Anda di halaman 1dari 15

Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru1

Aditia Gunawan2

Huning ma ngaran angin, pengetahuan adalah angin


alaeunana ma, basana metu ti barat, manfaatnya itu ketika berhembus dari barat
tka hir tiis, leuleus datangna ka awak urang. terasa sejuk, lembut datangnya ke tubuh kita
(Sanghyang Sasana Maha Guru:1)

Pendahuluan
Sanghyang Sasana Maha Guru (selanjutnya disingkat SSMG) adalah sebuah teks
prosa Sunda Kuna yang berasal dari masa pra-Islam. Sejauh ini, teks SSMG terdapat
dalam dua buah naskah lontar. Naskah pertama tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di
Jakarta dengan nomor koleksi L 621 peti 15 atau biasa disebut kropak 621, sedangkan
naskah yang kedua ditemukan pada koleksi Ciburuy bernomor kropak 26. Dari kedua
naskah tersebut, naskah yang berada di Jakarta kondisinya jauh lebih baik. Lempir-
lempir naskah lengkap dan tidak ada yang hilang, kondisi fisiknya pun masih terawat
dengan cukup baik, meski terdapat dua lempir yang patah. Dalam kesempatan ini, uraian
yang akan dipaparkan dalam makalah adalah teks SSMG dari naskah yang terdapat di
Jakarta.
Naskah kropak 621 termasuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Alas
tulis naskah adalah daun lontar berukuran 34,3 x 3cm, meliputi 36 lempir atau 72
halaman. Satu halaman kosong, sehingga yang ditulisi hanya 71 halaman. Ditulis secara
timbal-balik (recto-verso) dengan cara digores menggunakan pso pangot. Susunan
lempir naskah telah acak dan tidak berurutan. Penomoran halaman menggunakan angka
asli (aksara Sunda Kuna) mulai dari nomor 1 - 34, terletak di sebelah kanan teks setiap
halaman verso. Kondisi fisik naskah cukup baik dan terawat, meski terdapat 2 lempir
yang patah. Terdapat lubang-lubang kecil akibat ngengat pada banyak bagian naskah,
tetapi secara keseluruhan teks masih dapat terbaca dengan jelas. Naskah ini belum dialih-
mediakan, baik dalam bentuk mikrofilm maupun digital.
Model aksara yang digunakan dalam naskah lontar nomor 621 adalah aksara Sunda
Kuna. Ciri khas penggunaan aksara dalam naskah ini adalah hampir tidak ditemukan

1
Disajikan dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II (KIBS II), 19-22 Desember 2011 .
2
Filolog naskah Sunda di Perpustakaan Nasional RI. Dapat dihubungi melalui e-mail:
rotan_jr@yahoo.com atau http://naskah-sunda.blogspot.com.
vokalisasi o (panolong) dalam naskah. Penulis (penyalin) teks menggunakan aksara
pasangan wa pada setiap suku kata yang bagi pembaca moderen tentu beranggapan
mestinya di situ bunyi o. Dalam teks kita temukan kata bwagwah untuk bogoh, bwarang
untuk borang takut, cwacwaoan untuk cocooan hewan ternak dan banyak lagi contoh
lainnya. Gejala ini hampir sama ejaan yang kita temukan dalam teks Amanat
Galunggung (Danasasmita, [et al.], 1987). Perbedaannya, naskah Amanat Galunggung
(kropak 632) ditulis di atas daun gebang menggunakan tinta hitam, dan model aksaranya
aksara Buda/Gunung.
Bahasa yang digunakan dalam naskah adalah bahasa Sunda Kuna, meski pada
beberapa bagian dalam teks ditemukan pula bahasa Jawa Kuna, terutama pada bagian
akhir teks, dan Sansekerta (Nusantara) terutama dalam siloka. Menurut Krom (1914),
naskah ini berasal dari Bandung yang diberikan oleh bupati Bandung, R.A.A.
Wiranatakusumah IV sekitar tahun 1875. Tampaknya akuisisi naskah ini bersamaan
dengan naskah lontar Sunda Kuna bernomor 620-626 dan 630-642.3

Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621 Peti 15)


Koleksi Perpustakaan Nasional RI

Teks SSMG ditulis dalam bentuk prosa didaktis keagamaan. Dalam tradisi literasi
Jawa secara umum, bentuk karya demikian dikenal dengan istilah tutur, sebuah teks
prosa yang berisi wejangan.4 Tetapi, Goris (1926:35) membedakan istilah tutur dan
sasana berdasarkan naskah-naskah yang terdapat di Bali. Tutur lebih menekankan
kepada aspek kosmologi dan mistis, sedangkan sasana menekankan pada aturan tingkah

