Anda di halaman 1dari 11

Jonathan Albert

FK-UPH 07120050024

1. IMUNISASI

Imunisasi Wajib
BCG

Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium Bovis yang
dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen teatapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin.

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjutkan pemberian imunisasi BCG
pada umur antara 0-12 bulan.

Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun).
Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio
M.Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain (bokong, paha) .

Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8 0C,
tidak boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksinasi BCG

Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial 3


minggu setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan
meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm.

1. Limfadenitis
Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah
penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati.

2. BCG-itis diseminasi
Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi
lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi
ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberculosis.

Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi
hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan
melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di
anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di region deltoid

- Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.
- Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu
saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi
hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3
diberikan pada umur 3-6 bulan.
- Dosis yang diberikan 0,5 ml

Efek samping

Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat sementara. Kadang-kadang
dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap (acelluler pertussis)

Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,
jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 padaumur 6
bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur
18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi
dasar maupun ulangan.

Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP

- Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh
penerima DTP.
- Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya dapat mengalami
hiperpireksia.
- Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska suntikan
(inconsolable crying).
- Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah vaksinasi yang
dihubungkan dengan demam yang terjadi.
- Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

Vaksin pertusis a-seluler

Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin
dari Bordetellapertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis
dan perannya dalam memicu antibody yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis
secara klinis.

POLIO

Terdapat 2 macam vaksin polio:


IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah
dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah
dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.
Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18
bulan dan 5 tahun.

Cara Pemberian:
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral
Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.

Efek Samping:
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan
sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.

CAMPAK

Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari
100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin
beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah
untuk tujuan tersebut.

Dosis dan Cara Pemberian


Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara SUBKUTAN,
lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus menggunakan jarum dan
syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu
juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin selama waktu
tersebut disimpan pada suhu 2-8C serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus
disimpan pada suhu sejuk sebelum digunakan.

Usia & Jumlah Pemberian:


Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian
campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9
bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita.

Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare,
namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga
terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.

Imunisasi Anjuran

HIB

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang
berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyriibosyl ribitol phosphate- konjugasi dengan
protein tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi
- Vaksin Hib yang berisi PRT-P diberikan umur 2,4, dan 6 bulan.
- Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6
bulan) tidak diperlukan.
- Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib,
DTaP/Hib/IPV)
Dosis
- Satu dosis Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuscular.
- Tersedia vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV (vaksin kombinasi
yang beredar berisi vaksin Hib PRT-P) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
- Vaksin Hib baik PRT-P ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan.
- Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan satu kali.

PCV
Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin
pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23 serotipe disebut pneumococus
polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin
polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal conjungate vaccine (PCV7).

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml dieberikan intramuskular.


- Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu
- Untuk bayi BBLR (<1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6-8
minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai.>2000
gram
- Dapat diberikan bersama vaksin lain. Untuk setiap vaksin pada sisi badan yang
berbeda.

MMR

Toksin MMR diberikan pada umur 15 -18 bulan minimal interval 6 bulan antara
imunisasi campak (9 bulan) dan MMR. Dosis satu kali 0,5 ml secara sub kutan. MMR
diberikan minimal satu bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain. Apabila
seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12 -18 bulan dan 6 tahun, imunisasi
campak tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan imunisasi MMR
diberikan pada umur 6 tahun.

2. KEJANG

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang
merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak
oleh karena terganggu fungsinya akibat akibat kelainan anatomi-fisiologi, biokimia, atau
gabungan keduanya. Dua pertiga orang yang pernah mengalami kejang, di kemudian hari
tidak pernah mengalami kejang lagi. Sepertiganya mengalami kejang kambuhan (suatu
keadaan yang disebut epilepsi)
Kejang biasanya berlangsung selama 2-5 menit. Sesudahnya penderita bisa merasakan
sakit kepala, sakit otot, sensasi yang tidak biasa, linglung dan kelelahan. Penderita biasanya
tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama dia mengalami kejang. Dua jenis kejang yang
paling sering terjadi pada anak-anak adalah Kejang Infantil dan Kejang Demam.
3. SEPSIS

Bayi yang diduga menderita sepsis bila terdapat gejala:


Letargi, iritabel,
Tampak sakit,
Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit bintik-
bintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,
Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping
hidung, retraksi, takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi, atau
hipotensi (biasanya timbul lambat),
Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung dengan
atau tanpa adanya bowel loop.

Tatalaksana Sepsis
Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam
lainnya sekali pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan,
masker, baju, kacamata debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh
lainnya segera dicuci.
Pengobatan Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/kg/24jam intravena tiap
12 jam, apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/24jam
intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam
intravena/intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/kg/24jam.
Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin
ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam. Pada sepsis
nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur dan berat
badan:
o <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam.
o 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12-18jam
o 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
o >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
o >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau
sefalosporin generasi ketiga
Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.

4. SHOCK

Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana pasien syok adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi
terutama di otak, jantung, dan ginjal. Oksigenasi dan perfusi dapat diperbaiki dengan
memperhatikan 4 variabel, yaitu:

Ventilasi dan Oksigenasi


Selain mengatasi penyebab shock, resusitasi ABC (jalan napas, pernapasan, sirkulasi)
harus segera dievaluasi dan stabil. Resusitasi tidak boleh ditunda dan harus telah
dilakukan stabilisasi awal sebelum pemeriksaan lebih lanjut dan studi pencitraan.
Jalan napas pasien harus paten, dan pasien harus cukup oksigen dan ventilasi.
Awalnya, mengelola oksigen tambahan 100% pada tingkat aliran tinggi. Jika pasien
dalam gangguan pernapasan, pertimbangkan intubasi dan memberikan ventilasi
mekanis.

