Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut
Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the application of science
to low, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti sebagai
aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan
peradilan.1
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu
toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik
adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan
menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya
racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam
tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan
analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan
perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat
disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi
forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan
penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang
dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti
kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi,
farmakokinetik, biotransformasi.1
Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum
khususnya dalam melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan
kemudian menerjemahkan hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat
keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di
pengadilan. Lebih jelasnya toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam

1
dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi
dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya dari cairan biologis
dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu argumentasi tentang
penyebab keracunan dari suatu kasus.1
Dalam kurikulum pendidikan Kedokteran, pengetahuan Toksikologi secara
utuh disampaikan oleh bagian Kedokteran Forensik, artinya yang disampaikan
kepada mahasiswa tidak saja mengenai kelainan atau perubahan post mortem pada
kasus keracunan, tetapi juga mencakup bentuk dan sifat kimiawi zat-zat racun, gejala
keracunan, pemeriksaan laboratorium dan tindakan pengobatan yang dikenal sebagai
Toksikologi Klinis.2

1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta
pembaca, terutama mengenai toksikologi forensik

BAB 2

2
ISI

2 . 1. DEFINISI
Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya
zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Definisi lainnya
dari toksikologi forensik yaitu ilmu yang mempelajari aspek medikolegal dari bahan
kimia yang mempunyai efek membahayakan manusia/hewan sehingga dapat dipakai
untuk membantu mencari/menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan kasus
pembunuhan. 1,3

Toksikologi forensik mencangkup:


terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal,
mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari racun dan metabolitnya dalam
materi biologi
menginterpretasikan temuan analisis ke dalam suatu argumentasi tentang
penyebab keracunan

2 . 2. KERACUNAN
Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya
terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimia toksikan tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek
yang ditimbulkan.1

Penggolongan
Berdasarkan sumber, dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan: opium (dari papaver somniferum), kokain, kurarem aflatoksin (dari

3
aspergillus niger), berasal dari hewan: bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut, mineral:
arsen, timah hitam atau sintetik: heroin.4
Berdasarkan tempat di mana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang
terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah
tangga, misalnya detergen, desinfekstan, insektisida, pembersih (cleaners). Racun
yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun
yang digunakan dalam industri dan laboratorium, misalnya asam dan basa kuat,
logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya sianida dalam singkong,
toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat, misalnya
hipnotik, sedatif, dll.4
Dapat pula pembagian racun berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi,
misalnya racun yang bersifat hepatotoksik, nefrotoksik.4
Berdasarkan mekanisme kerja, dikenal racun yang mengikat gugul sulfhidril
(-SH) misalnya Pb, yang berpengaruh pada ATP-ase, yang membentuk
methemoglobin misalnya nitrat dan nitrit.4
Pembagian lain didasarkan atas cara kerja/efek uang ditimbulkan. Ada racun
yang bekerja lokal dan menimbulkan beberapa reaksi misalnya perangsangan,
peradangan, atau korosif. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan
dapat menyebabkan kematian akinat syok neurogenik. Contoh racun korosif adalah
asam dan basa kuat: H2SO4, HNO3, NaOH, KOH; golongan halogen seperti fenol,
lisol, dan senyawa logam. Racun yang bekerja sistemik dan mempunyai afinitas
terhadap salah satu sistem misalnya barbiturat, alkohol, morfin terhadap susunan
saraf pusat, digitalis dan oksalat terhadap jantung, CO terhadap hemaglobin darah.
Terdapat pula racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik seklaigus misalnya
asam karbol menyebabkan erosi lambung dan sebagian yang diabsorbsi akan
menimbulkan depresi susunan saraf pusat.4
Tetra-etil lead yang masih terdapat dalam campuran bensin selain mempunyai
efek iritasi, jika diserap dapat menimbulkan hemolisis akut.4

4
Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan
Dalam menyelidiki suatu kasus forensik karena keracunan baik secara sengaja
maupun tidak, seorang ahli kedokteran forensik harus memperhatikan beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Untuk mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi
toksisitas harus mengetahui mekanisme farmakologik dari bahan kimia atau obat
terhadap makhluk hidup termasuk orang. Sehingga seorang ahli kedokteran forensik
harus mengetahui dasar-dasar respons tubuh terhadap obat tersebut.5

Tabel 1. Racun yang sering menyebabkan keracunan dan simptomatisnya 6

Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi


terjadinya keracunan, antara lain:5
1. Cara masuk.
a. Ditelan (peroral, ingesti).
b. Terhisap berasama udara pernafasan (Inhalasi).