3
Mengenai asal usul naskah Sunda Kuna di PNRI, lihat Krom (1914) dan Holil dan Gunawan (2010).
4
Mengenai pengertian tutur, bandingkan Van der Tuuk (1897-1912: 657-658), Pigeaud (1924:4),
Hooykaas (1964:34) dan Zoetmulder (2006:1307).
laku dalam bermasyarakat.5 Sulit ditentukan apakah teks SSMG termasuk teks tutur atau
sasana. Pada bagian awal teks ini ciri teks sasana lebih menonjol, sedangkan bagian
akhir lebih cenderung bersifat tutur. Klasifikasi yang ketat atas naskah-naskah lontar di
Bali lebih memungkinkan karena banyaknya naskah yang tersedia. Keadaan ini kiranya
berbeda dengan naskah-naskah lontar yang dihasilkan di Tatar Sunda. Jumlah naskah
Sunda Kuna sangat sedikit dan tidak memungkinkan untuk diklasifikasikan secara ketat
layaknya di Bali.
Di hampir seluruh bagiannya, teks SSMG berisi wejangan dari Sang Pandita
kepada muridnya, Sang Swaka Darma. Di dalamnya terdapat siloka-siloka pendek
dalam bahasa Sansekerta (Nusantara), seringkali berupa parafrase dan keterangan dari
parafrase tersebut.

Waktu dan tempat penulisan (penyalinan)


Pada bagian kolofon terdapat keterangan bahwa teks SSMG selesai ditulis (atau
disalin?) pada bulan kapat (antara bulan September sampai Oktober) tanpa penyebutan
angka tahun. Identitas penulis secara jelas tidak disebutkan. Ia hanya menyebut dirinya
seorang bocah yang sedang bertapa menimbang emas. Suasana yang melatarinya jelas
suasana pra-Islam. Petunjuk tentang kapan teks ini dihasilkan kiranya dapat dirujuk
dengan cara membandingkan teks-teks Sunda Kuna lain yang telah diumumkan. Menarik
untuk dicatat upaya C.M. Pleyte6 (1914) ketika membandingkan teks Sanghyang Siksa
Kandang Karesian (SSKK, 1518 M) dan Prasasti Kebantenan yang dikeluarkan oleh Sri
Baduga Maharaja. Perbandingan tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa teks SSKK
dapat dianggap sejaman dengan prasasti yang ditemukan di desa Kebantenan itu. Hal
yang ditunjukkan Pleyte terutama penggunaan istilah pangurang, dasa, dan calagara
dalam SSKK (bag.X) dan istilah dasa, calagara, upeti, dan panggeres dalam Prasasti
Kebantenan III. Semua istilah-istilah tersebut merupakan istilah perpajakan pada waktu
itu. Istilah yang sama juga terdapat dalam SSMG (bag.15)7. Lagipula, istilah siksa

5
Mengenai pembagian kelompok naskah lontar di Bali, Gedong Kirtya membaginya secara sistematis
(Mededeelingen, 1935). Hal ini dibicarakan juga oleh Windu Sancaya (2003).
6
Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917), sarjana berkebangsaan Belanda yang menaruh minat yang besar
terhadap kebudayaan Sunda. Biografi dan daftar karyanya, lihat N.J. Krom dalam Jaarboek van de
Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (1919) yang dapat diakses di
http://www.dbnl.org/tekst/_jaa003191901_01/_jaa003191901_01_0011.php (terakhir dilihat tanggal 27
November 2011).
7
...Wang kalsa ma na dasa, si manarma calagara, si manarka ma na pangurang...
kandang secara tersurat terdapat pada teks SSMG bagian ke-2. Jelaslah bahwa baik
SSMG, SSKK, dan Prasasti Kebantenan berada dalam konteks keagamaan dan suasana
kehidupan masyarakat yang sama. Mungkin dapat dipertimbangkan, bahwa teks ini
dihasilkan sekitar akhir abad 15 sampai awal abad ke-16.
Pengarang (penyalin) juga mencatat bahwa teks ini selesai dikerjakan di sebuah
wilayah yang disebut Desa Mahapawitra di Gunung Jedang. Perlu diketahui, bahwa
penyebutan Desa Mahapawitra sebagai tempat karya Sunda Kuna dihasilkan, juga
disebut dalam teks Sunda Kuna yang lain, yaitu pada teks Sanghyang Hayu (kropak 634
dan 637) yang telah disunting oleh Undang A. Darsa dalam tesisnya (1998) dan
Siksaguru (kropak 642) (belum diumumkan).
Secara harfiah, mahapawitra berarti sangat suci, sangat murni (Zoetmulder,
2006: s.v maha dan pawitra). Mungkin sebutan ini hanyalah sebuah julukan untuk
wilayah yang disucikan dan tidak merujuk wilayah tertentu. Tetapi, Bujangga Manik
sempat mencatat nama Mahapawitra ketika ia berada di puncak Gunung Papandayan
(Pannjoan). Matanya menerawang jauh, sambil menyebut nama-nama gunung yang ia
lihat dari tempatnya berdiri.
Itu ta na gunung Raksa, Itulah Gunung Raksa,
Gunung Sri Mahapawitra, Gunung Sri Mahapawitra,
tanggeran na Panahitan poros di Panahitan (baris 1260-1262)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Sri Mahapawitra merupakan nama lain


