Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperurisemia adalah gangguan metabolisme yang ditandai oleh


kelebihan asam urat dalam darah. Asam urat adalah produk akhir dari
metabolisme purin pada manusia, konsentrasi serum asam urat yang tidak
lebih dari 7 mg/dl pada laki-laki dan 6 mg/dl pada perempuan. Hiperurisemia
terjadi akibat peningkatan produksi asam urat atau penurunan ekskresi atau
sering merupakan kombinasi keduanya. Asam urat sebagai hasil sintesis purin
pada kondisi hiperurisemia, merupakan faktor risiko dari stroke, hipertensi,
diabetes melitus (DM) dan penyakit jantung. Hiperurisemia dikenal sebagai
penyakit sendi/rematik/encok akibat dari inflamasi sistemik kronik pada
sendi-sendi tubuh. Gejala klinik berupa gangguan nyeri pada persendian yang
disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan dan berlangsung kronis.
Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Di perkirakan bahwa
gangguan asam urat terjadi pada 840 dari setiap 100.000 orang, dan mewakili
5% dari total penyakit radang sendi.(1, 2, 3, 4)
Pada saat ini kelainan metabolik seperti diabetes melitus, obesitas,
hipertensi, hiperlipidemia, jenis kelamin pria serta usia>30 tahun sering
dihubungkan dengan peningkatan kadar asam urat dengan kondisi gout
primer sebesar 90% kasus. Gout sekunder terjadi sebesar 10% kasus yang
disebabkan oleh wanita menopouse. Prevalensi pria sebesar 90-95% daripada
wanita untuk mengalami hiperurisemia, sebagai suatu proses degeneratif.
Wanita dipengaruhi oleh hormon estrogen yang membantu dalam eksresi
asam urat, oleh karena itu faktor risiko hiperurisemia terjadi pada
wanitamenopause usia 50 tahun. Keadaan hiperurisemia pada DM tipe 2
disebabkan oleh terjadinya penurunan ekskresi asam uratsebagai kompensasi
dari stress oksidatif pada hiperglikemi yang berkepanjangan.(2, 4, 5)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Renny Anggraeni pada
tahun 2011 dengan judul Gambaran Asam Urat Serum Pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis

1
2

kelamin terdapat peningkatan kadar asam urat serum sebanyak 86,21% pada
laki-laki dan 78,79% pada perempuan yang menderita DM tipe 2. Persentase
peningkatan kadar asam urat serum sebesar 8,00% yang dihitung berdasarkan
batas tertinggi nilai rujukan untuk laki-laki dan pada perempuan sebesar
1,05% yang dihitung berdasarkan batas tertinggi nilai rujukan untuk
perempuan. (6)
Penelitian yang dilakukan Diabetes Care bahwa diabetes
mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Ini dijelaskan dalam penelitian
tersebut bahwa faktor terjadinya hiperurisemia adalah pada penderita DM tipe
2. DM tipe 2 sendiri merupakan keadaan dimana adanya gangguan pelepasan
insulin yang biasanya disebabkan oleh kerusakan reseptor glukosa pada sel
beta pangkreas.DM tipe 2 dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi
melalui resistensi hormoninsulin. Resistensi insulin akan mempengaruhi
terjadinya gangguan berupa meningkatkan reabsorbsi asam urat di tubulus
ginjal, sehingga menyebabkan penurunan ekskresi asam urat di ginjal. (7)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Tanjung Kabupaten
Brebes terdapat 150 penderita hiperurisemia di tahun 2015. Hiperurisemia
tersebut bisa disebabkan karena berbagai faktor risiko salah satunya usia,
jenis kelamin dan diabetes melitus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian bagaimana hubungan faktor risiko usia, jenis kelamin
dan diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi hiperurisemia di Puskesmas
Tanjung Kabupaten Brebes.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut peneliti merumuskan
masalah, yaitu Bagaimana hubungan faktor risiko usia, jenis kelamin dan
diabetes melitus tipe 2terhadap prevalensi hiperurisemia di Puskesmas
Tanjung Kabupaten Brebes ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
3

Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan faktor


risiko usia, jenis kelamin dan diabetes melitus terhadap
prevalensihiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko usia terhadap
prevalensi hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten
Brebes.
2. Untuk mengetahui hubungan antara faktor risikojenis kelamin
terhadap prevalensi hiperurisemia di Puskesmas Tanjung
Kabupaten Brebes.
3. Untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko diabetes
melitus tipe 2terhadap prevalensi hiperurisemia di Puskesmas
Tanjung Kabupaten Brebes.
4. Untuk mengetahui hubunganantara faktor risiko usia, jenis
kelamin dan diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi
hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat untuk Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan tentang hubungan antara usia,
jenis kelamin dan diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi
hiperurisemia.

1.4.2 Manfaat untuk Pelayanan Kesehatan


Sebagai informasi berkaitan dengan pravalensi hiperurisemia
ditinjau dari usia, jenis kelamin, keterkaitan dengan
diabetesmelitustipe 2sehingga dapat digunakan sebagai upaya untuk
mengurangi kejadian hiperurisemia.

1.4.3 Manfaat untuk Masyarakat


4

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan


masyarakat umum, sehingga mereka dapat menanggulangi upaya
terkena hiperurisemia pada kemudian hari.

1.4.4 Manfaat untuk Penelitian


a. Melatih diri dalam upaya pembuatan penelitian dan sebagai
pengaplikasian ilmu pengetahuan ke lapangan. Penelitian ini diharapkan
dapat menambah wawasan peneliti.
b. Untuk memberikan informasi sebagai referensi atau perbandingan bagi penelitian
selanjutnya.

1.5 Orisinalitas Penelitian


Penelitian Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, dan Diabetes melitus
tipe 2 dengan Prevalensi Hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten
Brebes, adapun beberapa penelitian yang sudah diteliti tercantum yang
berkaitan dengan hiperurisemia antara lain, yaitu :

Tabel 1.Orisinalitas Penelitian


Metode
No Peneliti Judul Hasil Penelitian
penelitian
1 Renny Gambaran Asam Deskriptif Hasil penelitian ini yaitu terdapat
Anggraeni, Urat Serum Pada observational peningkatan persentase kadar asam
2011 Pasien Diabetes dengan rancangan urat serum sebanyak 86,21% pada
5

Melitus Tipe 2 penelitian cross laki-laki dan 78,79% pada


sectional perempuan yang menderita DM tipe
2.
2 Olivia C. Prevalensi Observasional Dari hasil pemeriksaan tersebut
Mulalinda hiperurisemia dengan desain didapatkan 4 siswa obese yang
Aaltje pada remaja obese crossectional memiliki kadar asam urat diatas
Manampiring di SMA kristen study normal, sehingga dapat disimpulkan
2 Fatimawali, tumou you Kota prevalensi hiperurisemia pada
2012 remaja/siswa obese adalah 36,36%

.
3 I Nyoman Korelasi positif Observasional Sampel sebanyak 82 orang, periode
Darsana,2014 kadar asam analitik potong April sampai Agustus 2014.
uratserum tinggi lintang. Ditemukan proporsi kadar AUS
tinggi pada NDP sebesar 53,7%
dengan neuropati Pengambilan
(N=44), NDP berkorelasi bermakna
diabetikperifer sampel dengan (p<0,001), sedang (r=0,509) dengan
pada penderita metode sampling arah korelasi positif terhadap kadar
DM tipe 2 di non random jenis AUS tinggi.
rumah sakit consecutive Dapat disimpulkan bahwa semakin
umum pusat tinggi kadar AUS semakin tinggi
langsah kemungkinan menderita NDP.

Penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki


perbedaan. Adapun perbedaan diantaranya meliputi variabel bebas yang akan
diteliti adalah usia, jenis kelamin dan diabetesmelitus tipe 2.Metode yang
digunakan juga berbeda, metode penelitian yang akan dilakukan adalah
observasional dengan metode cross ssectional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6

2.1 Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkataan kadar asam
urat darah di atas normal, batasan pragmatis hiperurisemia yang sering
digunakan adalah jika kadar asam urat darah di atas 7,0 mg/dl pada laki-laki
dan 6,0 mg/dl pada perempuan. Hiperurisemia terjadi akibat peningkatan
produksi asam urat, penurunan ekskresi asam urat. Peningkatan produksi
disebabkan oleh konsumsi purin yang berlebih, pasien kanker dan terapi
kanker. Penderita hiperurisemia lebih dari 90% kasus disebabkan oleh
penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal, seperti pada penderita diabetes
melitus, gagal ginjal, dislipidemia, dan konsumsi obat-obatan seperti aspirin .
(8)

2.1.1 Metabolisme Asam Urat


Metabolisme asam urat dan purin melalui jalur umum yang
dengan menggunakan oksidasixantin menjadi asam urat. Kadar asam
urat dalam darah sedikit dipengaruhi oleh varian kandungan purin diet
dengan menggambarkan stabilitas antara produksi endogen dan
sekresi tubulus ke urin. (9)
Purin berasal dari metabolism makanan dan asam nukleat
endogen, dan didegradasi menjadi asam urat melalui enzim xantin
oksidase. Sebelum menjadi asam urat purin diubah menjadi adenosin.
Kemudian adenosin diubah menjadi adenin dan isonin yang oleh
enzim adenine deaminase dan phospholypase keduanya diubah
menjadi xantin dan akhirnya xantin diubah menjadi asam urat. (9)
7

Gambar 1. Metabolisme Asam Urat

2.1.2 Etiologi Hiperurisemia


Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih
belum jelas diketahui. Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus
adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout primer yang merupakan
akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena
penurunan ekskresi (80-90%) dan karena produksi yang berlebih (10-
20%). Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan
hanya 1% yaitu karena peningkatan aktivitas varian dari enzim
phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan
sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT).
Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan
disebabkan oleh faktor genetik dan menyebabkan gangguan
pengeluaran asam urat yang menyebabkan hiperurisemia. (10)
Hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan diperkirakan
terdapat 3 mekanisme : (11)
1. Peningkatan produksi asam urat.
8

Terjadi karena faktor idiopatik primer, makanan yang kaya purin


(banyak mengandung protein), obesitas, alkohol, polisitemia vera,
proses hemolitik, dan psoriasis.
2. Penurunan eksresi asam urat.
Penurunan eksresi asam urat merupakan sebagian besar penyebab
hiperurisemia (hampir 90% kasus). Penyebabnya antara lain :
idiopatik primer, insufisiensi ginjal, ginjal polikistik, diabetes
insipidus, hipertensi, asidosis, toksik pada kehamilan,
penggunaan obat obatan seperti salisilat < 2 gram/hari, diuretic,
alkohol, lovodopa, ethambutol, dan pyrazinamid.
3. Kombinasi antara kedua mekanisme.
Dapat terjadi pada defisiensi glukosa 6-fosfat, difisiensi fruktosa
1-fosfat aldosam konsumsi alkohol dan shock.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Hiperurisemia


Berikut ini yang merupakan faktor risiko dari hiperurisemia adalah
1. Suku bangsa/ ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensinya pada suku Maoridi
Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat
tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi
pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-
Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol.
(12)

2. Riwayat keluarga
Orang-orang dengan riwayat genetik atau keturunan yang
mempunyai hiperurisemia mempunyai sisiko 1-2 kali lipat
dibandingkan pada penderita yang tidak memiliki riwayat
keturunan atau genetik. (13)
3. Obesitas
Indeks massa tubuh (IMT) 25 kg/ m 2 dapat meningkatkan kadar
asam urat dan juga memberikan beban menahan yang berat pada
sendi tubuh. Diet makanan rendah kalori dapat menyebabkan
starvation sehingga menyebabkan hiperurisemia.(14)
9

4. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol
meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat
sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol.
Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga
terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.(15)
5. Penyakit
Asam urat dapat merangsang sistem renin angiotensi aldosteron
(RAA), sehingga dapat memicu peningkatan tekanan darah atau
hipertensi dan permeabilitas vaskular terganggu terutama di ginjal.
Diabetes melitus terjadi akibat metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein yang disebabkan oleh defisiensi hormon insulin secara
relatif atau absolut menjadi faktor risiko hiperurisemia. Seorang
dengan gagal ginjal akan mengalami hiperurisemia sebesar 47-67%
hal ini karena ekskresi asam urat melalui urin gagal, sehingga
terjadi penumpukan asam urat dalam darah. Dislipidemia
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kolesterol total, low
density lipoprotein (LDL), trigliserida, dan penurunan high density
lipoprotein (HDL) yang menyebabkan terjadinya risiko
hiperurisemia. (15, 16, 17)
6. Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya
hiperurisemia antara lain diuretika (furosemid dan
hidroklorotiazid) dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk
membuang asam urat, obat kanker, obat anti-hipertensi, vitamin
B12 dapat meningkatkan absorbsi asam urat di ginjal sebaliknya
menurunkan ekskresi asam urat urin.(8)
7. Usia dan Jenis kelamin
Pria memiliki risiko lebih besar yaitu 95% terkena nyeri sendi dan
5% pada wanita kelompok usia yang sama. Dalam Kesehatan dan
Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan laki-laki dengan
10

perempuan secara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Laki-


laki dewasa berusia 30 tahun dan wanita setelah menopouse atau
berusia 50 tahun karena penurunan produksi hormon estrogen
menjadi risiko terjadinya hiperurisemia.(19, 20)
Dalam populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis
kelain pasien laki-laki dan perempuan dengan hiperurisemia
dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang < 65 tahun. Pada pasien
perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi
datang ke dokter terdiagnosis sebagai hiperurisemia, dan proporsi
dapat melebihi 50% pada mereka yang > 80 tahun. (20)
8. Diet tinggi purin
Purin merupakan salah satu senyawa yang menyusun asam nukleat,
ini dari sel dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur
pembentuk protein. Makanan dengan kadar purin tinggi (150-180
mg/ 100 gram) seperti : jeroan, daging sapi, daging kambing,
daging babi, kacang-kacangan, bayam, jamur, kembang kol, sarden,
kerang, alkohol dan seafood seperti ikan laut merupakan makanan
yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan laut yang
tinggi mengakibatkan asam urat.(21)
Penelitian oleh Harvard Medical School terdapat 47.150 pria
dalam kebiasaan diet tinggi purin daging dan seafood setelah
dilakukan pengamatan selama 12 tahun 730 (1,5%) diantaranya
terdiagnosa asam urat. Makanan tinggi purin dari sumber nabati
tidak meningkatkan faktor risiko.(22)

2.2 Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jamtung, dan pembuluh
darah. World Health Oraganization (WHO) sebelumnya telah merumuskan
11

bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu


jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi
insulin.(23)
2.2.1 Klasfikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi antara lain :
a. Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM),
terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi autoimun) dan
defisiensi insulin absolut. Penderita DM tipe 1 mempunyai
antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan
sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini
digolongkan sebagai tipe 1 idiopatik. Sebagian besar (75%)
kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk
kriteria untuk klasifikasi.(24, 25)
b. Diabetes Melitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi
penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer
(insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas
tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
mengkompensasi insulin resistan. Kedua hal ini menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin relatif.(24, 25)
c. Diabetes Melitus Gesatsional
DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Melitus - GDM)
adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan
insulin resistan (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Faktor risiko GDM adalah riwayat keluarga DM,
kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan
morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,
polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari
ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia.(26, 27)
12

d. Diabetes Tipe Lain


Penderita hiperglikemia yang disebabkan oleh : (10)
a) Defek genetik
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin dan pankreas
d) Endokrinopati
e) Obat-obatan
f) Infeksi
g) Imunologi
h) Sindrom genetik lain

2.2.2 Patogenesis Diabetes Melitus


Diabetes melitus, disebabkan oleh hiperglikemi karena sekresi
insulin, kerja dari insulin atau keduanya.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu: (28, 29)
a. Rusaknya sel sel pakreas. Rusaknya sel ini bias dikarenakan
genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus.
Karakteristik ini biasanya terdapat pada diabetes melitus tipe 1.
b. Penurunan reseptor glukosa pada pankreas.
c. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat
mengakibatkan: (28, 29)
a. Menurunnya transport glukosa melalui membran sel. Keadaan ini
mengakibatkan sel kekurangan makanan sehingga meningkatkan
metabolisme lemak dalam tubuh.
b. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis,
karena proses ini disertai nafsu makan meningkat atau polyphagia
sehingga dapat menyebabkan hiperglikemia. Keadaan gula darah
yang tinggi menyebabkan ginjal tidak dapat menoleransi glukosa
yang keluar bersama urin, keadaan ini disebut glukosuria.
c. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam
hati dan otot terganggu.
d. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah
sumber selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat.
e. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton menjadi asam lemak
bebas).
f. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino kemudian
dilepaskan ke otot.
13

2.2.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus


Penegakan diagnosa Diabetes Melitus, selain dilakukan uji
diagnostik dan skrining. Uji diagnostik Diabetes Melitus dilakukan
pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda Diabetes Melitus,
sedangkan skrining bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai risiko Diabetes Melitus. Skrining
dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko Diabetes Melitus
Tipe 2 sebagai berikut : (28, 29, 30)
a. Tidak mempunyai aktivitas fisik
b. Keturunan dari ras yang mempunyai risiko tinggi seperti
Afrika Amerika, Latin, Asia Amerika
c. Berat badan lebih : BB > 120% BB idaman atau IMT 25
kg/m2
d. Hipertensi ( 140/90 mmHg)
e. Riwayat Diabetes Melitus dalam garis keturunan
f. Riwayat Diabetes dalam kehamilan, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi > 4000 gram
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. A1C 5,7 % atau Riwayat gangguan toleransi glukosa
i. Riwayat atau penderita Penyakit Janting Koroner (PJK),
Tuberculosis (TBC), atau hipertiroidisme.
j. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 200 mg/dl

Skrining kelompok risiko tinggi yang hasilnya negatif, skrining


ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang
berusia lebih dari 45 tahun tanpa faktor risiko, skrining dapat
dilakukan setiap 3 tahun.(23, 28)

2.2.4 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis dari Diabetes Melitus harus didasarkan atas
pemeriksaan kadar glukosa darah. Penegakan diagnosis Diabetes
Melitus harus memperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
14

darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat


dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.(30)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik diabetes melitus seperti tersebut di bawah ini.Keluhan
klasik diabetes melitus berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.(30)
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara.
Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
plasma > 200mg/ dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa
yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis
Diabetes Melitus. Ketiga dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram, glukosa lebih
sensitif dan spesifik di banding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun memiliki keterbatasan sendiri.(30)

2.3 Hubungan antara Usia dengan Hiperurisemia


Kejadian hiperurisemia di Indonesia diperkirakan 1,6-13,6/100.00
orang, prevalensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur.
Hiperurisemia juga berhubungan dengan usia, prevalensi hiperurisemia
meningkat di atas usia 30 tahun pada pria dan di atas usia 50 tahun pada
wanita. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi proses degeneratif yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan
15

menghambat eksresi dari asam urat dan akhirnya menyebabkan


hiperurisemia.(31)

2.4 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hiperurisemia


Kejadian hiperurisemia lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
wanita, hal tersebut disebabkan karena wanita memiliki hormon estrogen
yang membantu dalam eksresi asam urat. Hal ini menjelaskan mengapa
wanita pada post-menopause memiliki risiko hiperurisemia. Penelitian
tentang kejadian hiperurisemia di desa Tanganan Pengrisingan Karangasem,
Bali pada tahun 2011 didapatkan sebesar 28% dimana laki-laki 21% dan
wanita 7%.(31,32)

2.5 Hubungan antara Diabetes Melitus tipe 2 dengan Hiperurisemia


Hiperinsulinemia dan resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar
asam urat serum lewat mekanisme langsung maupun tidak langsung,
meningkatkan produksi asam urat atau menurunkan fungsi ekskresi ginjal
yang mungkin disebabkan oleh efek stimulasi insulin terhadap reabsorbsi urat
di tubulus proksimal. Peran insulin sebagai pengatur utama pada berbagai
jalur metabolisme seperti karbohidrat, lipid, dan protein akan memberikan
konsekuensi adanya gangguan metabolisme akibat fungsi insulin. Kondisi
hiperglikemi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan stress
oksidatif serta peningkatan Advanced Glycation End Products (AGEs), stress
oksidatif juga berhubungan dengan meningkatnya produksi reactive oxygen
species (ROS) dan defisiensi anti oksidan. ROS yang merupakan oksidan
kuat dapat merusak sel atau stress oksidatif, sehingga diperlukan senyawa
antioksidan untuk mengatasinya.(33, 34, 35)
Kondisi hiperurisemia dapat meningkatkan aktivitas dari enzim xantin
oksidase membentuk superoksida sebagai akibat lan (8)sgung dari
aktivitasnya. Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang
semakin menurunkan bioavaibilitas nitrit oxide (NO) pada sel otot polos dan
sel endotel serta scavenging langsung dari NO. Efek enzimatik xantin
oksidase adalah prosdukasi ROS dan asam urat. Hal ini menimbulkan stress
16

oksidatif dan mempicu terjadinya resistensi insulin baik secara langsung


maupun akibat peningakatan aktivitas protein kinase C (PKC). Peningkatan
ROS ini akan memicu aktivasi PKC yang berakibat timbulnya resistensi
insulin dan peningkatan proinflamasi dan proaterogenik. Penelitian pada
manusia didapatkan asam urat dan resistensi insulin sebagian disebabkan
hiperunsilinemia meningkatkan reasorpsi sodium dan asam urat serum
menurun dengan hasil akhir konsentrasi asam urat serum meningkat.(36)
Hubungan timbal balik antara peningkatan asam urat serum dengan DM
diduga melalui penghambatan reabsorpsi pada tubulus proksimal pada
penderita DM. Suatu metaanalisis menyatakan asam urat serum yang tinggi
sebagai faktor risiko independen terhadap komponen metabolik DM pada
umur pertengahan. Diduga hubungan antara asam urat serum dan resistensi
insulin mungkin terjadi pada konsentrasi asam urat serum antara 4,7 mg/ dl
sampai 6,6 mg/ dl sehingga hubungan tersebut sudah terjadi pada konsentrasi
asam urat serum yang lebih rendah dari batas bawah kriteria hiperurisemia
yang umum dipakai dipakai yaitu > 7 mg/ dl pada pria dan > 6 mg/ dl pada
wanita. Penderita DM tipe 2 dengan hiperurisemia, terjadi peningkatan risiko
mengalami komplikasi diabetes khususnya komplikasi gangguan ginjal dan
gangguan kardiovaskular.(37, 38, 39, 40, 41)

2.6 Kerangka Teori


Berdasarkan teori di atas maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :

Penurunan fungsi
Usia Degeneratif
ginjal

Jenis Kelamin Hormonal Hiperurisemia

Peningkatan Reabsorbsi
Diabetes Mellitus Resistensi asam urat di
AGEs dan
tipe 2 Insulin
ROS ginjal
Skema 1. Kerangka Teori
17

2.7 Kerangka Konsep

Usia

Jenis Kelamin Hiperurisemia

Diabetes Mellitus tipe 2 Variabel Perancu


Hipertensi
Genetik
Ras
Gagal Ginjal
Obesitas
Dislipidemia
Alkohol
Diet tinggi purin
Obat-obatan

Skema 2. Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara faktor risiko usia dengan prevalensi
hiperurisemia.
2. Terdapat hubungan antara faktor risiko jenis kelamin dengan prevalensi
hiperurisemia.
3. Terdapat hubungan antara faktor risiko diabetes melitus tipe 2 dengan
prevalensi hiperurisemia.
4. Hubungan terbesar terdapat pada faktor resiko diabetes melitus tipe 2
terhadap prevalensi hiperurisemia.
18

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini mencakup Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu
Kesehatan Masyarakat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian : Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes
Waktu penelitian : Januari-Februari 2016

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan
penelitian Cross sectional. Sampel yang digunakan adalah pasien dengan
penderita Hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien penderita
hiperurisemiayang datang ke PuskesmasTanjung dengan usia >30
tahun.
3.4.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien yang
menderita hiperurisemia berusia >30 tahun di Puskesmas Tanjung
Kabupaten Brebes.
3.4.3 Sampel Penelitian
3.4.3.1 Kriteria inklusi
1. Responden yang bersedia dan menyetujui penelitian ini.
2. Responden yang tinggal di daerah Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Kabupaten Brebes.
19

3. Responden berusia >30 tahun.

3.4.3.2 Kriteria eksklusi


1. Responden dengan kondisi hamil.
2. Responden dengan gagal ginjal akut atau kronik.
3. Responden yang sedang mengkonsumsi obat diuretik.

3.4.4 Cara Sampling


Metode pengambilan sampel dilakukan secara non-probability
sampling dengan menggunakan teknik Consecutive sampling. Caranya
adalah setiap anggota populasi sumber memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi eksklusi akan dipilih sebagai sampel sampai jumlah
sampel yang diperlukan terpenuhi.

3.4.5 Besar Sampel


Besar sampel penelitian didapatkan dengan rumus solvin :
N
n = 1+ N ( d 2)

Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
d = Tingkat kepercayaan (0,1)

150
n= 1+150( 0,12)

150
n= 1+150( 0,01)

150
n= 2,5

n = 60
20

Maka besar sampel penelitian adalah 60 orang. Besar sampel


ditambahkan 15% atau 9 orang sehingga besar sampel keseluruhan
menjadi 69 orang.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
dan diabetes melitus tipe 2.
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hiperurisemia.
3.5.3 Variabel Perancu
Variabel perancu (confounding) adalah faktor risiko genetik, suku
bangsa, obesitas, alkoholik, hipertensi, dislipidemia, gagal ginjal, obat
diuretik, dan diet tinggi purin.