5
c. Melalui penyuntikan (parenteral, injeksi, seperti intravena, intramuscular,
intraperitoneal).
d. Penyerapan melalui kulit yag sehat atau yang sakit.
e. Melalui anus atau vagina (perektal, pervainam).
Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun paling cepat menimbulkan efek
pada manusia bila masuknya racun secara inhalasi, kemudian secara berturut-turut
intramuscular, intraperitoneal dan paling lambat ialah bila melalui kulit yang
sehat.
2. Umur.
Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anak-anak lebih
sensitive misalnya pada barbiturate. Bayi premature lebih rentan terhadap obat
karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan aktiviatas mikrosom dalam hati
belum cukup.
3. Kondisi tubuh.
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih muda mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung, absorbsi dapat terjadi dengan lambat.
Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong.
4. Kebiasaan
Sangat berpengaruh pada racun golongan alcohol dan morfin sebab dapat terjadi
toleransi, tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika suatu ketika dihentikan, maka
toleransi akan menurun lagi.
5. Waktu pemberian
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorbs terjadi lebih baik
sehigga efek akan timbul lebih cepat.
6. Kuantitas (dosis) racun
Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian yang lebih
cepat. Tetapi pada beberapa kasus, misalnya racun tembaga sulfat dalam dosis
besar akan merangsang muntah sehingga racun dikeluarkan dari dalam tubuh.

6
2 . 3. PEMERIKSAAN FORENSIK

Pada Korban yang masih Hidup


Beberapa pertimbangan yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa untuk
mengetahui jenis racun yang masuk kedalam tubuh korban dapat melalui
pemeriksaan pada tinja korban atau dari bahan yang dimuntahkan oleh korban. Gejala
yang ditimbulkan tergantung kepada jenis dan klasifikasi racun. Misalnya racun yang
bersifat korosif akan meninggalkan bekas pada bagian luar tubuh. Racun yang
bersifat iritan menyebabkan gejala yang mirip seperti kolera. Racun dari jenis spinal
menyebabkan rangsangan sehingga bisa menyebabkan kejang-kejang. Bukti-bukti
yang sangat menjurus adanya keracunan adalah dengan ditemukannya racun pada
makanan, obat, bahan yang dimuntahkan, urine atau feses. Dengan demikian setiap
menangani kasus yang diduga karena keracunan, setiap bahan tersebut diatas harus
diambil untuk pemeriksaan laboratorium.5

Pada Korban yang sudah meninggal


Untuk melakukan pemeriksaan pada korban yang sudah meninggal, perlu dilakukan
pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan bahwa racun yang telah masuk ke dalam
tubuh korban tidak ada meninggalkan bukti yang konkrit di sekitar tempat kejadian.
Adapun hal-hal yang dilakukan adalah berupa pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam
tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi.5

Pemeriksaan Luar5
1. Bau yang tercium.
Ini dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan oleh korban.
Permeriksa dapat mencium bau minyak tanah pada penelanan larutan insektisida,
bau kutu busuk pada malation, mau ammonia, fenol (asam karbolat), lisol,
alcohol, eter, kloroform dan lain-lain.

7
2. Adanya busa/ buih halus sukar pecah.
Pada mulut dan hidung dapat ditemunaka adanya busa, kadang-kadang disertai
bercak darah.
3. Bercak coklat.
Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak berwarna coklat agak
mencekung di kulit yang terkena insektisida bersangkutan.
4. Pakaian.
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya
racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena
asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
5. Bercak-bercak racun.
Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian, bunuh diri, kecelakaan
atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri distribusi bercak biasanya teratur pada
bagian depan dan tengah dari pakaian, pada kecelakaan tidak khas, sedangkan
pada kasus pembunuhan distribusi bercak racun biasanya tidak beraturan (seperti
disiram).
6. Lokasi.
Dapat ditemukan bibir, ujung jari, dan kuku kebiruan.
7. Lebam mayat.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap. Kadang warna lebam mayat yang
tidak biasa juga mempunyai makna, karena pada dasarnya adalah manifestasi
warna darah yang tampak pada kulit.

Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam akibat keracunan akan ditemukan tanda-tanda
seperti:5
1. Darah berwarna lebih gelap dan encer.
2. Busa halus di dalam saluran nafas.

8
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura visceralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobularis, kulit kepala sebelah
dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
5. Edema paru : bauk dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi, misalnya bau minyak
tanah, bensin, terpentin atau bau seperti mentega yang tengik. Dalam lambung
akan ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapis, yang satu adalah cairan
lambung dan lapisan lainnya adalah lapisan larutan insektisida.
Pada prinsipnya pemeriksaan luar dan dalam diperiksa dan dicatat hal-hal
penting dengan seksama dengan memperhatikan segala kemungkinan tanda spesifik
dari zat yang meracuni tubuh, seperti:5
1. Bau.
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan
oleh korban. Pemeriksa dapat mencium bau amandel yang pada penelan sianida,
bau minyak tanah pada penelanan isektisida, bau kutu busuk pada malation, bau
amoniak, fenol, alcohol, eter dan lain-lain. Maka pada tiap kasus keracunan,
pemeriksa harus selalu memperhatikan bau yang tercium dari pakaian, lubang
hidung, dann mulut serta rongga badan. Segera setelah pemeriksa berada
disamping mayat, ia harus menekan dada mayat dan menetukan apakah ada suatu
bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
2. Pakaian.
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebarkan oleh tercecernya
racun yang ditelan atau oleh muntahan misalnya bercak warna coklat karena asam
sulfat atau kuning karena asam nitrat. Penyebaran bercak perlu diperhatikan,
karena dari penyebaran itu dapat diperoleh petunjuk tentang intense atau kemauan
korban yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri atau dipaksa. Jika

9
korban dipaksa maka bercak-bercak racun akan tersebar pada daerah yang luas
dan pada pakaian melekat bau racun.
3. Lebam mayat.
Warna lebam yang tidak biasa juga mempunyai makna karena warna lebam mayat
pada dasarnya manifestasi darah yang tampak pada kulit misalnya cherry pink
colour pada keracunan CO, merah terang pada keracunan sianida, kecoklatan
pada keracunan nitrit, nitrat, aniline, fenasetin dan kina.
4. Perhatikan adanya kelainan ditempat masuknya racun.
Zat-zat bersifat korosif menyebabkan luka bakar atau korosi pada bibir, mulut dan
kulit sekitar. Bunuh diri dengan lisol ditemukan luka bakar kering berwarna
coklat bentuk tidak teratur dengan garis-garis yang berjalan dari bibir atau sudut-
sudut mulut kea rah leher. Pada orang dipaksa menelan zat itu akan ditemukan
bercak-bercak luka bakar barbagai bentuk dan ukuran tersebar dimana-mana.
Pada asam nitrat, korosi berwarna kuning atau jingga kuning karena reaksi
xantoprotein, pada asam klorida korosif kulit tidak begitu lebat atau kadang tidak
ditemukan. Pada sam format ditemukan luka bakar warna merah coklat, batas
tegas dan kelopak mata munkgin membengkak karena extravasasi hemorhagik.
5. Perubahan kulit.
Hiperpigmentasi atau malanosis dan keratosis telapak tangan dan kaki pada
keracunan arsen kronik. Kulit warna kelabu kebiru-biruan pada keracunan perak
kronik. Kulit warna kuning pada keracunan tembaga dan fosfor akibat hemolisis,
juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan
fungsi hati. Dermatitis pada keracunan kronik salsilat, bromida dan beberapa
logam berat seperti arsen dan talium. Vesikel atau bula pada tumit, bokong dan
punggung pada keracunan karbon monoksida dan barbiturat akut.
6. Kuku.
Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kkuku yang menebal secara tidak
teratur.

10
7. Rambut.
Kebotakan atau alopesia dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa
dan boraks.
8. Sklera.
Sklera tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,
karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dikoumarol atau akibat bisa ular.
Dalam pemeriksaan dalam, segera setelah rongga perut dan dada dibuka,
tentukan apakah terdapat bau yang tidak biasa (racun). Bila pada pemeriksaan luar
tidak tercium bau racun, maka rongga tengkorak sebaiknya dibuka terlebih dahulu
agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila yang dicurigai
adalah sianida. Bau sianida, alcohol, kloroform dan eter tercium bau paling kuat
dalam rongga tengkorak.
1. Inspeksi insitu.
Perhatikan warna otot-otot dan alat-alat. Pada keracunan karbonmonoksida
tampak berwarna keracunan merah muda cerah, dan pada sianida warna merah
cerah. Warna coklat pada racun dengan eksresi melalui mukosa usus. Peradangan
dalam usus karakteristik pada keracuanan air raksa, biasana pada kolon ascenden
dan transversum dietemukan colitis. Lambung mungkin tampak hiperemi atau
tampak kehitam-hitaman dan terdapat perforasi akibat zat korosif. Hati berwarna
kuning karena degenerasi lemak atau nekrosis pada keracunan zat hepatotoksik
seperti fosfor, karbontetraklorida, kloroform, alcohol, dan arsen. Perhatikan warna
darah pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis (bias ular,
pirogalol, hidriquinon, dinitrofenol dan arsen). Darah dan organ-organ dalam
berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang menimbulkan gangguan
trombosit terdapat bannyak bercak perdarahan pada organ-organ. Bila terjadi
keracunan yang cepat akan menimbulkan kematian misalnya sianida, alcohol,
kloroform maka darh dalam jantung dan pembuluh darah besar tetap cair, tidak
terdapat bekuan darah.

11
2. Lidah.
Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau menunjukan
kelainan yang disebabkan oleh zat korosif.
3. Esophagus.
Bagian atas dibuka sampai pada ikatan diatas diafragma, apakah terdapat
regurgitasi dan selaput lender. Diperthatikan adanya hiperemi dan korosif.
4. Epiglottis dan glottis.
Perhatikan apakah ada hipermi atau oedem, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi
gas atau uap yang merangsang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang
merangsang.
5. Paru-paru.
Ditemukan kelainan yang tidak spesifik berupa bendungan akut. Pada inhalasi gas
yang merangsang seperti klorin dan nitrogen oksida ditemukan perbendungan dan
oedem hebat serta emfisema akut karena terjadi batuk-batuk, dyspneu dan spasme
bronchus.
6. Lambung dan usus 12 jari.
Dipisahkan dari alat-alat lainnya dan diletakkan dalam wadah bersih, lambung
dibuka sepanjang curvature mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau
yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung, warna dan terdiri atas bahan apa.
7. Usus-usus..
Secara rutin usus-usus sebaiknya dikirim seluruhnya dengan ujung terikat.
Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Isi
usus dikeluarkan dengan membuka satu ikatan dan mengurut usus kemudian
ditampung dalam gelas dan tentukan beratnya. Selaput lender diperiksa kemudian
dicuci dengan aquadest kemudian air cucian ditimbang serta dimasukan dalam
tabung yang berisi usus. Dalam isis usus kadang-kadang dapat ditemukan enteric
tablets atau tablet lain yang belum tercena.

12
8. Hati.
Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak serinng
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan
phosphor, karbon tetrachlorida.
9. Ginjal.
Perubahan degenratif pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh racun yang
merangsang ginjal agak membesar, korteks membesar, gambaran tidak jelas dan
berwarna suram kelabu kuning.
10. Urin
Dengan semprit dan jarum yang bersih urin diambil dari kandung kemin. Urin
merupakan cairan yang baik sekali untuk spot test yang mudah dikerjakan
sehingga dapat diperoleh petunjuk yang pertama dalam suatu analisis toksikologis
secar sistematis.
11. Otak.
Pada keracunan akut dengan kematian yang cepat biasanay tidak ditemukan
adanya edema otak misalnya pada kematian cepat akibat barbiturate atau eter dan
juga pada keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam
otak dapat ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturate, nitrogen
oksida dan logam berat seperti air raksa, arsen dan timah hitam.
12. Jantung.
Racun-racun yang dapat menyebabkan degenerasi parenkim, lemak atau hidropik
pada epitellium dapat menyebabkan degenerasi sel-sel otot jantung sehingga
jantung menjadi lunak, berwarna merak pucat coklat kekuning-kuningan dan
ventrikel mungkin melebar. Pada keracunan karbonmonoksida bila korban hidup
selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot
septum iterventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada musculus
papillaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut
sehingga tampak gambaran seperti kipas. Pada keracunan arsen hamper selalu

13
ditemukan perdaraha kecil-kecil seperti nyala api (frame like) di bawah
edokardium septum interventrikel ventrikel kiri. Juga pada keracunan fosfor dapat
ditemukan perubahan-perubahan itu.
13. Limpa
Selain adanya pembendungan akut, limpa tidak menunjukan kelainan patologik.
Limpa jarang dipergunakan dalam analisis toksikologik, sehingga umumnya
limpa tidak diambil terkecuali bila tidak dapat diperoleh lagi darah dari jantung
dan pembuluh-pembuluh darah besar.
14. Empedu.
Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida (doriden),
quabaina (Strophantin, Strophantus gratus), morfin dan heroin.
15. Lemak
Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit daerah
perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian
dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa
korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil
dalam radius 5-10 cm.
16. Rambut
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala. Rambut diikat terlebih dahulu
sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar ahli
toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan bagian distal.
Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen
ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang
dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya inci atau 1 cm.
terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.
17. Kuku
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku
kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa

14
diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.

2 . 4. LANGKAH-LANGKAH ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK


Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan
analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:1
1) penyiapan sampel sample preparation,
2) analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga dengan
general unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan
kuantifikasi,
3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan
analisis.

Gambar 1. Langkah analisis toksikologi forensik6

Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan
makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya
analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum

15
dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan
analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau
bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk
mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi
penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak
kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan
pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh
polisi penyidik.1
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa
induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi
forensik, senyawa matabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi
forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin,
air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu
faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan
penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya,
hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari
analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu
menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu
dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).1

Persiapan Sampel
Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diambil oleh dokter,
misalnya pada kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter
forensik pada saat melakukan otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis,
jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan
label pada masing-masing bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya
dilengkapi dengan informasi: nomer indentitas, nama korban, tanggal/waktu otopsi,
nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman dan penyerahan spesimen harus

16
dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang ditandatangani oleh
dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian memberikan
dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam
lemari pendingin freezer dan menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini
dilakukan bertujuan untuk memberikan rantai perlindungan/pengamanan spesimen
(chain of custody).1
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel
adalah: jenis dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan
analisis. Dengan demikian akan dapat merancang atau memilih metode penanganan
sampel, jumlah sampel yang akan digunakan, serta memilih metode analisis yang
tepat. Penanganan sampel perlu mendapat perhatian khusus, karena sebagian besar
sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat mungkin mencegah terjadinya
penguraian dari analit. Pemilihan metode ekstraksi ditentukan juga oleh analisis yang
akan dilakukan, misal pada uji penapisan sering dilakukan ekstraksi satu tahap,
dimana pada tahap ini diharapkan semua analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji
penapisan menggunakan teknik immunoassay sampel tidak perlu diekstraksi
dengan pelarut tertentu.1
Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan
perlakuan awal, seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan
kekeruhan. 1
Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum
dilakukan uji penapisan pada darah. Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan
uji penapisan menggunakan teknik immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang
diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan
dengan metanol, dan kemudian disentrifugasi, sepernatannya dapat langsung
dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.1

17
Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak
menggunakan teknik immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis
dengan reaksi penampak bercak tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat metode
Stas-Otto- Gang untuk melalukan pemisahan analit berdasarkan sifat asam-basanya.
Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut yang
terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi cair-cair
berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan
kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit
dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben fase padat (SPE, Si-Gel C-18,
Extrelut, Bund Elut Certify, dll), kemudian dielusi dengan pelarut tertentu,
biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.1
Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian
identifikasi dan kuantifikasi, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada
umumnya materi biologik merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari
berbagai campuran baik senyawa endogen maupun senyawa eksogen xenobiotika.
Penyiapan sampel umumnya meliputi hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit.
Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan selektifitas yang tinggi. Perolehan
kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting untuk menyari semua analit,
sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin pengotor atau senyawa
penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan
sampel termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll.
Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan volatilitas analit atau
meningkatkan kepekaan analisis.1

Uji Penapisan Screening test


Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam
sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia
maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara

18
umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain,
kannabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti
dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini
berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini diambil senyawa
golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar morfin, beberapa
senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin, mono-asetil morfin,
morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-
glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya
yang mempunyai inti morfin. Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi
golongan analit dengan derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah
dan pelaksanaannya relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi
lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna, b) teknik immunoassay.
Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi,
serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan
bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi relatif
tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama.
a) Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis
obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan anti-drug
antibody untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi
biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target)
maka dia akan berikatan dengan anti-drug antibody, namun jika tidak ada
antigentarget maka anti-drug antibody akan berikatan dengan antigen-
penanda. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi ikatan
antigenantibodi ini, seperti enzyme linked immunoassay (ELISA), enzyme
multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization
immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio

19
immunoassay (RIA). Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja
(jumlah sampel per-hari) yang ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal
dipasaran teknik ELISA atau EMIT terdapat dalam bentuk single test maupun
multi test. Untuk laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil
pemilihan teknik single test immunoassay akan lebih tepat ketimbang teknik multi
test, namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal.
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan,
bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan
dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur
molekul maupun bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini tentunya
memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang mengandung pseudoefedrin akan
memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay dari anti bodi-
metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay (screening test) harus
dilakukan uji pemastian (confirmatori test).
b) kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun
KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Untuk
meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi
forensik, uji penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem
pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan menggunakan
spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT dapat dideteksi
spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan
derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara
simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian.

Uji pemastian confirmatory test


Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun harus lebih

20
spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang
dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas -
spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC) dengan
diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri massa (LC-MS), KLT-
Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada
uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat
menentukan secara spesifik toksikan yang ada.1
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah
analit dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan
identitasnya menggunakan teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi
dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke
kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan metabolitnya, maka
dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa segolongannya atau
metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks retensi dari analit
yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini belum
cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki
spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS,
analit akan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat
kharakteristik untuk setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan
sidik jari molekular dari suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan
spektrum massanya, maka identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.1
Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor akan memungkinkan
secara simultan mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh
kolom HPLC. Seperti pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks retensi
dan spektrum UV-Vis analit, maka dapat mengenali identitas analit.
Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji
penapisan), pada uji ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. Data analisis
kuantitatif analit akan sangat berguna bagi toksikolog forensik dalam

21
menginterpretasikan hasil analisis, dengan kaitannya dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang muncul baik dari penyidik maupun hakim sehubungan dengan kasus
yang terkait. Misal analisis toksikologi forensik ditegakkan bertujuan untuk
memastikan dugaan kasus kematian akibat keracunan atau diracuni, pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin muncul pada kasus ini adalah:6
senyawa racun apa yang terlibat?
berapa besar dosis yang digunakan?
kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan
korban)?
melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?
Dalam praktis analisis menggunakan teknik GC-MS, LC-MS, atau HPLC-
Diode array detektor memerlukan biaya analisis yang relatif mahal ketimbang KLT-
Spektrofotodensitometri. Sehingga disarankan dalam perencanaan pengadaan/
pemilihan peralatan suatu laboratorium toksikologi seharusnya mempertimbangkan
biaya operasional penanganan sampel. Hal ini pada kenyataannya sering menjadi
faktor penghambat dalam penyelenggaraan laboratorium toksikologi. Karena pada
kenyataanya telah diatur dalam KUHAP, bahwa biaya yang ditimbulkan akibat
pemeriksaan atau penyidikan dibebankan pada negara, namun pada kenyataanya
sampai saat negara belum mampu memikul beban tersebut.1

Interpretasi temuan analisis


Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak
dijelaskan makna dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban
menerjemahkan temuan tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat
atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang
muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus yang dituduhkan.1
Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obatobatan terlarang, mengacu
pada hukum yang berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang spikotropika dan

22
UU no 22 th 1997 tentang Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang
toksikolog forensik adalah merupakan suatu keharusan. Heroin menurut UU no 22
tahun 1997 termasuk narkotika golongan I, namun metabolitnya (morfin) masuk ke
dalam narkotika golongan II. Dilain hal kodein (narkotika golongan III) di dalam
tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi morfin. Namun pada kenyataannya
heroin illegal juga mengandung acetilkodein, yang merupakan hasil asetilasi dari
kodein, sehingga dalam analisis toksikologi forensik pada pembuktian kasus
penyalahgunaan heroin ilegal akan mungkin diketemukan morfin dan kodein.
Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa penyalahgunaan
narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga
interpretasi temuan analisis toksikologi forensik, khususnya dalam kaitan menjawab
pertanyaan narkotika apa yang telah dikonsumsi, adalah sangat mutlak dalam
penegakan hukum.1
Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh toksikolog forensik
dalam melakukan analisis:
a) Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut (senyawa apa yang
menyebabkan keracunan, menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
dalam berlalulintas, atau narkoba apa yang telah disalah gunakan)?
b) Berapa besar dosisnya?
c) Efek apa yang ditimbulkan?
d) Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?
e) Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis toksikologi dan
didukung oleh penguasaan ilmu pendukung lainnya seperti farmakologi dan
toksikologi, biotransformasi, dan farmakokinetik.
Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk
menarik kesimpulan bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat
terlarang. Sedangkan hasil uji pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar
untuk memastikan atau menarik kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan

23
obat terlarang yang dituduhkan. Pernyataan ini terdengar sangatlah mudah, namun
pada praktisnya banyak faktor yang mempengaruhi.1
Untuk lebih jelasnya disini akan diberikan suatu perumpamaan kasus, misal
dari hasil uji penapisan menggunakan teknik immunoassay diperoleh dalam sampel
darah dan urin tertuduh memberikan reaksi positif terhadap golongan opiat. Hasil ini
tidak cukup untuk membuktikan (menuduh) terdakwa telah mengkonsumsi obat
terlarang narkotika golongan opiat, karena obat batuk dentromertofan mungkin
memberikan reaksi positif. Dilain hal senyawa golongan opiat terdistribusi ke dalam
golongan narkotika I sampai III, dimana menurut UU Narkotika, penyalahgunaan
golongan tersebut memiliki konsekuen hukum yang berbeda. Metabolit glukuronida
dari morfin dan kodein tidak dimasukkan ke dalam senyawa narkotika. Kenyataan ini
akan membuat interpretasi toksikologi forensik, yang hanya berdasarkan data hasil
analisis uji penapisan, menjadi lebih komplek.1
Dilain hal banyak senyawa obat, dimana metabolitnya memungkinkan
memberi reaksi positif (reaksi silang) terhadap test anti-amfetamin-antibodi. Senyawa
obat tersebut antara lain: a) golongan obat bebas yang digunakan sebagai
dekongestan dan anoreksia, seperti: efedrin, pseudoefedrin dan fenilpropanolamin; b)
golongan keras (dengan resep): benzofetamin, fenfluramine, mefentermin,
fenmeterzine, dan fentermine; c) obat / senyawa obat, dimana amfetamin atau
metamfetamin sebagai metabolitnya, seperti: etilamfetamin, clobenzorex, mefenorex,
dimetilamfetamin, dll.1
Pada interpretasi hasil analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog
forensik dituntut mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti: rute pemakaian
toksikan, apakah konsentrasi toksikan yang ditetapkan cukup sebagai menyebabkan
kematian atau penyebab keracunan. Penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh
dari analisis berbagai spesimen, dimana pada umumnya konsentrasi toksikan yang
lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian. Jika ditemukan toksikan dalam
jumlah besar di saluran pencernaan dan hati, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

24
paparan melalui jalur oral. Demikian juga apabila konsentrasi yang tinggi ditemukan
di paru-paru atau pada organ viseral lainnya mengindikasikan paparan melalui
inhalasi.1
Bekas suntikan yang baru pada permukaan tubuh (seperti telapak tangan,
lengan, dll), yang ditemukan pada kasus kematian akibat penyalahgunaan narkotika,
merupakan petujuk paparan melalui injeksi.1
Ditemukannya toksikan dalam konsentrasi yang cukup tinggi baik di saluran
pencernaan maupun di darah, dapat dijadikan cukup bukti untuk menyatakan toksikan
tersebut sebagai penyebab kematian. Seorang toksikolog forensik dituntut juga dapat
menerangkan absorpsi toksikan dan transportasi/distribusi melalui sirkulasi sistemik
menuju organ-jaringan sampai dapat menimbulkan efek yang fatal. Interpretasi ini
diturunkan dari data konsentrasi toksikan baik di darah maupun di jaringan-jaringan.1
Hasil analisis urin biasanya kurang berarti dalam menentukan efek
toksik/psikologi dari suatu toksikan. Secara umum hasil analisis urin menyatakan
adanya paparan toksikan sebelum kematian. Dari jumlah volume urin dan konstelasi
jumlah toksikan dan metabolitnya di dalam kantung kemih, dengan berdasarkan data
laju eksresi toksikan dan metabolitnya, maka dimungkinkan untuk menurunkan
informasi lamanya waktu paparan telah terjadi sebelum kematian.1
Kebanyakan efek farmakologik/psikologi xenobiotika berhubungan dengan
tingkat konsentrasinya di darah dan tempat kerjanya (reseptor). Oleh sebab itu tingkat
konsentrasi di darah adalah sebagai indikator penting dalam mencari faktor penyebab
kematian/keracunan.1
Dalam menginterpretasikan tingkat konsentrasi di dalam darah dan jaringan
sebaiknya memperhatikan tingkat efek psikologis yang sebenarnya dan semua faktor
yang berpengaruh dari setiap tingkat konsentrasi yang diperoleh dari spesimen.
Interpretasi tingkat konsentrasi dalam darah dan jaringan dapat dibagi menjadi tiga
katagori: normal atau terapeutik, toksik, dan lethal. Tingkat konsentrasi normal
dinyatakan sebagai keadaan, dimana tidak menimbulkan efek toksik pada organisme.

25
Tingkat konsentrasi toksik berhubungan dengan gejala membahayankan nyawa,
seperti: koma, kejang-kejang, kerusakan hati atau ginjal. Tingkat konsentrasi
kematian dinyatakan sebagai konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian. Contoh:
sianida pada konsentrasi yang tinggi (0,17-2,22 mg/l, diketemukan pada kematian
akibat keracunan sianida), dinyatakan sebagai penyebab keracunan. Sedangkan pada
konsentrasi yang sangat kecil (0,004 mg/l pada orang sehat dan 0,006 mg/l pada
perokok), sianida berperan dalam pembentukan vitamin B12. Dalam jumlah kecil
sianida juga diabsorpsi dan dibangkitkan selama merokok. Oleh sebab itu mendeteksi
sianida di darah pada tingkat dibawah konsentrasi toksik, masih dapat ditolerir
sebagai tanpa efek toksik. Beberapa logam berat, seperti arsen, timbal, dan merkuri
tidak diperlukan untuk fungsi normal tubuh. Keberadaan logam tersebut dibawah
tingkat konsentrasi toksik mengindikasikan bahwa korban telah terpapar logam berat
akibat polusi lingkungan.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat
konsentrasi toksik (seperti: usia, jenis kelamin/status hormonal, berat badan, status
nutrisi, genetik, status immunologi, kelainan patologik dan penyakit bawaan, kelainan
fungsi organ, sifat farmakokinetik dari toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan
dalam menginterpretasikan hasil analisis, yang bertujuan mencari faktor penyebab
keracunan. Faktor lain yang juga harus mendapat perhatian adalah fenomena
farmakologi seperti toleransi. Toleransi adalah suatu keadaan menurunnya respon
tubuh terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang sebelumnya, biasanya
dalam waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan oleh adaptasi selular
pada suatu konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat pada penekanan efek
farmakologis yang diinginkan. Hal ini sering dijumpai pada kasus kematian akibat
menyalahgunaan heroin, dimanakan ditemukan tumpang tindih rentang konsentrasi
morfin di darah pada kasus lethal related heroine (0,010 - 2,200 g/ml, rataan:
0,277 g/ml) dan non-lethal related heroine (0,010 -0,275 g/ml, rataan: 0,046
g/ml). Konsetrasi morfin yang tinggi mungkin tidak mengakibatkan efek toksik

26
pada junkis yang telah berulang memakai heroin, sedangkan pada konsentrasi yang
sama mungkin menimbulkan efek kematian pada orang yang baru menggunkan.
Bahaya kematian sering dijumpai pada pemakaian dosis tinggi oleh pencadu, yang
memulai kembali menggunakan heroin setelah lama berhenti menggunakannya,
dimana dosisnya didasarkan pengalaman pribadi saat efek tolerasi masih timbul.
Melalui pengamatan ulang riwayat kasus, memperhatikan semua faktor toksokinetik,
toksodinamik, dan dengan membandingkan hasil analisis dengan laporan kasus yang
sama dari beberapa pustaka atau pengalaman sendiri, seorang ahli toksikologi
membuat interpretasi akhir dari suatu kasus.1

2 . 5. ASPEK MEDIKOLEGAL
Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada
keracunan adalah KUHAP pasal 133 (1), yang berbunyi:2

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran forensik kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

Kasus kematian yang disebabkan oleh racun dapat dikelompokkan sebagai


berikut:2

a) Kecelakaan/kematian tidak sengaja


Kebanyakan kecelakaan kerecunan yang terjadi di rumah-tangga, seperti:
keracunan pada anak-anak akibat kelalaian atau kurang tepatnya penyimpanan
bahan-bahan rumah tangga berbahaya (ditergen, pestisida rumah-tangga, obat-
obatan), sehingga dapa dijangkau oleh anak-anak, adalah umumnya akibat
ketidaksengajaan/kelalaian. Kecelakaan keracunan pada orang dewasa biasanya
berhubungan dengan hilangnya label penanda pada bahan beracun,
penyimpanan tidak pada tempatnya, misal disimpan di dalam botol minuman,

27
kaleng gula, kopi dll, yang dapat menyebabkan kekeliruan. Kecelakaan keracunan
mungkin juga dapat terjadi di industri, untuk menghidari kecelakan akibat
kelalaian kerja diperlukan protokol khusus tentang keselamatan kerja di industri.
Protokol ini berisikan standard keamanan, peraturan perlindungan kerja,
tersedianya dokter dalam penanganan kasus darurat pada keracunan fatal.
b) Penyalahgunaan obat-obatan
Penyalahgunaan obat-obatan adalah penggunaan obat-obatan atau bahan kimia
tertentu yang bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan untuk memperoleh
perubahan perasaan atau menimbulkan rasa bahagia eporia. Fakta menunjukkan
sering akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat mengakibatkan beberapa
keracunan, sampai kematian. Kematian pemakaian heroin umumnya diakibatkan
oleh depresi penekanan fungsi pernafasan, yang mengakibatkan kegagalan
pengambilan oksigen, sehingga terjadi penurunana kadar oksigen yang drastis di
otak. Pada kematian akibat keracunan heroin biasanya disertai dengan udema
paru-paru. Hal ini menandakan telah terjadi dipresi pernafasan. Umumnya
penyalahgunaan obat-obatan melibatkan penggunaan obat-obatan golongan
narkotika dan psikotropika, seperti narkotika (golongan opiat), hipnotika.sedativa
(barbiturat), halusinogen (3-4 metil deoksimetamfetamin MDMA, metil
dioksiamfetamin MDA, fensilidin PCP), dan stimulan (amfetamin, cocain).
Keracunan akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat juga sebabkan oleh
kelebihan dosis, pengkonsomsi alkohol, atau salah pengobatan oleh dokter
mismedication .
c) Bunuh diri dengan racun
Kasus kecelakan bunuh diri menggunakan pestisida rumah-tangga, ditergen, atau
menggunakan kombinasi obat-obatan yang komplek. Pada kasus bunuh diri
dengan obat-obatan kadang ditemukan 3 hingga 7 jenis obat. Untuk mencari
penyebab kematian pada kasus bunuh diri diperlukan analisis toksikologi, yaitu
analisis kualitatif dan kuantitatif racun di cairan lambung, darah, urin, dan organ
tubuh lainnya untuk mencari dan menentukan jumlah minimum penyebab
keracunan.

28
d) Pembunuhan menggunakan racun
Penyidikan kematian seseorang akibat pembunuhan dengan racun adalah
penyidikan yang paling sulit bagi penegak hukum dan dokter ferensin termasuk
toksikolog forensik. Secara umum bukti keracunan diperoleh dari simptom yang
ditunjukan sebelum kematian. Penyidikan pasca kematian oleh dokter patologi
forensik dengan melakukan otopsi dan pengambilan spesimen sampel, yang
kemudian dilakukan analisis racun oleh toksikolog forensik merupakan sederetan
penyidikan penting dalam penegakan hokum.

BAB 3
KESIMPULAN

29
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, farmakologi, biokimia, forensik dan
lain-lain.
Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan
kulit. Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian toksikologi, paparan
xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.
Racun adalah suatu substansi yang dapat mengganggu keseimbangan
fisiologis sehingga mengganggu kesehatan bila terserap kedalam tubuh.
Kasus kematian yang disebabkan oleh racun dapat dikelompokkan dalam
kecelakaan/kematian tidak sengaja, penyalahgunaan obat-obatan, bunuh diri dengan
racun, dan pembunuhan menggunakan racun.
Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada
keracunan terdapat dalam KUHAP pasal 133 (1) .

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Wirasuta MAG. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis.
Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55
2. Amir A. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Hal. 24-25
3. Buchari. Toksikologi Industri. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1438/1/07002745.pdf
4. Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko,
Nugroho, E. (terj.), Jakarta: UI Press
5. Sinaga EJ. 2010. Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum
Dugaan Pembunuhan Dengan Racun. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20996
6. Wirasuta IMAG. Pengantar Toksikologi Forensik. Available from:
http://www.farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Pengantar-Toksikologi-
Forensik1.pdf

31

Anda mungkin juga menyukai