(atau julukan) dari Gunung Raksa, yang masih dikenal dewasa ini sebagai sebuah
gunung di Pulau Panaitan. Pulau Panaitan adalah sebuah pulau yang menghubungkan
Banten dan Sumatera. Pertanyaan yang kiranya dapat diajukan adalah, mengapa Gunung
Raksa disebut sebagai gunung yang sangat suci (mahapawitra)? Pertanyaan tersebut
paling tidak dapat dijawab dengan membandingkan keterangan dari teks-teks Sunda
Kuna yang lain. Dalam Carita Radn Jayakeling (kropak 407), Panaitan juga disebut
sebagai wilayah kabuyutan. Pada bagian awal teks tersebut diterangkan bahwa
pengarang perlu meyakinkan pembacanya bahwa karya yang dihasilkannya bukanlah
karya sembarangan, tetapi hasil dari mencari ilmu dan bertanya kemana-mana.8

8
Panaitan eusi pikabuyutan, susuhunan Hujungkulan, Akiing bagawat Sang Gasri, beunanging nanya tilu
law, ti nu sda ti patala, beunang[h]ing nyiar ti Jampang, beunanging ti Pulasari, beunanging ti
Jakah Barat (kropak 407: 6 verso).
Demikian halnya dengan keterangan yang terdapat dalam Tutur Bwana (kropak
620) (Wartini, dkk., 2010). Pada bagian awal teks diceritakan proses penciptaan alam
dunia oleh Haro. Ada tiga tempat di Tatar Sunda yang dianggap sebagai bagian penting
dari dunia, yaitu Hujungkulan (Ujung Kulon sekarang), Panahitan, dan Bukit
Langlayang.9
Selain keterangan dalam teks Sunda Kuna, bukti arkeologis pun kiranya dapat
diajukan. Di Panaitan, tepat di Gunung Raksa, ditemukan arca Siwa dan Ganesha. Para
ahli arkeologi berkesimpulan bahwa arca-arca tersebut tercipta dari abad ke-7 sampai ke-
8 Masehi. Arca yang ditemukan di Panaitan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat
dibedakan dengan arca yang sama yang ditemukan di Jawa Tengah atau Jawa Timur
(Ensiklopedi Sunda, 2000: 59). Batara Gana (Ganesha) adalah istadewata yang disebut
dalam manggala teks SSMG. Batara Gana dianggap sebagai dewa pelindung bagi
pengarang, karena dari Batara Gana lah terciptanya lontar dan gebang yang digunakan
pengarang untuk menuliskan kitabnya (SSMG. III).
Besar kemungkinan teks SSMG ditulis di sebuah kabuyutan di Gunung Raksa,
Panaitan. Meski demikian, diperlukan penelitian lebih mendalam tentang skriptorium
naskah-naskah Sunda Kuna demi mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai
pusat-pusat kegiatan intelektual masyarakat Sunda di masa lalu.

Penelitian sebelumnya
Perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa setidaknya teks SSMG telah dibaca
oleh C.M. Pleyte, sarjana kebangsaan Belanda yang banyak melakukan kajian budaya
Sunda, pada awal abad ke-20. Hasil transkripsinya atas teks ini telah dipublikasikan,
meski secara fragmentaris, dalam dua artikel. Artikel pertama berjudul Jaartal op den
Batoe-Toelis Nabij Buitenzorg, dimuat dalam lampiran 2 (hlm. 197). Pada lampiran
tersebut terdapat cuplikan teks SSMG bagian ke-15 (pacakapataka). Dalam artikel ini,
Pleyte tidak membahas secara khusus teks SSMG, tetapi memanfaatkan data-data yang
terdapat dalam SSMG untuk membuktikan bahwa teks Sanghyang Siksa Kandang
Karesian (SSKK) dan Prasasti Kebantenan dibuat pada periode yang sama, yaitu ketika
Pajajaran dipimpin Sri Baduga Maharaja (1478-1521). Data yang dicuplik oleh Pleyte