3.6 Definisi Operasional


Tabel 2. Definisi operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
1 Usia Penderita hiperurisemia di Kuesioner Ordinal
Puskesmas Tanjung yang berusia - 1 : 31-40 tahun
>30 tahun - 2 : 41-50 tahun
- 3 : 51-60 tahun
- 4 : >60 tahun

Kuesioner
2 Jenis kelamin Penderita hiperurisemia di Nominal
- 1 : Laki-laki
Puskesmas Tanjung baik laki-laki - 2 : Perempuan
maupun perempuan

3 Diabetes Melitus tipe Responden dengan hasil skrining Glucometer Nominal


2 kadar GDS >200 mg/dL. dengan merek
Nesco
- 0 : 200 mg/dL
- 1 : > 200 mg/dL

4 Hiperurisemia Responden dengan hasil skrining Uric acid meter Nominal


kadar asam urat pada laki-laki > 7 dengan merek
mg/dl dan perempuan> 6 mg/dl Nesco
- 0 : L 7 mg/dL
P 6 mg/dL
- 1 : L > 7 mg/dL
P > 6 mg/dL
21

3.7 Pengumpulan Data


3.7.1 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah :
1. Alat ukur kadar gula darah
2. Alat ukur kadar asam urat
3. Lembar Kuesioner
3.7.2 Pengambilan Data
Jenis data dalam penelitian yang diambil adalah data primer dan
data sekunder. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang berisi
pertanyaan yang berhubungan dengan faktor risiko usia, jenis kelamin,
dan diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi hiperurisemia. Alat ukur
yang digunakan menggunakan glucometer dan uric acid meter.

3.7.3 Prosedur Penelitian

Populasi
22

Consecutive sampling

Sampel

Jenis kelamin

P L

Skriningkadar GDS Skrining kadar asam urat

200 mg/dl >200 mg/dl L = 7 mg/dl L = > 7 mg/dl


P = 6 mg/dl P = > 6 mg/dl

Mengisi kuesioner

Input ke tabel data

Menganalisis data

Skema 3. Prosedur Penelitian

Keterangan :
Persiapan Penelitian
L : Laki
Pengumpulan teori
P : Perempuan
Perumusan masalah
penelitian
Membuat metode dan
3.8 rancangan
Alur penelitian
Penelitian
Membuat hipotesis
penelitian
Membuat perizinan
penelitian
Membuat etika
penelitian
23

Pelaksanaan Penelitian

Etika clearance
Mengurus
perizinan penelitian
Persiapan sampel
penelitian
Sidang Melakukan prosedur
Proposal penelitian
Mencatat hasil
penelitian

Akhir Penelitian

Melakukan analisis
dan pengolahan data
hasil penelitian
Pembuatan hasil
penelitian
Melakukan
pembahasan penelitian
Membuat kesimpulan
dan saran penelitian

Skema 4. Alur Penelitian

3.9 Pengolahan dan Analisa Data


3.9.1 Pengolahan Data
Data yang terkumpul akan diolah melalui beberapa tahapan, yaitu :
1 Editing
Editing adalah pengecekan kembali apakah isian pada lembar
kuesioner sudah sesuai dan lengkap dengan absen jawaban yang
telah disediakan.

2 Coding
Setiap lembar kuesioner yang telah diisi oleh responden diberi kode
yang dilakukan oleh peneliti agar lebih mudah dan sederhana.
3 Processing
24

Processing adalah memproses data dengan menggunakan komputer


atau secara manual agar dapat dianalisis.
4 Cleaning
Mengecek kembali data yang sudah diproses apakah ada kesalahan
atau tidak ada masing-masing variabel yang sudah diproses
sehingga dapat diperbaiki dan dinilai.

3.9.2 Analisis Data


Analisis data diolah menggunakan program komputer. Uji hipotesis
komparatif dilakukan untuk mengetahui faktor risiko dengan efek yang
terjadi. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Analisis menggunakan uji Kolmogorov smirnof. Tujuan
analisis ini untuk mengetahui distribusi data dan rata-rata kadar
GDS serta asam urat.
2. Analisis Bivariat.
Analisis dengan uji chi square dengan syarat :
a) Data kategorik tidak berpasangan.
b) Sel yang mempunyai nilai expected< 5 maksimal 20% dari
jumlah sel.
Uji Fisher dilakukan apabila uji chi sqare tidak memenuhi
syarat.
Mencari Ratio Prevalence (RP) untuk mengetahui hubungan
antara kedua faktor risiko dengan penyakit.
3. Analisis Multivariat
Analisis menggunakan uji Regresi logistik dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan antara tiga variabel atau lebih.
3.10 Etika Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan subyek manusia, oleh
karena itu sebelum melakukan penelitian ini diminta persetujuan etik
terlebih dahulu dari Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati. Kemudian surat permohonan dan
persetujuan juga dimintakan kepada kepala Puskesmas Tanjung Kabupaten
Brebes untuk melakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Kabupaten
Brebes terkait yang intinya berisi :
25

1. Izin dan persetujuan untuk melakukan penelitian di Puskesmas


Tanjung Kabupaten Brebes terkait.
2. Pemberitahuan dan rekomendasi kepada penulis untuk melakukan
penelitian terhadap pasien hiperurisemia.
Seluruh pasien diberi penjelasan mengenai penelitian yang akan
dilakukan yaitu tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan jaminan terhadap
kerahasiaan semua informasi dan data diri responden. Kemudian responden
yang bersedia secara sukarela ikut dalam penelitian ini diminta persetujuan
secara tertulis dengan mengisi surat persetujuan (informed consent).

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 69 orang responden penderita


hiperurisemia yang berobat ke Puskesmas Tanjung, Kabupaten Brebes pada
tanggal bulan Februari 2016. Hasil penelitian diperoleh data jenis kelamin, usia,
kadar gula darah, dan kadar asam urat. Tabel 4, menunjukkan karakteristik
responden dari hasil pemeriksaan.
26

Tabel 3. Karakteristik responden (jenis kelamin, usia, diabetes melitus tipe 2, dan
hiperurisemia)

Variabel n (69) Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 21 30,4
Perempuan 48 69,5
Usia
31-40 tahun 7 10,1
41-50 tahun 23 33,3
51-60 tahun 22 31,8
>60 tahun 17 24,6
Diabetes melitus tipe 2
Ya 49 71,0
Tidak 20 28,9
Hiperurisemia
Ya 54 78,2
Tidak 15 21,7
Diabetes melitus tipe 2 dengan
hiperurisemia
Ya 45 65,2
Tidak 4 5,8
Normal 11 15,9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 69 responden, jumlah responden


laki-laki sebanyak 21 orang atau 30,4% dan responden perempuan sebanyak 48
orang atau 69,5%. Jumlah responden yang berusia 31-40 tahun sebanyak 7 orang
atau 10,1%, usia 41-50 tahun sebanyak 23 orang atau 33.3%, usia 51-60 sebanyak
22 orang atau 31,8%, dan usia >60 tahun sebanyak 17 orang atau 24,6%.
Responden dengan diabetes melitus tipe 2 sebanyak 49 orang atau 71,0% dan
tidak diabetes melitus sebanyak 20 orang atau 28.9%. Responden yang mengalami
hiperurisemia sebanyak 54 orang atau 78,2% dan tidak hiperurisemia sebanyak 15
orang atau 21,7%. Responden yang mengalami diabetes melitus dengan
hiperurisemia sebanyak 45 orang atau 65,2% dan yang tidak sebanyak 4 orang
atau 5,8%. Responden dengan hasil pemeriksaan normal sebanyak 11 orang atau
15,9%.

4.1 Analisis Univariat


4.1.1 Hasil Skrining Kadar Gula Darah dan Kadar Asam Uratmenurut
Usia
27

Hasil skrining kadar gula darah dan kadar asam urat menurut usia
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
270
260
250
240
230
kadar GDS (mg/dL) 220
210
200

Grafik 1. Rerata kadar gula darah sewaktu berdasarkan usia


10
9
8
7
6
5
4
Kadar asam urat (mg/dL) 3
2
1
0

Grafik 2. Rerata kadar asam urat berdasarkan usia


Grafik di atas menunjukkan rerata kadar gula darah dan rerata
kadar asam urat responden dari hasil pemeriksaan skrining. Responden
berusia 31-40 tahun memiliki rerata kadar GDS 223 mg/dL dan kadar
asam urat 6,3 mg/dL. Responden berusia 41-50 tahun memiliki rerata
kadar GDS 235 mg/dL dan kadar asam urat 8,9 mg/dL. Responden
berusia 51-60 tahun memiliki rerata kadar GDS 262 mg/dL dan kadar
28

asam urat 8,3 mg/dL. Responden berusia >60 tahun memiliki rerata
kadar GDS 247 mg/dL dan kadar asam urat 7,1 mg/dL.
Tabel di bawah ini menunjukkan responden yang mengalami
hiperurisemia dan mengalami diabetes melitus.

Tabel 4. Jumlah responden hiperurisemia dan diabetes melitus berdasarkan usia


Hiperurisemia Diabetes melitus
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % n %
Usia 31-40 tahun 3 4,3% 4 5,8% 4 5,8% 3 4,4%
41-50 tahun 22 31,9% 1 1,5% 15 21,8% 8 11,6%
51-60 tahun 19 27,5% 3 4,3% 18 26% 4 5,8%
>60 tahun 10 14,6% 7 10,1% 12 17,4% 5 7,2%
Total 54 78,3% 15 21,7% 49 71,0% 20 29,0%

Berdasarkan tabel di atas didapatkan responden berusia 31-40


tahun yang mengalami hiperurisemia sebanyak 3 orang atau 4,3%, dan
yang tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 4 orang atau 5,8%.
Responden berusia 41-50 tahun yang mengalami hiperurisemia
sebanyak 22 orang atau 31,9%, dan yang tidak mengalami
hiperurisemia sebanyak 1 orang atau 1,5%. Responden berusia 51-60
tahun yang mengalami hiperurisemia sebanyak 19 orang atau 27,5%,
dan yang tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 3 orang atau 4,3%.
Responden berusia >60 tahun yang mengalami hiperurisemia sebanyak
10 orang atau 14,6%, dan yang tidak mengalami hiperurisemia
sebanyak 7 orang atau 10,1%.
Responden berusia 31-40 tahun yang mengalami diabetes melitus
sebanyak 4 orang atau 5,8%, dan yang tidak sebanyak 3 orang atau
4,4%. Responden berusia 41-50 tahun yang mengalami diabetes melitus
sebanyak 15 orang atau 21,8%, dan yang tidak sebanyak 8 orang atau
11,6%. Responden berusia 51-60 tahun yang mengalami diabetes
melitus sebanyak 12 orang atau 17,4%, dan yang tidak sebanyak 5
orang atau 7,2%.
29

4.1.2 Hasil Skrining Kadar Gula Darah dan Kadar Asam Uratmenurut
Jenis Kelamin
Hasil skrining kadar gula darah sewaktu dan asam urat
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
260

255

250

Kadar GDS (mg/dL) 245

240

235

230
Laki-laki Perempuan

Grafik 3. Rerata kadar gula darah sewaktu berdasarkan jenis kelamin


30

8.4

8.3

8.2

8.1
Kadar asam urat (mg/dL)
8

7.9

7.8

7.7
Laki-laki Perempuan

Grafik 4. Rerata kadar asam urat berdasarkan jenis kelamin


Grafik di atas menunjukkan rerata kadar gula darah dan rerata
kadar asam urat responden dari hasil pemeriksaan skrining. Responden
berusia 31-40 tahun memiliki rerata kadar GDS 223 mg/dL dan kada
asam urat 6,3 mg/dL. Responden berusia 41-50 tahun memiliki rerata
31

kadar GDS 235 mg/dL dan kadar asam urat 8,9 mg/dL. Responden
berusia 51-60 tahun memiliki rerata kadar GDS 262 mg/dL dan kadar
asam urat 8,3 mg/dL. Responden berusia >60 tahun memiliki rerata
kadar GDS 247 mg/dL dan kadar asam urat 7,1 mg/dL.

Tabel 5. Jumlah responden hiperurisemia dan diabetes melitus


berdasarkan jenis kelamin
Hiperurisemia Diabetes melitus
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % N %
Jenis Laki-laki 18 26,1% 3 4,3% 15 21,7% 6 8,7%
kelamin Perempuan 36 52,2% 12 17,4% 34 49,3% 14 20,3%
Total 54 78,3% 15 21,7% 49 71,0% 20 29,0%

Berdasarkan tabel di atas didapatkan responden laki-laki yang


mengalami hiperurisemia sebanyak 18 responden atau 26,1%, dan yang
tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 3 orang atau 4,3%. Responden
perempuan yang mengalami hiperurisemia sebanyak 36 responden atau
52,2%, dan yang tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 12 orang
atau 17,4%. Responden laki-laki yang mengalami diabetes melitus
sebanyak 15 orang atau 21,7%, dan yang tidak mengalami diabetes
melitus sebanyak 6 orang atau 8,7%. Responden perempuan yang
mengalami diabetes melitus sebanyak 6 orang atau 8,7%, dan yang
tidak mengalami diabetes melitus sebanyak 14 orang atau 20,3%.

4.2 Analisis Bivariat


4.2.1 Korelasi Usia dengan Hiperurisemia
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil korelasi usia dengan
hiperurisemia.

Tabel 6. Uji korelasi usia dengan hiperurisemia


Hiperurisemia
Koefisien
Ya Tidak PR (IK 95%) Nilai p
korelasi (r)
n % n %
Usia 31-40 tahun 3 4,3% 4 5,8% 0,16 (0,03-0,82) 0,277 0,017
32

41-50 tahun 22 31,9% 1 1,5% 9,62 (1,18-78,60) 0,286 0,013


51-60 tahun 19 27,5% 3 4,3% 2,17 (0,54-5,96) 0,133 0,264
>60 tahun 10 14,6% 7 10,1% 0,26 (0,07-0,88) 0,260 0,025
Total 54 78,3% 15 21,7%

Hasil analisis bivariat dengan uji Chi square diperoleh responden


berusia 31-40 tahun yang mengalami hiperurisemia sebanyak 3 orang
atau 4,3%, dan yang tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 4 orang
atau 5,8%. Responden berusia 41-50 tahun yang mengalami
hiperurisemia sebanyak 22 orang atau 31,9%, dan yang tidak
mengalami hiperurisemia sebanyak 1 orang atau 1,5%. Responden
berusia 51-60 tahun yang mengalami hiperurisemia sebanyak 19 orang
atau 27,5%, dan yang tidak mengalami hiperurisemia sebanyak 3 orang
atau 4,3%. Responden berusia >60 tahun yang mengalami
hiperurisemia sebanyak 10 orang atau 14,6%, dan yang tidak
mengalami hiperurisemia sebanyak 7 orang atau 10,1%.
Usia 31-40 tahun menunjukkan [PR(IK 95%)=0,16 (0,03-0,82);
r=0,277; p=0,017]. Usia 41-50 tahun menunjukkan [PR(IK
95%)=9,62 (1,18-78,60); r=0,286; p=0,013]. Usia 51-60 tahun
menunjukkan [PR(IK 95%)=2,17 (0,54-5,96); r=0,133; p=0,264]. Usia
>60 tahun menunjukkan [PR(IK 95%)=0,26 (0,07-0,88); r=0,260;
p=0,025]. Hal ini berarti hubungan antara usia dengan kejadian
hiperurisemia bermakna(p<0,05) secara statistik pada usia 31-40 tahun,
41-50 tahun, dan >60 tahun. Koefisien korelasi menunjukkan arah
korelasi positif dengan kekuatan korelasi lemah dan pada usia 41-50
tahun memiliki risiko 9 kali lipat terkena hiperurisemia dari pada usia
lainnya.

4.2.2 Korelasi Jenis Kelamin dengan Hiperurisemia


Tabel di bawah ini menunjukkan hasil korelasi jenis kelamin
dengan hiperurisemia.

Tabel 7. Uji korelasi jenis kelamin dengan hiperurisemia


33

Hiperurisemia
Ya Tidak
N % N %
Jenis Laki-laki 18 26,1% 3 4,3%
kelamin Perempuan 36 52,2% 12 17,4%
Total 54 78,3% 15 21,7%
X2 ; p=0,321 PR=0,5095%IC=0,12-1,99 r=0,119

Hasil analisis bivariat dengan uji Chi square diperoleh responden


laki-laki yang mengalami hiperurisemia sebanyak 18 orang atau 26,1%
sedangkan yang tidak sebanyak 3 orang atau 4,3%. Responden
perempuan yang mengalami hiperurisemia sebanyak 36 orang atau
52,2% sedangkan yang tidak sebanyak 12 orang atau 17,4%.
Berdasarkan analisis di atas diperoleh [PR (IK 95%)=0,50 (0,12-
1,99);r=0,119; p=0,321]. Hal ini berarti hubungan antara jenis kelamin
dengan hiperurisemia tidak bermakna(p>0,05) secara statistik.
Koefisien korelasi menunjukkan arah korelasi positif serta kekuatan
korelasi secara statistik sangat lemah dan jenis kelamin perempuan
memiliki risiko 0,5 kali terkena hiperurisemia dibandingkan dengan
jenis kelamin laki-laki.

4.2.3 Korelasi Diabetes melitus dengan Hiperurisemia


Tabel di bawah ini menunjukkan hasil korelasi diabetes melitus
dengan hiperurisemia.

Tabel 8. Uji korelasi diabetes melitus dengan hiperurisemia

Hiperurisemia
Ya Tidak
n % N %
Diabetes Melitus Ya 45 65,2% 4 5,8%
Tidak 9 13,1% 11 15,9%
Total 54 78,3% 15 21,7%
X2 ; p=0,000 PR=13,75 95%IC=3,56-3,02 r=0,458

Hasil analisis bivariat dengan uji Chi square diperoleh data


responden dengan diabetes melitus dan hiperurisemia sebanyak 45
orang atau 65,2% sedangkan yang diabetes melitus tanpa hiperurisemia
34

sebanyak 4 orang atau 5,8%. Jumlah responden yang tidak mengalami


diabetes melitus dengan hiperurisemia positif sebanyak 9 orang atau
13,1% sedangkan yang tidak diabetes melitus dan tidak hiperurisemia
sebanyak 11 orang atau 15,9%. Berdasarkan analisis di atas
diperoleh[PR(IK 95%)=13,75(3,56-53,02); r=0,458; p=0,000)]. Hal
ini berarti korelasi hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan
hiperurisemia adalah bermakna (p<0,05) secara statistik. Koefisien
korelasi menunjukkan arah korelasi yang positif dengan kekuatan
korelasi sedang. Diabetes melitus tipe 2 memiliki 13 kali lebih berisiko
terhadap hiperurisemia.

4.3 Analisis Multivariat


4.3.1 Korelasi Jenis Kelamin, Usia, dan Diabetes melitus tipe 2 dengan
Hiperurisemia
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil korelasi multivariat dengan
menggunakan uji regresi logistik antara jenis kelamin, usia, dan
diabetes melitus terhadap hiperurisemia.

Tabel 9. Uji korelasi jenis kelamin, usia, dan diabetes melitus dengan hiperurisemia
Varibel Nilai p PR (IK 95%)
Jenis kelamin 0,720 0,677 (0,080-5,724)
Usia >60 tahun 0,023 Perbandingan
Usia 31-40 tahun 0,710 1,589 (0,139-18,182)
Usia 41-50 tahun 0,004 0,011 (0,000-0,240)
Usia 51-60 tahun 0,080 0,111 (0,010-1,296)
DM tipe 2 0,001 0,018 (0,002-0,174)
Constant 0,027 0,000
Usia>60 tahun 0,019 Perbandingan
Usia 31-40 tahun 0,695 1,624 (0,144-18,349)
Usia 41-50 tahun 0,003 0,010 (0,000-0,219)
Usia 51-60 tahun 0,084 0,119 (0,011-1,335)
DM tipe 2 0,001 0,017 (0,002-0,172)
Constant 0,029 13,950
35

Pada tabel 9 diketahui variabel jenis kelamin pada langkah pertama


mempunyai nilai p>0,05dan nilai PR paling mendekati 1, sehingga variabel
jenis kelamin tidak tercantum di langkah kedua. Variabel yang berpengaruh
terhadap hiperurisemia adalah usia 41-50 tahun dan diabetes melitus tipe 2
dengan nilai p<0,05.

BAB V
PEMBAHASAN PENELITIAN

Hasil penelitian mengenai Hubungan faktor risiko usia, jenis kelamin, dan
diabetes melitus tipe 2 terhadap prevalensi hiperurisemia menunjukan hasil
berupa analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat menyatakan
rerata hasil skrining kadar GDS dan kadar asam urat yang ditinjau berdasarkan
usia dan jenis kelamin. Analisis bivariat menyatakan korelasi tiap variabel pada
faktor risiko usia, jenis kelamin, dan diabetes melitus tipe 2 terhadap
hiperurisemia. Analisis multivariat menyatakan korelasi seluruh variabel pada
faktor risiko usia, jenis kelamin, dan diabetes melitus tipe 2 terhadap
hiperurisemia.
Analisis univariat menunjukan bahwa rerata skrining kadar GDS tertinggi
yaitu pada usia 51-60 tahun dengan rerata 262 mg/dL, sedangkan rerata kadar
GDS terendah yaitu pada usia 31-40 tahun dengan rerata 223 mg/dL. Rerata
skrining kadar asam urat tertinggi yaitu pada usia 41-50 tahun dengan rerata 8,9
mg/dL, sedangkan rerata terendah pada usia 31-40 tahun dengan rerata 6,3 mg/dL.
Analisis rerata skrining kadar GDS dan kadar asam urat berdasarkan jenis kelamin
36

menunjukan bahwa laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dengan rerata


GDS 257 mg/dL dan rerata kadar asam urat 8,3 mg/dL.
Analisis bivariat menunjukan bahwa faktor risiko usia dan diabetes melitus
tipe 2 memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kejadian
hiperurisemia, sedangkan jenis kelamin tidak bermakna. Analisis multivariat
menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia 41-50 tahun, dan penderita
diabetes melitus tipe 2 memiliki kecenderungan terhadap kejadian hiperurisemia.
Hubungan multivariat yang bermakna secara statistik terdapat pada faktor risiko
penderita diabetes melitus tipe 2.

5.1 Deskripsi Karakteristik Responden


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada responden yang
berjumlah 70 orang terdapat 54 orang (78,26%) diantaranya mengalami
hiperurisemia dan 15 orang (21,73%) lainnya non-hiperurisemia. Responden
yang mengalami hiperurisemia diketahui lebih banyak pada jenis kelamin
perempuan (52,2%). Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa kadar asam urat meningkat diusia >50 tahun, karena pada usia ini
wanita mengalami gangguan hormon estrogen.(42)
Responden yang mengalami diabetes melitus sebanyak 49 orang
(71,01%) dengan rata-rata kadar GDS >240 mg/dL dengan 45 orang (65,2%)
diantaranya mengalami hiperurisemia. Proporsi responden hiperurisemia pada
faktor risiko usia 31-40 (4,3%), 41-50 tahun (31,9%), 51-60 (27,5%), dan >60
tahun (14,6%), faktor risiko jenis kelamin laki-laki (26,1%), dan perempuan
(52,2%), dan faktor risiko diabetes melitus (65,2%). Maka dari itu, dapat
disimpulkan proporsi terbesar faktor risiko ada pada diabetes melitus
meskipun faktor risiko usia dan jenis kelamin memiliki keterkaitan dalam hal
ini.

5.2 Hubungan Faktor Risiko Usia dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan usia diperoleh sebanyak 54
orang atau 78,3% dari 69 orang. Hasil analisis bivariat pada tabel 4, diperoleh
37

korelasi usia dengan kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,003 atau


p<0,05. Korelasi tersebut menunjukan bahwa faktor risiko usia memiliki
hubungan yang bermakna dengan kejadian hiperurisemia. Responden
terbanyak yang mengalami hiperurisemia yaitu pada usia 41-50 tahun dengan
rerata kadar asam urat 8,9 mg/dL.
Faktor risiko terjadinya hiperurisemia adalah usia, dimana prevalensi
ini meningkat seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Prevalensi
hiperurisemia meningkat diusia dewasa pertengahan yaitu sekitar 40 tahun
ditemukan pada laki-laki, sedangkan pada wanita biasanya terjadi setelah
mengalami menopause. Faktor usia tersebut mulai terdapat kenaikan kadar
asam urat akibat penurunan fungsi ginjal terutama pada pria dalam proses
eksresi sisa metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan kadar ureum dan
kreatinin yang tinggi. Peran ginjal pada metabolisme asam urat yaitu bekerja
mengatur esksresi kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam
urat dikeluarkan melalui air seni. Apabila asam urat berelebihan dan ginjal
tidak mampu lagi mengatur ekskresinya, maka asam urat akan meningkat
dalam darah.(42, 43)
Penelitian ini sependapat dengan teori dan penelitian lain yang
mendukung bahwa usia memiliki hubungan dengan kejadian hiperurisemia
yaitu Purwaningsih 2010, yang mengatakan kejadian hiperurisemia

meningkat pada laki-laki dewasa berusia 30 tahun dan wanita setelah

menopouse atau berusia 50 tahun, karena pada usia ini wanita

mengalami gangguan produksi hormon estrogen.(44)Hormon estrogen berperan


dalam merangsang perkembangan folikel yang mampu meningkatkan
kecepatan proliferasi sel dan menghambat keaktifan enzim protein kinase
yang mempunyai fungsi mempercepat aktivitas metabolik., diantaranya
metabolisme purin. Enzim urikinase merupakan enzim yang berfungsi untuk
merubah asam urat menjadi bentuk alatonin yang akan diekskresikan melalui
urin, sehingga terganggunya produksi enzim urikinase mempengaruhi proses
pengeluaran asam urat yang menimbulkan hiperurisemia.(44)
38

5.3 Hubungan Faktor Risiko Jenis Kelamin dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan jenis kelamin diperoleh dari
54 atau 78,3% penderita hiperurisemia 18 atau 26,1% diantaranya adalah
laki-laki, sedangkan 36 atau 52,2% lainnya adalah perempuan. Hasil analisis
bivariat menunjukan pada tabel 7, diperoleh korelasi jenis kelamin dengan
kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,321 atau p>0,05. Korelasi tersebut
menunjukan bahwa faktor risiko jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak
bermakna dengan kejadian hiperurisemia. Rerata kadar asam urat tertinggi
yaitu terjadi pada laki-laki yaitu 8,3 mg/dL dibandingkan perempuan yaitu 7,9
mg/dL.
Laki-laki memiliki risiko hiperurisemia lebih tinggi dari wanita. Hal
tersebut dikarenakan pada laki-laki tidak terdapat hormon estrogen yang
bersifat uricosuric agent yaitu suatu bahan kimia yang berfungsi membantu
eksresi asam urat melalui ginjal. Mekanisme uricosuric agent dalam ekskresi
asam urat adalah menghambat urate transporter-1 (URAT1) dari lumen ke sel
tubular proksimal pada saat pengaturan keseimbangan cairan elektrolit.
Reabsorpsi asam urat pada laki-laki lebih tinggi (92%) dibandingkan dengan
perempuan (88%), dan lebih rendah pada anak-anak (70-85%). Dalam
keadaan normal kadar urat serum pada pria sudah mencapai 5,2 mg/dL dan
anak meningkat seiring bertambahnya usia. Pada wanita kadar asam urat tidak
meningkat sampai setelah menopause karena pengaruh hormon estrogen yang
membantu meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Sekitar 98%
setelah menopause atau pada wanita berusia 55-70 tahun, kadar serum urat
meningkat seperti pada pria.(45, 46, 47. 48)
Penelitian ini didukung oleh penelitian Bridges (2001) yang
menyatakan pada penlitiannya tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan hiperurisemia. Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian
Mawara, Kepel, dan Maramis (2014) yang menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan jenis kelamin dengan kejadian hiperurisemia pada masyarakat semi
kota dan masyarakat desa di Kabupaten Minahasa Selatan. Penelitian Lina
dan Setiyono (2014) dalam hasil penelitiannya menunjukan kadar asam urat
39

lebih tinggi pada laki-laki (65%) dibandingkan dengan perempuan (35%)


dengan p value=0,064, sehingga tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian hiperurisemia.(49, 50)

5.4 Hubungan Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hiperurisemia


Data penderita hiperurisemia berdasarkan diabetes melitus tipe 2
diperoleh dari 54 atau 78,3% penderita hiperurisemia 45 atau 65,2%
diantaranya adalah memiliki diabetes melitus tipe 2, sedangkan 9 atau 13,1%
lainnya adalah tidak memiliki diabetes melitus. Hasil analisis bivariat
menunjukan pada tabel 6, diperoleh korelasi diabetes melitus tipe 2 dengan
kejadian hiperurisemia memiliki nilai p=0,000 atau p<0,05. Korelasi tersebut
menunjukan bahwa faktor risiko diabetes melitus memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian hiperurisemia.
Penelitian Meera et al (2011) melaporkan hubungan hiperurisemia
dengan Toleransi glukosa terganggu (TGT) diperantarai oleh mekanisme
hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Resistensi insulin, hipoksia, dan
kematian sel dapat menginduksi perubahan xanthine dengan bantuan air dan
oksigen akan berubah menjadi asam urat yang menghasilkan peroksida.
Peroksida merupakan oksigen radikal bebas yang akan mempengaruhi
keseimbangan nitric oxide (NO) yang berperan menjaga keseimbangan tonus
vaskular. Beberapa penelitian melaporkan hiperurisemia berhubungan dengan
stress oksidatif yang terjadi pada sindrom metabolik. Insulin juga berperan
dalam meningkatkan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal ginjal.
Sehingga pada keadaan hiperinsulinemia pada pra diabetes terjadi
peningkatan reabsorpsi yang akan menyebabkan hiperurisemia. Transporter
urat yang berada di membran apikal tubuli renal dikenali sebagai URAT1
berperan dalam reabsorpsi urat. Glucose Transporter-9 (GLUT-9) diduga
kerjanya dipengaruhi oleh insulin yang berperan dalam transpor asam urat di
membran apikal proksimal.(51)
Penelitian ini sependapat dengan teori dan penelitian Amalia (2012)
yang mangatakan terdapat hubungan bermakna antara kadar asam urat dengan
kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe II di RS PKU
40

Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian lainnya oleh Wahyu (2014)


menyatakan risiko hiperurisemia pada penderita diabete melitus tipe 2 dengan
penyakit ginjal kronik adalah 5,8 kali lebih besar dibandingkan penderita
diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan ginjal kronik.(52, 53)

5.5 Hubungan Faktor Risiko Usia, Jenis Kelamin, dan Diabetes Melitus Tipe
2 dengan Hiperurisemia
Berdasarkan analisis multivariat pada tabel 7 menunjukan bahwa faktor
risiko diabetes melitus tipe 2 berpengaruh terhadap prevalensi hiperurisemia.
Penderita DM dimana hiperglikemia kronis dan resistensi insulin memegang
peranan penting dalam meningkatkan aktivitas sitokin proinflamasi.
Peningkatan aktivitas sitokin ini akan meningkatkan apoptosis sel dan
nekrosis jaringan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kadar asam urat di
dalam serum. Aktivitas sitokin proinflamasi akan meningkatkan aktivitas
enzim xanthine oxidase yang merupakan katalisator dalam proses
pembentukan asam urat, yang juga akan lebih meningkatkan kadar asam urat
dan radikal bebas di dalam serum. Setiap 1 mg / dL kenaikan asam urat
dikaitkan dengan 18% peningkatan risiko diabetes yang signifikan setelah
disesuaikan kadar glukosa dan insulin puasa.
Menurut Berry, et al (2003) nukleotida purin disintesis dan mengalami
degradasi di dalam semua jaringan, sedangkan asam urat hanya diproduksi di
dalam jaringan yang mengandung xantin oksidase, terutama hepar dan usus
kecil. Peningkatan kadar asam urat merupakan prediktor independen kejadian
diabetes melitus tipe 2 pada populasi umum. Menurut Clause J.O et al, untuk
beberapa waktu, telah diakui bahwa kadar asam urat dikaitkan secara positif
dengan kadar glukosa pada subjek orang yang sehat. Menurut Khosia UM. et
al (2005) tingkat serum asam urat telah dinyatakan berhubungan dengan
risiko diabetes tipe 2. Penelitian Kuo-Liong Chien et al (2008) melakukan
studi kohort prospektif menunjukkan hubungan positif antara konsentrasi
asam urat dengan DM tipe 2 pada orang China.(54, 55, 56, 57)
41

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dan analisis pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan:
1. Terdapat hubunganantara faktor risiko usia dengan prevalensi
hiperurisemia terbanyak pada usia 41-50 tahun.
2. Tidak terdapat hubungan antara faktor risiko jenis kelamin dengan
prevalensi hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.
3. Terdapat hubungan antara faktor risiko diabetes melitus tipe 2 dengan
prevalensi hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.
4. Terdapat hubunganantara usia dan diabetes melitus tipe 2 dengan
prevalensi hiperurisemia di Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.

6.2 Saran
1. Saran untuk responden
Diharapkan responden yang memiliki diabetes melitus tipe 2 dan
hiperiusemia dapat mengkontrol penyakitnya secara baik untuk
menghindari kemungkinan komplikasi yang akan terjadi.
42

2. Saran untuk Puskesmas


Diharapkan puskesmas dapat mengontrol dan mengevaluasi pasien
penderita diabetes melitus tipe 2 dan hiperurisemia di wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Kabupaten Brebes.
3. Saran untuk Peneliti
Diharapkan pada penelitian berikutnya dapat mencari hubungan
faktor risiko lainnya yang berpengaruh terhadap kejadian hiperurisemia
dengan metode penelitian yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kim SY, Guevara JP, Choi HK, Heitjan DF, Albert DA. Hyperuricemia and
Risk Factor of Stroke: A Systematic Review and Metaanalysis. NIH Public
Access. 2010; p. 885-892.
2. Misnadiarly. Asam Urat-Hiperurisemia-Arthritis Gout Jakarta: Pustaka Obor
Populer; 2007.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta; 2013.
4. Luk AJ, Simkin PA. Epidemiology of Hyperuricemia and Gout. The American
Journal of Managed Care. 2005 November; 11 p. 435-442.
5. Brownson RC, Remington PL, Davis JR. Chronic Disease Epidemiology and
Control. American Public Health Association. 1996; p. 149-179.
6. Anggraeni R. Gambaran Asam Urat Serum Pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2. Maranatha Repository System. 2011.
7. Diabetes Care. High Serum Uric Acid as a Novel Risk Factor for Type 2
Diabetes. 2008.
8. Junaidi I. Rematik dan Asam Urat. 4970th ed. Jakarta: PT Buana Ilmu
Populer; 2006.
9. Warner DS, Sheng H, Batinic-Haberle I. Antioxidant and The Ischemic Brain,
Review. The Journal Of Experimental Biology. 2004; 207 p. 3221-3231.
10. Poedjiadi S. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press; 2007.
43

11. Dipiro JT. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach 7th edition: Mc.


Graw Hill Medical; 2008.
12. Yatim F. Penyakit Tulang dan Persendian. 1st ed. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama; 2006.
13. Kumar V, Robbins L, Cotran RS. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC; 2007.
14. Irgi. Hiperurisemia. Jurnal Ilmu Kesehatan. ;((http//www.persuda.com)
diakses 28 November 2015).
15. Stefanus EI. Arthritis Gout In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.
16. Kumar V, Robbins SL, Cotran RS. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. 5th
ed. Jakarta: EGC; 2005.
17. Mansojer A. Reumatologi. 542546th ed. Jakarta: Media Asclepius FKUI;
2004.
18. Rayner C. Bertanyalah Dokter Anda Menjawab Tetty , editor. Jakarta: Gaya
Hidup Favorit Press; 1990.
19. Joseph P. Sehat dan Bebas Penyakit Widjaya K, editor. Jakarta: Profesional
Books; 1998.
20. Winter G. Buku Pintar Kesehatan Anugrah P, Satyanegara S, editors. Jakarta:
Arcan; 1994.
21. Purwaningsih, T. Faktor-Faktor Risiko Hiperurisemia. Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2009.
22. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L. Disorder
of Purine and Pyrimidine Metabolism. 16th ed. Wortman R, editor. New York:
Mc.Graw-Hill Professio0nal; 2004.
23. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 2009.
24. Inzucchi S. The Diabetes Mellitus Manual: A Primary Care Companion. 1st
ed. New York: Mc.Graw-Hill Companies; 2005.
25. Goldstein. Type 2 Diabetes: Principle and Practice New York: Informa Health
Care; 2008.
26. Eckman AS. nlm.nih.gov. [Online].; 2011. diakses tanggal 1 April 2016:
http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000305.htm.

27. Storck s. nlm.nih.gov. [Online].; 2011. diakses tanggal 1 April 2016:


http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000896.htm.

28. ADA. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. 33rd ed. Jakarta;
44

2012.
29. Donna D. Medical Surgical Nursing. 7th ed.: Diabetes Care; 2013.
30. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabees Melitus Tipe 2 di
Indonesia. In ; 2011; Jakarta.
31. Lioso JP, Sondakh RC, Ratang BT. Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin,
dan Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Asam Urat Darah Pada Masyarakat
Yang Datang Berkunjung Di Puskesmas Paniki Kota Manado. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. 2015 Februari.
32. Kurniasari , Kambayana , Putra TR. Hubungan Hiperurisemia dengan
Fraction 6 Urin Acid Clearance di Desa Tanganan Pengrisingan
Karangasem Bali. Journal Penyakit Dalam. 2011 Mei; 12(2).
33. Manzato E. Uric Acid: An Old Actor For A New Role. Intern Emerg Med.
2003; 2. p: 1-2.
34. Liewelyn JG. The Diabetic Neuropathies Types, Diagnosis and Management.
Journal Neural Neurosurg Psychiatr. 2003; 74. p. 1115-1119.
35. Tesfaye S, Selvarajah D. Advances in The Epidemiology, Pathogenesis and
Management of Diabetic Neuropathy. Diabetes Metab Res. 2012; 28. p. 8-14.
36. Gersch C, Palii SP, Kim KM, Angerhover A, Johnson RJ, Henderson GN.
Inactivation Of Nitic Oxide by Uric Acid. Nucleosides Nucleotides Nucleic
Acid. 2008 August; 27. p. 967-978.
37. Bo S, Cavalo-Perin P, Gentile L, Repetti E, Pagano G. Hypouricemia and
Hyperuricemia in Type 2 Diabetes: Two Different Phenotypes. Journal Clin
Invest. 2001; 31. p. 318-321.
38. Rosolowosky ET, Ficociello LH, Maselli NJ, Niewczaz MA, Binns AL,
Roshan B. High Normal Serum Uric Acid is Associated With Impaired
Glomerular Filtration Rate in nonproteinuric Patients with Ttpe 2 Diabetes.
Clin Journal Am. Soc. Nephrol. 2008; 3. p. 706-713.
39. Zoppini G, Targher G, Negri C, Stoico V, Perrone F, Muggeo M, et al.
Elevated Serum Uric Acid Concentration Independently Predict
Cardiovascular Mortality in Type 2 Diabetic Patients. Diabetes Care. 2009;
32. p. 1716-1720.
40. Qin LV, Meng XF, He F. High Serum Uric Acid and Increased Risk of Type 2
Diabetes: A Systemic Review and Meta-Analysis of Prospective Cohort
Studies. PLOS ONE. 2013 February; 8. p. 1-7.
45

41. Bandaru P, Shanker A. Association Between Serum Uric Acid Levels and
Diabetes Mellitus. Internastional Journal of Endocrinology. 2011; 11. p. 1-6.
42. Fiskha, P. Hubungan Antara Usia dan Jenis Kelamin Terhadap Peningkatan
Kadar Asam Urat Pada Pasien Uisa 20-70 tahun di Rumah Sakit Umum
Bhakti. 2010.
43. Lioso, Jilly P. Sondakks, Ricky P., Ratag, Budi T. Hubungan Antara Umur,
Jenis Kelamin Dan Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Asam Urat Darah
Pada Masyarakat Yang Datang Berkunjung Di Puskesma Paniki Bawah Kota
Manado. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. 2015
44. Purwaningsih, T. Faktor-Faktor Risiko Hiperurisemia. Dipublikasikan di
Universitas Diponegoro Semarang. 2010.
45.Elisabeth H, Hyon K C. Menpouse, Postmenopousal hormone use and serum
uric acid levels ini US women the third national health and nutrition
examination survey. Arthritis Research and Therapy. 2008; 10:R116.

46. Terkeltaub RA. Gout. New England Journal of Medicine; Oct, 2003;
349:1547-55.
47. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006. Vol.2.
48. Tjokroprawiro, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University press. 2007.
49. Bridges SL. Gout Epidemiology, pathology and pathogenesis, in: Klippel JH.
Primer on the rheumatic disease. Atlanta: Arthritis Foundation; 2001:323-8.

50. Mawara, M.E, Kepel, B.J, Maramis FR. Perbandingan Kadar Asam Urat
Darah Pada Masyarakat Semi Kota Dan Masyarakat Desa DI Kabupaten
Minahasa Selatan. FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Universitas
Sam Ratulangi. 2014.

51. Zhang W, Sun K, Yang Y, Zhang H, Hu FB, Hui R, Plasma Uric Acid and
Hypertension in a Chinese Community: Prospective Study and Metaanalysis,
in Clinical Chemistry Journal, 2009.vol 55(11), pp 2026-34.
52. Amalia, L. Hubungan Antara Kadar Asam Urat dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Digiulib Fakultas Kedokterdan UMY. 2012.
46

53. Wahyu, Adirama S. Risiko Hiperurisemia Pada Penderita Diabetes Melitus


Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronik (Studi case control pada pasien rawat
inap RSI Sultan Agung Semarang Periode januari 2012-April 2013). Unissula
Institutional Repository. 2014.
54. Berry, C. E. & Hare, J. M. Xanthine oxidoreductase and cardiovascular
disease: molecular mechanisms and pathophysiological implications. J.
Physiol. 555, 589-606
55. Murray, R., Granner, D., Mayes, P., Rodwell. Metabolism of Purin &
Pyrimidine Nucleotides dalam Harpers Illustrated Biochemistry.2003. Edisi
26. New York : Mc rae-Hill Companies. P293-302.
56. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Dalam: Firestein GS, Budd RC,
Harris ED, Rudy S, Sergen JS, (eds.) Kelleys Textbook of Rheumatology. 8th
ed. Philadelphia:Saunders; 2009.hal.1481 506.
57. Kuo-Liong Chien, Ming-FOng Chen, Hsiu-Ching Hsu, Wei-Tien Chang.
Plasma Uric Acid and The Risk of Type 2 Diabetes in Chinese Community.
Clinical Chemistry.2008.. 54:2 310-316
47

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai