Anda di halaman 1dari 5

Baitul Atsyi dan Filantropi Para Haji

Oleh : Muhammad Yamin Abduh*

Dana kompensasi Baitul Atsyi khusus untuk jamaah haji Aceh telah dibayarkan
sebesar 1.200 riyal, setara dengan Rp. 4.4 juta rupiah per orang (serambi Indonesia, 22
Agustus 2016). Tahun ini masyarakat Aceh yang berangkat ke haji mencapai 3.140
jamah (menurut kuota). Dengan demikian, jumlah keseluruhan dana kompensasi yang
dibayarkan mencapai 13,8 milyar.

Jamaah haji Aceh tentu bergembira mendapatkan dana kompensasi tersebut


karena sangat membantu mengurangi beban biaya selama menjalankan proses dan
rangkaian ibadah haji selama di Mekkah dan Madinah. Selain untuk kebutuhan-
kebutuhan dasar, uang tersebut juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para
jamaah terhadap barang-barang sekunder dan oleh-oleh untuk kerabat di kampung
halaman, sebagaimana telah menjadi kebiasaan para jamaah Indonesia pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, dana kompensasi Baitul Atsyi berasal dari wakaf berupa
rumah pemondokan di Qasasiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat
pintu Bab Al-Fatah, oleh Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang
hidup pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam. Beliau telah menghadap Hakim
Mahkamah Syariyyah Mekkah pada 1224 H/ 1809 M untuk mendaftarkan harta
wakafnya tersebut. Wakaf rumah pemondokan tersebut diperuntukkan bagi warga Aceh
yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau bagi siswa siswi Aceh yang belajar di
Mekkah. Disamping itu, Habib Bugak Asyi meniatkan pemondokan ini untuk tempat
tinggal bagi warga Aceh yang bermukim di Mekkah.

Ruang Lingkup Diperluas


Berkaitan dengan rencana pemerintah Aceh mengundang nadhir Baitul Atsyi ke
Aceh untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan
dana kompensasi tersebut, serta kemungkinan memperluas ruang lingkup
penyalurannya, maka diperlukan kajian yang konprehensif dan melibatkan pakar/ ahli
dalam bidang ini agar tujuan wakaf itu sendiri tidak melenceng. Sebagaimana wacana
yang telah dilontarkan pemerintah Aceh, bahwa ruang lingkup penggunaan dana
kompensasi Baitul Atsyi akan diperluas, yakni (1) penggunaannya tidak hanya untuk
Jamaah calon haji saja, (2) pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah
jamaah haji kembali, (3) digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di Timur
Tengah.

Wacana tersebut sangat penting untuk diapresiasi karena nilai kemanfaatannya


semakin tinggi dan penerima manfaatnya semakin menyebar luas sehingga lebih banyak
masyarakat Aceh yang akan merasakan dampak dari kebaikan aset wakaf ini. Bahkan,
jika memungkinkan, calon jamaah haji yang notbene sebenarnya telah masuk dalam
kategori mampu (menunaikan haji secara mental dan material) untuk berfikir jauh lebih
maju dengan menolak menerima uang tunai wakaf tersebut, dan mengikrarkannya
untuk disalurkan kepada masyarakat Aceh lainnya yang masuk dalam kategori fakir dan
miskin, bentuknya bisa saja dalam bentuk beasiswa, pembangunan rumah dhuafa,
modal dan pembinaan usaha kecil masyarakat pinggiran. Maka dana kompensasi 14
milyar tersebut akan sangat membantu Aceh dalam membangun masyarakat.

Wacana tentang pembagian dana kompensasi dilakukan di Aceh setelah jamaah


haji kembali dengan tujuan agar uang tersebut berputar di Aceh merupakan ide yang
baik dari perspektif ekonomi. Namun demikian, jika dana tersebut tetap dibagikan
kepada jamaah haji, tentu sejak awal para jamaah sudah memperkirakan bahwa uang
tersebut mereka terima, dan sebelum berangkat haji, para jamaah juga meningkatkan
jumlah rencana belanjanya selama musim haji di Mekkah dan Madinah, setidaknya
setara dengan dana kompensasi baitul Atsyi, artinya tujuan dari wacana tersebut tidak
dapat dicapai karena uang yang dibawa keluar dari Aceh oleh jamaah calon haji untuk
dibelanjakan di Mekkah dan Madinah sudah setara dengan dana kompensasi yang akan
mereka terima saat pulang.
Untuk wacana ketiga, digunakan untuk beasiswa warga Aceh yang studi di
Timur Tengah. Kita semua belum mengetahui persis secara detil isi dari butir-butir
lembaran wakaf yang dihadapkan pada Mahkamah Syariyyah Mekkah oleh Habib
Bugak 207 tahun yang lalu itu. Secara umum yang berkembang di masyarakat bahwa
sang Wakif meniatkannya untuk kompensasi bagi jamaah haji yang tidak menginap di
baitul atsyi, atau bagi masyarakat warga Aceh yang bermukim di Mekkah, atau bagi
warga Aceh yang sedang menjalankan studi di Mekkah. Dengan menyebutkan nama
tempat secara khusus berarti memiliki ikatan teritorial batas wilayah dimana dana
kompensasi tersebut boleh disalurkan. Jika wacana pemerintah menyebutkan Timur
Tengah, berarti yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang secara politis, dan budaya
merupakan bagian dari benua Asia, atau Afrika-Eurasia. Dimana pusat dari wilayah ini
adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang
memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Setidaknya kawasan
Timur Tengah mencakup lebih kurang 27 negara. Perluasan ruang lingkup ini menjadi
menarik dan jika terwujud tentu secara nilai, harta wakaf yang dikandung oleh aset
baitul atsyi ini semakin meningkat dan kemanfaatannya dirasakan oleh lebih banyak
masyarakat Aceh.

Filantropi Masyarakat Aceh

Kedermawanan sang wakif, Habib Bugak Al-Asyi ini tak mungkin lagi kita
pungkiri. Dalam banyak catatan dan cuplikan cerita mengenai baitul asyi ini, hanya
kebaikan-kebaikan beliau saja yang disebut, bahkan untuk sosok pribadi beliau sendiri
pun sangat sulit untuk ditelusuri, karena di dalam surat wakaf yang beliau tandatangani
hanya menyebutkan dirinya sebagai Habib Bugak Asyi. Jika seorang Habib Bugak Asyi
sudah jauh-jauh hari berfikir untuk seluruh masyarakat Aceh yang tidak beliau kenal
tanpa kecuali mendapatkan kompensasi dengan tidak menetapkan batas waktu, maka
nilai-nilai kebaikan itu sangat pantas kita teladani dengan melakukan hal yang sama
dalam ruang lingkup yang kecil dan tanpa mengurangi suatu apapun dari diri kita. Tidak
ada salahnya masyarakat Aceh, khususnya yang menjadi sasaran dalam lembaran wakaf
baitul atsyi tersebut secara serentak menjadi dermawan massal, menunjukkan bahwa
pribadi-pribadi kita sebagai masyarakat Aceh memang memiliki ruh-ruh filantropi yang
dahsyat. Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia)
adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusian,
sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Bagaimana caranya? Dengan merelakan dana kompensasi tersebut dialokasikan


untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kapasitas masyarakat fakir dan
miskin di seluruh wilayah Aceh. Sikap ini barangkali akan sangat membantu
menginternalisasi nilai-nilai luhur yang melambangkan kepedulian bersama terhadap
keadaan yang tidak menguntungkan bagi sebagian masyarakat. Sebagaimana pedulinya
sang wakif Habib Al-Asyi kepada masyarakat Aceh.

Karena wacana ini akan menyeret beberapa konsep yang berbeda di waktu yang
bersamaan, yaitu; konsep wakaf, ekonomi, dan di satu sisi filantropi masyarakat Aceh,
khususnya jamaah calon haji, maka akan dibutuhkan kajian yang mendalam yang
melibatkan banyak pihak untuk sama-sama memikirkan nilai dan kemanfaatan aset
wakaf ini sehingga apa yang menjadi cita-cita sang wakif dapat terwujud dan
menularkan sifat-sifat kebaikannya bagi masyarakat Aceh secara umum.

Sebagai penutup, wacana pemerintah untuk memperluas penggunaan dana


kompensasi baitul atsyi merupakan ide yang penting untuk didiskusikan dengan
berorientasi pada manfaat yang lebih luas dengan cakupan sasaran yang lebih banyak
serta membantu fakir dan miskin meningkatkan kualitas hidup mereka. Masyarakat
Aceh memiliki banyak kesempatan menjadi filantropis, jiwa-jiwa dermawan yang telah
ditanamkan oleh para endatu harus dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata
dalam keseharian, bukan sekedar menjadi cerita nostalgia masa lalu.

*) Dosen pada Fakultas Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Aceh

Email : myaminabduh@gmail.com
Published : http://aceh.tribunnews.com/2016/09/02/baitul-asyi-dan-filantropi-para-haji

Anda mungkin juga menyukai