9
...huluna bwana inya na Hujungkulan, buuk na inya na Panahitan, halis na bwana inyana bukit
Langlayang Kepala dunia ialah Hujungkulon, rambutnya ialah Panaitan, alisnya dunia ialah Gunung
Langlayang (37 recto).
pada artikel ini terutama istilah-istilah pajak seperti: dasa, calagara, upeti, dan
panggeres reuma yang terdapat dalam teks SSMG, SSKK, dan Prasasti Kebantenan
sebagaimana dijelaskan di bagian awal tulisan ini.
Selain dalam artikel di atas, Pleyte juga menampilkan teks SSMG, juga secara
fragmentaris, pada lampiran artikelnya yang berjudul Poernawidjajas Hellevaart of de
Volledige verlossing (1914: 439). Bagian teks yang ditampilkan Pleyte sama dengan
artikel sebelumnya, yaitu bagian ke-15 dari teks SSMG (pacakapataka) dengan tujuan
yang berbeda. Dalam artikel ini, Pleyte berusaha menjelaskan keterkaitan antara teks
Purnawijaya dan SSMG terutama pada bagian pacakapataka.
Pleyte pun rupanya telah membuat transkripsi naskah SSMG secara keseluruhan.
Hasil transkripsinya itu masih dalam bentuk tulisan tangan serta ditulis menggunakan
aksara Latin. Transkripsi tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta,
termasuk dalam naskah koleksi C.M. Pleyte dengan nomor koleksi Plt 07 peti 121. Jika
melihat hasil transkripsi Pleyte, dapat dipastikan bahwa pembacaannya atas teks SSMG
dilakukan ketika susunan lempir naskah masih berurutan. Keadaannya jauh berbeda
dengan saat ini. Susunan lempir lontar naskah SSMG telah acak.
Tanpa mengurangi peran penting Pleyte, penting untuk dicatat bahwa, transkripsi
tersebut memuat cukup banyak kesalahan pembacaan. Kesalahan umum yang paling
mencolok adalah aksara khusus tra dibaca sebagai dya sehingga secara konsisten, Pleyte
membaca sastra sebagai sasdya; aksara vokal o seringkali dibaca dada sehingga omas
emas kerap dibaca dadamas.
Sarjana lain yang mengutip teks SSMG, meski hanya sedikit bagian dari teks,
adalah Noorduyn dan Teeuw (2006). Kutipannya termuat dalam glosarium atas ketiga
teks Sunda Kuna yang diumumkannya, yaitu Kisah Para Putera Rama dan Rahwana
(PRR), Pendakian Sri Ajnyana (SA), dan Perjalanan Bujangga Manik (BM). Dalam
glosari tersebut, Noorduyn dan Teeuw mengutip bagian pertama teks SSMG untuk
memperjelas makna dari kata Sunda Kuna hir. Kalimat yang dikutipnya ialah:
...basana metu ti barat, tka hir tiis, leuleus datangna ka awak urang
when the wind rises from the west, it blows coolness, it comes softly to
our bodies (ms. KBG 621:1)... (Noorduyn & Teeuw, 2006: 361)

Ms KBG 621 yang dimaksud Noorduyn dan Teeuw tentu merujuk pada teks SSMG yang
terdapat di PNRI.
Dalam artikelnya, Pleyte memberi judul Sanghyang Pustaka atas kropak 621 yang
kita bicarakan kali ini. Kiranya anggapan Pleyte mendasarkan uraian pada bagian awal
teks yang berbunyi:
Ndah Sanghya(ng) Sasana Maha Guru ngaran Sanghyang Pustaka.
Sasana ma ngaranya urut nu ti heula. Maha ma nu leuwih ti leuwih, ti na
dunya. Guru ma ngara(n)na puhun nikang rat kabh.
Inilah Sanghyang Sasana Maha Guru nama dari sanghyang pustaka.
Sasana berarti peninggalan para leluhur. Maha berarti yang lebih dari yang
lebih, dari dunia. Guru berarti sumber dari semua manusia. (SSMG:1)

Dari kutipan di atas, jelas bahwa pengarang hendak menerangkan tentang isi buku
suci (sanghyang pustaka) yaitu Sanghyang Sasana Maha Guru dengan memerinci setiap
katanya. Dengan demikian, judul Sanghyang Sasana Maha Guru kiranya layak untuk
dipertimbangkan.

Konsepsi keagamaan
Secara keseluruhan teks SSMG merupakan teks keagamaan, tertuang dalam istilah-
istilah keagamaan yang pada umumnya berasal dari bahasa Sansekerta. Teks SSMG
kiranya termasuk teks paling rinci dan sistimatis yang membahas konfigurasi agama
masyarakat Sunda setidaknya pada waktu teks ini dihasilkan. Teks SSMG terbagi atas 48
bab yang tersusun sebagai berikut:
1. Pancawdani 25. Dasaindriya
2. Siksa Kandang, Siksa Kurung Siksa 26. Dasapangaku
Dapur 27. Dasautama
3. Manggala 28. Dasapasanta
4. Dasawredi 29. Dasabumi
5. Trimala & Trimala Wissa 30. Dasawissa
6. Dasakalsa 31. Dasamahawissa
7. Dasamala 32. Dasa-tankawissa
8. Dasanaraka 33. Caturmulia (Caturutama)
9. Pacaiyatna 34. Caturnermala
10. Caturupaya 35. Sanghyang Hayu
11. Pacabyakta 36. Tigaajana
12. Caturpangabakti 37. Ajanajati
13. Pacapreyana 38. Katunggalan
14. Tributa 39. Bayu, Sabda, Hidep
15. Caturpasanta 40. Wungawari
16. Pacakapataka 41. Wuku Sandi
17. Pacatriyak 42. Sembawa
18. Caturmula 43. Tigarahasya
19. Caturwirya 44. Kaleupaseun
20. Caturkalepa 45. Si Krataka lawan Si Dum
21. Trikaya Mandala Parisuda 46. Tangkes
22. Caturrahayu 47. Rahasya Pandita
23. Dasasila 48. Sabdapadsa
24. Dasamarga

Bagi pembaca modern, banyak segi dari teks ini yang menarik untuk dicatat. Awal
teks uraiannya lebih sederhana dan mudah dimengerti karena ajaran-ajaran keagamaan
tertuang dalam angka-angka dan disajikan dengan sangat sistimatis. Hal tersebut ditandai
dengan penyebutan kata bilangan seperti tri, tiga (tiga), catur (empat), panca (lima), dan
dasa (sepuluh). Tetapi, mulai bagian ke-35 sampai 48 uraiannya lebih rumit dan banyak
sekali mengandung perumpamaan ajaran ketuhanan yang cenderung sukar dipahami.
Perbedaan yang mencolok antara bagian awal dan akhir juga adalah bahasanya. Bagian
awal teks ini berbahasa Sunda Kuna, sedangkan bagian akhir berbahasa Jawa Kuna.
Mengenai corak keagamaan yang terdapat dalam teks dapat diterangkan sebagai
berikut. Pangarang mempersembahkan hasil tulisannya kepada Sri Batara Gana
(Ganesha), yang atas karunianya, menjadikan gebang dan lontar sebagai sarana
penulisan pengarang, tercipta di dunia. Atas karunianya pula, empat unsur yang
mewujudkan sebuah tulisan, yaitu: asta (tangan), gangga (air), wira (pena dan kuas) tanu
(tinta) terwujud, sehingga penulis dapat menyelesaikan karyanya. Pengarang pun
memuja Swaraswati, Dewi yang keluasan ilmu pengetahuannya bagaikan permata yang
bersinar.
Setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya. Secara kasat mata, potensinya itu
terdapat dalam sepuluh alat persepsi (dasaindriya). Tetapi, terdapat potensi lain yang
tidak kasat mata, mencakup tiga unsur dalam diri manusia, yaitu bayu tenaga, sabda
ucapan, dan hedap pikiran. Pada bagian lain diterangkan bahwa bayu, sabda, dan
hedap tidak ada tetapi ada. Ia tidak terlihat, maka ia tidak ada. Tetapi ia terasa dalam diri
kita, maka ia ada (SSMG.38).
Penjelasan mengenai bayu, sabda, dan hedap diterangkan oleh Sang Pandita dalam
uraiannya tentang Tiga Ajnyana (SSMG.35). Yang dimaksud tiga dalam Ajnyana adalah
suku kata yang membentuk kata ajnyana, yaitu A, NYA, dan Na. Suku kata itu terpisah,
tetapi merupakan satu kesatuan. Demikian halnya dengan bayu sabda dan hedap. A
terdapat dalam bayu, NYA terdapat dalam sabda, dan Na terdapat dalam hedap. Bayu
adalah sumber kehidupan yang masuk dan keluar melalui hidung atau inti pernapasan.
Sifatnya tetap, benar, dan jelas dan selalu bergerak dalam diri. Sabda terdapat pada
ucapan, baik ucapan yang baik maupun yang buruk, yang menjadikan nama dari semua
suara, dan yang dijadikan perkataan. Sedangkan hedap terdapat dalam pikiran dan angan-
angan, yang menjadikan jarak, jauh ataupun dekat. Bayu, sabda, dan hedaplah yang
menjadikan dan menggerakkan semua di dunia (SSMG.35). Bayu, sabda, dan hedap
adalah tiga kekayaan (tiga sadana) yang didatangkan ke dunia untuk dijadikan pegangan
bagi seluruh manusia.
Dalam teks Tutur Bwana10, dasaindria disebut juga dora sapuluh (sepuluh
gerbang), sedangkan tiga serangkai bayu, sabda, dan hedap disebut juga dora tilu (tiga
gerbang). Dalam teks tersebut diceritakan bagaimana Darmajati pada akhirnya dapat
membunuh Sang Kalasakti dengan cara mencabut dorasapuluh dan doratilu Sang
Kalasakti. Karena itu, unsur-unsur yang dimiliki oleh setiap manusia itulah yang harus
senantiasa dijaga.
Dalam uraian tentang dasanaraka (SSMG.7) secara tegas disebutkan, bahwa
penyalahgunaan terhadap dasaindria yang terdiri dari telinga, mata, hidung, lidah, mulut,
kulit, tangan, anus, kelamin, dan kaki akan mengakibatkan kesengsaraan, yaitu berbagai
penyakit yang menimpa setiap bagian dari dasaindriya tersebut. Hal ini dipertegas pula
dalam dasamarga sepuluh cara untuk mengatasi dimensi buruk dari sepuluh indra itu
(SSMG.23) agar mendapatkan dasautama sepuluh keutamaan (SSMG.26).
Bayu, sabda, dan hedap sebagai potensi manusia diwujudkan secara nyata dalam
trirahayu yang mencakup ulah perbuatan, sabda ucapan, dan ambek pikiran. Jika
semuanya dilaksanakan dengan baik, maka manusia tersebut telah mencapai pencerahan,
ibarat permata yang digosok (diga manik inisuhan), layaknya air di daun sulang (kadi
banyu di ron sulang) (SSMG.20).

Siksa Kandang, Siksa Kurung, Siksa Dapur


Siksa kandang dalam teks SSMG disebut berdampingan dengan siksa kurung dan
siksa dapur. Kata siksa kandang mengingatkan kita pada Sanghyang Siksa Kandang
Karesian (1518 M), sebuah teks penting dari masa Sunda kuna.11 Di belakang kata siksa
terdapat kata kandang, kurung dan dapur. Kandang dan kurung memiliki makna yang
sama dengan maknanya baik dalam bahasa Sunda moderen maupun bahasa Indonesia.

10
Lihat Wartini, et al. (2010).
11
Alih aksara dan terjemahan dalam bahasa Indonesia atas teks telah diumumkan oleh Atja dan
Danasasmita (1981) yang disempurnakan kembali oleh Danasasmita, et al. (1987).
Kata dapur dalam bahasa Jawa Kuna bermakna wilayah, daerah (Zoetmulder: s.v ).
Kiranya makna kata dapur di sini lebih mengarah pada pengertian dapuran kelompok
sebagaimana dapat dirujuk dalam bahasa Sunda Moderen (LBSS, 1976: 104). Baik
kandang, kurung, dan dapur menunjukkan adanya dimensi ruang, bahkan terkesan
elitis. Dengan kata lain, tiga ajaran (siksa) dalam bagian kedua teks ini ditujukan
kepada kelompok khusus dalam masyarakat Sunda kuna. Mungkinkah salah satu dari
ketiga siksa yang disebut di atas, yaitu siksa kandang, diuraikan dengan lebih rinci dalam
teks tersendiri, yaitu dalam teks siksa kandang karesian? Jika demikian, kata kandang
dalam siksa kandang karesian sebaiknya dibaca kandang (ng disatukan), bukan kanda
ng (ng dipisah) sebagaimana lazim digunakan.
Ketiga siksa di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Siksa kandang lebih
menekankan etika pada tataran praktis kehidupan sehari-hari yang mengatur hubungan
antar manusia, seperti aturan ketika berpergian, hak dan kepemilikan, dan lain-lain. Siksa
kurung menekankan kehidupan beragama secara formal dan tekstual sebagaimana telah
disebutkan dalam kitab-kitab suci. Siksa kurung pun mengatur manusia untuk
mengetahui batas-batas yang telah digariskan sebelumnya dalam kitab-kitab sebelumnya,
layaknya Hyang Brahma dan Wisnu, ketika membatasi dunia. Diatas siksa kandang dan
siksa dapur adalah siksa dapur. Siksa dapur adalah jalan menuju kepada hakikat, inti,
sumber segala aturan dengan cara membaktikan diri sepenuhnya kepada sang pandita
(SSMG.2).

Konsepsi sastra
Istilah sastra sebetulnya lazim ditemukan dalam teks-teks Sunda Kuna. Pada
umumnya, istilah ini muncul dalam kolofon naskah. Para pengarang Sunda yang
cenderung rendah hati seringkali memohon maaf dengan menyebut karyanya sebagai
sastra yang rock acak-acakan dan lotr kotor, bahkan buah tangannya itu kerapkali
diibaratkan seperti jejak kepiting di pesisir.12
Tetapi, dalam teks SSMG, kata sastra mendapat perhatian khusus dari
pengarangnya. Istilah ini diperinci pada bagian ketiga teks, yaitu dalam uraian tentang
dasawredi. Pengarang memerinci sastra menjadi sepuluh jenis. Menariknya, pembagian

12
Bandingkan kolofon yang terdapat dalam teks Sri Ajnyana (dalam Noorduyn & Teeuw, 2006),
Sanghyang Hayu (Darsa, 1998), Sanghyang Swawarcinta (kropak 626, belum diterbitkan).
jenis-jenis sastra didasarkan atas alas tulisnya, yaitu emas, perak, tembaga, baja, besi,
batu, papasan kayu, pejwa (bambu?), taal (lontar), dan gebang.
Yang layak dicatat terutama dua alas tulis yang disebut terakhir, yaitu lontar dan
gebang. Kutipan yang terdapat di dalamnya setidaknya dapat menjawab bagaimana
sebuah alas tulis pada masa Hindu-Buda di Tatar Sunda berpengaruh terhadap
kedudukan sebuah tulisan. Tulisan di atas daun lontar secara tegas disebut carik
13
goresan. Sebagaimana diketahui, bahwa pada kenyataannya lontar ditulisi dengan
cara digores dengan sejenis pisau yang oleh masyarakat Sunda disebut pso pangot.
Menariknya, tulisan di atas daun gebang disebut ceumeung hitam.14 Keterangan ini
mengarahkan kita pada dugaan bahwa yang disebut gebang tak lain adalah nipah. Antara
gebang (Corypha utan) dan nipah (Nypa fructican) sebenarnya merupakan dua jenis
tanaman yang berbeda, meski sama-sama diklasifikasikan sebagai palm. Pada
kenyataannya naskah gebang memang berwarna hitam (ceumeung), karena ditulis
menggunakan tinta. Menurut Holle (1882:12), tinta tersebut berasal dari hasil olahan
nagasari dan damarsela. Lagipula masyarakat Sunda lebih mengenal istilah gebang
dibanding nipah.
Selain dibedakan penyebutan istilah, tulisan yang tertera di atas lontar dan gebang
pun dibedakan fungsinya. Naskah di atas lontar berfungsi sebagai sarana memperoleh
keutamaan dan bukan diperuntukkan bagi kabuyutan aya ta meunang utama, knana
lain pikabuyutaneun, sedangkan naskah gebang ditulis untuk kabuyutan ini ma inya
pikabuyutaneun. Keterangan ini memberi petunjuk, bahwa tulisan di atas daun lontar
digunakan bukan untuk kabuyutan, tetapi masyarakat lebih luas. Dugaan ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa naskah-naskah dari daun lontar, meski ada sedikit pengecualian,
banyak yang berbentuk puisi, seperti Bujangga Manik, Pendakian Sri Ajnyana, Para
Putera Rama dan Rahwana, Carita Purnawijaya, Swaka Darma, Kawih Paningkes, dan
lain-lain yang lebih memungkinkan untuk dibacakan atau disajikan dalam bentuk carita
pantun. Jangkauan pembaca atau pendengarnya tentu lebih luas.
Lain halnya dengan naskah gebang yang, setidaknya sampai penelitian paling
mutakhir, hampir seluruhnya ditulis dalam bentuk prosa keagamaan. Pada umumnya
teks-teks yang tertera di atas daun gebang berisi ajaran Sang Pandita kepada Sang

13
Sastra munggu ring taal, dingaranan ta ya carik. Aya ta meunang utama, knana lain pikabuyutaneun
(SSMG.2)
14
Sastra munggu ring gebang, dingaranan ta ya ceumeung. Ini ma inya pikabuyutaneun (SSMG.2)
Swaka Darma, muridnya, seperti yang terdapat pada teks Sanghyang Hayu, Siksa
Kandang Karesian, Siksaguru, Amanat Galunggung, dan teks-teks prosa lainnya.
Mungkin ini dapat menjadi petunjuk mengapa naskah gebang disebut Ini ma ia
pikabuyutaneun (inilah yang digunakan untuk kabuyutan). Singkatnya, digunakan di
wilayah yang lebih khusus, yaitu di wilayah-wilayah khusus keagamaan.

Gambaran Kehidupan Masyarakat Sunda Kuna


Meski secara umum teks SSMG berisi teks keagamaan, tetapi pada beberapa bagian
terdapat perluasan-perluasan yang memungkinkan bagi kita untuk mendapat gambaran
tentang kehidupan masyarakat Sunda pada waktu teks ini ditulis, seperti etika, tatakrama,
prilaku sosial, dan lain-lain.
Dalam teks SSMG, terdapat aturan-aturan yang rupanya hanya diperuntukkan untuk
laki-laki. Pria tidak boleh tergoda oleh perempuan apabila sedang dalam perjalanan
(SSMG.2), menyelinap ke rumah perempuan yang terlarang (SSMG.4), tergila-gila
terhadap perempuan (SSMG.6) atau menginginkan gadis yang sudah bertunangan
(SSMG.6). Menjalin asmara dengan sanak saudara pun merupakan hal yang tabu
(SSMG.7).
Hak dan kepemilikan harta benda juga mendapat sorotan. Masyarakat dilarang
mencuri dan mengganggu ladang atau kebun milik orang lain (SSMG.2). Tidak boleh
pula menurunkan hasil sadapan dari kebun orang lain (SSMG.2).
Banyak bagian yang mengatur tentang etika. Buang air besar di pinggir jalan
(SSMG.2) adalah prilaku yang tercela. Berbicara harus dengan aturan (SSMG.5).
Berpakaian harus lengkap cangcut pangadwa dan sopan (SSMG.2). Memakai wangi-
wangian dan tercium oleh orang banyak (SSMG.10) adalah perbuatan yang berlebihan.
Bersenandung kidung atau kawih di hadapan orang banyak termasuk perbuatan yang
tidak sopan (SSMG.9). Menatap mata orang tua ketika bertatap muka atau berjalan
mendahuluinya juga termasuk perbuatan yang lancang (SSMG.10&12). Meringis
kesakitan di depan orang banyak adalah perbuatan yang memalukan (SSMG.9).
Sikap sombong, tidak mau menyapa orang lain, dan merasa diri pintar harus dijauhi
(SSMG.5&8). Demikian halnya dengan berbohong dan besar mulut dalam berbicara
(SSMG.9). Ketika sedang berpunya, tidak baik memamerkan barang miliknya di
hadapan orang banyak (SSMG.8). Tidak baik pula memiliki sifat iri dan cemburu
melihat kesenangan orang lain (SSMG.5). Menuruti hawa nafsu dengan makan, minum,
dan tidur tanpa aturan termasuk perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan
(SSMG.5&6). Malas bertanya karena merasa diri tua dan bodoh, tidak mau berbakti
padahal sudah kaya, serta menunda-nunda pekerjaan adalah sifat-sifat ternoda mala
(SSMG. 6) dan harus dibersihkan.
Tiga sosok orang tua yaitu ibu (ambu), ayah, dan guru serta tiga sosok penguasa,
yaitu prebu, rama, dan resi patut dihormati (SSMG.4&5) sehingga tidak pantaslah
menyebut nama ibu, ayah, dan guru juga prabu, rama, dan resi (SSMG.12).
Penghormatan terhadap penguasa dapat ditunjukkan dengan selalu berada di sebelah kiri
dan berjongkok jika kebetulan berpapasan (SSMG.2). Tetapi pemimpin tersebut tidak
boleh pula semena-mena, menjual, memperbudak, merampas, dan membunuh orang
sesuka hatinya (SSMG.4). Aturan terhadap penguasa dipertegas dalam dasabumi
(SSMG.28). Di situ disebutkan bahwa kekuasaan yang baik (kusalah wissa) dapat
dilakukan dengan cara: asih mencintai, bakti berbakti, greyatna berhati lembut,
gorawa menghormati, duga-duga jujur, santa ramah, karuna berbelas kasih,
anumwada menunjukkan simpati, anumana menunjukkan perhatian, alemba?, dan
ateuang sopan.

Penutup
Penelitian dan penulisan sejarah Sunda masih sangat kurang. Banyak naskah
Sunda baik yang tersimpan di dalam negeri maupun di luar negeri belum terungkap
isinya karena kurangnya tenaga dan dana. Kalimat tersebut merupakan salah satu
rumusan di bidang sejarah, filologi, dan arkeologi pada Konferensi Internasional Budaya
Sunda pertama (KIBS I) yang diselenggarakan tahun 2001 silam. Apakah keadaannya
sama atau mengalami perubahan pada KIBS II tahun 2011 ini? Jawabannya sulit
dipastikan. Semoga saja uraian tentang teks SSMG dalam tulisan ini dapat menjadi
sumbangan dalam rangka mengungkap isi dari naskah Sunda Kuna yang selama ini
kurang mendapat perhatian. Isi teks yang kaya akan informasi keagamaan dan etika
masyarakat Sunda pada masa lalu ini kiranya dapat dijadikan semacam sumber baru
dari periode lama yang kelak akan bermanfaat kajian literasi Sunda Kuna.
Pun. Leuwih luangan, kurang wuwuhan.
Depok, November - Desember 2011
Daftar Bacaan
1. Naskah
Carita Radn Jayakeling (L 407 peti 88) koleksi Perpustakaan Nasional RI.
Siksaguru (L 642) koleksi Perpustakaan Nasional RI.

2. Buku
Atja dan Saleh Danasasmita, 1981, Sanghyang Siksa Kandang Karesian; naskah Sunda
Kuno tahun 1518 Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa
Barat.
Danasasmita, Saleh, et al., 1987, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksa
Kandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632):
Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darsa, Undang Ahmad, 1998, Sanghyang Hayu; Kajian filologis naskah bahasa Jawa
Kuno di Sunda pada abad XVI. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Ensiklopedi Sunda; Alam, manusia, dan budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
Goris, R., 1926, Bijdragen tot de Kennis der Oud-Javaansche en Balineesche Theologie.
Thesis. Leiden.
Gunawan, Aditia, 2009, Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: suntingan
dan terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Holil, Munawar dan Aditia Gunawan, 2010, Membuka Peti Naskah Sunda Kuna koleksi
Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi dalam Perubahan Pandangan
Aristokrat Sunda. Seri Sundalana No. IX. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Holle, K.F., 1882, Tabel van Oud-en Nieuw Indische Alphabetten. Bijdrage tot de
Paleographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: sHage.
Hooykaas, C., 1964, gama Tirtha: Five Studies in Hindu-Balinese Religion.
Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen,
Afdeling Leterkunde (VKNAWL) 70.4
Kamus Umum Basa Sunda, 1976, disusun ku Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra
Sunda. Cetakan pertama. Bandung: Tarate.
Krom, N.J. & F.D.K. Bosch, 1914, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in
Nederlandsch Indie. Weltevreden: Albrecht & co.
Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck -- Van Der Tuuk, Aflevering 4. 1935. Singaradja
- Solo.
Noorduyn, J. dan A. Teeuw, 2006, Three old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.
[KITLV, Bibliotheca Indonesia no.29].
Pigeaud, Th., 1924, De Tangtu Panggelaran, uitgegeven, vertaald en toegelicht. Thesis.
Leiden: s-Gravenhage.
Pleyte, C.M., 1911, Het jaartal op den Batoe-Toelis nabij Buitenzorg; Een bijdrage tot
de kennis van het oude Soenda, met een kaartje, drie fotolithografieen en drie
facsimils, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG)
54:215-425.
id., 1914. Poernawidjajas hellevaart, of de Volledige verlossing; Vierde bijdrage tot de
kennis van het oude Soenda, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde (TBG) 56:365-441.
Sancaya, I Dewa Gede Windu, 2003, Teks-teks mantra dalam manuskrip lontar dan
fungsinya dalam masyarakat Bali, makalah seminar nasional naskah kuno
Nusantara, Jakarta 2-3 September 2003, Perpustakaan Nasional RI.
Tuuk, H.N. van der, 1897-1912, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4 Vols.
Batavia: Landsdrukkerij.
Wartini, Tien, [et al], 2010, Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI bekerja sama dengan Pusat Studi Sunda.
Zoetmulder, P.J., 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan kelima. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai