakukan
usaha untuk berubah, dimana kebenaran itu Tuhan? Apakah prinsip gali lubang tutup lubang
akan terus jadi solusi? Akan terus jadi pegangan kami?
Aku marah pada Tuhanku sendiri, yang hingga saat ini tak menolongku. Aku berusaha
untuk mencari sumber-sumber materi baru untuk bekal hidup, untuk berjalan dengan aturan-Nya,
tapi apa yang Kau kehendaki, Kau menghentikannya! Kau menggagalkannya! Kau membuang
aku ke jurang. Lalu apa arti ikhtiarku? Aku memang ciptaanMu, aku memang makhlukMu? Tapi
apakah Kau lebih suka menjadikanku boneka?
Harus setakaran apa yang semestinya ikhtiar dalam kamus-Mu itu aku lakukan?
Apalagi yang mesti kulakukan untuk menuruti keinginan-Mu? Sedang, aku merasa lemah. Aku
lelah Tuhan, aku lelah... Bila suatu waktu, kontrol hidupku sudah diinjak, aku akan menuntut-Mu
disana. Kau ciptakan aku tapi kau hanya jadikan aku boneka. Kau menyuruh makhluk-Mu untuk
memohon dan bergantung hanya pada-Mu, Kau acuhkan itu.
Aku memang egois Tuhan. Bukankah kau yang menjadikan aku egois dalam
ketakberdayaan yang Kau ciptakan pada kami? Keterbatasan, kemiskinan, lingkaran setan...
Aku menangis Tuhan, betapa hebat kasih sayang-Mu. Betapa banyak nikmat dan rahmat-
Mu. Begitu banyak yang tak mampu aku syukuri. Sedangkan aku hanya bisa menuntut dalam
kelemahanku, sementara aku hanya mampu untuk merengek dan memarahi-Mu, padahal Kau tak
pernah marah padaku. Tapi aku begitu lelah Tuhan, aku teramat lelah dengan semua ini. Aku
merasa tak mampu untuk melewati ujian-ujian-Mu.
Tuhan, ambil saja ruhku. Kau yang punya kuasa atas hidupku, Kau yang punya andil
dalam setiap langkah yang kujalani. Kau bebas melakukan apapun terhadap mainan ciptaanmu
sendiri. Kau boleh membantingku, atau melemparku ke selokan. Kau boleh juga membuangku
ke lautan. Tapi aku hanya minta ketenangan dalam menjalankan hidupku untuk beribadah pada-
Mu. Hanya itu yang kuinginkan. Cukup itu Tuhan! Terserah kau akan tempatkan aku pada posisi
hidup seperti apa. Kau Maha Tahu!
Berlin, 31 Desember 2010
Aku Seorang Sarjana dan Aku Pengusaha!

Anda mungkin juga menyukai