Setelah jalan napas stabil dan ventilasi yang memadai, segera lakukan peningkatan
sirkulasi dan pemberian oksigen sistemik (DO2). Perbaikan sirkulasi dicapai melalui
ekspansi volume. Jika perlu, terapi farmakologis dengan vasopressors dan agen
inotropik jantung.

Curah jantung dan volume darah


Dehidrasi, perdarahan, sepsis, dan etiologi distributif lainnya dapat menyebabkan
hipovolemia intravaskuler dengan penurunan volume pengisian ventrikel jantung
(preload). Anak-anak dengan syok hipovolemik yang menerima resusitasi cairan yang
tepat agresif dalam satu jam pertama resusitasi memiliki kesempatan paling optimal
untuk bertahan hidup dan pemulihan. Tidak seperti orang dewasa, anak-anak tidak
rentan terhadap terapi cairan yang berhubungan dengan komplikasi seperti edema
paru. Oleh karena itu, terapi pilihan adalah resusitasi cairan yang cepat dan agresif.

Langkah-langkah pemberian cairan:


o Jika mungkin, tempatkan minimal 2 jalur intravena. Jika akses vaskuler tidak
mudah dicapai, maka jarum (IO) intraosseous dapat ditempatkan ke dalam
sumsum tulang untuk pemberian cairan yang cepat. Seperti jalur IO dapat
dianggap sebagai baik sebagai infus untuk tujuan cairan atau administrasi
pengobatan yang diperlukan untuk resusitasi akut pada bayi terancam atau
anak shock.
o Berikan 20 mL / kg infus kristaloid isotonik, seperti natrium klorida 0,9%
isotonik atau larutan ringer laktat, lebih dari 5 menit atau kurang. Jika volume
infus diberikan melalui jalur IO, resistensi cairan masuk rongga sumsun tulang
lebih tinggi, sehingga cairan perlu dimasukkan secara manual dengan jarum
suntik. Selama tidak ada bukti pembengkakan lokal di lokasi penyisipan IO
atau dalam jaringan posterior IO, cairan ini melewati ke dalam rongga
sumsum dan karenanya ke dalam ruang intravaskular.
o Segera setelah volume awal cairan (20 mL / kg) telah masuk, evaluasi kembali
pasien. Jika pasien masih dalam keadaan syok, segera berikan 20 mL/kg. Jika
lebih dari 2-3 volume kristaloid telah diinfuskan ke pasien yang berisiko untuk
perdarahan (misalnya, dari trauma), pikirkan pemberian darah atau sel darah
merah (PRBCs). Seorang anak dengan hipovolemia berat atau sepsis mungkin
memerlukan lebih dari 60 mL/kg volume di jam pertama resusitasi, sering
dalam 15 menit pertama.

Memperbaiki keadaan hipoksia, hipoglikemia, dan asidosis


Neonatus dan bayi memiliki cadangan glikogen terbatas, yang mana akan cepat habis
selama keadaan syok sehingga menimbulkan hipoglikemia. Atau, tingginya kadar
katekolamin endogen dan eksogen sehingga terjadi keadaan resisten insulin relatif
dapat menyebabkan hiperglikemia serum. Jika tingkat glukosa rendah, memberikan
terapi dengan dekstrosa IV. Dosis dekstrosa adalah 0.5-1 g/kg IV. Hipokalsemia juga
sering terjadi terutama pada pasien yang mendapat resusitasi cairan dalam jumlah
besar, hal ini dapat dikoreksi dengan menggunakan calsium gluconate 10% 1mL/kg
BB.

Kelainan yang mendasari


Pada syok hipovolemik harus dilakukan evaluasi maksimal kehilangan cairan atau
perdarahan yang terjadi. Keadaan syok distributif, seperti yang terjadi pada sepsis
dapat dilakukan kultur darah untuk mengetahui etilogi dan memberikan antibiotik
yang adekuat.

Usia Patogen Terapi Dosis


(mg/kg)
0-1 bulan Grup B streptokokus Ampicllin + 50
Enterobacteriaceae gentamicin atau 2.5
Stapilokokus aureus cefotaxime 50
Listeria meningtidis
1-24 bulan H. influenza Cefotaxime atau 50
Strept. penumoniae Ampicillin + 50
S aureus, N. meningtidis Chloramphenicol 25
Strep. grup B
>24 bulan S penumoniae Cefotaxim atau 50
H influenza Ceftriaxone atau 50
S aureus Ampicillin + 50
N meningtidis Chloramphenicol 25
Imuno compromized S aureus Vancomycin + 25
proteus pseudomonas Ceftazidine + 50
enterobacteriaceae Ticarcillin 75

5. MENINGITIS

Meningitis Bakterial

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:


1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan sebagai
diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Meningitis Tuberkulosis
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).

3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali

Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.

Meningitis Viral
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan
panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk,
tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.

Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :


Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus
Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari campak dan
enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan herpangina dari infeksi
coxsackie virus A
Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV
Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV atau HIV
Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps

Meningitis Jamur

Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya
sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti sakit kepala,
demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan meningitis jamur juga mengalami fotofobia,
perubahan status mental, halusinasi dan perubahan personaliti.

6. HIPERBILIRUBIN

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal
dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%
berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,
sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin,
transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim
biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan
albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.
Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin
akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran
yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik
lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang
larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali
ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada
dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.

Berdasarkan Kramer dibagi :

Derajat Perkiraan kadar


Daerah ikterus
ikterus bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%
Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai
III 11,4 mg/dl
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

Indikasi pemberian terapi sinar :


Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

Anda mungkin juga menyukai